All Chapters of Pria Menyebalkan Itu Penawarku: Chapter 71 - Chapter 80
92 Chapters
BAB 71
Setelah apa yang dikatakan oleh pria itu, intensitas kedatangan Vincent di apartemen Jane menjadi lebih sering. Ini mungkin terdengar sangat biasa mengingat jika mereka bahkan sering saling berkunjung ketika masih bersama, masalahnya di sini adalah tidak ada hubungan yang resmi terjadi di antara mereka. Jane belum sempat menanyakan kapan pria itu kembali ke ibu kota setelah kematian ibunya. Jane kira, Vincent akan tinggal di pesisir untuk beberapa waktu kedepan dengan kerabatnya, menghabiskan masa berkabung di tempat yang semestinya. Pria itu menjinjing dua botol minuman dan ditunjukkannya pada Jane, sudah pasti Jane tahu apa niat mantannya itu membawa minuman beralkohol ke apartemennya. Ia tidak terlalu menyukai ide tersebut. Namun, lantaran terlanjur datang tak akan mungkin ia menyuruh Vincent kembali. “Masuklah,” ucap Jane sembari membuka pintunya lebih lebar, membiarkan Vincent masuk setelah beberapa kali menggosok tubuhnya dengan telapak tangan. Udara hari ini memang cukup ding
Read more
BAB 72
Waktu berjalan dengan lambat, namun terasa sangat menyebalkan lantaran beberapa hal tidak berjalan sesuai rencana. Begitu pula dengan apa yang Vincent rasakan saat ini. Kedua hal yang sudah ia siapkan matang-matang harus sia-sia lantaran Jane yang memilih untuk terus menjaga jarak dengannya. Kenapa wanita itu sangat sulit kembali di dekati? Suatu pertanyaan besar yang mungkin akan menjadi bahan lelucon garing Jeremy. Sejujurnya, dengan otak cerdasnya Vincent bisa menjawabnya. Kenapa Jane tidak mau dengannya lagi atau paling parah akan benar-benar tidak menganggap kehadirannya di hidup wanita itu. Trauma, kesedihan ketika ditinggalkan. Pernyataan yang pernah Vincent dengar, Jane tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Apa yang ia miliki selalu dijaga dengan baik dan kadang kala terlalu posesif, terlihat bagaimana ia melakukan itu pada Jasmine, sahabat satu-satunya. Itu prinsip yang dipegang Jane dan ketika ia sudah melepaskannya, artinya hal itu memang pantas dilepas. V
Read more
BAB 73
Gerakan sepeda yang berderik membuat setiap orang yang mendengarnya mengernyitkan dahi. Memilih menjauh ketimbang harus berdekatan dengan bau besi karatan yang nampak sekali tak pernah diperhatikan. Siapa yang mau memperhatikan sepeda tua tersebut, pemiliknya pun memilih meletakkannya tanpa tahu diri dan membuat si sepeda tak lebih dari hanya benda mati tak berharga yang mengganggu kenyamanan banyak orang. Namun, sepertinya tidak bagi Jane. Wanita cantik yang sudah berdiri di dekat besi berkarat itu tak mengindahkan apapun, kecuali pandangannya yang terus mengedar. Mencari satu sosok yang tadinya mengatakan akan bertemu dengannya. Namun lihat, ia bahkan rela berdiri seperti orang bodoh di samping kafe dan juga dekat dengan besi berkarat yang ketika angin menyentuhnya sebentar akan meninggalkan bunyi aneh. “Kemana anak ini,” gumam Jane sembari menarik ponsel dari tas kecil yang ia bawa. Melihat kontak pesan dan panggulan beberapa kali, mengira kemungkinan Jasmine mengirimkan pesan
Read more
BAB 74
