Home / Pernikahan / Suami Egois / Chapter 1 - Chapter 9

All Chapters of Suami Egois : Chapter 1 - Chapter 9

9 Chapters

Akad Nikah

POV Fauzi “Saya terima nikah dan kawinnya Bening Sari binti Haji Ramadhan, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” ucapku sebagai lelaki yang detik ini juga telah berubah statusnya. Dari bujangan menjadi seorang suami dari perempuan yang sebenarnya tidak aku inginkan. Selesai akad nikah dibacakan, kemudian pengantin yang sangat tidak aku harapkan, datang dibawa oleh adiknya. Iya, aku sangat menginginkan adiknya—Embun Suci, bukan kakaknya. Kenapa? Sederhana saja alasannya, adiknya lebih cantik dan banyak kelebihan dibandingkan kakaknya. Bukankah wajar kalau seorang laki-laki mapan sepertiku mencari perempuan cantik? Istilahnya sekufu. Kalau istri tidak cantik, kalau mata tidak puas memandang, maka setia hanyalan sebuah isapan jempol saja. “Nak Fauzi, ini putri Bapak, Bapak serahkan padamu.” Bapak mertuaku agak berat melepas anaknya. Dari yang aku dengar, antara Bening Sari dan Embun Suci, beliau ini lebih menyayangi Ning—panggilan dari Bening sendiri. Panggilan dari Embun Suci,
Read more

Taat Suami

POV Fauzi Di sinilah kami berdua. Selesai akad nikah yang baru siang hari menjelang dzuhur tamu-tamu mulai pulang. Ya, masih pesta kecil saja karena yang besarnya baru akan diselenggarakan dua minggu kemudian. Ah, sebenarnya malas pesta, coba saja bisa aku skip, alasan kerja atau apalah, tapi rasanya nanti tidak enak dengan Suci, bukan dengan Ning—istriku yang sekarang ada satu kamar denganku. Dia duduk diam saja, mungkin berharap aku melakukan sesuatu seperti di film-film barangkali. Yang ada kepalaku sedang sakit karena tadi sempat bersalaman dengan Suci, dan aku jadi kepikiran sampai sekarang, jujur saja hal ini sangat menyesakkan. Membayangkan adik iparku bersalaman, berdekatan, saling melempar senyuman, dan bercanda tawa dengan Alfian. Sungguh aku ingin merebut adik iparku itu dari tangan pacarnya. “Ehm, Mas—” “Diam. Saya lagi sakit kepala, jangan ajak bicara dulu.” Aku langsung memotong perkataanku istriku. Tepat sekali, dia langsung diam karena teguranku. Istri yang baik.
Read more

Perdebatan

POV Fauzi Aku melihat Ning keluar dari rumah. Diantar oleh bapak mertua dan Suci. Licik juga perempuan ini. Cuma aku suruh bertukar baju saja susahnya minta ampun. Rasanya tak salah kalau aku meminta istriku tampil lebih cantik. Supaya aku tidak malu di depan orang lain. “Zi, jaga Bening baik-baik, ya. Dia ini anak kesayangan saya.” Bapak mertuaku mengulang lagi kalimat yang sama saat ijab qabul tadi pagi. Ya, tentu saja untuk urusan lahir aku jamin Bening tidak akan kekurangan apa pun. Tapi untuk urusan hati ya tidak bisa dipaksakan. “Iya, Insya Allah, Pak, Ning akan saya jaga sebaik-baiknya.” Aku tersenyum ke arah istriku yang duduk di sebelahku. Dia balas tersenyum juga. Oh, sungguh baik hatimu, Ning, tapi baik saja tidak cukup membuatku jatuh cinta padamu. “Mas, jangan lupa, Mbak Ning alergi sea food. Bisa masuk rumah sakit dia kalau makan yang jenis-jenis itu.” Suci ikut-ikutan memberi nasehat. Apa pun katamu, Ci, akan aku dengarkan.“Baik, Adik Ipar, Mas pergi dulu, ya, sa
Read more

