Home / Pernikahan / Istri sebatas harapan / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Istri sebatas harapan : Chapter 31 - Chapter 40

49 Chapters

H.31

"Nisa, kok melamun," tegur Ilham lalu aku tersadar setelah ia mengusap kepalaku. Rambut panjangku gerai, lurus hitam dan cukup lebat, Ilham suka berlama-lama mengusapnya. "Ham, ini ...." Tak mau menutupi apapun, aku menunjukkan isi pesan dari Farid. Aku khawatir akan reaksinya, marah atau takutkan ia? Nyatanya Ilham tersenyum tipis lalu memelukku erat. "Aku yakin kamu mampu menepati janjimu, jadi aku tidak perlu khawatir apapun juga, bukan?" Lega rasanya, kuanggukkan kepala mantap. Yakin dengan jawaban yang akan aku berikan. Kuantar kepergian suami ke kantor hingga ke depan pagar. Tak lupa memakai hijab. Pagar aku tutup dan gembok, karena aku berencana berada di kamar untuk merapikan beberapa pakaian kami yang belum ditata ke dalam lemari semua. Ilham mengizinkanku berdagang hijab dan pernak perniknya tapi secara online, ia khawatir jika aku mengendarai mobil sendirian lalu belanja. Semua online pokoknya. Satu persatu pakaian Ilham aku atur ulang sesuai warna, terlihat rapi dan m
Read more

H.32

Suara musik mengalun indah di kedai kopi yang jadi tempat aku janji bertemu Farid. Sudah lima belas menit aku duduk, green tea latte pesananku sudah habis setengah.Ia datang, wajahnya tampak kusut karena banyak tekanan dalam hati yang tidak bisa diungkapkan. Aku tau Farid, bukan tipe laki-laki yang suka berbagi cerita, lebih mengarah ke menyembunyikan."Assalamualaikum, Anisa," sapanya dengan wajah penuh rindu, aku tau itu."Waalaikumsalam," balasku sambil tetap duduk bersandar. Farid duduk di hadapanku, ia menahan haru karena melihatku dengan perut membesar.Kehamilanku sudah masuk ke lima bulan, aku sengaja mengulur waktu bicara dengannya karena mau melihat sejauh mana ia sabar."Anakku sehat?" Ia menunjuk ke perutku."Alhamdulillah, sehat, tumbuh sempurna dan ... laki-laki." Sengaja aku langsung memberitau gender anak ketiga kami.Farid tersenyum lebar namun dari sorot matanya aku tau ia begitu haru sekaligus senang karena memang ia mau memiliki anak laki-laki."Jagoan kita," liri
Read more

H.33

Tak percaya dengan siapa yang kulihat. Siska masuk ke ruangan tempat kami makan, ia tak sendiri tapi bersama seorang laki-laki. Rambut Siska ia potong pendek sekali, warnanya berubah coklat terang.Ilham mengusap jemari tanganku, meminta mengabaikan Siska yang tampaknya tak sadar ada aku dan Ilham.Kami lanjut makan tapi hatiku dongkol, ingin rasanya memaki Siska. Namun percuma juga, toh masa depanku bersama Ilham sekarang ini.Segera kami pulang ke rumah setelah membayar, aku terkejut saat Siska menatap tajam ke arahku dengan kobar amarah tertanam di kedua mata tapi raut wajah datar. Sungguh menyeramkan, begitu bengis menatapku saat sedang menerima uang kembalian di kasir."Siska lihat aku sepertinya dia benci aku, Ham," kataku sesaat setelah duduk di dalam mobil."Jangan pikirkan. Kita juga tidak tau dia muncul lagi karena apa. Siapa laki-laki tadi juga kita tidak tau. Dosa kalau berpikir yang bukan-bukan. Mau langsung pulang atau beli sesuatu dulu?" Ilham melajukan mobil dengan pel
Read more

