"Merasakan apa?" tanya Mas Abraham bingung.
Dia memang tidak peka sama sekali.
"Itu, lihat!" kataku sambil menunjuk lampu yang bergerak-gerak.
"Dengarkan ini!" Telunjukku mengarah ke kaca jendela.
Tiba-tiba wajah Mas Abraham memucat seolah ketakutan. Hal itu membuatku makin panik.
"Sepertinya perpindahan harus dimajukan lebih cepat lagi," ucap Mas Abraham.
Aku tahu bencana sedang mengintai dan akan segera datang tapi, tolong jangan sekarang kami belum siap.
Beberapa menit kemudian, getaran rumah ini sudah hilang.
"Mungkin karena ada gunung merapi meletus di daerah lain," kataku menduga-duga.
Kuharap gempa karena lapisan tanah daerah ini hanya dugaan salah semata. Sebab aku takut jika benar terjadi sedang kami belum pindah.
Bayangan tanah merekah sehinga menimbulkan lubang panj
"Itu nomor asing, tidak penting.""Dari mana engkau tahu kalau tidak penting? Bukankah lebih baik didengarkan dulu. Siapa tahu penting.""Sudahlah! Jangan mendebatku terus. Jika ada nomor tanpa nama jangan pernah mengangkatnya paham!" Mas Abraham tiba-tiba menjadi tegas. Aura lelakinya kembali muncul. Akan tetapi, mengapa aku jadi curiga.Sandainya tadi dia tak mengungkit rahasia yang disembunyikannya dariku mungkin aku tak akan menduga hal yang negatif. Aku benar-benar bingung atas tingkah lakunya.Malam itu menyisakan sebuah tanda tanya besar yang entah kapan kudapatkan jawabannya.Rupanya nomor yang tadi masuk dihapus riwayat panggilannya dan mungkin juga bahkan diblokir. Kalau saja ada yang tahu cara mengembalikan riwayat panggilan pasti aku sudah minta tolong untuk mendapatkannya. Kemudian akan kucoba mencari tahu siapa dibalik nomor itu. Sayang sekali aku bukan ahli I
Teeet!Teeet!Suara klakson mobil Pak Lurah kok gitu amat, ya. Kayak bel sekolah saja."Dek, ayo keluar!" teriakku.Di depan pagar rumah kami sudah terparkir mobil Apanja warna hitam mengkilat milik Pak Lurah.Ngeeeng!Suara motor berhenti tepat di belakang mobil hitam.Eh, ternyata Pak Lurah mengantar sampai sini pakai motor.Sementara itu Koper dan barang-barang penting sudah kubawa keluar. Jadi Mas Abraham hanya membawa tas di pundaknya. Ia segera masuk ke dalam mobil saat aku sedang memasukkan koper ke dalam bagasi mobil.Isi mobil kuhitung ada tujuh orang. Mataku melotot melihat istriku sudah ada di mobil."Mengapa Maryam ditinggal lagi?!" tanyaku sambil berteriak. Walau tak terlalu keras."Eh, ya, Allah. Lupa lagi aku, Mas!" I
"Sebenarnya kamu siapa?" tanyaku sopan lewat ponsel yang kugenggam."Jangan berlagak tak kenal!" hardik suara di ujung telepon.Saking kerasnya suara, aku sampai menjauhkan HP dari telinga. Galak bener dia. Sebenarnya Mas Abraham punya hubungan apa dengan mereka."Aku mengalami kecelakaan hingga menyebabkan beberapa ingatan jangka pendekku hilang. Yang tersisa hanyalah ingatan masa lalu. Jadi wajar jika aku bertanya kamu siapa.""Kau pikir aku percaya setelah kemarin kau riject dan blokir nomorku.""Sudahlah beritahu padaku apa hubunganmu denganku. Aku malas berdebat denganmu." Aku berkata untuk mempersingkat pembicaraan."Kutunggu besok di kedai tambang kalau mau tahu apa yang kau lupa!""Jam berapa?""Jam empat sore.""Baiklah.""Jangan bawa siapa pun! Apalagi polisi!"
