"Ke mana suamimu? Ada hal penting yang ingin kami bicarakan!" ujar suami Bu Nur dengan wajah serius. Jantungku berdetak kencang. Ada apa ini?"M-mas Darma? Memangnya ada perlu apa ya, Bu?" tanyaku tergagap. Tidak dipungkiri ada rasa khawatir jika warga ternyata mengetahui keterlibatan Mas Darma dengan kematian Sinta. Meski aku sendiri belum bisa membuktikan. Akan tetapi pengakuan Pakdhe dan cincin batu akik miliknya yang kutemukan di rumah Bu Nur sudah cukup meyakinkan bagiku. "Tak ada waktu bertanya. Sekarang katakan di mana suamimu, Laksmi!" ujar Bu Nur tak sabar. "Mas Darma kerja. Ikut Pakdhe Bakri," jawabku. Aku menahan suara agar tak terdengar gemetar. "Tapi barusan kami ketemu sama Pakdhe Bakri di jalan. Dia dari rumahmu kan?" "I-iya. Tapi Mas Darma memang bekerja." "Yaahh gimana dong, Buk?" tanya suami Bu Nur dengan wajah gusar. "Memangnya ada perlu apa, Bu?" tanyaku tak menyerah."Enggak, anu, hanya mau minta bantu perbaiki plafon rumah," sahut suami Bu Nur cepat. "Ki
*** "Ibuk mau ke warung Bu Santi. Kalian titip apa?" tanyaku pada anak-anak. Aku hendak membeli sabun dan bumbu dapur yang sudah habis. "Coklat ya, Buk!" sahut Danu. "Kalau Mira?" tanyaku. "Aku gak usah, Buk," sahutnya datar. Aku tertegun. Rasa khawatir kembali menyeruak memenuhi pikiran. Memang sejauh ini dia terlihat baik-baik saja mengenai kesehatan tubuhnya. Hanya saja memang dia tidak begitu ceria seperti dulu. Mira jadi lebih banyak diam. "Bu, sabun cuci piring sama cuci baju. Sekalian bawang putih dan bawang merah seperempat," ujarku pada Bu Santi. "Sebentar ya, Mi. Yang lain dulu," sahut Bu Santi sembari sibuk melayani pembeli. Pembeli memang cukup ramai sore ini. Ada pula yang hanya duduk mengobrol. "Tahu, gak? Sekarang gak cuma ada maling pakaian dalam, lho! Tapi ada juga maling pembalut!" celetuk salah seorang tiba-tiba Deg! Jantungku berdetak kencang mendengar perkataannya. Aku melirik degan ekor mata, siapa yang berbicara. Tetapi aku tidak mengenali. Seper
"Tidak! Aku hanya mau darah anak perawan! Rasanya lebih manis dan aromanya lebih harum daripada bunga melati."Aku terkejut ketika mendengar suara seorang wanita menyahut. "Astaghfirullah!" Reflek aku terpekik dengan keras. Lututku lemas dan akhirnya aku terjatuh ke ubin kayu. Aku tak bisa mengontrol hingga akhirnya menimbulkan suara. "Laksmi!" pekik Mas Darma.Gawat!Seketika aliran darah berdesir. Dingin. Tubuhku pun menjadi kaku. Aku harus beralasan apa ketika Mas Darma nanti bertanya. Suara derap langkah kaki terdengar keras. Suara itu berasal dari ruang tamu dan berjalan ke mari. Aku makin berkeringat dingin. "L-laksmi!" Mas Darma sudah berdiri tak jauh di depanku. Dia terpaku menatapku. "S-sejak k-kapan kamu di situ?" Mas Darma bertanya dengan suara gagap. Wajahnya gusar dan panik. Dia bagai kucing yang tertangkap mencuri ikan. Aku terdiam sesaat. Meyakinkan diri sendiri untuk jangan takut. Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Kamu harus berani, Laksm
"Siapa kamu?" tanyaku dengan suara gemetar. Mas Darma menghampiri wanita itu dan berbisik. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Lantas wanita itu mengangguk sembari terus tersenyum pada Mas Darma. Dia pun memutar tubuh dan melangkah ke arah sawah. Lalu tubuhnya menghilang ditelan kegelapan. Sesaat aku terdiam. Ini seperti mimpi tetapi nyata. Aku bahkan tidak bisa memercayai penglihatanku sendiri. "Jadi demi dia kamu menumbalkan keluargamu sendiri?!" todongku pada Mas Darma. "Dengar baik-baik, Laksmi. Aku masih baik dan tidak menjadikan Mira sebagai asupan nutrisi Nyai. Tapi kalau sampai kamu membocorkan masalah ini pada siapapun, maka jangan menyesal kalau Mira akan bernasib sama seperti Sinta! Aku tak segan-segan menyerahkan darah Mira pada Nyai!" jelas Mas Darma penuh penekanan. Dia mencekal pipiku dengan tangannya hingga aku tak bisa berkutik."Dan sekali lagi kutekankan, jangan campuri urusanku. Apapun yang aku perbuat bukan urusanmu! Urusanmu hanya menjaga rahasia
