Semua Bab Kematian Wanita Perawan Setelah Suamiku Pulang : Bab 21 - Bab 30

45 Bab

21. Tega Kamu, Mas!

"Tapi apa sesuatu yang najis bisa dibuat obat, Buk?" Mira menatapku penuh tanya. "Obat? Gak bisa dong, Nak. Darah haid kan kotor. Yang namanya kotor gak bisa buat obat," sahutku sembari tertawa pelan. Aku merasa lucu dengan pertanyaan Mira. Bisa-bisanya dia memiliki pikiran demikian. "Tapi kenapa Bapak memintanya untuk dijadikan obat, Buk. Memangnya Bapak sakit apa?" tanya Mira polos. Bola matanya berbinar menatapku. Deg! Sontak aku mendelik kaget mendengar perkataan Mira. "M-minta?" gumamku shock. Detak jantung seolah berhenti sesaat. "Iya, Buk. Bapak sering minta pembalut bekasku buat obat katanya. Memangnya Bapak sakit apa, Buk? Apa sakit Bapak parah?" Mira terus berkata dengan polosnya. Sementara aku, dunia seolah runtuh seketika. Lidahku kaku. Aku tak bisa berkata. Hendak menelan ludah pun terasa begitu sulit. Rasanya detak jantung hendak berhenti saat itu juga. Aku menatap Mira dengan linangan air mata yang tiba-tiba saja menggenang. Aku memandangnya penuh sesal da
Baca selengkapnya

22. Mas Darma Di Kolong Rumah!

"Ohh jadi darah haid benar bisa jadi obat ya, Buk?" tanya Mira yang membuatku meneguk ludah getir. Apa maksudnya? "Kan sudah Ibuk bilang kalau gak bisa." "Tapi kata Ibuk Bapak udah sembuh. Berarti Bapak sembuh karena darah haid."Deg!"Kan gak Mira kasih. Katanya Mira gak kasih ke Bapak. Jangan buat Ibuk bingung, Nak!" tanyaku mulai khawatir. "Iya awalnya gak aku kasih, Buk. Tapi karena Bapak bilang kalau gak dikasih bakal mati, jadi lama-lama aku kasih." Astaghfirullah! ***"Ibukk!" Saat tengah salat Isya, Danu memanggilku berbisik. Dia tidak masuk. Wajahnya muncul di balik kelambu kamar. Cukup lama aku salat kali ini. Mendoakan keselamatan Mira dengan bersungguh-sungguh. Sebab, aku yakin hanya Tuhan-lah sang maha penentu takdir. Apa yang sudah terjadi memang tak bisa diubah. Tapi masa depan bisa diharapkan bukan?"Iya? Kenapa, Nak?" sahutku. "Buk, sini deh! Ada berisik di bawah. Aku takut. Cepat Ibuk lihat!" bisik Danu tegang. Aku melepas mukena dengan tergesa. Danu menga
Baca selengkapnya

23. Kepergok!

Ingin rasanya kuteriakkan di depan wajahnya. "Kamu tidak ke rumah Pakdhe, Mas! Tapi kamu di bawah rumah menikmati makanan menjijikkanmu itu! Dan kamu melakukan hal tak senonoh di sana!" Namun, sekuat tenaga kutahan agar tidak mengatakan itu. Aku teringat pesan Pakdhe untuk bermain rapi. Untuk kali ini, aku berjanji akan benar-benar menuruti perkataan Pakdhe. "Oh iya, Le. Ini gajimu. Pakdhe gak lama-lama di sini. Sudah malam. Budhe-mu sendirian di rumah," ujar Pakdhe sembari menyerahkan sejumlah uang pada Mas Darma. "Diminum dulu kopinya, Pakdhe," tawarku. Pakdhe mengangguk dan menyesap kopinya.Sepulang Pakdhe, aku langsung masuk ke kamar. Kukatakan pada Mas Darma bahwa malam ini aku tidur dengan anak-anak saja. Meski dia tampak keberatan, tetapi pada akhirnya mengiyakan. Aku berasalan bahwa anak-anak merasa takut karena sekarang tujuh hari kematian Sinta yang konon jenazah akan berpamitan pada orang-orang yang dikenalnya. Sejak mendengar pengakuan Mira, aku menjadi lebih banyak
Baca selengkapnya

