"Ya, wajarlah, namanya kakak sama adik, kamu juga gitu kan sama Rahman? Dulu, saat lahiran si Nayla yang capek kan Rahman, karena si Anton lagi di luar pulau," sahut Wak Isah menimpali ucapan kakak iparku. "Belum lagi ngurusin surat-suratnya, Wak Ali juga ikut turun tangan waktu itu. Jangan begitu mulutmu, Ni. Baik-baik sama ipar, Gak kapok apa?" Lanjut Wak Isah sambil mendelik. "Kenapa kamu yang sewot, Sah? Eni, bicara benar dan apa adanya!" Tiba-Tiba ibu nyeletuk tak terima."Mikir aja sendiri deh, Mir. Kamu sudah tua juga kan?" sahut Wak Isah dengan ketus. Kemudian menyuruh mang Ujang menghitung belanjaannya. Tika mengelus punggungku sambil berbisik. "Tenang, sabar dan biarkan!"La, ayo cepetan belanjanya, kalau lama-lama disini, nanti kamu bisa ketularan gak tau diri," ucap Wak Isah sambil melangkah pulang. Kulihat ibu mencebik. Sejauh yang aku tahu, ibu memang selalu kalah kalau berdebat dengan istri kakaknya itu. Mulut pedas Wak Isah selalu tepat sasaran. "Hitung, Mang!" tit
Last Updated : 2022-09-21 Read more