Mobil putih itu terparkir di sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elit ibu kota. Jasmine kembali diseret masuk ke rumah yang bagianya hanya sebagai neraka. “Ibu—kenapa kau melakukan ini padaku?!” “Karena kau membangkang. Aku hanya memilikimu dan karena kekasihmu yang tak berguna juga temanmu yang kurang ajar itu, kau semakin jauh dengan ibumu sendiri yang seharusnya paling kau pedulikan.” “Ibu, bukan Jeremy dan Jane yang salah, tapi ibu. Ibu tidak penrah menganggapku sebagai seorang anak,” ucap Jasmue. Tidak ada air mata di mata wanita muda itu, lantaran air matanya sudah terlalau kering. Sudah terlalu banyak yang keluar. Ia tidak mungkin kembali menangisi sikap ibunya yang memang sejak dulu tidak pernah berubah. Wanita itu—sejak dulu selalu menjadikannya sebagai objek. Tidak pernah sekalipun sang ibu menghargai kerja kerasnya sebagai seorang model ataupun pemilik bisnis. Di mata ibunya, ia tak lain dan bukan hanyalah seonggok daging yang bisa diperjual belikan hanya untuk me
Read more
BAB 75
“Ibunya tidak menyukaiku.” “Itu terihat jelas.” “Jasmine akan dijodohkan dengan pria yang memiliki kasta dengannya.” “Dan kau akan menyerah?” Jeremy terdiam. Tubuhnya bersandar ke sofa. Pandangannya hanya tertuju pada lampu temaram ruang tamu apartemen miliknya. “Jadi kau akan menyerah atau tidak?" cecar Jane yang terlihat tidak sabar dengan jawaban yang akan diberikan oleh Jeremy. Pria memperbaiki posisi duduknya dan menatap serius pada Jane. “Menurutmu apa yang harus kau lakukan? Bisa gila jika Jasmine benar-benar lepas dariku,” ucapnya. Jane yang kini terdiam. Sementara Vincent yang memang tidak ingin ikut campur kini juga memiliki sebuah pemikiran lain. “Apakah ibu Jasmine seorang desainer?” tanyanya pada Jane. Jane menganggukkan kepalanya dan menatap Vincent setengah heran. Sangat jarang Vincent mengungkapakan apa yang tengah ia pikirkan dan sepertinya pria itu tengah memiliki sesuatu dalam kepalanya. “Hmm, apa dia memiliki obsesi tertentu yang masih berkaitan denga
Read more
BAB 76
Jane menunduk, sebelum menghembuskan nafasnya pelan. Ketika mendongak, hal pertama yang tampil di cermin adalah tampilannya yang kelewat sederhana. Ia seperti tengah memandang orang yang beda dengan dirinya sendiri. Lihatlah bagaimana rambutnya yang panjang tampak kusut, mata pandanya yang menonjol, serta lihatlah bagaimana kusamnya kulitnya. Entah sudah berapa hari ia tidak perawatan diri. “Jane?” Wanita itu tersentak dan segera keluar dari kamar mandi. Dahinya mengernyit ketika ia melihat Lilibet datang dengan satu kantong plastik. Wanita dengan balutan kemeja formal itu tersenyum lebar ketika mendapati Jane menatapnya. “Aku datang membawa makan siang untuk kita. Kau pasti belum makan. Tunggu—tunggu, Jane ini sungguh dirimu,” ucap Lilibet dengan pandangan yang kini mengarah pada Jane yang tengah duduk di sofa tepat di depannya. Dokter muda itu menatap Jane dari atas hingga bawah dengan pandangan menilai, meskipun Jane tak menghiraukannya. Perutnya tengah dibutakan oleh rasa la
Read more
BAB 77
Udara cukup dingin ketimbang biasanya. Perkiraan cuaca mengatakan jika hari itu akan hujan lebat. Beberapa kawasan diberi peringatan dini, sementara yang lainnya dihimbau untuk lebih berhati-hati jika keluar rumah. Meskipun demikian, orang-orang kota yang tinggal di area itu seperti tak memiliki ketakutan terhadap apapun. Paling penting adalah mereka berangkat bekerja dan menghasilkan uang. Kepulan rokok membumbung tinggi yang membuat sekitarnya terasa tak terlalu dingin. “Aku mencarimu.” Jane menoleh dan mendapati Vincent berdiri dengan keadaan tak memakai atasan. Pria itu menatapnya dengan mata sebelah yang masih tertutup. Benar apa yang dikatakan oleh Lilibet, Vincent datang dalam keadaan sadar, pria itu seperti tengah kerasukan ketika bersimpuh di depannya. Memohon untuk ia kembali pada pria itu. Jika diingat-ingat, Jane rasanya tidak percaya ketika Vincent, pria yang sangat berkarisma dan menjunjung harga dirinya itu melakukan hal semacam itu. Jane tak menjawabnya dengan p
