"Tolong, jadilah maduku!" ucap wanita berhijab di depanku. Matanya menatap lurus manik mataku. Kalimat yang sama sekali tidak aku duga bisa keluar dari bibirnya yang mungil itu. Aku menutup mulut, menatapnya tak percaya. Dia Salima, temanku saat SMA. Kami sudah lama tidak bertemu, pertemuan ini karena Salima yang mengajakku via chat di aplikasi hijau."Kamu jangan bercanda Sal, aku kesini buat ketemu kamu karena kangen, bukan buat dengerin omongan konyol kamu itu," jawabku tak terpengaruh ucapannya. Entah atas dasar apa dia bicara begitu padaku. Aku tak menanggapinya, melanjutkan makanku yang sempat terjeda oleh perkataan absurdnya. Hm ... ternyata enak juga makanan disini."Aku serius, Adinda ..." ucapnya lagi. Matanya terlihat berkaca-kaca. Aku melihat ada kesungguhan pada matanya. Namun jika dia menangis, sudah pasti dia berbicara tentang sesuatu yang menyakiti hatinya bukan?"Kenapa kamu bicara gitu, Sal? Aku benar-benar tidak mengerti maksud ucapanmu," timpalku lagi. Makanan buru
Seperti biasa hari ini, aku berjualan nasi uduk. Setiap pagi aku bangun pukul 2 pagi. Lalu pergi ke pasar, belanja bahan masakan untuk dimasak, karena pada jam itu, harga jual masih murah karena biasanya yang pergi belanja adalah para pedagang juga. Menu di nasi uduk cukup banyak, ada kentang balado, tempe orek, oseng bihun, kerupuk, dan juga nasi uduk yang tebuat dari santan. Itu adalah menu yang kumasak setiap harinya.Salima menagih jawabanku lewat aplikasi chat hijau, ia menanyakan kesanggupanku menjadi madunya, namun aku abaikan. Aku kembali menjalani rutinitasku sebagai penjual nasi uduk.Setelah kepergian Mas Arkan, mau tidak mau aku harus mencari nafkah sendiri. Orang tuaku sudah tua, Ayah hanya bekerja sebagai guru honorer yang bahkan gajinya saja hanya dibayar satu bulan sekali sebesar delapan ratus ribu rupiah. Itu sangat tidak cukup. Namun, ia tetap mengabdi menjadi pengajar meskipun gajinya sangat memprihatinkan. Saat menikah dengan Mas Arkan, beliau yang membantu perekon
"Gimana Din, kamu udah buat keputusan?" tanya Salima to the point begitu waiters telah pergi mengambil buku menu."Keputusanku masih sama seperti kemarin Sal, maaf banget." Aku menyatukan kedua tangan, memohon maaf pada Salima.Salima terlihat menghela napas dan menatapku dengan tatapan kekecewaan."Tapi Din, tolong pikirkan sekali lagi, poligami itu diperbolehkan dalam agama, mungkin banyak manfaat juga dengan menikahnya kamu dengan Mas Fahri, kamu tidak perlu bersusah payah lagi berjualan. Ekonomi keluargamu akan terbantu, dan yang paling penting, kamu akan menyelamatkan pernikahan sahabatmu ini. Aku mohon, tolong kamu pikirkan dengan matang sebelum mengambil keputusan."Salima menggenggam erat tanganku. Tatapannya penuh dengan permohonan. "Fahri, tak bisakah kamu membatalkan perjanjian itu? Bukannya aku mau ikut campur, tapi kalianlah yang menyeretku dalam permasalahan kalian.""Maaf Din, bukan maksudku membuatmu terlibat dalam masalah ini, aku sudah melakukan yang kubisa. Perjanj
