Home / Pernikahan / Terpaksa Menikahi Ibu Guruku / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Terpaksa Menikahi Ibu Guruku: Chapter 31 - Chapter 40

45 Chapters

31. Demi Minyak Goreng

“Mo, kerjaan apa yang gampang, tapi duitnya banyak?” Bimo menoleh. “Main tebak-tebakan lo?” “Bukan … gue lagi nyari kerjaan, Mo! Yang duitnya banyak tapi kerjanya ringan. Apaan?” “Aha! Gue tahu!” Bimo menjentikkan jarinya “Apaan?” Aku merapatkan tubuh ke Bimo saking keponya. “Kerja aja di kantor bapakmu!” Ia lalu terkekeh. Spontan aku mendorong bahunya. “Mana ada! Gue bakal dijadiin bulan-bulanan Papa. Lo tahu sendiri Papa gue gimana sekarang. Gue dah kaya anak yang terbuang pokoknya!” sungutku. Kalo di sinetron-sinetron, setelah mengucapkan kalimat ini, akan terdengar bcksound, “Kumenangiiiis … membayangkan ….” “Dududu cup cup ….” Bimo mengusap mataku dengan sapu tangannya. Segera kutepis. “Apa-apaan sih lo! jijik!” “Gue serius ini Mo, gue butuh duit buat beli beras sama minyak goreng!” Bimo tergelak. Sangat keras sampai-sampai seisi kelas menoleh ke arah kami. Untung lagi jam istirahat. Tak banyak siswa yang tinggal di kelas. Bisa dihitung jari sebelah tangan. “MasyaAllah
Read more

32. Lowongan Pekerjaan

"Brader, ada info lowker, nih!” Bimo terengah-engah menghampiriku. Bel masuk tinggal satu menit lagi. Pastilah ia berlari dari parkiran sampai kelas takut terlambat. “Info dari mana?” tanyaku sambil memasukkan tas ke kolong meja. “Dari tiang listrik yang gue lewatin pas berangkat tadi.” Mendengar kata tiang listrik, aku langsung menatap curiga pada Bimo. “Jangan bilang jadi tukang sedot wc atau badut ultah, ya!” “Yee, curiga aja, lo. Lagian jadi tukang sedot wc sama badut ultah juga gapapa Bro, yang penting halal!” Bimo menceramahiku, udah kaya Mamah Dedeh aja dia! “Dicari laki-laki usia minimal 18 tahun untuk bekerja di café” Aku membaca lirih tulisan di kertas yang diberikan Bimo barusan. “Kafé, Mo! Sepertinya bisa dicoba.” “Oke, sepulang sekolah kita langsung ke sana. Gue temenin deh.” Kafé yang membuka lowker ternyata posisinya di pertengahan antara sekolah dan apartemen yang kutinggali. Aku sempat galau jadi melamar atau tidak. Begitu sampai di depan pintu kafé, kucekal le
Read more

33. Kejutan

Sudah seminggu aku bekerja di kafé. Sepulang sekolah aku akan menumpang istirahat sebentar di rumah Bimo, mandi, lalu berangkat ke kafe dengan motor masing-masing, karena arah pulang kami dari kafe bertolak belakang. Masih kurahasiakan perihal ini dari Yura. Tiap kali ia bertanya mengapa pulang malam, aku hanya menjawab habis main dari rumah teman. Biasanya ia akan mengomel, menasihatiku harus lebih banyak belajar dan mengurangi main karena sudah mendekati ujian kelulusan. Rencananya, nanti kalau sudah gajian, akan kuajak ia makan di suatu tempat lalu kuberi tahu bahwa aku sudah bekerja. Akan tetapi, bukannya berhasil memberi kejutan, justru aku yang terkejut ketika ia tiba-tiba muncul di kafe tempatku bekerja. Yang lebih bikin kaget lagi, ia berada di sana dengan Mr.Dika. Mereka ngapain sih? Kencan? Aku mendengkus kesal. Menyesal mengapa tak kubeli alat penyadap suara yang sempat nongol iklannya di socmedku belakangan ini. Kondisi kafe siang ini cukup ramai. Seniorku, Mas Seno, mem
Read more