24. Nenek Tua

"Ke mana suamimu? Ada hal penting yang ingin kami bicarakan!" ujar suami Bu Nur dengan wajah serius. Jantungku berdetak kencang. Ada apa ini?"M-mas Darma? Memangnya ada perlu apa ya, Bu?" tanyaku tergagap. Tidak dipungkiri ada rasa khawatir jika warga ternyata mengetahui keterlibatan Mas Darma dengan kematian Sinta. Meski aku sendiri belum bisa membuktikan. Akan tetapi pengakuan Pakdhe dan cincin batu akik miliknya yang kutemukan di rumah Bu Nur sudah cukup meyakinkan bagiku. "Tak ada waktu bertanya. Sekarang katakan di mana suamimu, Laksmi!" ujar Bu Nur tak sabar. "Mas Darma kerja. Ikut Pakdhe Bakri," jawabku. Aku menahan suara agar tak terdengar gemetar. "Tapi barusan kami ketemu sama Pakdhe Bakri di jalan. Dia dari rumahmu kan?" "I-iya. Tapi Mas Darma memang bekerja." "Yaahh gimana dong, Buk?" tanya suami Bu Nur dengan wajah gusar. "Memangnya ada perlu apa, Bu?" tanyaku tak menyerah."Enggak, anu, hanya mau minta bantu perbaiki plafon rumah," sahut suami Bu Nur cepat. "Ki
Baca selengkapnya

25. Siapa Nyai?

*** "Ibuk mau ke warung Bu Santi. Kalian titip apa?" tanyaku pada anak-anak. Aku hendak membeli sabun dan bumbu dapur yang sudah habis. "Coklat ya, Buk!" sahut Danu. "Kalau Mira?" tanyaku. "Aku gak usah, Buk," sahutnya datar. Aku tertegun. Rasa khawatir kembali menyeruak memenuhi pikiran. Memang sejauh ini dia terlihat baik-baik saja mengenai kesehatan tubuhnya. Hanya saja memang dia tidak begitu ceria seperti dulu. Mira jadi lebih banyak diam. "Bu, sabun cuci piring sama cuci baju. Sekalian bawang putih dan bawang merah seperempat," ujarku pada Bu Santi. "Sebentar ya, Mi. Yang lain dulu," sahut Bu Santi sembari sibuk melayani pembeli. Pembeli memang cukup ramai sore ini. Ada pula yang hanya duduk mengobrol. "Tahu, gak? Sekarang gak cuma ada maling pakaian dalam, lho! Tapi ada juga maling pembalut!" celetuk salah seorang tiba-tiba Deg! Jantungku berdetak kencang mendengar perkataannya. Aku melirik degan ekor mata, siapa yang berbicara. Tetapi aku tidak mengenali. Seper
Baca selengkapnya

26. Ketahuan Kamu, Mas!

"Tidak! Aku hanya mau darah anak perawan! Rasanya lebih manis dan aromanya lebih harum daripada bunga melati."Aku terkejut ketika mendengar suara seorang wanita menyahut. "Astaghfirullah!" Reflek aku terpekik dengan keras. Lututku lemas dan akhirnya aku terjatuh ke ubin kayu. Aku tak bisa mengontrol hingga akhirnya menimbulkan suara. "Laksmi!" pekik Mas Darma.Gawat!Seketika aliran darah berdesir. Dingin. Tubuhku pun menjadi kaku. Aku harus beralasan apa ketika Mas Darma nanti bertanya. Suara derap langkah kaki terdengar keras. Suara itu berasal dari ruang tamu dan berjalan ke mari. Aku makin berkeringat dingin. "L-laksmi!" Mas Darma sudah berdiri tak jauh di depanku. Dia terpaku menatapku. "S-sejak k-kapan kamu di situ?" Mas Darma bertanya dengan suara gagap. Wajahnya gusar dan panik. Dia bagai kucing yang tertangkap mencuri ikan. Aku terdiam sesaat. Meyakinkan diri sendiri untuk jangan takut. Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Kamu harus berani, Laksm
Baca selengkapnya

27. Kecurigaan Warga

"Siapa kamu?" tanyaku dengan suara gemetar. Mas Darma menghampiri wanita itu dan berbisik. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Lantas wanita itu mengangguk sembari terus tersenyum pada Mas Darma. Dia pun memutar tubuh dan melangkah ke arah sawah. Lalu tubuhnya menghilang ditelan kegelapan. Sesaat aku terdiam. Ini seperti mimpi tetapi nyata. Aku bahkan tidak bisa memercayai penglihatanku sendiri. "Jadi demi dia kamu menumbalkan keluargamu sendiri?!" todongku pada Mas Darma. "Dengar baik-baik, Laksmi. Aku masih baik dan tidak menjadikan Mira sebagai asupan nutrisi Nyai. Tapi kalau sampai kamu membocorkan masalah ini pada siapapun, maka jangan menyesal kalau Mira akan bernasib sama seperti Sinta! Aku tak segan-segan menyerahkan darah Mira pada Nyai!" jelas Mas Darma penuh penekanan. Dia mencekal pipiku dengan tangannya hingga aku tak bisa berkutik."Dan sekali lagi kutekankan, jangan campuri urusanku. Apapun yang aku perbuat bukan urusanmu! Urusanmu hanya menjaga rahasia
Baca selengkapnya