"Assalamualaikum, Mas. Aku datang, aku minta maaf baru kesini lagi. Aku benar-benar kerepotan setelah kepergianmu Mas. Betapa bergantungnya aku padamu. Hampir saja aku hendak menyusulmu, Mas. Aku ..."Tidak sanggup lagi berbicara, aku menumpahkan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Mengeluarkan semua rasa sesak yang menyeruak dalam dada. Tenyata, aku masih begitu merindukannya."Aku mau cerita, Mas. Tapi tolong jangan marah ya, tentang apapun yang kukatakan. Tolong dengarkan dulu sampai tuntas."Setelah Menghela nafas, aku melanjutkan cerita."Kemarin aku bertemu teman SMA-ku, Salima namanya. Mungkin Mas pernah dengar aku sering menceritakannya dulu, dan kita pernah menghadiri pernikahannya tahun lalu. Namun ada hal yang belum pernah aku ceritakan padamu, Mas. Suaminya Salima, adalah mantanku saat SMA. Aku tidak pernah cerita karena takut menyakitimu. Tapi aku pastikan aku tidak pernah mengkhianatimu selama pernikahan kita. Kemarin, Salima datang padaku memintaku menjadi
Hari ini, aku berniat untuk mengunjungi rumah Ibunya Mas Arkan yang biasa kupanggil, Mama. Setelah dagangan habis aku segera bersiap. Berbekal bolu pisang buatan Ibu, aku menuju rumah Mama. Tok tok tok"Assalamu'alaikum ...""Wa'alaikumsalam ..." jawab seseorang di dalam sana. Terdengar derap langkah yang mendekat menuju pintu yang membuat jantungku berdegup kencang. Lalu kemudian pintu terbuka, menampilkan seorang wanita yang rambutnya sudah beruban, menatapku lekat. Raut wajah yang tadinya penuh senyum langsung berganti menjadi masam begitu melihat wajahku, tak nampak sedikitpun keramahan yang kuharapkan darinya."Mau apa kamu kesini? Jangan bilang kamu masih mengincar hartanya Arkan?" begitulah kalimat sambutan darinya. Suaranya langsung meninggi, sangat berbeda dengan nada suara saat menjawab salam tadi. Aku segera mengulurkan tangan, ingin mencium tangannya sebagai bentuk penghormatan yang seharusnya. Namun, Mama menepis tanganku dan melipat tangan di dadanya. Seolah aku adalah
Bab 6Aku mematut diri di depan cermin, entah kenapa masih belum percaya bahwa pantulan diri yang kulihat dari cermin itu aku.Gaun putih yang aku pakai tampak pas di tubuh, bagian atas full payet dan ada kain seperti selendang di bahu bagian kanan dan kirinya. Gaun ini sangat terasa nyaman dan tidak berat. Riasan wajah yang tipis dan polesan lipstik berwarna pink membuatku merasa sangat cantik. "Kamu sangat cantik Adinda!" ucapku pada cermin itu.Aku masih asyik mematut diri di depan cermin, berpose dan berputar badan untuk melihat gaun yang terangkat begitu aku mengayunkannya. hingga tiba-tiba, sesuatu di belakangku menghujam tubuh, membuat tubuh tersentak ke depan dan menubruk cermin. Ada rasa sakit luar biasa dan rasa hangat menjalar di perutku. Saat menunduk, aku melihat darah berwarna merah kehitaman yang mengalir dari perut."Rasakan!" ucap seseorang tepat di telingaku. Dengan susah payah, aku berusaha menoleh ke belakang dan melihat seseorang yang sangat kukenal."Sa-salima