"Saya juga tak tahu. Nomornya tidak tersimpan di ponsel," jawabku."Kalau begitu nanti saya ikut." Muzakka dengan percaya diri mangajukan diri untuk menyertaiku.Hmm! Apa tidak mengapa mengajak Muzakka ke sana? Sementara penelepon asing memintaku untung datang sendiri."Dia memintaku datang sendiri," ucapku padanya.Aku tak ingin ia merasa ditolak. Sebab entah mengapa setelah menerima makan siang di rumahnya membuatku tak ingin mengecewakannya."Oh, begitu, ya," ucapnya sedih."Baiklah aku permisi!" pamitku."Tunggu, saya sekalian ke masjid lagi saja. Toh, sebentar lagi akan azan Asar!" Ia berteriak lalu masuk ke rumah mengambil kunci motor.Mengapa Muzakka mau mengekoriku terus, sih. Aneh, rasanya. Apa dia tahu aku adalah Ulfa? Hah! Manalah mungkin? Atau memang sudah menjadi takdir jiwaku selalu menarik perhati
Kuhempaskan rasa takut sejenak untuk menghimpun kekuatan sekedar bersuara."Kalian mau apa!" teriakku lantang walau setelahnya gemetar hebat. Jantungku berpacu begitu cepat."Kami mau memberikan pelajaran untuk orang serakah sepertimu!"Aku mundur beberapa langkah takut tentunya karena Ayah dulu tak pernah membekaliku ilmu bela diri. Dengan apa aku melawan? Apa harus lari? Percuma karena aku sedang dikepung.Tiba-tiba sebuah tendangan melesak ke arah dada. Aku terhuyung ke belakang dengan refleks memegangi bagian depanku, rasanya mau jebol. Selemah ini, aku. Untung ini fisik Mas Abraham sehingga tidak serapuh perempuan.Tendangan itu hanya permulaan sebab dari arah belakang sebuah pukulan telak mendarat tepat di bagian punggungku. Duh, Rabby, Al Qowiy wal Matin depan, belakang tubuhku kena hatam. Kalau bukan Engkau yang menciptakan aku, mungkin sudah remuk tubuh ini. 
"Pak Lurah sudah saya telepon, beliau sedang menuju kemari!" Abi Muzakka tiba-tiba muncul di pintu memberitahu kepada kami.Seketika aku dan Muzakka menoleh, hampir saja kepala kami berbenturan.Lalu kami saling berpandangan dan saling tersenyum karena tadi tak sengaja. Melihat senyumnya seketika otakku mengalami error 404. Blank!"Pak! ..., Pak Carik! Apa ada yang dipikirkan?" tanya Abi Muzakka yang mengibaskan telapak tangannya tepat di depan mukaku.Dengan reflek aku mengerjapkan mata dan menutup mulut yang tak kusadari tadi menganga karena takjub dengan senyuman Muzakka tadi."Ya, Ada apa, ya?""Pak Carik tadi kenapa? Tiba-tiba seperti patung mangap." Muzakka bertanya seolah menegurku."Ah, tidak ada apa-apa. Kaget saja abimu tahu-tahu muncul," jawabku sekenanya."Masak karena saya?" tanya Abi Muzakka dengan kerlingan mat
Pukul delapan malam aku bangkit dari tempat tidur, berniat hendak pamitan kepada keluarga Muzakka.Aku yakin mereka tak meyuruhku pulang karena segan. Jadi sudah semestinya, akulah yang harus punya inisiatif sendiri untuk pergi dari sini.Terdengar suara mereka sedang bercakap-cakap di ruang tengah di mana letak televisi rumah ini berada.Semakin dekat langkahku semakin terdengar percakapan mereka."Memangnya Arina yang minta maskawin itu, Zak?""Bukan dia, Mi. Tapi, inisiatif dariku sendiri." Suara Muzakka menjawab pertanyaan Uminya."Kamu tidak bertanya apa yang dia inginkan?" tanya uminya lagi."Tidak. Dia juga tidak memberitahu barang yang dia inginkan sebagai maskawin, Mi.""Coba tanya dulu. Jangan-jangan dia menginginkan sesuatu, tapi tak mau memberatkanmu.""Iya, Mi. Besok Insyaallah."Karena percakapan mereka terdengar sudah selesai, maka aku memberanikan diri muncul di hadapan mereka."Pak Ca
