"Ayah, aku memang pernah sangat membencimu, ta-tapi itu dulu saat aku belum berdamai dengan hatiku sendiri." Aku memulai kalimat pertamaku dengan terbata di antara suara Isak yang belum sepenuhnya reda.Sembari mengusap wajah dengan tisu yang memang berada di atas meja, aku kembali melanjutkan, "saat aku mulai dewasa dan mencoba memahami keadaan, kebencian itu sedikit luntur berganti dengan perasaan tidak peduli, bahkan, -maaf Ayah- aku pernah sampai pada tahap menganggapmu juga telah tiada seperti halnya Ibu."Aku lihat Ayah menyeka matanya, mendengarkan semua kalimatku dengan seksama."Bicaralah lagi, Nak, kenapa diam?" Ayah menanggapi karena aku berhenti bersuara."Saat temanku mencoba memperlihatkan foto Karina di Instagram, aku pun sudah apatis untuk percaya bahwa mungkin kita akan bertemu di dunia ini, Ayah ..."Aku kembali berhenti berucap, menunggu respon Ayah, ternyata beliau tetap diam menunggu kalimat demi kalimat dari bibirku."Sekarang, aku sudah berdamai dengan hati dan
Read more