H. 34

Aku menjadi was-was, hari ini masuk minggu ke dua dengan lima surat kaleng lainnya. Sudah bukan darah binatang, tapi hanya kertas berisi pesan mengancam dan fotoku.Siska sepertinya mengincar psikisku. Apalagi kondisi hamil gini mudah stres.Ilham terus memberikan semangat supaya jangan dipikirkan. Belum tentu hal buruk akan Siska lakukan. Siapa tau hanya mengancam.Aku harus pergi mengirim barang pesanan pembeli kerudung jualanku ke jasa pengiriman. Terpaksa keluar rumah tanpa Ilham. Dalam hati aku berdoa supaya dijauhkan dari mara bahaya.Kembali mengemudikan mobil sendiri, perlahan ku arahkan mobil keluar dari garasi rumah. Tak lupa aku izin ke suamiku yang meminta aku terus menghubunginya.Aku istighfar dalam hati tanpa henti supaya tenang, karena bagaimanapun juga rasa was-was itu perkara setan yang bermain. Setelah menarik napas panjang lalu menghembuskan pelan, aku bisa lebih tenang.Kirim paket selesai, tak langsung pulang karena mau mampir membeli buah-buahan untuk stok di ru
Read more

H. 35

Aku, koma sepuluh hari? Sungguhkah?Tatapan kedua orang tuaku begitu penuh haru namun juga lega, mungkin karena aku kembali sadar. Akan tetapi semua menjadi sepi serta hening saat Ilham memberitau jika Ibnu, anak ketigaku meninggal.Duniaku runtuh seketika, pikiranku kosong serta pandangan hanya mengarah pada langit-langit kamar rawat rumah sakit.Hanya tinggal aku dan Ilham di kamar rawat. Kedua anakku pulang ke rumah bersama para orang tua, pulang ke rumah Ilham.Tubuhku masih terasa susah bergerak, apa aku lumpuh?Ilham mendekat, dikecupnya kening juga kedua pipiku. "Ham, apa ... aku lumpuh?" lirihku mendekati berbisik pelan.Ia menggelengkan kepala. "Bukan lumpuh total, hanya sementara akibat tulang belakang kamu cedera, tapi tidak apa-apa karena kata dokter dengan terapi nanti perlahan semua normal.Kepala kamu terbentur keras, itu yang membuat kamu koma. Operasi darurat langsung dilakukan untuk cek kandungan kamu. Qadarullah, sudah kehendakNYA, Ibnu meninggal dalam kandungan."B
Read more

H.36

Aku merasa jika kondisi fisik tak sesuai harapan lagi. Dua bulan semenjak kecelakaan, terapi yang dijalankan masih belum membuahkan hasil.Sampai kini masih saja aku duduk di kursi roda. Hidup mengandalkan bantuan asisten rumah tangga yang dibawa ibu dari kampung. Mbak Warsih namanya, wanita empat puluh tahun dengan satu anak yang sudah bekerja di minimarket. Dia dulu menikah muda.Tetangga ibu di kampungku, yang suaminya buruh tani di ladang milik pak lurah."Nisa mau Mbak buatkan teh jahe?" tawar Mbak Warsih yang mendapati aku sedang melamun menatap hujan di teras rumah."Ah, iya, boleh, Mbak. Sambil saya tunggu Ilham pulang kerja," sahutku. Mbak Warsih kembali ke dalam rumah. Kepalaku tertunduk, menatap kedua kaki yang lemas. Bukan mati rasa total, hanya saja untuk bergerak atau berdiri tak ada tenaga.Sudah sering aku jatuh karena mencoba berdiri dan berakhir membuat Ilham marah-marah hingga aku dilarang keras olehnya memaksakan diri.Sungguh mentalku sebagai istri mulai terganggu
Read more

H. 37

Selamat membaca, ___________ Pilihanku jatuh ke negara Swiss, Ilham juga setuju. Semua diurus aku dan Ilham, mulai dari menghubungi travel agent hingga mengatur urusan rumah. Hari yang kami tunggu tiba, Ilham memesan taksi untuk kami berangkat ke bandara. Kursi roda ia belikan yang baru, lebih ringan dan mudah dibawa. Kurapikan hijab sambil mematut di cermin. Ia berdiri di belakangku dengan kedua tangan memegang bahuku. "Udah cantik, sayang," pujinya. Aku tersenyum. Kuraih tangannya lalu aku mengecup jemarinya. "Maaf kalau repotin kamu karena kondisiku, Ham." Ilham menggeleng, sedetik kemudian ia peluk diriku. Diciumi pipi kiriku berkali-kali. "Jangan pernah berpikir kamu merepotkanku, Nisa. Jangan, ya. Siap berangkat?" Kami menatap lewat pantulan cermin, senyumku merekah. Selanjutnya ia mendorong kursi roda hingga menuju taksi. Bibi berpesan supaya kami jangan memikirkan apapun, rumah akan aman. Perjalanan sampai bandara diiringi obrolan ringan. Saat melihat raut waja
Read more