Hinaan

POV FauziNing istriku. Aku tak peduli walau aku tak cinta dengannya. Walau ilmu agamanya lebih tinggi dariku. Dia tetap berada di bawah kendaliku. Aku yakin Ning tahu akan hal itu. Dia akan paham mengapa aku begini dan mengapa aku begitu. Semua karena dia sudah 100% menjadi hakku, mau aku jadikan keset kaki juga tak masalah. “Atur semua baju di dalam lemari,” ucapku padanya ketika sampai di kamar hotel. Setiap hotel yang aku bangun, selalu ada kamar khusus untukku. Memang hotelku bukan bintang 4 atau 5 tapi aku bisa pastikan fasilitas di sini juga sangat baik. Terlebih lagi hotelku memenangkan predikat sebagai hotel syariah. Tidak ada buku nikah atau copiannya, pasangan muda-mudi tidak boleh menginap di hotelku. Ini sudah menjadi bukti bahwa aku lelaki yang paham ilmu agama. Jelas sekali Ning berutung memilikiku dan aku yang sial menikah dengannya. “Tapi, Mas, nggak bawa baju, ke sini,” jawabnya. “Ya baju kamu, Ning, bukan baju saya. Urusan baju saya bisa diurus sama resepsionis
Read more

Pengaruh Pergaulan

Bagian 5 Pengaruh Pergaulan “Eh, iya, iya, maaf, Ning, maaf, Mas nggak bermaksud seperti itu.” Aku berusaha memperbaiki diri, sayang sekali kalau tidak jadi malam pertama. Sudahlah aku keluar mahar sekian gram emas. Masak anak gadis orang tidak jadi aku coba. Terserahlah, mau dia gadis, atau mungkin dulu pernah ehem ehem dengan siapa pun, yang penting malam ini rasa penasaranku terpuaskan. Ini yang paling penting.Aku melihat Ning hanya diam saja, seharusnya hati wanita alim sepertinya seluas samudra. Aku sering melihat kasus seperti ini. Seorang suami sudah selingkuh sampai hubungan badan berkali-kali tetapi masih dimaafkan oleh istrinya. Artinya, kalian para perempuan makluk yang mudah dimanipulasi, dibohongi dan dibodohi. Selingkuh itu cara sembuhnya cuma struk, mati, dan jatuh miskin. “Sayang, maafin, Mas, ya, Mas, memang salah bicara tadi. Ya, siapa tahu dulu kamu pernah nikah, Ning.” “Status saya di buku nikah anak gadis, Mas, bapak saya tahu menjaga saya, saya juga bukan p
Read more

Salah Pengajian

Bagian 6 Salah Pengajian Aku puas sekali tadi malam dengan pelayanan Bening. Tak kusangka dibalik jilbabnya yang lebar itu ternyata dia … ya begitulah. Kupikir dia akan diam seperti batu saja, dan aku yang menguasai permainan. Ternyata hmmm, dia mengesankan sekali. Benar ternyata kata teman-temanku. Kalau perempuan berjilbab lebar itu justru lebih mahir untuk urusan domestik yang satu itu. Alasannya, karena sebenarnya mereka juga sudah lama ingin, tetapi ditahan karena tak ada lawannya. Ya, tepatnya tidak ada yang mau dengan Bening, selain aku tentunya. Maka Ning sudah seharusnya berterima kasih padaku karena telah menaikkan statusnya jauh lebih terhormat, dari perawan tua menjadi seorang istri. Tentu semua orang tahu bagaimana posisi istri, terutama di Indonesia. Negara yang amat sangat menjunjung patriarki. Istilah pepatahnya surgo manut, neroko katut. Suami masuk neraka istri ikut, ke surga pun begitu. Ya, jadi hidup seorang istri memang sangat bergantung pada suaminya. Untun
Read more