34. Janji Lelaki

“Reno!” teriakanku membuat Reno dan Yura menoleh. Dengan langkah cepat aku mendekati mereka, lalu “Bug!” Kulayangkan pukulan pada wajah Reno. “Arka!” pekik Yura sedikit tertahan. “Lo jadiin Bu Yura taruhan?!” Pukulan kedua baru akan aku daratkan ke wajah Reno, tapi dengan cepat Yura menahanku, memegang lenganku dari belakang. “Arka, sudah!” “Halah paling lo juga pengen, tapi nggak punya nyali!” Reno maju hendak membalasku, tapi Bimo cepat-cepat mencekal tangannya. “Bu, dia bersama teman-temannya taruhan untuk mendapatkan Ibu!” Aku mengadu, sembari meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari Yura. “Kita selesaikan baik-baik!” sahut Yura tegas. “Nggak bisa Bu! Orang brengsek kayak dia nggak mempan dibaikkin!” Satu tanganku menarik kerah baju Reno, tapi Yura kembali menahannya. “Arka, aku tidak suka suamiku seperti ini," bisik Yura lembut. Ia memelukku dari belakang, mengunci tanganku agar tak bisa bergerak. “Sabar Arka, aku suka laki-laki penyabar,” lirihnya lagi. Akhirnya
Read more

35. Berusaha Keras

POV Azyura Menjelang tengah malam, aku keluar kamar. Kulihat lampu kamar Arka masih menyala. Belum tidurkah ia? “Arka!” Aku mengetuk pintu kamarnya. Tak ada jawaban. Sampai tiga kali kuketuk tetap hening. Aku memutuskan membuka pintu kamarnya. Kulihat ia tidur sambil terduduk di kursi, kepalanya bersandar miring di atas meja yang penuh dengan buku. Aku menghela napas. Tak sampai hati melihatnya begini. Pagi sampai siang harus sekolah, setelah itu lanjut bekerja sampai malam. Masih harus belajar lagi sepulangnya. Usianya baru jelang dua puluh tahun dan tak pernah hidup susah sebelumnya. Memang sih dari cerita yang kudengar, Papa pernah bangkrut. Lalu merintis usaha lagi dari nol. Tapi selama itu, hidup Arka tidak susah-susah amat, kok. Papa masih tetap mengusahakan kehidupan yang layak bagi anak semata wayangnya, meski beliau harus banting tulang, bekerja berkali lipat lebih keras dari sebelumnya di luar sana. “Arka.” Aku mengusap lembut kepalanya. “Bangun, pindah ke kasur. Aku ta
Read more

36. Sebuah Jawaban

“Yura, sudah sampai,” kataku begitu mematikan mesin motor. Hening. Tak ada jawaban. “Yura ….” Segera aku menoleh ke belakang. “Kamu tidur?” Aku terkejut. Bahaya sekali ia membonceng di belakangku sambil tertidur. “Ah, aku ketiduran, ya?” Ia baru membuka mata. “Pantesan, tadi tanganmu aku tarik ke depan sampai memeluk pinggangku diam saja.” Ia melotot lalu mencubit lenganku. “Ih Arka! Kamu curi-curi kesempatan, ya!" Aku tergelak. “Harusnya kamu berterimakasih. Paling tidak dengan memelukku, kamu bisa tidur dengan nyaman.” Yura tak membalasku lagi, hanya kulihat bibirnya yang maju beberapa senti. Pasti kesal karena kugoda. “Apa?” tanyanya saat aku berjongkok di depannya. Kutepuk bahuku sediri. “Kalau masih ngantuk, aku gendong sini, sampai kamar.” “Ih, memangnya aku anak kecil!” Ia mencebik, mendorong punggungku dengan helm yang sudah dilepaskannya. “Jangan pernah pergi malam-malam sendirian, kalau ngantuk kaya tadi bahaya,” kataku begitu kami memasuki lift hendak naik ke lanta
Read more

37. Pacar Pertama

POV Yura “Kita mau ke mana?” tanyaku ketika kami sampai di lift. Arka menekan tombol menuju basement. Hening sesaat, lalu tiba-tiba, ia menggenggam tanganku, menautkan jari jemarinya, membuatku sedikit tersentak. Kaget. “Pegang tangan boleh kan?” tanyanya. Aku mengangguk. Dia suamiku, bahkan dia menyentuhku lebih dari ini pun seharusnya boleh. Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada wajahku. Hah mau apa dia? Spontan aku mundur. “Oh, maaf.” Ia urung mendekat, nampaknya paham dengan penolakanku. “Kupikir kalau sudah pacaran, kita bisa ….” Ia tak melanjutkan kata-katanya tapi aku mengerti apa yang ia maksud. Aku berdehem untuk melepas kegugupan. “Oh, jadi selama ini kalau pacaran kamu begitu ya?” sindirku. “Belum pernah pacaran, kok. Kamu pacar pertamaku.” Aku tertawa sinis. “Bohong. Lalu, Aina?” “Belum sampai pacaran, baru gebetan. Udah mantan sekarang.” “Oh, pantes!” sahutku ketus. Teringat bagaimana Aina peluk-peluk Arka waktu di parkiran. “Cemburu?” Ia melirikku sambil tersen
Read more