"Maksudnya, Mas?" Muzakka mengernyitkan dahi.Kubiarkan pertanyaannya tanpa jawaban. Biar dia menebak."Kalau ngomong yang tuntas. Jangan biarkan saya menebak-nebak kenapa?" Ia bertanya lagi karena tadi aku enggan menjawab.Baiklah, karena ia tak suka main tebak-tebakan maka terpaksa kujelaskan padanya."Maksudku, kau benar, memang sisa masa lalu harus segera disingkirkan agar tak melukai pasangan," jelasku padanya.Lelaki itu tersenyum."Mas Abraham apa tidak pernah cemburu kalau dulu Mbak Ulfa sempat punya rasa dengan saya?"Syaaah! Dia jujur sekale. Aku ini Ulfa, woy! Masak dia ngajak aku ghibahin diriku sendiri!Ah, sudahlah percuma teriak-teriak kalau cuma dalam hati."Saya sebenarnya justru merasa bersalah padamu sudah menikungmu. Tapi, dulu murni karena saya tak tahu bahwa kalian berd
"Pembukaannya sudah sempurna. Sekarang tarik napas dalam-dalam!"Mas Abraham menarik napas sesuai arahan, pipinya tampak menggelembung besar.Aku menahan tawa dengan menakupkan tangan ke mulut karena ia sampai menyimpan udara di pipi."Kau, ke-ter-laluan mener-ta-wakanku," ucapnya tebata-bata di sela rintihannya yang menyayat jiwa.Mendengar ucapannya, aku segera memasang wajah serius."Mulai! Dorong!" perintah Bu Bidan.Ia mendorong sekuat tenaga seperti orang wasir yang ingin buang hajat tapi kotoran tak kunjung keluar karena kesangkut di ambiennya."Yeah! Dorong, dorong, dorong," kataku dengan mulut komat-kamit tanpa suara di belakang bidan tapi menghadap wajah Mas Abraham. Kedua tangan kuangkat sambil mengepal dan menggerakkan siku ke atas ke bawah seperti yel-yel."Bu, Bi-sa ge- ser, auuuuh!" Ia memohon Bu Bidan geser sambil merintih. Suaranya mirip lolongan serigala, ups.Karena Bu Bidan geser ke bawah aku jadi maju sedikit dekat kakinya. Tak disangka dengan cepat kakinya yang t
Sehari sebelum kelahiran, Mas Abraham memegangi perutnya."Perutku sekit sekali, lihatlah!" keluhnya sambil menunjukkan telapak tangannya yang gemetar, mungkin karena menahan rasa sakit. Tak lama kemudian tangannya menggenggam kencang dengan wajah yang meringis, keringat dahinya bercucuran.Kupikir mungkin ia sedang mengalami kontraksi, tapi aku yakin bahwa ia tak tahu kalau akan segera melahirkan."Sudah berapa lama sakit kayak gitu?" tanyaku santai."Habis subuh tadi pas rakaat kedua. Saking sakitnya aku lanjutkan shalat sambil duduk. Terus waktu salam sakitnya ilang terus sekarang sakit lagi. Ini kenapa, ya. Dalam perut rasanya ada tangan yang meremas-remas bagian dalamnya. Apa janinnya tidak mati remuk.""Hus, remuk-remuk, kayak roti kering diremat saja. Ke bidan, yok. Periksa kenapa bisa gitu. Kali aja dikasih obat pereda sakit," ajakku. Tak ingin kukatakan padanya bahwa ia sudah harus bersiap. Takutnya keluar bandelnya minta di SC.Kalau berdasarkan dengan penuturannya ada jara