"Bu, orang gak ada kok! Mungkin si Karto salah lihat kali! Yang ada hanya daun-daun kering!" ujar pria paruh baya bernama Pak Kusno. Dia baru keluar dari kolong rumah dan seketika membekap mulut ketika melihatku. Mungkin dia tidak tahu kalau aku ada di sini. "Babi hutannya gak ada?" tanya Bu Nur."Kok Babi hutan?" gumam si rambut keriting yang langsung di pelototi oleh Bu Nur. Seolah memberi kode. Dia ponakan Bu Nur. "Eh, i-iya, babi hutannya gak ada, Bu. Mungkin si Karto salah lihat. Atau sudah kabur?" sambung Pak Kusno meyakinkan. Namun, aku tahu itu hanya kebohongan semata. "Ya sudah kalau begitu kami pamit dulu, Mi. Maaf sudah ganggu," pamit Bu Nur. Benar memang. Tak ada bangkai yang tak berbau. Sedalam apa pun menyimpan bangkai, pasti aromanya akan tercium juga. Aku tak tahu harus bagaimana. Di satu sisi aku takut kehilangan Mas Darma. Tak dipungkiri jauh lubuk hatiku masih menyayanginya. Namun, di sisi lain aku juga tak mau kejahatannya berlangsung lebih lama dan memakan
Astaghfirullah! Jadi selama ini aku ditipu? Dia pulang bukan untukku dan anak-anak melainkan untuk ratu yang dia agungkan dan demi kepuasan hawa nafsunya.Ya Tuhan. Mas Darma sungguh tega! Rupanya setiaku saja tidak cukup. Sepuluh tahun menanti dengan segudang kerinduan dan cinta malah terbalaskan oleh kesakitan. Aku harus menelan pil pahit dari harapanku sendiri. Dadaku kian terasa nyeri. Rasanya ngilu ditusuk ribuan sembilu. Sepuluh tahun aku menanti dengan kesabaran. Menentang mati-matian ketika semua orang mengatakan dia sudah meninggal. Tetap mengabaikan ketika banyak orang memintaku untuk menikah lagi. Demi kesetiaan yang selalu kunomorsatukan.Akan tetapi, ini balasan yang kudapat. Apa semua lelaki tidak cukup dengan satu wanita? Bahkan kalaupun bukan manusia, iblis penunggu pun dijadikan sarana mendua. "Jadi kematian Sinta ...." Aku tak berani melanjutkan ucapanku. "Itu perbuatan bojomu demi menyenangkan ratu yang dia sembah. Suamimu sudah terlanjur terikat. Sudah banyak
Tak ingin terlalu lama di sini, aku memutuskan untuk pergi. Namun, tiba-tiba pergelangan tanganku dicekal seseorang. Saat aku menoleh, rupanya Budhe Yanti dengan wajah datar menatapku."Kenapa, Budhe?" tanyaku merasa tak nyaman ditatap seperti itu. "Ikut saya!" Tiba-tiba Budhe menarik tanganku dengan paksa. Hingga aku pun terpaksa mengikuti langkahnya. Dia membawaku ke rumahnya, tetapi melalui pintu belakang. Jadinya kami harus melewati halaman belakang rumah Bu Nur terlebih dahulu. Aku meneguk ludah getir ketika mengingat menemukan cincin batu akik milik Mas Darma di belakang rumah Bu Nur. Membayangkan bagaimana Mas Darma melalukan sesuatu pada Sinta hingga dia bisa meninggal dalam sekejap mata. "Budhe, hati-hati!" protesku. Aku hampir tergelincir oleh batu kerikil sebab Budhe berjalan begitu cepat. Di sisi lain jantungku juga tidak aman. Mengapa Budhe bersikap seperti ini. Apa jangan-jangan ini juga berkaitan dengan Mas Darma? Budhe membuka pintu belakang rumahnya dan membawak
***Saat pulang, aku langsung hendak cuci tangan dan bersih-bersih ke kamar mandi. Namun, aku terdiam di ambang pintu ketika melihat Mas Darma dengan wajah tegang menggulung tali tampar di tangannya di dapur.Sontak aku terbelalak kaget. Tali itu ... kenapa mirip dengan yang ada di pohon jambu yang digunakan Pak Karto gantung diri. Warnanya yang memulai memudar. Tanah yang menempel. Aku ingat betul. Itu begitu mirip. "Kamu kenapa?" tegur Mas Darma membuatku tersentak. "Kamu dapat dari mana tali itu dan buat apa, Mas?" "Ini ... ini, em ... tali buat ...." Mas Darma menjawab dengan tergagap. Jangan-jangan benar dugaanku. Kematian Pak Karto adalah disebabkan ....Mas Darma juga dalangnya!"Kenapa mirip tali tampar yang ada di pohon jambu belakang rumah Pak Karto?" tanyaku spontan. Raut wajah Mas Darma berubah seketika. Dia mendelik murka. "Jangan sembarangan kamu! Bukan aku pembunuhnya!" sahutnya dengan sorot mata nyalang. "Loh, aku gak bilang kamu pembunuhnya, Mas. Aku hanya bil