"Mbak Ulfa sakit, Mas?" tanya Muzakka padaku.
"Biasa," jawabku enteng.
"Maksudnya?" tanyanya keheranan dengan sikapku.
"Dia sedang hamil muda, jadi sering mual."
"Oh, Maryam akan punya adik," gumam Muzakka dengan raut wajah yang tak bisa kumengerti.
"Iya, betul. Istriku sangat senang dengan bakal hadirnya adik Maryam. Ia juga pernah cerita tentang Mas Muza dan berharap Mas bisa bahagia
dengan istri Mas Muza kelak."
Mudah-mudahan jika ia tahu bahwa aku yang dikenalnya sebagai Ulfa, berharap kebahagiannya, maka ia bisa menerima Arina. Karena tak seharusnya Muzakka tenggelam dalam masa lalu. Aku tak mungkin bisa bersamanya.
Pemuda ini mengangguk lalu seolah merenung sebentar, ia berkata, "Baiklah, Mas. Nanti saya akan minta restu orang tua dulu. Jika Umi dan Abi setuju, saya akan datang langsung melamar Dek Arina."
"Ramuan penangkal tafsir mimpi buruk dan kapsul panjang umur?" tanyaku lirih pada Mas Abraham.Ia menoleh padaku."Iya, masak lupa ketika kita pergi ke orang pintar dikasih itu?" Ia berkata sambil tangannya menepuk-nepuk pahaku pelan di bawah meja. Seolah isyarat agar aku tak banyak bertanya padanya.Padahal aku masih ingin menanyakan mengapa tadi dia berkata dari dukun, sekarang malah bilang bahwa itu dari orang pintar. Ah, aku jadi curiga. Jangan-jangan ...."Pak Tajam mau tidak ramuan tersebut? Syarat dari orang pintar habis minum itu, Bapak harus meninggalkan tempat di mana Bapak pernah bermimpi buruk."Suami istri di depan kami saling pandang."Jadi habis minum kami harus pergi dari rumah ini?" tanya Bu Tajam."Betul, Pak. Takdir Bapak yang lama akan tertinggal di rumah ini."Itu teori dari mana? Kok,
"Turunlah dari dipan dulu."Mas Abraham menurut. Ia berdiri di depan ranjang tidur kami.Dipan tempat tidur kami tingginya hanya satu meter."Gini, lakukan seperti ini," suruhku.Ia meniru gerakanku yang seperti posisi orang ruku tapi meletakkan seluruh bagian tubuh dan kedua tangan di atas ranjang kecuali bagian perut bagian bawah."Nah, begitu."Setelah sesuai arahanku, aku mulai memijat punggungnya. Tiap kali kutekan dan bergerak ke arah kepalanya ia seperti mengeluarkan napas lega. Mungkin aliran darahnya menjadi lancar."Mas, seingatku besok jatuh tempo pembayaran tanah yang akan kita tempati di lokasi baru. Besok bayarlah, ya, menggunakan uang yang ada di rekekning BCI," ucapnya."Ke siapa?" tanyaku."Pak Lurah besok pasti mengajakmu ke tempat kontraktor. Mintalah desain rumah se
Perubahan watak Mas Abraham menyikapi tentang keluarga kecil kami membuat hatiku tentram. Semoga ini bukan akal bulusnya untuk kembali ke raga asli saja. Akan tetapi perubahan permanen. Semoga saja, Aamiiin. Itu harapanku menjelang tidur malam ini.Tengah malam, aku terjaga karena mendengar benturan di dinding. Suara apa itu? Perasaanku sungguh jadi tak enak.Pelan-pelan aku keluar dari kamar ayahku.Arahnya di ruang tamu.Eh, ternyata Mas Abraham kenapa dia di situ sendirian mengusap-usap kepala."Kamu tidak tidur, Fa? Ini sudah jam dua belas malam, loh. Jangan sampai diincar kuyang.""Kuyang hanya ada di Kalimantan dan sekitarnya. Kita berada di desa Walang Sangit yang tidak berdekatan dengan pulau mana pun. Jadi tak akan ada kuyang. Makanya jangan keseringan baca novel horor di medsos," bantah Mas Abraham."Terus tadi denger suara oran