H. 38

Selamat membaca kembali. ____ Harapan. Aku sepertinya ingat sempat lupa jika setiap manusia harus memiliki hal tersebut walau sedikit. Kini aku tau saat ujian datang menyapa, bersamaan dengan itu selalu ada harapan untuk bangkit. Senyumku merekah seiring dengan Ilham yang bercerita tentang impian dan cita-citanya. Sambil menikmati sarapan kami di teras hotel berupa secangkir besar susu hangat dan aneka roti khas perancis, membuat suasana obrolan kami semakin seru. Sesekali aku membersihkan sisa remah kue dari sudut bibir Ilham sambil menyimaknya bercerita. Aku baru tau jika suamiku suka dengan alam, pantas saja ia mengajakku ke Swiss. Ia juga suka aktifitas outdoor, bahkan memimpikan jika punya anak laki-laki, akan diajak berkemah, bahkan naik gunung. Ilham tidak kaku ternyata, kupikir karena penampilannya yang sering terlihat alim, gaya bicara bahkan pola pikirnya serius. Nyatanya aku semakin hari semakin menemukan kenyamanan dan benih cinta untuknya semakin tumbuh. "Aku mau t
Read more

H. 39

Terapi yang aku lakukan membuahkan hasil, sudah dua bulan ku jalani terlihat jelas hasilnya. "Bi, coba tolong lihat siapa yang datang?" kataku meminta bibi membuka pintu depan. Aku sendiri sedang sarapan dan bersiap berangkat terapi diantar sopir. "Iya, Bu." Bibi berjalan ke arah pintu, tak lama terdengar bibi berlari ke dalam. "Bu, Ibu ... ada polisi, Bu, tiga orang." Dengan wajah takut dan sedikit gemetar bibi memberitahu. Segera aku berjalan walau perlahan, terlihat tiga polisi memakai pakaian serba hitam dengan kalung lencana berdiri di teras. "Selamat pagi Bu Annisa," sapanya. "Pagi, Pak. Ada apa, Pak?" Sedikit degdegan, aku takut hal buruk terjadi pada suamiku. Entah pikiranku langsung mengarah ke sana. "Bu, bisa ikut kami ke rumah sakit? Apa Ibu kenal Pak Farid?" Mas Farid? Kenapa dengannya. "Kenal, Pak. Saya mantan istrinya. Ada apa ya, Pak?""Pak Farid jam tiga tadi dibawa ke rumah sakit dengan kondisi luka pada beberapa bagian tubuhnya, tepatnya Pak Farid terlibat pe
Read more

H. 40

Halo kembali lagi, selamat membaca ______Mas Farid sudah semakin baik, ia diinterogasi lebih rinci oleh polisi. Aku sendiri tau kabar itu dari mantan ibu mertuaku yang juga meminta aku tak perlu datang ke rumah sakit lagi dengan alasan jika aku tidak perlu terlibat. Hanya saja, aku pun dipanggil polisi terkait kecelakaanku kala itu. Dengan langkah perlahan aku masuk ke ruang interogasi kantor polisi ditemani Ilham yang lagi-lagi harus cuti untuk urusanku. Keterangan aku berikan sejujurnya dengan saksi yang sudah ditetapkan mereka juga. Akhirnya, setelah pemeriksaan beberapa lama dan kondisi Siska membaik, mereka memindahkan wanita itu keluar dari rumah sakit dan di bawa ke sel tahanan khusus. Saat aku dan Ilham hendak pulang, kami berpapasan dengan tiga orang berpakaian rapi, ternyata mereka wakil keluarga Siska. Sepertinya keluarga wanita itu tak bisa tinggal diam pada akhirnya dan membela Siska. Apalagi nama besar keluarga begitu terpandang. "Pada akhirnya keluarga Siska kemb
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status