Aku berusaha berteriak, meski suaraku tak jelas sebab dibungkam dengan tangan Mas Darma. "Diam!" Plak! Tamparan Mas Darma melayang tepat di pipi kiriku. Entah saking kerasnya atau sebab tubuhku yang lemas, aku sampai terhuyung dan jatuh terduduk di tanah.Rambutku sudah acak-acakan dengan air mata yang terus mengalir tak berhenti. Rasa perih di pipi karena tamparan Mas Darma tak terasa saking sakitnya hati ini.Ya Tuhan! Apa yang harus kulakukan?Mas Darma berjongkok di hadapanku. Dia mencekal pipiku begitu kuat. "Jangan pernah cerita apapun pada siapapun! Kalau sampai ada orang yang tahu, berarti kamu penyebabnya. Dengar kamu!" bentak Mas Darma. Aku tak menyahut. "Dengar kamu hah?!" Mas Darma makin menguatkan cekalan tangannya di pipiku hingga aku meringis kesakitan. Terpaksa aku mengangguk. "Bagus! Ingat, Laksmi, aku tidak pernah main-main. Kalau sampai kamu cerita sama Pakdhe sekalipun, kamu akan kehilangan Mira. Bahkan akan kubiarkan Nyai membawanya sebab sejak dulu Nyai be
"Darma keluar kamu! Darma! Keluar atau kita bakar rumahmu!" "Bakar aja bakar!" "Pembunuh harus mendapat balasan setimpal!" "Bakar! Bakar! Bakar!" Ya Tuhan?! Apalagi ini? Apa semua akan berakhir malam ini juga? "Nyai ... Nyai tolong bantu aku, Nyai!" Mas Darma menghambur kepada wanita cantik yang dia panggil Nyai. Aku terdiam menahan sesak hati. Merutuki diri sendiri kenapa masih menyimpan cinta dan rasa sayang kepadanya padahal sudah jelas-jelas Mas Darma lebih peduli pada wanita yang dia panggil Nyai. "Kita dobrak saja pintunya!" "Bakar saja gak perlu lama!" "Bakar bakar bakar!" "Jangan biarkan pembunuh hidup!" Suara di luar terus bersahut-sahutan. Mira dan Danu berlari menghampiriku dengan menangis. "Ibuk, aku takut. Rumah kita mau dibakar. Kenapa, Buk?" tanya Mira tergugu pilu. "Danu juga takut, Buk. Pintu depan mau didobrak!" "Danu sama Mira di sini, ya! Biar Ibuk yang keluar." Aku hendak keluar tetapi Mita mencegah langkahku. "Aku ikut!" pintanya. "Aku jug
"Laksmi sudah pasrah, Budhe. Mungkin ini sudah kuasa Tuhan memberi petunjuk pada orang-orang. Laksmi sudah ikhlas apapun yang terjadi nanti sama Mas Darma." "Memang begitu harusnya, Nduk. Bukankah lebih baik kehilangan satu orang daripada seribu nyawa? Apalagi jika orang yang hendak kita bela jelas bersalah. Hendak ditutupi sedemikian rupa pun bangkai tetap tercium, Nduk!" sahut Budhe lembut. Sementara Pakdhe menenangkan anak-anak. Aku terdiam. Dalam hati membenarkan apa yang dia bilang. Lebih baik kehilangan satu nyawa daripada nantinya menghilangkan seribu nyawa generasi penerus bangsa. Yaitu wanita. Mas Darma seperti halnya adalah parasit. Dia harus dihilangkan! Tiba-tiba terdengar riuh teriakan warga di halaman belakang rumah. "Kita ke sana!" pinta Pakdhe Bakri. Kami menurut. Melewati samping rumah untuk menuju halaman belakang. Rupanya di sana sudah ramai. Mas Darma sudah dipegangi beberapa orang. Aku celingukan. Mencari keberadaan Mbah Marni dan juga ratu can
Warga sudah mengikat tubuh Mas Darma dengan tali tampar. Membawanya ke tanah yang lebih lapang. Warga mulai banyak yang berdatangan khususnya para ibu-ibu. Dan kasak kusuk pun mulai terdengar.Ya Tuhan! Kuatkan aku.Semua sudah siap. Beberapa orang menyirami tubuh Mas Darma dengan bensin. Dia sudah tidak bisa lagi berkutik sebab warga mengikatnya dengan kencang dan menidurkannya di tanah. Aku memejamkan mata saat seseorang hendak menghidupkan korek. Tak sanggup. Sementara Mira dan Danu dibawa Budhe ke dalam rumah. Tiba-tiba seseorang datang dan berteriak dengan lantang. Dia Pak Ustadz yang sering mengimami di mushalla. "Tolong perhatiannya sebentar! Apa kalian sudah memiliki bukti yang kuat kalau dia benar bersalah? Atau hanya dari 'katanya' kalian mendengar kabar ini? Tolong jangan gegabah. Kalau sampai ini ternyata hanya fitnah kalian semua dosa besar! Kalian membunuh orang yang tidak bersalah apalagi dengan cara tragis seperti ini!" teriak Pak Ustadz lantang.Namun, tak ada yang