Read more
BAB 78
“Ku rasa memang seharusnya kau menjenguk ibumu,” ucap Thomas. Mereka tengah bersantai di kantin kantor. Dua piring makan siang sudah teronggok di depan mereka. Sisa makanan Jane masih bisa dikatakan banyak lantaran di tengah makan siang keduanya, sebuah telfon mengintrupsi. Dari kepolisian tempat kedua orang tuanya di tahan. Sebuah pesan yang tak pernah ingin ia dengar, ibunya ingin ia datang berkunjung ke kantor polisi. Jane mengalihkan perhatiannya ke luar jendela kantin. Melihat kesibukan kota yang nampak tidak pernah mati. Orang-orang nampak sibuk dengan kegiatan masing-masing, beberapa dari mereka berjalan santai menuju kopi shop yang ada di seberang jalan. Mereka nampak bahagia bercanda gurau di sana. Sampai kemudian, jane melihat beberapa anak kecil nampak berjalan dengan tangan yang di gandeng dua orang dewasa. Mereka nampak berbincang dengan anak-anak nampak sedih. Kemungkinan orang-orang dewasa itu memarahi mereka atau hanya sekedar mengomel. “Apa perlu ku temani?” Jane
Read more
BAB 79
Hampa. Satu kata yang Jane rasakan adalah hampa. Pandangannya mengedar, agak bergidik ketika merasakan hawa dingin menyapa kulitnya. Tatapannya tertuju pada hujan serta gemuruh langin yang belum juga reda dari esok hari. “Kenapa harus hujan,” gumamnya sembari menghela nafas. Jane menundukkan kepalanya, menaikkan selimut untuk menutupi pundak yang telah dbaluk dengan switer tebal milik Vincent. Ketukan air yang terdengar dari balkon cukup nyaring, mengisi kekosongan ruangan yang memang sengaja Jane tempati sebagai tempat istirahatnya hari ini. Sebelum esok ia kembali bekerja. “Aku, bahkan tidak merasakan kesedihan sedikit pun,” ucap Jane lagi. Senyuman terukir sebentar, sebelum kekosongan itu kembali melanda. Tak ada siapapun di tempat itu, hanya dirinya yang berdiri di depan jendela. Sampai kemudian langkah kaki menggema di ruangan lain dan geseran pintu terdengar dengan munculnya seorang pria dengan rambut setengah basah. Vincent datang dengan satu kantung makanan yang ia leta
Read more
BAB 80
“Jangan lupa mampir kembali,” ucap seorang gadis berponiyang tengah melayani kafe di balik meja kasir. Senyuman mengembang di wajahnya yang nampak tirus. Jane sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan tampilan kopi yang disediakan di kafe tersebut, namun pelayanan yang diberikan memberikan kesan tersendiri bagi para pengunjung. “Jane?” Suara yang nampak familiar, membuat Jane yang tadinya fokus pada beberapa laporan di tabletnya kini beralih fokus. Suara bicang di sekitar membuatnya sadar jika ia sedari tadi tak terlalu memperhatian apa yang terjadi di sekitarnya. Sampai kemudian panggilan itu ia terima. Shopia, wanita itu berdiri di sampingnya dengan satu gelas kopi di tangan. Alis kanan Jane terangkat, menatap bingung pada wanita yang dulu pernah hampir merebut kekasihnya atau bisa juga dikatakan wanita yang merusak hubungannya dengan Vincent. Mendapatkan tatapan datar dari Jane, Shopia hanya tersenyum kecil. Tanpa tahu malu, ia malah duduk di kursi depan Jane. “Aku tidak menya
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status