"Tapi, Fa, kurasa wajar mereka enggan pindah. Aku pun kalau jadi mereka tak mau," kataku memberikan argumen padanya. "Itulah, dirimu. Keputusan menggunakan perasaan. Tidak memikirkan jangka panjang." Enak saja dia bilang begitu. Aku tak terima, seolah pikiranku cupet cuma mikirin perasaan. "Yang tidak memikirkan jangka panjang itu, kamulah!" Sungutku. "Iya, iya, semua aku bagian yang jelek-jelek. Yang bagus-bagus hanya perilakumu," ucapnya, sambil mengelus dadanya yang tak lagi rata, lalu melanjutkan perkataannya seolah bicara pada dirinya sendiri, "sabar, sabar." Huh! Aku mencebik sebal dia selalu begitu pura-pura bilang iya padahal maksudnya mengejek. Tidak mau ikhlas kalau ingin memuji. Sudah lah. "Mas," panggilnya. "Apa?!" bentakku masih sakit hati atas ucapannya tadi. "Sabar, sabar," gumamnya lirih.
Terakhir Diperbarui : 2022-04-09 Baca selengkapnya