"Sabar," jawabku saat ia mengeluh selepas dari kamar mandi."Kapan kita bisa kembali ke raga masing-masing. Sudah enam bulan tak ada titik terangnya." Ia kembali mengeluh."Kau beruntung bisa mengeluh padaku. Dan aku mau mendengarkanmu. Kau ingat dulu, betapa cueknya dirimu saat aku mengaduh.""Iya, aku ingat. Kupikir kau hanya berlebihan. Ternyata memang lelah luar biasa dan bikin stressssss!"Aku tersenyum mendengarnya. Semoga tak ada lagi di dunia ini yang menuduh istrinya di rumah cuma ongkang-ongkang kaki. Apa yang dikerjakan dan dirasakan oleh wanita itu tak terlihat mata hasilnya. Padahal meletihkan.Andaikan semua yang dilakukan oleh wanita dihargai dengan uang. Aku yakin mereka pantas diberi nafkah lebih banyak dari ART yang merangkap sebagai baby sitter sekaligus sebagai koki bahkan lebih dari itu.Usia kandungan mulai menginjak sembilan bulan aku mengajaknya untuk USG terakahir kalinya."Buat apa? Buang-buang uang lagi pula aku malu jika harus dilihat lagi. Ini aurot," tola
Pertanyaan Mbak Ipar soal keramas membuat aku dan Mas Abraham saling pandang, lalu kami tertawa sambil menutup mulut."Kenapa tertawa?" tanya Mbak Fatma Kumala."Kami semalam itu cuma ngobrol saja, Mbak. Tentang urusan desa. Kami tidak nganu, kok. Iya, 'kan, Dek?" Aku mencoba meluruskan serta meminta penguatan pada Mas Abraham."Iya, Mbak. Wong Mas Abraham kuajak ndak mau, kok."Et, dah kenapa pula jawaban Mas Abraham pakai menyudutkan aku."Kamu ndak kangen, Ham? Kasihan istrimu, loh." Mbak Fatma Kumala, kok, tak malu, ya, bilang gitu. Padahal dia 'kan perempuan."Aku capek, Mbak. Mana ada mood." Kujawab saja seperti itu, rasanya mukaku panas kayak kepiting rebus yang baru ditiriskan. "Yang sabar, ya, Fa. Gitu dia mau kawin lagi sama Arina. Satu istri saja ndak kuat." Mbak Fatma berkata menghadap ke Mas Abraham yang menghuni ragaku."Entahlah Mas Abraham itu. Baru jadi carik saja, sok-sokan mau poligami. Ya, kan, Mbak?" Aku tersedak air minum. Mentang-mentang tubuh yang dia pakai
Malam itu, aku, Maryam, Mbak Fatma dan Mas Abraham berkumpul di ruang tamu dengan beralaskan tikar.Mereka berdua bertanya tentang kejadian yang menimpa kami. Tentu kuceritakan menit-menit terjadinya likuifaksi. Juga tentang Pak Lana yang tak sanggup kami selamatkan."Kalau saja Pak Lana tak terlalu sombong, ...." Mas Abraham menyayangkan kejadian itu. "Sudah takdirnya hanya sampai di situ," ucapku.Kami banyak bercerita sampai tak terasa kami berempat, tertidur di ruang tamu beralaskan tikar. Kasur kapuk yang ada di kamar juga di bawa ke depan agar Maryam tidur di situ sekalian. Jarang-jarang Mbakyu Fatma Kumala mau menginap.Jam dua dini hari aku terbangun. Kulihat Mbak Fatma dan juga Maryam tertidur pulas begitu pula Mas Abraham. Kutinggal mereka untuk pergi ke kamar mandi karena kebelet pipis.Sekembaliku, Mas Abraham sudah bangun dan duduk menantiku."Mau ke kamar mandi?" tanyaku padanya."Nanti saja. Aku mau bicara mumpung mereka tidur," jawabnya sambil matanya seolah menunju
"Kalian tunggulah di sini, saya akan pergi meminta bantuan untuk transportasi kita ke pemukiman baru," ujar Pak Lurah."Ham, ayo, ikutlah!" ajak Pak Lurah."Kemana, Pak?" tanyaku."Ke pemesanan travel. Kita pesan bus pariwisata.""Mau tamasya, Pak?"Tiba-tiba Pak Lurah memukul kepalaku dengan dahan ranting kecil.Salahku apa?"Mau ikut tidak?" tanyanya.Kalau di suruh milih ikut atau tidak, pastinya ingin tidak ikut. Lha, di sini ada Muzakka ya, pilih tinggal di sini, nunggu mantan. Andai tak disemat namaku dengan label Pak Carik. Sayangnya karena faktanya aku Pak Carik, suka duka harus mau mendampingi Pak Lurah. Jadi, mau tak mau harus brangkat.Aku naik ke boncengan motor Pak Carik. "Kami cari bantuan, kalian tunggu di sini. Tapi kalau ada bencana cepat pindah ke tempat aman. Jangan lupa terus berzikir!" perintah Pak Lurah."Siap, Pak!" Semua yang ada di situ menjawab bersamaan."Oh, ya. Yang bawa motor boleh melakukan perjalanan lebih dulu, ada yang sudah tahu kan lokasinya? Bus
