Home / Pernikahan / Dua Sisi Menantu / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Dua Sisi Menantu : Chapter 11 - Chapter 20

33 Chapters

Bab 11 (Akun F******k)

[Assalamu'alaikum, Mas. Lagi sibuk?]Kukirim pesan untuk Mas Ilyas. Sembari menunggu hujan reda. Saat ini aku berada di sekolah, sudah pulang hanya tertahan menunggu karena hujan yang turun dengan derasnya. Kulirik arloji di tangan. Masih jam dua siang. Tapi karena hujan dan cuaca yang gelap tampak seperti sudah akan maghrib. Sembari menunggu, iseng aku membuka akun sosial media berwarna biru. Ah, sudah lama rasanya aku tak membuka akun media sosialku ini. Terakhir saat mengupload photo pernikahan saja. Tiga akun permintaan pertemanan. Dua kuabaikan, sedang satunya kuamati. Menarik perhatian. Kuklik akun facebook atas nama 'SarLyas' itu. Aku mengerutkan dahi.Satu teman yang sama. Hm, siapa ya?  Degh. Haikalan Ilyasa. Suamiku. Kulihat tanggal akun tersebut meminta pertemanan padaku. Satu tahun lalu. Sudah lama. Pelan, kutelusuri akun tersebut. Tak ada data yang begitu akurat. Hanya tanggal lahir tanpa tahun, pun photo prof
Read more

Bab 12 (Flashback)

Flashback on"Nis, Mas tak pandai mengatakan hal panjang lebar. Merayu seorang wanita bagi Mas sama sulitnya dengan mengukir di atas air. Langsung saja ya. Untuk kedua kalinya, mau kah Nisa menerima Mas? Mas ingin Nisa menjadi istri Mas. Perempuan yang akan menemani Mas dalam suka dan duka. Perempuan yang memberikan Mas anak-anak yang sholeh dan sholeha. Jika Nisa menerima, Mas akan mengenalkan Nisa pada orang tua Mas."Kupandangi bergantian lelaki dan perempuan di depanku. Lelaki dan perempuan yang Allah jadikan sebagai orang tuaku. Tampak Bapak mengangguk dan Ibu menangis sembari tersenyum. Mereka menyetujui. Kehadiran Mas Ilyas yang kukira untuk bersilaturahmi karena suasana lebaran, ternyata juga menjadi awal mula titik kehidupan baru bagi hidupku."Nisa, akan menerima, jika Bapak dan Ibu merestui, Mas," jawabku."Pasti, Nis. Restu orang tua kamu yang pertama. Mas sudah meminta Nisa pada Bapak dan Ibu jauh hari sebelum hari ini."
Read more

Bab 13 (Fitnah Sarah)

Suara dering ponsel, membuyarkan lamunan.Kembali kuraih ponsel berbentuk persegi empat tersebut.Nama Ibu mertua terpampang jelas di layar."Assalamu'alaikum, Bu.""Waalaikumsalam. Nisa kesini ya." Aku menarik napas. "Baik, Bu. Selesai mandi Nisa kesana ya.""Mandi lagi? Lama sekali lah. Udah mandi disini aja. Bawa baju yang banyak ya. Baju Ilyas juga.""Nisa baru pulang ngajar, Bu. Tadi sempat basah sedikit.""Hm, yaudah mandi dulu. Jangan lupa bawa baju Ilyas.""Maaf, Bu. Mas Ilyas nggak ada suruh begitu tadi.""Ibu yang suruh." Telepon terputus begitu saja.Kembali ku letakkan ponsel di meja. Mengambil tas kecil, lalu memasukkan beberapa potong baju. Hanya bajuku saja tidak ada baju Mas Ilyas. Dan, itupun tak banyak. Aku lebih menuruti ucapan suami daripada Ibu. Tadi Mas Ilyas sudah memberitahu lewat pesan, bahwa dua hari ini aku di rumah Ibu dulu, sampai Mas Ilyas kembali.'Maa
Read more

Bab 14 (ATM)