28. Peringatan Dari Mbah Darmi!

"Bu, orang gak ada kok! Mungkin si Karto salah lihat kali! Yang ada hanya daun-daun kering!" ujar pria paruh baya bernama Pak Kusno. Dia baru keluar dari kolong rumah dan seketika membekap mulut ketika melihatku. Mungkin dia tidak tahu kalau aku ada di sini. "Babi hutannya gak ada?" tanya Bu Nur."Kok Babi hutan?" gumam si rambut keriting yang langsung di pelototi oleh Bu Nur. Seolah memberi kode. Dia ponakan Bu Nur. "Eh, i-iya, babi hutannya gak ada, Bu. Mungkin si Karto salah lihat. Atau sudah kabur?" sambung Pak Kusno meyakinkan. Namun, aku tahu itu hanya kebohongan semata. "Ya sudah kalau begitu kami pamit dulu, Mi. Maaf sudah ganggu," pamit Bu Nur. Benar memang. Tak ada bangkai yang tak berbau. Sedalam apa pun menyimpan bangkai, pasti aromanya akan tercium juga. Aku tak tahu harus bagaimana. Di satu sisi aku takut kehilangan Mas Darma. Tak dipungkiri jauh lubuk hatiku masih menyayanginya. Namun, di sisi lain aku juga tak mau kejahatannya berlangsung lebih lama dan memakan
Baca selengkapnya

29. Kematian Pak Karto

Astaghfirullah! Jadi selama ini aku ditipu? Dia pulang bukan untukku dan anak-anak melainkan untuk ratu yang dia agungkan dan demi kepuasan hawa nafsunya.Ya Tuhan. Mas Darma sungguh tega! Rupanya setiaku saja tidak cukup. Sepuluh tahun menanti dengan segudang kerinduan dan cinta malah terbalaskan oleh kesakitan. Aku harus menelan pil pahit dari harapanku sendiri. Dadaku kian terasa nyeri. Rasanya ngilu ditusuk ribuan sembilu. Sepuluh tahun aku menanti dengan kesabaran. Menentang mati-matian ketika semua orang mengatakan dia sudah meninggal. Tetap mengabaikan ketika banyak orang memintaku untuk menikah lagi. Demi kesetiaan yang selalu kunomorsatukan.Akan tetapi, ini balasan yang kudapat. Apa semua lelaki tidak cukup dengan satu wanita? Bahkan kalaupun bukan manusia, iblis penunggu pun dijadikan sarana mendua. "Jadi kematian Sinta ...." Aku tak berani melanjutkan ucapanku. "Itu perbuatan bojomu demi menyenangkan ratu yang dia sembah. Suamimu sudah terlanjur terikat. Sudah banyak
Baca selengkapnya

30. Jebakan Untuk Mas Darma

Tak ingin terlalu lama di sini, aku memutuskan untuk pergi. Namun, tiba-tiba pergelangan tanganku dicekal seseorang. Saat aku menoleh, rupanya Budhe Yanti dengan wajah datar menatapku."Kenapa, Budhe?" tanyaku merasa tak nyaman ditatap seperti itu. "Ikut saya!" Tiba-tiba Budhe menarik tanganku dengan paksa. Hingga aku pun terpaksa mengikuti langkahnya. Dia membawaku ke rumahnya, tetapi melalui pintu belakang. Jadinya kami harus melewati halaman belakang rumah Bu Nur terlebih dahulu. Aku meneguk ludah getir ketika mengingat menemukan cincin batu akik milik Mas Darma di belakang rumah Bu Nur. Membayangkan bagaimana Mas Darma melalukan sesuatu pada Sinta hingga dia bisa meninggal dalam sekejap mata. "Budhe, hati-hati!" protesku. Aku hampir tergelincir oleh batu kerikil sebab Budhe berjalan begitu cepat. Di sisi lain jantungku juga tidak aman. Mengapa Budhe bersikap seperti ini. Apa jangan-jangan ini juga berkaitan dengan Mas Darma? Budhe membuka pintu belakang rumahnya dan membawak
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status