Home / Pernikahan / SISA CINTA UNTUK ISTRIKU / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of SISA CINTA UNTUK ISTRIKU: Chapter 21 - Chapter 30

42 Chapters

Bab 21

Sepulang dari kantor aku mendapati rumah dalam keadaan gelap gulita. Kutinggalkan Maura yang masih berada di dalam mobil. Aku benar-benar khawatir, takut terjadi apa-apa dengan Mutia. Aku pulang terlambat karena harus menemani Maura belanja keperluannya. "Mutia ...." Aku berteriak sambil melangkah memasuki rumah, mendapati pintunya dalam keadaan tidak terkunci, membuatku semakin panik dan tidak karuan. Itu artinya Mutia ada di rumah, tapi kenapa semua lampu rumah ini belum ada yang menyala.Kaki ini melangkah dengan setengah berlari menuju saklar lampu ruang tamu, saat ini ruangan sudah terang, tapi belum terlihat juga tanda-tanda keberadaan Mutia."Mutia ...." Aku kembali memanggilnya, tetap tak ada jawaban.Semakin kupercepat langkah kaki untuk memasuki kamar kami berdua. Ternyata Mutia juga tak ada di sana. "Arrgh ...." Aku berteriak, mengacak rambutku frustasi. "Mutia, kamu di mana." Aku meracau sendiri."Mas, kenapa panik banget, sih. Mungkin Kak Mutia sedang ke rumah saudaran
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 22

POV MutiaTak ada hal lain yang paling kutunggu selain kedatangan Mas Putra setelah selama seminggu dia bersama Maura.Aku selalu melakukan yang terbaik setiap kali Mas Putra bersamaku. Menyiapkan makanan terbaik, segala kebutuhannya selalu kupenuhi. Berusaha melayaninya semampuku, aku melakukan itu semata-mata untuk menutupi kekuranganku sebagai seorang istri yang tidak bisa memenuhi kebutuhan biologisnya.Ya, aku sudah tidak sanggup lagi melakukannya. Rasanya begitu menyakitkan. Itu juga alasanku memintanya untuk tidak menyentuhku selama dua bulan sejak pernikahannya dengan Maura. Aku yakin, hidupku tidak akan selama itu. Penyakit kanker ovarium yang aku derita menggerogoti organ tubuhku dengan liar. Terakhir aku cek up, Aldiansyah bilang kangkerku sudah memasuki stadium empat, bukankah mustahil untuk aku bisa sembuh kembali. Aku memilih bertahan, demi bakti terakhirku pada sang suami, demi menjaga marwahku sebagai seorang wanita. Karena aku sudah tidak punya siapa pun lagi. Aku ju
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 23

POV Mutia"Ayah ... Bunda ... Mutia datang." Aku bersimpuh diantara tanah merah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir mereka. Mengusap kedua batu nisan dihadapanku.Tidak terasa air mataku terjatuh, lolos begitu saja. Bibirku bergetar, banyak yang ingin aku ceritakan pada mereka. Namun, rasanya sangat sulit untuk mengucapkannya.Hanya beberapa bait do'a yang bisa aku panjatkan, lalu menaburkan berbagai macam jenis bunga di atas tempat peristirahatan terakhir mereka."Ayah, sesuai permintaanmu, aku tetaplah wanita yang kuat meski tanpa kalian di sisiku. Ibu, aku sudah berusaha menjdi istri yang baik untuk suamiku, sesuai dengan keinginanmu." Akhirnya tangisku benar benar pecah."Aku rindu kalian, sangat. Tapi Bunda dan Ayah tidak perlu khawatir, tidak lama lagi aku akan datang. Kita akan segera berkumpul, hanya tinggal menghitung waktu saja." Kupaksakan tersenyum, meski rasanya sulit mengukir sebuah senyuman disaat hati kita benar-benar di patahkan oleh orang yang paling kita say
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 24