Et, dah, cahaya yang tadi kulihat rupanya dari cermin yang ditaruh oleh sopir truk di balik kaca depan sehingga mematulkan sinar matahari jam sembilan. Saking silaunya aku tadi memilih banting setir ke kiri takut nabrak. Ternyata truknya masih jauh."Ada apa, Mas?" tanya Mas Abraham padaku, suaranya beradu dengan suara truk yang melintas.Truk yang kumaksud melewati kami melaju dengan kecepatan tinggi."Tadi kupikir nyaris ketabrak truk itu gara-gara silau liat pantulan sinar matahari di depan kacanya," jawabku"Harusnya tadi melaju saja. Kemarin waktu tubuh kita tertukar aku melaju saja waktu liat cahaya dari kejauhan. Kayaknya cahaya itu penyebabnya kecelakaan." Ia berkata seolah menyesal atas tindakanku menghindari tadi.Hal ini membuatku marah. Menurutku dia egois. Terlalu yakin tanpa memikirkan resiko lain."Ngawur, iya kalau kejadiannya kaya
Aku selalu tertarik pada sebuah cerita termasuk asal usul nama seseorang. Itulah sebabnya kuambil posisi yang enak untuk mendengarkan bagaimana kisah asal muasal nama Pak Konang.Sedangkan Mas Abraham biasanya tak suka mendengar kisah semacam itu, tapi karena ia sangat ingin kembali ke raganya, maka informasi bagaimanapun ingin didengarnya.Kami berdua mencodongkan tubuh ke arah beliau, siap memyimak Pak Konang bercerita. Kami sedang tak peduli dengan Maryam saat ini."Dulu waktu saya dilahirkan ibu dan bapak saya ngasih nama Konang karena waktu itu ada maling masuk rumah sembunyi di bawah kolong ranjang tidur saya. Saya nangis sampai terkencing-kencing. Nah karena jaman saya kecil alas tempat tidur cuma tikar dan tidak pakai popok diapers, air seni saya netes ke bawah kena kepala maling. Akibatnya si Maling kepalanya kebentur dipan sehingga konangan alias ketauan ibuku. Makanya karena itu mereka ngasih nama saya dengan
Meskipun aku memintanya untuk bercerita, ia tetap bungkam seribu bahasa. Tak mungkin juga aku memaksa.Entah apa yang membuat Mas Abraham berubah."Sudahlah, jangan pedulikan aku. Kita jalani saja takdir masing-masing." Akhirnya Mas Abraham mau buka mulut. Sayangnya, apa yang barusan dikatakan seperti mengubah segalanya.Ia bicara seperlunya, melakukan aktifitas juga tanpa protes dan bicara. Benar-benar jadi sosok yang serius.Kami jadi tidak bisa saling mengolok atau juga saling berdebat. Aku bosan menghadapi situasi seperti ini. Hambar sekali rasanya. Seperti serumah dengan orang lain saja.Kalau dulu rasanya nyesek, orang yang diharapkan jadi tumpuan hidup tidak memperhatikan istri. Kini perasaan itu tidak muncul. Mungkin karena ragaku laki-laki punya otoritas yang membuatku bisa mencari pengalihan kemana saja sehingga membuatku tidak tertekan.