Sesak rasanya hatiku melihat Ayah yang tidak kunjung sadar, dokter bilang kepala Ayah terbentur. Namun tidak ada luka serius di kepalanya. Ayah hanya tertidur karena di beri obat penghilang rasa sakit. Tadi Ayah sempat berteriak kesakitan saat sedang diobati.Ibu masih setia duduk di sebelah ranjang Ayah sambil memegang tangan yang tidak diinfus. Pikiranku kacau karena memikirkan dari mana aku bisa dapat uang untuk mengurus rujukan Ayah ke Rumah Sakit Umum dan biaya lainnya untuk perawatan Ayah. Sedangkan Ayah sama sekali tidak punya asuransi kesehatan. Itu berarti, harus memakai biaya pribadi."Bu, aku keluar dulu sebentar. Mau shalat dzuhur. Kita shalat barengan yuk, Bu?" "Kamu duluan, nanti kalau sudah kesini ya, Ibu juga mau shalat.""Barengan aja sekarang, Bu.""Ibu takut Ayahmu bangun, tapi gak ada siapa-siapa. Ibu disini dulu aja, nanti shalatnya gantian." Tidak bisa memaksa,
"Apa? Gak boleh! Ayah gak setuju! mendingan Ayah pulang aja sekarang kalau kamu maksa mau operasi tapi pakai uang hasil menggadaikan rumah. Mau tinggal dimana nanti kita, Adinda? Mikir!" sentak Ayah saat aku mengutarakan niat yang sempat terpikir. Aku buntu, tidak tahu pada siapa harus meminta tolong, Ibu sudah setuju namun beliau tidak punya kuasa karena harus atas seizin Ayah. Ternyata, Ayah menolak mentah-mentah, padahal ini untuk kesembuhan Ayah sendiri.Aku berjalan keluar ruangan, tidak ingin berdebat dengan Ayah yang sedang sakit. Sungguh, aku merasa sebagai anak tidak berguna. Saat aku sedih dan butuh pelukan, Ayah dan Ibu selalu ada untukku dan memberikan pelukan hangatnya. Namun sekarang, saat Ayah dan Ibu yang membutuhkan pertolongan, aku tidak bisa melakukan apapun. Tabunganku sudah habis dipakai biaya merawat Ayah sejak beberapa hari yang lalu. Tepukan lembut terasa pundak. Aku yang sedang menunduk langsung menoleh dan mendapati Salima
Bab 24Kedatangan Ibu Mertua“Eh, Ibu. apa kabar, Ibu sehat?” tanyaku menepis rasa gugup yang mendera. Ibu masih bergeming dan tak menjawab sapaan dariku. Ia masih menatapku tajam dan menelisik dari atas sampai bawah. Ia juga seperti sedang mengamati sekitar rumah.Aku meneguk ludah, lalu membungkuk dan mencoba meraih tangannya ingin mencium tangannya. Namun, Mama langsung menepis tanganku dengan kasar. “Jangan sentuh tanganku, pelakor!”Aku mengelus dada sambil beristigfar dalam hati. Andaikan ada Mas Fahri disini, mungkin aku tak akan mati kutu seperti sekarang ini. Aku benar-benar tak tahu bagaimana harus menjelaskan pada Bu Halimah. Harusnya ini semua dilakukan oleh Mas Fahri.“Mas Fahri sedang tak ada di rumah, Bu. Sedang di luar kota.” Aku berusaha setenang mungkin menjawab pertanyaan darinya.“Saya tahu. Makanya saya kesini, mau lihat seperti apa sosok wanita yang menggoda anakku untuk melakukan poligami, dan menjadikannya anak durhaka dalam sekejap. Sama sekali aku tak diunda
Bab 23Kembali ke Masa KiniAku sudah memasukkan kembali baju ke dalam koper. Tak banyak barangku disini, hanya sebuah koper yang aku bawa saat pertama datang.“Sudah selesai packingnya?” tanya Mas Fahri sambil melongokkan kepalanya ke dalam kamar.“Sudah Mas,” jawabku sambil berdiri dan menyeret koper.Mas Fahri langsung mengambil alih koper itu dari tanganku, “Mas aja yang bawa.”“Makasih sayang,” gumamku pelan. Menjadi istrinya masih seperti mimpi saja. Mas Fahri langsung berhenti melangkah dan berbalik menatapku.“Bilang apa tadi, merdu banget dengernya,” katanya. Dia tertawa sambil terus menatapku.Aku hanya menggelengkan kepala dan mendorong punggungnya dari belakang agar dia mempercepat langkah. Masih banyak yang harus kami lakukan hari ini.Setelah semua barang masuk ke dalam mobil, aku menghampiri Salima yang sedang berdiri di dekat pintu.“Makasih banyak ya, Sal sudah diizinkan tingga