Sejak semalam Ibu mendiamkanku. Tak menegur pun tak menyuruh. Aku jadi salah tingkah sendiri karena sikap Ibu. Sedang Sarah pun demikian. Namun tidak pada Ibu. Pada Ibu dia manja bak anak berusia lima tahun. Bahkan tak segan meminta Ibu untuk menyuapkannya salad buah yang sedang dimakan Ibu ketika ditaman semalam sore. Reno amat bahagia melihatnya, hanya Kak Rika yang sedikit menegur. Tapi kembali dibela Ibu bahkan disertai sindiran yang ditujukan untukku. Lagi, aku hanya bisa diam dan hanya bisa mengurut dada. Aku tak berdosa dan menjadi durhaka. Semua perlakuan Ibu padaku biarlah hanya Allah yang menegurnya, sebagai anak mantu aku tetap wajib menghargai dan berharap semoga suatu saat nanti Ibu bisa merasakan kasih sayangku yang tulus untuknya.Sabar Nisa, tak lama lagi, aku mengurut dada. Dengan cepat kuselesaikan masakanku. Terserah mau dimakan Ibu atau tidak seperti makan malam semalam yang kumasak dan diabaikan. Yang penting kewajiban yang diamanahi untuk menjaga k
Read more

Bab 15 (Pertemuan Pertama)

Berputar aku didepan kaca. Sungguh bahkan mataku sendiri pun tidak bisa mempercayai.Aku kira baju yang diambil di butik tadi baju pesanan Ibu, tapi aku salah. Ketiga baju tersebut ternyata dibelikan Ibu untukku. Kata Ibu, satu untuk dipakai hari ini. Tadi Ibu sudah mengajak aku serta Sarah untuk ikut Ibu ke acara grand opening sebuah usaha baru teman Ibu sesama perempuan pebisnis. Sedang dua baju lagi dibelikan Ibu untuk dipakai saat Mas Ilyas pulang. Dipakai untuk menjemput besok dan satunya lagi dipakai saat di kamar. Entah apa yang ada di pikiran Ibu, beliau hanya memintaku untuk memakainya.Aku membuka pintu kamar dengan langkah yang kaku. Keluar dan menemui Ibu."Bu."Ibu berbalik lalu menyelidik, terlihat dari tatapannya yang naik turun dari kepala hingga kaki."Tidak salah Ibu memilihnya, gaun ini pas untukmu, kamu cantik," ucap Ibu lalu tersenyum.Rasanya aku ingin sekali memeluk Ibu, mengucapkan lebih dari sekedar kata terimakasih.
Read more

Bab 16 (Perbandingan)

Saat ini aku sedang sibuk berkutat di dapur. Baru saja pulang dari pasar. Rencananya akan masak makanan kesukaan Mas Ilyas."Masak apa, Mbak?" tanya Sarah yang baru keluar dari kamarnya sembari menguap. Sepertinya ia baru bangun tidur."Ayam dan udang asam manis pedas. Kenapa mau bantu?""Nggak kok cuma tanya. Mbak udah beli ayamnya?""Udah, ini yang Mbak cuci apa kamu lihat? Sapi?""Bukan, maksudku ayam kampung, Mbak.""Buat apa? Ini Mbak beli tiga kilo. Cukup untuk sampai malam kita semua.""Kita? Aku mana bisa makan ayam potong, Mbak," protes Sarah.Aku bukannya tak tahu tapi bagiku, bukanlah menjadi kewajiban jika aku juga harus memikirkan makannya sementara ia sama sekali tidak membantuku di dapur. Seperti kata Sarah, kami adalah menantu di rumah ini. Kami mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Maka dari itu, kewajibanku di rumah ini juga adalah kewajiban Sarah. Jika ia tidak membantuku di dapur maka otomatis aku tidak aka
Read more

Bab 17 (Menjemput Ilyas)

Kupoles sedikit blush on di pipi, tak lupa mengenakan celak mata dan maskara. Aku tak ingin terlihat berantakan di depan Mas Ilyas. Menangis saat memasak tadi menjadikan wajahku terlihat sembab.Terakhir kukenakan hijab, lalu menyematkan bros berbentuk love dibagian samping dada. Setelahnya menyambar tas lalu keluar dari kamar."Bu, Nisa pamit jemput Mas Ilyas ya," ucapku pada Ibu sembari mengulurkan tangan."Hm, jangan ngadu macem-macem sama anakku.""Iya, Bu."Lalu aku berjalan ke luar rumah. Tampak Mang Tardi sedang berjongkok-jongkok di bawah meja juga membolak balik taplak dan bantalan kursi."Mang, cari apa? Saya sudah siap.""Eh, Non. Tunggu ya, Non. Mamang cari kunci mobil dari tadi. Kuncinya nggak kelihatan," ucap Mang Tardi bingung."Loh, emangnya tadi Mamang letak dimana dan kemana aja?""Disini aja, Non. Mamang letak di meja ini. Terus Mamang masuk sebentar ambil hp. Ini baru sadar kuncinya nggak ada lagi. Ad
Read more