"Merasakan apa?" tanya Mas Abraham bingung.Dia memang tidak peka sama sekali."Itu, lihat!" kataku sambil menunjuk lampu yang bergerak-gerak."Dengarkan ini!" Telunjukku mengarah ke kaca jendela.Tiba-tiba wajah Mas Abraham memucat seolah ketakutan. Hal itu membuatku makin panik."Sepertinya perpindahan harus dimajukan lebih cepat lagi," ucap Mas Abraham.Aku tahu bencana sedang mengintai dan akan segera datang tapi, tolong jangan sekarang kami belum siap.Beberapa menit kemudian, getaran rumah ini sudah hilang."Mungkin karena ada gunung merapi meletus di daerah lain," kataku menduga-duga.Kuharap gempa karena lapisan tanah daerah ini hanya dugaan salah semata. Sebab aku takut jika benar terjadi sedang kami belum pindah.Bayangan tanah merekah sehinga menimbulkan lubang panj
"Itu nomor asing, tidak penting.""Dari mana engkau tahu kalau tidak penting? Bukankah lebih baik didengarkan dulu. Siapa tahu penting.""Sudahlah! Jangan mendebatku terus. Jika ada nomor tanpa nama jangan pernah mengangkatnya paham!" Mas Abraham tiba-tiba menjadi tegas. Aura lelakinya kembali muncul. Akan tetapi, mengapa aku jadi curiga.Sandainya tadi dia tak mengungkit rahasia yang disembunyikannya dariku mungkin aku tak akan menduga hal yang negatif. Aku benar-benar bingung atas tingkah lakunya.Malam itu menyisakan sebuah tanda tanya besar yang entah kapan kudapatkan jawabannya.Rupanya nomor yang tadi masuk dihapus riwayat panggilannya dan mungkin juga bahkan diblokir. Kalau saja ada yang tahu cara mengembalikan riwayat panggilan pasti aku sudah minta tolong untuk mendapatkannya. Kemudian akan kucoba mencari tahu siapa dibalik nomor itu. Sayang sekali aku bukan ahli I
"Pembukaannya sudah sempurna. Sekarang tarik napas dalam-dalam!"Mas Abraham menarik napas sesuai arahan, pipinya tampak menggelembung besar.Aku menahan tawa dengan menakupkan tangan ke mulut karena ia sampai menyimpan udara di pipi."Kau, ke-ter-laluan mener-ta-wakanku," ucapnya tebata-bata di sela rintihannya yang menyayat jiwa.Mendengar ucapannya, aku segera memasang wajah serius."Mulai! Dorong!" perintah Bu Bidan.Ia mendorong sekuat tenaga seperti orang wasir yang ingin buang hajat tapi kotoran tak kunjung keluar karena kesangkut di ambiennya."Yeah! Dorong, dorong, dorong," kataku dengan mulut komat-kamit tanpa suara di belakang bidan tapi menghadap wajah Mas Abraham. Kedua tangan kuangkat sambil mengepal dan menggerakkan siku ke atas ke bawah seperti yel-yel."Bu, Bi-sa ge- ser, auuuuh!" Ia memohon Bu Bidan geser sambil merintih. Suaranya mirip lolongan serigala, ups.Karena Bu Bidan geser ke bawah aku jadi maju sedikit dekat kakinya. Tak disangka dengan cepat kakinya yang t
Sehari sebelum kelahiran, Mas Abraham memegangi perutnya."Perutku sekit sekali, lihatlah!" keluhnya sambil menunjukkan telapak tangannya yang gemetar, mungkin karena menahan rasa sakit. Tak lama kemudian tangannya menggenggam kencang dengan wajah yang meringis, keringat dahinya bercucuran.Kupikir mungkin ia sedang mengalami kontraksi, tapi aku yakin bahwa ia tak tahu kalau akan segera melahirkan."Sudah berapa lama sakit kayak gitu?" tanyaku santai."Habis subuh tadi pas rakaat kedua. Saking sakitnya aku lanjutkan shalat sambil duduk. Terus waktu salam sakitnya ilang terus sekarang sakit lagi. Ini kenapa, ya. Dalam perut rasanya ada tangan yang meremas-remas bagian dalamnya. Apa janinnya tidak mati remuk.""Hus, remuk-remuk, kayak roti kering diremat saja. Ke bidan, yok. Periksa kenapa bisa gitu. Kali aja dikasih obat pereda sakit," ajakku. Tak ingin kukatakan padanya bahwa ia sudah harus bersiap. Takutnya keluar bandelnya minta di SC.Kalau berdasarkan dengan penuturannya ada jara