Bab 22Pov SalimaBeberapa hari sebelum pernikahan Adinda-FahriAku sudah menyiapkan surat perjanjian berisi pernyataan bahwa Adinda hanya akan menjadi istri simpanan dan harus menyembunyikan pernikahannya di depan umum. Dan perjanjian kedua berisi kerahasiaan perjanjian yang harus dijaga agar Fahri jangan sampai tahu. Jika ada yang melanggar maka konsekuensinya adalah membayar denda sebesar 100 juta rupiah. Entah kapan Adinda menandatangani kertas ini, namun aku harus menyiapkan segala kemungkinan.Aku puas melihat isi perjanjian itu. Tentu saja sudah kupikirkan dengan matang apa yang akan kulakukan kedepannya. Aku bukan lagi Salima yang hanya mendamba cintanya Fahri. Namun aku akan tetap menjadi orang ketiga yang ada dalam hubungan mereka, dan memastikan sendiri mereka tidak akan bahagia karena cinta mereka telah membuat hidupku merana.Setelah kemarin menemui Adinda dan menawarkan Adinda agar menjadi adik maduku, ternyata Adinda menola
Bab 21Salima menunggu dengan sabar setiap harinya. Sebentar lagi adalah jadwal menstruasinya. Dia mendadak gelisah karena sangat berharap datang bulan itu tak akan datang. Salima bahkan sudah menyiapkan beberapa buah testpack yang akan segera dipakai jika sudah melewati masa menstruasinya.Setelah melewati satu minggu setelah masa datang bulannya terlewat, Salima memantapkan hati untuk menggunakan salah satu testpacknya. Setelah beberapa menit menunggu, dia melihat hasilnya ternyata … negative.“Apa aku belum ditakdirkan memiliki anak dari Mas Fahri?” Salima membatin dalam hatinya.Hatinya dilanda cemas luar biasa, bagaimana tidak, kehadiran anak tentunya akan berdampak besar akan kelanjutan hubungan antara dia dengan Fahri. Salima tidak rela jika dia harus bercerai dengan Fahri setelah satu tahun. Fahri adalah tipe suami idaman Salima yang tak akan pernah dilepas begitu saja.Dan hari berlalu dengan cepat. Fahri bersikap dingin seperti sedia kala. Tidak ada malam panas yang terulang
Pihak laboratorium mengatakan jika sample yang diberikan oleh Fahri sudah berhasil diidentifikasi. Fahri segera pergi ke lab untuk mengecek langsung. Petugas lab mengatakan jika botol itu mengandung ramuan herbal yang berfungsi sebagai obat perangsang dan obat kuat. Fahri mengepalkan tangannya mendengar pemberitahuan itu. Dia merasa dicurangi karena tak diberi tahu apapun mengenai obat itu sebelumnya.Fahri langsung memacu mobilnya untuk pulang ke rumah. Sudah dua hari sejak kejadian itu, dia tak pulang ke rumah dan bermalam di kantornya. Tentu saja dia masih marah pada dirinya sendiri karena melanggar janji yang sudah dia ucapkan.Tok tok tokFahri langsung mengetuk pintu dengan keras. Amarahnya telah berada di level puncak. Dan dia harus segera meluapkannya.Beberapa saat kemudian, Salima membukakan pintu. Tangan Salima terlipat di dada. Tentu saja dia kesal. Fahri dua hari tak pulang, dan sekarang mengetuk pintu dengan tak sabaran. Apa maksudnya?“Masih ingat jalan pulang ternyata?