Bab 18 (Siasat)

 Dari kejauhan kami sudah bisa melihat Ibu dan semua orang di rumah berdiri di depan pintu.Pasti menantikan kepulangan Mas Ilyas.Tak lama mobil berhenti tepat di halaman rumah. Langsung aku dan Mas Ilyas turun. Laludisusul oleh Sarah. Ibu menyipitkan mata, heran melihat Sarah duduk sendiri di kursi kemudi. "Ibu," panggil Mas Ilyas dan langsung memeluk dan mencium Ibu."Apa kabar, Yas?" Ibu menerima pelukan Mas Ilyas."Baik, Bu. Ibu sehatkan?""Sehat lah. Ayo, masuk. Mandi lalu makan," ajak Ibu sembari merangkul Mas Ilyas, "Mang, bawa masuk semua barang Ilyas ya," lanjut Ibu. Mas Ilyas menyodorkan tas yang ia selempangkan ditubuhnya tadi padaku. Baru saja ingin mengambilnya, Sarah sudah lebih dahulu menyambar. "Biar saya yang bawakan, Mas," ucapnya."Nggak usah, Rah. Nisa saja," larang Mas Ilyas."Nggak apa-apa, Mas. Biar Sarah bawakan ke kamar ya.""Nisa saja
Read more

Bab 19 (Sarah cemburu)

Suara adzan Isya telah sejak tadi selesai berkumandang, begitu pula dengan aku dan Mas Ilyas yang baru selesai menunaikan kewajiban.Selesai berdo'a segera aku meminta tangan Mas Ilyas. Meminta ridho dan cintanya atas diri ini."Mas, Nisa duluan keluar ya. Nisa mau nyiapin makan malam di meja," ucapku sembari membuka mukena."Mas ikut ya.""Mau apa?""Ya, mau bantu istri Mas lah.""Masaknya udah siap kok Mas. Cuma mau ngidang aja.""Iya nggak apa-apa. Mas bantuin.""Yaudah, Mas."Aku dan Mas Ilyas pun sama-sama keluar dari kamar lalu menuju dapur."Nis, ini piringnya letak dimeja semua?""Iya, Mas."Nis, gelas dimana?" tanya Mas Ilyas lagi."Dilemari Mas," jawabku sembari mengulek sambal."Lemari mana?""Lemari coklat, Mas.""Lemari coklat ini? Di dapur ini?" tanya Mas Ilyas menunjuk lemari didepannya. Aku menggelengkan kepala. Banyak bertanya dari pada membantu."Iya lah, Mas. Lemari coklat di dapur ini. Masa iya lemari coklat di rumah tetangga," jawabku lalu tertawa kuat.Seketika M
Read more

Bab 20 (Kebersamaan)

Di kamar tampak Mas Ilyas sedang berkutat dengan laptop milik Reno. Melihat laporan perusahaan dan pabrik. Kubiarkan Mas Ilyas dengan kesibukkannya, sedang aku mulai sibuk dengan rencanaku. Masuk ke kamar mandi dengan membawa semua keperluan yang akan aku pakai. Air hangat terasa membasahi tubuh untuk membuang semua rasa lengket dan gerah. Setelah berhanduk, pelan aku mengambil baju yang dipesankan Ibu untukku kemarin. Gaun malam nan tipis dengan dalaman yang luar biasa terbuka disertai dengan luaran berwarna senada. Ragu, antara memakainya atau tidak. Aku terlalu malu. Tapi seketika bayangan wajah Ibu yang mengharapkan cucu dari anak lelakinya tersayang memaksaku menepis semua keraguan, dan dengan cepat mengenakannya, setelah itu merias wajah dengan riasan tipis, tak lupa menyemprotkan parfum favorit Mas Ilyas dan mengenakan satu set perhiasan batu permata dari Mas Ilyas yang diberikannya untuk Ibu. Aku mematut diri di cermin. Pelan kutarik
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status