"Sabar," jawabku saat ia mengeluh selepas dari kamar mandi."Kapan kita bisa kembali ke raga masing-masing. Sudah enam bulan tak ada titik terangnya." Ia kembali mengeluh."Kau beruntung bisa mengeluh padaku. Dan aku mau mendengarkanmu. Kau ingat dulu, betapa cueknya dirimu saat aku mengaduh.""Iya, aku ingat. Kupikir kau hanya berlebihan. Ternyata memang lelah luar biasa dan bikin stressssss!"Aku tersenyum mendengarnya. Semoga tak ada lagi di dunia ini yang menuduh istrinya di rumah cuma ongkang-ongkang kaki. Apa yang dikerjakan dan dirasakan oleh wanita itu tak terlihat mata hasilnya. Padahal meletihkan.Andaikan semua yang dilakukan oleh wanita dihargai dengan uang. Aku yakin mereka pantas diberi nafkah lebih banyak dari ART yang merangkap sebagai baby sitter sekaligus sebagai koki bahkan lebih dari itu.Usia kandungan mulai menginjak sembilan bulan aku mengajaknya untuk USG terakahir kalinya."Buat apa? Buang-buang uang lagi pula aku malu jika harus dilihat lagi. Ini aurot," tola
Pertanyaan Mbak Ipar soal keramas membuat aku dan Mas Abraham saling pandang, lalu kami tertawa sambil menutup mulut."Kenapa tertawa?" tanya Mbak Fatma Kumala."Kami semalam itu cuma ngobrol saja, Mbak. Tentang urusan desa. Kami tidak nganu, kok. Iya, 'kan, Dek?" Aku mencoba meluruskan serta meminta penguatan pada Mas Abraham."Iya, Mbak. Wong Mas Abraham kuajak ndak mau, kok."Et, dah kenapa pula jawaban Mas Abraham pakai menyudutkan aku."Kamu ndak kangen, Ham? Kasihan istrimu, loh." Mbak Fatma Kumala, kok, tak malu, ya, bilang gitu. Padahal dia 'kan perempuan."Aku capek, Mbak. Mana ada mood." Kujawab saja seperti itu, rasanya mukaku panas kayak kepiting rebus yang baru ditiriskan. "Yang sabar, ya, Fa. Gitu dia mau kawin lagi sama Arina. Satu istri saja ndak kuat." Mbak Fatma berkata menghadap ke Mas Abraham yang menghuni ragaku."Entahlah Mas Abraham itu. Baru jadi carik saja, sok-sokan mau poligami. Ya, kan, Mbak?" Aku tersedak air minum. Mentang-mentang tubuh yang dia pakai
Malam itu, aku, Maryam, Mbak Fatma dan Mas Abraham berkumpul di ruang tamu dengan beralaskan tikar.Mereka berdua bertanya tentang kejadian yang menimpa kami. Tentu kuceritakan menit-menit terjadinya likuifaksi. Juga tentang Pak Lana yang tak sanggup kami selamatkan."Kalau saja Pak Lana tak terlalu sombong, ...." Mas Abraham menyayangkan kejadian itu. "Sudah takdirnya hanya sampai di situ," ucapku.Kami banyak bercerita sampai tak terasa kami berempat, tertidur di ruang tamu beralaskan tikar. Kasur kapuk yang ada di kamar juga di bawa ke depan agar Maryam tidur di situ sekalian. Jarang-jarang Mbakyu Fatma Kumala mau menginap.Jam dua dini hari aku terbangun. Kulihat Mbak Fatma dan juga Maryam tertidur pulas begitu pula Mas Abraham. Kutinggal mereka untuk pergi ke kamar mandi karena kebelet pipis.Sekembaliku, Mas Abraham sudah bangun dan duduk menantiku."Mau ke kamar mandi?" tanyaku padanya."Nanti saja. Aku mau bicara mumpung mereka tidur," jawabnya sambil matanya seolah menunju