Bab 19Mencari DalangFahri telah sampai di laboratorium, dia segera menyerahkan botol itu kepada petugas. Lalu mereka memintanya untuk kembali lagi nanti jika hasilnya sudah keluar. Petugas meminta Fahri untuk menuliskan nomor ponsel agar mudah dihubungi.Fahri berjalan gontai memasuki mobilnya. Ia memukul stir berkali-kali sebagai bentuk meluapkan amarahnya. Pikirannya kacau sekarang. Bagaimana jika sampai Salima hamil anaknya? Sudah pasti tak akan ada masa depannya bersama Adinda.“Semoga perbuatanku yang semalam tidak menghasilkan anak,” harapnya dalam hati. Fahri bertekad, mulai sekarang ia akan lebih berhati-hati terhadap apapun yang diberikan Salima. Dia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan memakan atau meminum sesuatu yang dibuat oleh tangan Salima lagi.“Mulai sekarang, kamu tak perlu lagi menyiapkan makanan untukku, siapkan saja untuk dirimu sendiri. Aku akan makan diluar mulai hari ini.” Fahri mengirimkan pesan itu pada nomor Salima.Lalu Fahri menghidupkan mobilnya dan
Malam penuh gairahFahri menatap Salima dengan dahi berkerut, tak biasanya Salima mengetuk pintu kamar malam-malam. Lalu pandangannya tertuju pada botol yang digenggam oleh Salima.“Ada apa?” tanya Fahri ketus.“Ini, ada titipan dari Ibu, katanya bagus buat stamina,” jawab Salima sedikit berbohong. Maksudnya mungkin, bagus untuk stamina pengantin baru di malam pertama. Salima tertawa dalam hati.“Minuman apa ini? Bukan yang aneh-aneh kan?” Fahri menelisik botol. Tidak ada bacaan komposisi atau apapun. Sepertinya ini minuman racikan.“Masa Mas Fahri curiga sama Ibu sendiri? Kata Ibu harus habis diminum malam ini, kalau besok udah basi. Terserah mau diminum atau enggak, aku hanya menyampaikan amanat.” Salima berbalik dan masuk ke kamarnya. Ia tidak boleh terlihat menunggu dan berharap Fahri meminum itu. Bisa membuat Fahri curiga.Salima masuk ke kamar dan berniat meminum botol satunya lagi, Bu Halimah bilang jika botol itu untuk mereka berdua, biar gairahnya sama-sama meningkat. Namun
Kedatangan Bu HalimahFahri dan Salima memutuskan untuk pulang ke rumah sore hari. Meskipun villa yang dipesan Bu Halimah masih tersisa satu hari lagi, namun mereka mengabaikan itu. Untuk apa berduaan di tempat romantis jika mereka berdua bukanlah sepasang suami istri sungguhan. Fahri langsung membawa Salima ke rumah miliknya, rumah yang sudah dibeli Fahri dari hasil kerja kerasnya.“Ini kamar kamu,” ujar Fahri sambil menunjuk pada salah satu kamar yang terletak di tengah rumah.“Maksudnya, kamar kita?” tanya Salima yang tak mengerti maksud Fahri.“Disini kita pisah kamar aja, biar kejadian semalam gak terjadi lagi. Kalau kamu sampai rayu aku lagi, maka kita akan bercerai lebih cepat dari yang kamu duga.” Tatapan mata Fahri menghunus tajam pada Salima, membuat Salima sedikit ciut. Padahal ia sudah merencanakan banyak hal untuk merayu Fahri lagi.“Jangan geer!” jawab Salima pura-pura tak acuh. Ia masuk ke kamar dan membereskan barang-barang yang dibawanya. Padahal sebenarnya ia ketar-k
Bab 16Malam Pertama yang MenyedihkanFahri masih bergeming, tak mengeluarkan suara sedikitpun. Sedangkan Salima masih setia menunggu reaksi Fahri. Salima mulai merasa dingin karena busana minimalisnya. Ia masih mencoba tetap tersenyum sambil menunggu reaksi suaminya.Fahri mengerjapkan matanya. Ia mulai mengumpulkan kesadaran dan menekan hasratnya kuat-kuat. Ia tak boleh tergoda dengan rayuan Salima. Bagaimana jika nanti Salima hamil anaknya? Tentu saja ia tak akan bisa meninggalkan anaknya begitu saja.“Kamu mau apa?” tanya Fahri ketus seolah ia sama sekali tak tertarik dengan pemandangan indah di depan matanya. Kulit mulus Salima terekspos di banyak tempat. Fahri berusaha sebaik mungkin hanya menatap matanya Salima, bukan ke tempat lain yang lebih menggoda untuk dilihat.“Aku mau melaksanakan kewajiban sebagai istri, dan juga meminta hak sebagai istri tentu saja.” Salima berusaha sebaik mungkin memaparkan alasan. Ia tak boleh kalah terus dari Fahri. Ia sudah berjanji pada Bu Hali