Saat ini aku sudah berdiri di depan rumah Bapak dan Ibu. Aku bingung, harus masuk atau tidak. Kalau mereka bertanya kenapa aku mencari Mutia, aku harus menjawab apa, tapi kalau hanya berdiri di sini, mana aku tau Mutia ada dimana.Saat aku sibuk dengan pikiranku, tiba-tiba Ibu keluar."Loh, Putra. Ngapain malem-malem berdiri di sana? Ayo masuk. Ibu mau ke warung depan sebentar, stok kopi bapakmu sudah habis soalnya." "Ahh, iya, Bu. Aku masuk. Emmh, atau Ibu mau kuantar?" tanyaku."Tidak perlu, kamu masuk saja temani bapakmu. Warung 'kan deket, Put." Ibu terkekeh pelan. Aku hanya tersenyum canggung, pasti Ibu tau aku hanya basa basi.Di dalam rumah kulihat Bapak sedang menonton acara TV. Aku pun mendekatinya."Assalamu'alaikum, Pak." Aku mencium tangannya dengan takzim."Wa'alaikumsalam warohmatulloh, sendirian kamu, Put?" tanya Bapak. Dia menurunkan kacamatanya sampai batas hidung, lalu menaikannya kembali."Iya, aku sendirian, Pak." Aku memaksakan untuk sedikit tersenyum."Hhhh. Ba
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 25

Hari ini aku datang ke rumah sakit tempat Aldiansyah praktek. Syukur kalau bisa bertemu dia di sini, seandainya enggak pun yang penting bisa mendapatkan alamat rumahnya. Kulihat seorang perawat wanita lewat di depanku."Sus, apa Dokter Aldiansyah ada jadwal praktek hari ini?" tanyaku padanya."Dokter Aldiansyah praktek siang ini, Pak, jam sebelas," jawabnya lugas."Oh, iya. Saya ada keperluan dengannya, saya suami dari pasien Dokter Aldiansyah. Apa bisa saya meminta alamat rumah beliau?" Aku berbicara sesopan mungkin, agar terlihat meyakinkan."Emmh, mohon maaf, Pak. Saya tidak bisa membantu, bukan ranah saya untuk berbicara ini. Saya permisi." Suster itu berjalan melewatiku."Tunggu!" Teriakanku menghentikan langkah suster muda itu. Dia menoleh padaku."Saya mohon, Sus. Ini sangat mendesak, terkait dengan kondisi istri saya." Aku memelas.Suster itu hanya tersenyum dan menggeleng, lalu melanjutkan berjalan lagi meninggalkanku.Arrgh, sial. Aku kira ini akan mudah. Sepenting apa, sih
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 26

Sudah tiga hari ini Mutia pergi dari rumah. Entah dimana dia tinggal dengan kondisinya yang lemah seperti itu. Aku sangat khawatir pada keadaan Mutia.Aku yang harus tetap bekerja membuat waktuku untuk mencari Mutia begitu terbatas.Lihatlah, tiga hari selepas kepergian Mutia, rumah ini begitu kacau. Aku sampai pusing melihatnya. Perabotan sudah penuh dengan debu, lantainya tidak pernah di sapu atau di pel. Piring dan gelas bekas makan madih menumpuk di westafel, Maura tidak pernah menyentuhnya. Alasannya takut kukunya rusak dan tangannya jadi kasar. Ahh, beginilah rasanya memiliki istri yang hanya pandai merawat diri. Semua pekerjaan rumah terbengkalai. Ini hari libur, aku memanfaatkan waktu untuk membereskan rumah. Sebenarnya bisa saja aku menyewa asisten rumah tangga, tapi Mutia memilih untuk melakukannya sendiri. Aku tidak tau alasannya, padahal ini sangat melelahkan.Aku bingung harus mulai dari mana, hingga akhirnya sapu dan pel-an yang menjadi pilihanku. "Maura, bantulah aku
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

BAB 27

Aku menjatuhkan bobotku di sofa ruang tamu. Lalu membalik amplop yang ada di tanganku. Aku begitu syok saat melihat tulisan yang tertera di belakang amplop yang kupegang."Mutia," ucapku lirih.********Segera saja aku membuka surat yang ada di dalamnya. Dadaku benar-benar terasa sesak. Tak sanggup membacanya lagi aku melemparkan surat itu ke atas meja. Aku meraup wajahku kasar."Mutia, kamu gegabah," lirihku pelan. "Lho, Mas. Katanya mau nunggu di mobil?" Maura bertanya lalu duduk di sampingku.Aku tidak menjawabnya, pikiranku benar-benar kacau saat ini. Kulihat Maura mengambil surat yang ada di atas meja."Apa ini, Mas?" tanya-nya lagi."Mas, pengadilan agama? Kak Mutia menggugat cerai?" Sebuah pertanyaan yang tidak perlu aku jawab. Karena jawabannya sudah jelas. Ahh, aku benar-benar gusar. "Mutia, apa yang kamu lakukan?" lirihku pelan."Bagus, dong, Mas. Itu artinya aku bakalan jadi istri satu-satunya, yes." Maura bersorak gembira dengan kabar ini. Sebuah ucapan yang seharusnya t
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 28