"Kalian tunggulah di sini, saya akan pergi meminta bantuan untuk transportasi kita ke pemukiman baru," ujar Pak Lurah."Ham, ayo, ikutlah!" ajak Pak Lurah."Kemana, Pak?" tanyaku."Ke pemesanan travel. Kita pesan bus pariwisata.""Mau tamasya, Pak?"Tiba-tiba Pak Lurah memukul kepalaku dengan dahan ranting kecil.Salahku apa?"Mau ikut tidak?" tanyanya.Kalau di suruh milih ikut atau tidak, pastinya ingin tidak ikut. Lha, di sini ada Muzakka ya, pilih tinggal di sini, nunggu mantan. Andai tak disemat namaku dengan label Pak Carik. Sayangnya karena faktanya aku Pak Carik, suka duka harus mau mendampingi Pak Lurah. Jadi, mau tak mau harus brangkat.Aku naik ke boncengan motor Pak Carik. "Kami cari bantuan, kalian tunggu di sini. Tapi kalau ada bencana cepat pindah ke tempat aman. Jangan lupa terus berzikir!" perintah Pak Lurah."Siap, Pak!" Semua yang ada di situ menjawab bersamaan."Oh, ya. Yang bawa motor boleh melakukan perjalanan lebih dulu, ada yang sudah tahu kan lokasinya? Bus
Semua mungkin sepertiku, terkesiap dengan mata terbelalak. Hujan pun seolah tiba-tibw berhenti meski suara guntur masih terdengar bersahutan di ujung bukit Andai. Tuh, orang baru datang langsung aja main nyelonong mau nyeberang langsung. Akibatnya pohon bergerak hebat. Muzakka langsung tiarap dan dan merambat cepat untuk menggapai ranting. Sementara Pak Lana yang sama sekali tak tahu kondisi hanya terburu nafsu ingin cepat sampai sempat tiba-tiba oleh untungnya ia sempat berbalik arah dan melompat mundur. Wajahnya memutih pucat pasi. Ia bingung. Abaikan, orang menyebalkan itu. Aku mau fokus tentang perjuangan Muzakka dulu. Salah Pak Lana sendiri disuruh pergi saat kloter pertama, sok-sokan kayak gak butuh orang. Sakit hatiku mengingat datang ke rumahnya dicuekin gak dibukain pintu. Jika kalian lupa sikapnya, kalian bisa baca lagi di bab dua puluh sembilan. Kali ini Muzakka masih merambat tapi si Pengganggu maksudku Pak Lana kembali ingin menapakkan kakinya ke batang. Ia ikutan ca
Orang-orang yang ada bersama kami saling menyemangati agar mereka bisa melewati lubang memanjang itu.Beberapa lelaki melompati tanah terbelah dan berhasil mendarat di tempat aku dan Pak Lurah berada.Yang membawa mobil, dengan sangat terpaksa meninggalkan mobilnya di sana begitu saja. Mereka semua melompati lubang dalam yang lebarnya semeter lebih.Sekarang hanya tersisa keluarga Muzakka. Aku tahu mengapa Muzakka dan Pak Haji tak segera melompat. Sebagai seorang suami, Pak Haji tak mungkin meninggalkan istrinya di situ, begitu pula Muzakka, sebagai anak lelaki akan sangat keterlaluan jika ia membiarkan ibunya sendirian. Jadilah mereka bertiga mondar-mandir mencari solusi.Di sini area hutan jati. Kiri dan kanan jalan tak ada rumah penduduk yang ada hanya batang pokok jati. Beberapa pohon menjadi doyong bahkan ada dua atau tiga yang roboh dikarenakan tanah yang tidak stabil.Tampaknya Muzakka ingin memanfaatkan pohon yang roboh. Ia dan abinya berusaha menyeret pohon tumbang tapi tent
"Jadi kamu diculik? Dan barang-barang di rumahmu dirampok?" tanya Pak Lurah terkejut.Aku hanya menjawab dengan anggukan.Pak Lurah menggelengkan kepala. Ia sepertinya prihatin dengan apa yang menimpaku. Yah, beginilah nasibku."Begitulah, Pak. Nasib orang jelek seperti saya." Jelek perilaku Mas Abraham maksudku."Ya, Allah, Ham. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Seperti apa temanmu itu sebenarnya sampai melakukan hal yang mengerikan seperti itu."Tak ada yang bisa kurespon selain memasang wajah sedih. Siapa yang tak galau punya musuh bebuyutan tapi tak mengenalnya.Untuk beberapa saat kami hening. Aku sendiri sibuk berpikir tentang bagaimana keadaan Mas Abraham dan Maryam di sana. Kira-kira dia panik tidak mengingat dirinya semula berhadapan dengan musuh dan setelahnya aku yang menghuni raga. Kalau dia masih ada hati harusnya kebingungan.Di luar terdengar rintik hujan makin lama makin deras. Tampaknya musim hujan sudah dimulai hari ini. Aku dan pak lurah saling berpandangan. Apa yang