38. Pertemuan Tak Terduga

“Silakan buku menunya Ka ….” Aku terkejut begitu wanita yang kusodorkan buku menu itu menoleh. “Arka?” panggil wanita itu. “Ma-ma ….” jawabku terbata, sama sekali tak menyangka akan bertemu Mama di sini. Sudah setahun lebih aku tak bertemu dengannya. Semenjak ia dan keluarga barunya tinggal di Singapura. “Ini kafé milik papamu?” Mama mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Aku menggeleng. “Lalu?” “Arka bekerja paruh waktu di sini, Ma.” “Ada apa? Papamu bangkrut lagi?” Wanita itu berdecak nampak prihatin. Aku tersenyum sinis mendengar dugaannya. “Bahkan usaha Papa berkembang sangat pesat, Ma. Mama selalu begitu, suka merendahkan Papa!” sahutku dengan nada kesal. “Terus, apa maksudnya ini?” Mama memandangku dari atas sampai bawah. “Arka mau belajar mandiri, Ma. Arka sudah menikah jadi harus ….” “Nah! Apa Mama bilang!” Mama menyambar omonganku. “Kamu masih muda Arka, kenapa buru-buru menikah? Seandainya waktu itu Mama tidak sedang sibuk dengan usaha baru Papa Indra, Mama suda
Read more

39. Pegawai Baru

Tanggal merah, aku masuk kafe shift sore. Satu jam sebelum kafé buka, aku sudah datang. Bersih-bersih, merapikan meja kursi, dan aktivitas pre opening lainnya. Pertama kalinya aku kerja tanpa Bimo. Masa kerjanya dua minggu sudah usai. Sebenarnya ia masih ingin memperpanjang lagi, terlanjur nyaman kerja di sini, katanya. Akan tetapi ibunya melarang. Sebagai anak baik, Bimo tentu saja menurut. “Arka!” Suara seorang perempuan memanggilku ketika aku sedang mengepal lantai. Terdengar familiar, tapi aku lupa suara itu milik siapa. Aku mendongak. "Lo kerja di sini?” Ia menunjukkan wajah takjub. Siapapun yang mengenalku, responnya pasti seperti ini, Arka anak pengusaha kaya raya kerja menjadi pelayan kafe, apa yang terjadi? “Mauren?” Aku menatap gadis berambut ikal sebahu itu tak percaya. Sudah sekitar setengah tahun tak ada kabar tiba-tiba kami bertemu di kafe. “Kemana saja selama ini, Ren?” Sebenarnya aku agak pangling. Dengan pulasan make up ia terlihat lebih dewasa dari usianya. “Wah,
Read more

40. Pura-pura Mesra

Masih pagi, saat bersiap ke sekolah usai sarapan, kudengar bel pintu apartemen berbunyi. Ketika membuka pintu, kulihat Mas Deny -sopir Papa-berdiri dengan beberapa kantongan besar berisi penuh barang. Melihat sekilas, sepertinya isinya bahan pangan. “Mas Deny?” “Saya pamit dulu Pak,” kata Pak satpam yang membersamainya. “Iya, makasih bantuannya ya Pak,” jawab Mas Deny. “Mau apa?” tanyaku masih memandang kantongan itu dengan heran. “Dari Bapak.” Bersamaan Mas Deny menjawab, ponselku berdering. “Papa kirim apa, banyak sekali?” tanyaku begitu menekan tombol terima panggilan. “Assalamualaikum, Arka. Kebiasaan kamu terima telepon nggak ngucap salam!” hardik Papa. “Iya … Waalaikum salam Pa …” jawabku. “Papa dengar Ibunya Yura mau datang, jadi Papa kirim bahan makanan untuk kalian.” Ya, adik kandung dari Ibunya Yura di Jakarta akan menikahkan anak sulungnya. Ibu ingin sekali datang. Sebenarnya Yura tak setuju, mengingat penyakit gagal ginjal yang dideritanya, ibu jadi mudah lelah
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status