"Maura, kita harus segera menyusul Mutia. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus tau dimana Mutia saat ini tinggal, dan siapa gadis yang bersamanya tadi." Aku menarik paksa tangan Maura."Mas, pelan-pelan. Aku lagi hamil anak kamu, loh, ini. Kalau terjadi apa-apa gimana?" Maura terlihat kesal dengan kecerobohanku."Maaf, maaf, Sayang. Aku lupa, buru-buru soalnya, takut keburu hilang mobil yang membawa Mutia." Aku mengelus perut rata Maura. "Mas, dari pada repot-repot menyusul Kak Mutia, lebih baik kita berbagi kabar bahagia ini dengan orang tua kita, mereka pasti sangat senang, Mas." Maura merengek manja, lengannya bergelayut manja di tanganku. Aku hanya tersenyum menghadapi tingkahnya.Aku tahu Maura sedang mengulur waktu. Tentu saja, karena dia tidak akan pernah suka jika aku lebih memprioritaskan Mutia.Tanpa banyak bicara, langsung saja aku membopong tubuhnya. Dengan langkah cepat segera menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil. "Arrgh, sial! Aku kehilangan lagi jejaknya," umpatku
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

BAB 29

"Tapi, kamu dan Maura harus pergi dari rumahku." Lanjutnya lagi, senyuman yang baru saja terukir kini harus pudar kembali.Sungguh, aku tidak mengerti sama sekali. Apa yang di maksud dengan 'harus pergi' oleh Mutia.*******"Apa maksud kamu aku harus pergi?" tanyaku memastikan. Aku menatap dalam manik indah milik Mutia."Aku rasa kamu paham, Mas," jawabnya dingin. Kenapa Mutia jadi seperti ini? Ini bukan Mutia yang aku kenal."Mutia, aku tau kamu wanita baik, istri yang selalu berbakti pada suami. Kenapa sekarang kamu tega berbicara seperti ini? Mengusir suamimu sendiri?" tanyaku heran. "Mas, tidak kah kebaikanku selama ini kamu anggap sebagai baktiku terhadap seorang suami? Aku sampai rela berbagi cinta dengan wanita lain, untuk apa? Untuk kebahagiaanmu, untuk mempertahankan rumah tangga kita. Adakah kamu sebagai suami menghargai perasaan aku sebagai istrimu?" Mutia berurai air mata. Entah sesakit apa yang dirasakannya, dia meremas jilbab di bagian da*anya. "M-Mutia ...." Ucapanku t
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Bab 30

POV 3 (Author)Selepas kepergian Putra dan Maura, Mutia mengunci dirinya di kamar. Dia menangis sesenggukan, betapa hatinya begitu hancur saat ini. Perjuangannya untuk tetap bertahan di tengah badai yang menerpa, harus berakhir sampai di sini. Pertahanannya selama ini harus berakhir dengan sia-sia."Aku gagal, Ayah, Bunda. Aku gagal menjadi istri yang baik. Maafkan Mutia, betapa pun Mutia mencoba ikhlas dan kuat, nyatanya hati ini begitu rapuh." Mutia tersedu memeluk lututnya sendiri, wajahnya terbenam di antara kedua lengannya."Peluk Mutia, Ayah. Dekaplah aku, Bunda. Aku merindukan kalian," lirihnya. Suaranya melemah, semakin hilang dan tenggelam diantara isak tangisnya. Mutia pun kehilangan kesadarannya.Begitu berat beban yang ditanggung Mutia. Beban hati dan pikiran membuat kesehatannya semakin menurun.Dari luar, Aldiansyah dan Viona mencoba memanggil Mutia. Namun, tak ada jawaban sama sekali. Mereka begitu khawatir dengan keadaan Mutia. Mereka sangat paham dengan apa yang tengah
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status