Tiga Perempuan

Bagian 7Tiga Perempuan “Nggak apa-apa, Rahma, santai aja. Kayak sama orang lain aja kamu bicara.” Aku melanjutkan laju mobil agar kami lekas sampai ke tujuan. Kemudian kami berdua membisu dalam keheningan. Sesekali kulirik janda berkelas di sebelahku. Heran, padahal sudah sempurna dengan jilbab dililit leher dan cantik jelita, entah kenapa mamaku tak mau menerimanya sebagai menantu. Apakah Mama uderestimate dengan janda? Padahal beliau juga janda. “Mas,” panggil Rahma dengan suara manja. “Iya, kenapa? Gaji kurang?” Aku membelokkan mobil ke tempat tujuan kami. “Bukan itu?” Dia cemberut, lucu sekali. “Terus?”“Rahma perhatikan, Mbak Bening teduh ya wajahnya. Khas ustadzah gitu, Rahma jadi segan sama beliau.” Hah, gak salah kata Rahma. “Rahma, mata kamu rabun atau gimana?” Kemudian kami berdua keluar dari mobil sambil tetap berbincang-bincang. Aku masih menjalankan kebiasaan lamaku, memegang tangan Rahma. Ah, udahlah, hanya pegang tangan saja tanpa ada unsur apa pun. “Loh, mema
Read more

Skin Care

Bagian 8 Skin Care “Ah, nanti saja bahas masalah itu, Rahma. Masih terlalu dini. Mas masih harus mengurus resepsi dua minggu lagi sama Bening. Jadi rasanya kayak mustahil gitu ngomongin nikah lagi sama dia.” Aku mengerti sekali maksud Rahma. Cuman, memang tabu sekali rasanya, bisa-bisa aku dibunuh sama mamaku. “Iya, Mas, nggak apa. Rahma bisa nungguin, kok, asal Rahma jangan dipecat aja. Cari kerja sekarang susah, mana bapaknya anak-anak nggak pernah kasih nafkah. Rahma beneran jadi single parent. Capek, pengen ada yang nafkahin.” Rahma curhat lagi, kasihan aku melihat wanita secantik dia harus menderita. Seharusnya, ya, Rahma diperlakukan sebagai ratu. Bening saja yang muka pas-pasan tidak akan aku izinkan kerja. Apa kata dunia nanti? “Yuk, Rahma.” Aku berdiri lalu membayar tagihan makan siang. Nggak apa-apa sesekali keluar biaya mahal demi mentreate seorang perempuan cantik. Jangankan sea food, isi lautan aku beli supaya Rahma bisa bahagia. “Mau ke mana lagi emangnya, Mas?” “L
Read more

Menghayal

Bagian 9 Menghayal Bener-bener si Bening ninggalin aku meskipun aku berat melepasnya. Sudah punya istri wajah pas-pasan, melawan pula. Apa bagusnya coba? Aku telpon dia setelah dua jam keluar dari kamar hotel. Yang jawab malah Suci. Ya nggak apa-apa, sih. Tapi kenapa dia malah jawab ketus, ya. Harusnya Suci bicara lemah lembut padaku. Katanya Bapak mereka sakit, malah sekarang sedang on the way menunggu taksi mau ke rumah sakit. Kenapa nggak bilang dari tadi? Kan, bisa aku yang ke sana cari muka. “Dek Suci, tunggu, ya. Mas sebentar lagi ke sana.” Aku langsung menutup panggilan. Ngebut aku membawa mobil. Asalkan cepat sampai ke rumah mertuaku. Anggap saja ini perjuangan untuk membawa nama baikku di depan adik ipar. Soal Bening, ah, terserah dia saja mau gimana. Hampir satu jam aku baru sampai di depan rumah mertuaku. Sialnya aku keduluan lagi sama Alfian. Ah, gara-gara Bening. Coba dia jujur kalau bapaknya butuh kendaraan ke rumah sakit. Aku pasti ulurkan bantuan. Dasar, istri p
Read more
DMCA.com Protection Status