Semua mungkin sepertiku, terkesiap dengan mata terbelalak. Hujan pun seolah tiba-tibw berhenti meski suara guntur masih terdengar bersahutan di ujung bukit Andai. Tuh, orang baru datang langsung aja main nyelonong mau nyeberang langsung. Akibatnya pohon bergerak hebat. Muzakka langsung tiarap dan dan merambat cepat untuk menggapai ranting. Sementara Pak Lana yang sama sekali tak tahu kondisi hanya terburu nafsu ingin cepat sampai sempat tiba-tiba oleh untungnya ia sempat berbalik arah dan melompat mundur. Wajahnya memutih pucat pasi. Ia bingung. Abaikan, orang menyebalkan itu. Aku mau fokus tentang perjuangan Muzakka dulu. Salah Pak Lana sendiri disuruh pergi saat kloter pertama, sok-sokan kayak gak butuh orang. Sakit hatiku mengingat datang ke rumahnya dicuekin gak dibukain pintu. Jika kalian lupa sikapnya, kalian bisa baca lagi di bab dua puluh sembilan. Kali ini Muzakka masih merambat tapi si Pengganggu maksudku Pak Lana kembali ingin menapakkan kakinya ke batang. Ia ikutan ca
Orang-orang yang ada bersama kami saling menyemangati agar mereka bisa melewati lubang memanjang itu.Beberapa lelaki melompati tanah terbelah dan berhasil mendarat di tempat aku dan Pak Lurah berada.Yang membawa mobil, dengan sangat terpaksa meninggalkan mobilnya di sana begitu saja. Mereka semua melompati lubang dalam yang lebarnya semeter lebih.Sekarang hanya tersisa keluarga Muzakka. Aku tahu mengapa Muzakka dan Pak Haji tak segera melompat. Sebagai seorang suami, Pak Haji tak mungkin meninggalkan istrinya di situ, begitu pula Muzakka, sebagai anak lelaki akan sangat keterlaluan jika ia membiarkan ibunya sendirian. Jadilah mereka bertiga mondar-mandir mencari solusi.Di sini area hutan jati. Kiri dan kanan jalan tak ada rumah penduduk yang ada hanya batang pokok jati. Beberapa pohon menjadi doyong bahkan ada dua atau tiga yang roboh dikarenakan tanah yang tidak stabil.Tampaknya Muzakka ingin memanfaatkan pohon yang roboh. Ia dan abinya berusaha menyeret pohon tumbang tapi tent
"Jadi kamu diculik? Dan barang-barang di rumahmu dirampok?" tanya Pak Lurah terkejut.Aku hanya menjawab dengan anggukan.Pak Lurah menggelengkan kepala. Ia sepertinya prihatin dengan apa yang menimpaku. Yah, beginilah nasibku."Begitulah, Pak. Nasib orang jelek seperti saya." Jelek perilaku Mas Abraham maksudku."Ya, Allah, Ham. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Seperti apa temanmu itu sebenarnya sampai melakukan hal yang mengerikan seperti itu."Tak ada yang bisa kurespon selain memasang wajah sedih. Siapa yang tak galau punya musuh bebuyutan tapi tak mengenalnya.Untuk beberapa saat kami hening. Aku sendiri sibuk berpikir tentang bagaimana keadaan Mas Abraham dan Maryam di sana. Kira-kira dia panik tidak mengingat dirinya semula berhadapan dengan musuh dan setelahnya aku yang menghuni raga. Kalau dia masih ada hati harusnya kebingungan.Di luar terdengar rintik hujan makin lama makin deras. Tampaknya musim hujan sudah dimulai hari ini. Aku dan pak lurah saling berpandangan. Apa yang