"Koe wes masuk nang deso iki dadi ojok ngarep iso metu teko deso iki. Opo mane wes nggowo balak ciloko. Aku sing jogo, koe kudu nompo!" ucap Mbah Marni dengan bahasa yang sama sekali tak kumengerti. (Kamu sudah terlanjur masuk ke desa ini, jadi jangan berharap kamu bisa keluar. Apalagi kamu sudah menyebabkan adanya bencana. Aku yang menjaga desa ini dan kamu harus terima balasan dari apa yang kamu lakukan!)Terjadi pergulatan antara Mbah Marni dan Nyai itu. Mereka saling menggerakkan tangan seolah tengah melemparkan sesuatu. Aku tak tahu apa sebab aku tak melihat apapun. Seolah mereka hanya memainkan tangan dari jarak jauh tanpa saling menyentuh. Pak Ustad tiba-tiba bangkit. Ia kembali meraih tasbihnya dan terus menggumamkan doa. "Bantu doa! Jangan hanya dilihat!" ujar Pak Ustad. Pak Ustad terus mendekati kereta Nyai. Di mana Mira duduk di dalamnya.Mungkin sebab Nyai fokus pada pergulatannya dengan Mbah Marni, ia lengah dan akhirnya Pak Ustad berhasil menghampiri keretanya dan men
"Danu kangen Bapak, Buk .... Kenapa orang-orang jahat bakar Bapak? Teman Danu ada yang anaknya polisi, Buk. Danu bilang sama dia, ya, biar yang sudah bakar Bapak ditangkap sama polisi," celoteh Danu polos. Hal itu makin membuat hatiku begitu ngilu dan tak tahan lagi membendung air mata yang makin deras. Dia masih belum mengerti apa-apa. Sulit untukku menjelaskan terlebih kini aku sendiri sedang memperbaiki mental dan diriku sendiri yang hancur berantakan. Aku tak bisa menjelaskan apapun.Berbeda dengan Mira yang tak banyak tanya. Dia lebih banyak diam. Pakdhe dan Budhe sudah memberi penjelasan padanya yang membuatnya paham. "Bapak sudah tenang di sana, Nak. Bukan orang-orang yang jahat, tapi Bapak sudah membuat kesalahan hingga orang-orang marah," jelasku sebisanya. "Kesalahan apa, Buk?" Danu mengusap air matanya dan menatapku penuh penasaran. Aku terdiam beberapa saat. Memikirkan jawaban yang akan kuutarakan. "Bapak sudah membuat orang kehilangan nyawa. Bapak sudah bersekutu, Na
Tiga hari setelah kejadian malam yang mencekam itu, hatiku masih sering gelisah. Aku sering menangis sendirian. Seolah yang terjadi waktu itu masih mimpi bagiku. Aku sungguh tak bisa memercayai ini. Mas Darma. Aku benar-benar sudah kehilangan sosoknya. Dia meninggal dalam keadaan tragis. Hangus terbakar menjadi abu, menyisakan beberapa tulang belulang yang langsung dipungut oleh warga dan dikubur di luar desa. Beberapa orang mengatakan hendak membuangnya ke laut supaya tidak menyebabkan bala petaka lagi. Warga benar-benar murka bahkan hingga tulang belulang jasad Mas Darma enggan diterima. Semua orang tidak setuju kala kuminta agar tulang belulang itu dikubur di halaman belakang rumahku saja. Kejadian itu masih terbayang jelas di mataku. Seperti enggan berlalu dan terus menguasai pikiran. Membuatku bahkan tak fokus melakukan banyak hal. Bahkan sejak kejadian tersebut aku belum berani keluar rumah. Aku takut akan tudingan warga padaku. "Buk ...." Aku sungguh terkejut ketika mendapat
Dia berdiri dengan tubuh telanjang tanpa busana. Kulitnya hitam legam berbau gosong. Sebagian terdapat luka-luka bakar di kulitnya. Busuk. Mulutnya penuh darah dan nanah. Aku tak tahan dengan aromanya. Busuk dan anyir. Lebih busuk dari bangkai."Laksmi ... tolong aku, Laksmi ....""A-aku menyesal. Tolong aku. Aku kegelapan, tidak ada cahaya di tempatku. Aku menyesal telah mengabdi pada Nyai. Tolong aku, Laksmi. Panas ...." Mas Darma merintih. Mas Darma terlihat begitu menyeramkan. Meski wajahnya sudah tidak berupa, aku bisa melihat Mas Darma meringis seolah menahan sakit. Bahkan semua rambutnya hangus terbakar menyisakan kulit kepala saja. Aku juga baru sadar bahwa perutnya terlihat besar dan buncit. "Aku mohon, Laksmi ... tolong aku."Aku memejamkan mata. Sejak tadi aku menahan napas karena aroma busuknya hingga merasa sesak. Aku ingin menutup pintu dengan kuat lalu berlari secepat kilat ke kamar. Namun, tubuhku seolah terpaku pada bumi hingga tak bisa digerakkan sama sekali. Tuha