Pukul delapan malam aku bangkit dari tempat tidur, berniat hendak pamitan kepada keluarga Muzakka.
Aku yakin mereka tak meyuruhku pulang karena segan. Jadi sudah semestinya, akulah yang harus punya inisiatif sendiri untuk pergi dari sini.
Terdengar suara mereka sedang bercakap-cakap di ruang tengah di mana letak televisi rumah ini berada.
Semakin dekat langkahku semakin terdengar percakapan mereka.
"Memangnya Arina yang minta maskawin itu, Zak?"
"Bukan dia, Mi. Tapi, inisiatif dariku sendiri." Suara Muzakka menjawab pertanyaan Uminya.
"Kamu tidak bertanya apa yang dia inginkan?" tanya uminya lagi.
"Tidak. Dia juga tidak memberitahu barang yang dia inginkan sebagai maskawin, Mi."
"Coba tanya dulu. Jangan-jangan dia menginginkan sesuatu, tapi tak mau memberatkanmu."
"Iya, Mi. Besok Insyaallah."
Karena percakapan mereka terdengar sudah selesai, maka aku memberanikan diri muncul di hadapan mereka.
"Pak Ca
"Maksudnya, Mas?" Muzakka mengernyitkan dahi.Kubiarkan pertanyaannya tanpa jawaban. Biar dia menebak."Kalau ngomong yang tuntas. Jangan biarkan saya menebak-nebak kenapa?" Ia bertanya lagi karena tadi aku enggan menjawab.Baiklah, karena ia tak suka main tebak-tebakan maka terpaksa kujelaskan padanya."Maksudku, kau benar, memang sisa masa lalu harus segera disingkirkan agar tak melukai pasangan," jelasku padanya.Lelaki itu tersenyum."Mas Abraham apa tidak pernah cemburu kalau dulu Mbak Ulfa sempat punya rasa dengan saya?"Syaaah! Dia jujur sekale. Aku ini Ulfa, woy! Masak dia ngajak aku ghibahin diriku sendiri!Ah, sudahlah percuma teriak-teriak kalau cuma dalam hati."Saya sebenarnya justru merasa bersalah padamu sudah menikungmu. Tapi, dulu murni karena saya tak tahu bahwa kalian berd
Ketukan pintu itu berbunyi tiga kali. Tanpa salam, apalagi menyebut nama. Mungkin si Pengetuk bukan orang Islam jadi tidak tahu adab bertamu di rumah orang."Siapa?" teriakku saking kerasnya sampai suaraku berubah parau.Tak ada jawaban. Ah, siapalah yang menjahiliku. Mana badanku masih sedikit ngilu untuk digerakkan.Apa harus kubuka pintunya? Atau dibiarkan saja?Kuhela napas berat dan tak lupa melafalkan basmalah, barulah pintu dibuka.Tak ada seorangpun tapi ada sebuah kertas yang sengaja diselipkan di bawah pintu. Di sana terdapat tulisan ancaman.Kau masih hidup rupanya. Umurmu memang panjang. Tenang urusan kita belum selesai.Tak ada nama. Namun aku tahu siapa pelakunya. Karena kalimatnya mudah ditebak. Siapa lagi kalau bukan si Bos misterius itu. Pakai menerorku segala, belum puas apa membuatku babak belur.Aku yakin ada yang memata-matai rumah ini. Sehingga begitu aku sampai rumah mereka bisa langsung tahu.Sekarang terasa ada yang mengintai, entah ia mengawasi di sebelah m
Gelap, aku bahkan tak bisa mengingat aku ini apa. Sampai kudengar suara-suara di sekeliling."Ibu." Sebuah panggilan disertai rengekan yang kukenal. Itu suara Maryam. Aku merindukannya sampai bermimpi mendengarnya memanggil dan menangisiku."Cup ... cup ... cup, ibumu tidak apa-apa. Kata Bu bidan ibumu sehat. Udah jangan nangis lagi." Mbok Darsih? Iya itu suara Mbok Darsih. Apa aku tidak sedang bermimpi? Bukankah dia sudah tidak berada di Walang Sangit.Perlahan mataku terbuka. Kucubit pahaku, sakit. Ini bukan mimpi sepertinya juga bukan halusinasi. Tempat ini sama sekali tak pernah kudatangi sebelumnya. Apa yang terjadi pada kami? Terakhir yang kuingat kepalaku pusing dan ponselku terjatuh sebelum semua menjadi gelap. Kalau benar dugaanku Mas Abraham juga kembali ke raganya. Di rumah kami Walang Sangit sana.Mataku mencari sosok Mbok Darsih. Ia di sana dekat pintu bersama Maryam yang menangis sambil terduduk."Mbok," panggilku lirih.Wanita setengah tua itu menghampir ranjang pa
"Mungkin ruh saya jalan-jalan dulu selama tujuh belas jam, Bu, makanya lama." Aku menjawab bernada kelakar.Padahal sebenarnya yang kukatakan serius. Bayangkan ruhku ada di Walang Sangit terbang kemari untuk menghuni ragaku yang sedang ditinggal oleh Mas Abraham. Bukankah itu hal yang tidak mustahil jika Allah berkehendak?Bidan hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Ia pikir aku beneran sekedar bercanda."Ya, sudah jika tak mau memeriksakan lebih lanjut. Nanti sore boleh pulang. Soalnya tekanan darah normal dan detak jantung janin juga normal. Jika Bu Ulfa ingin memastikan dampak pingsan, nanti saya beri surat rujukan untuk ke rumah sakit yang lebih besar agar bisa ct scan.""Untuk sekarang tidak dulu, Bu. Tapi jika saya ada apa-apa, saya akan datang kemari."Usai berbincang-bincang sedikit, bidan itu hendak pergi tapi kutahan."Bu, boleh saya pulang lebih dulu untuk membawa uang kemari?""Tidak usah, Bu Ulfa. Tak banyak yang kami lakukan. Nanti kalau Bu Ulfa mau pulang bisa kok langsu
Teriakan Mas Abraham terdengar sayup-sayup, "Jangan pedulikan dia! Jangan pernah ke Walang Sangit lagi!"Tak berapa lama panggilan putus tepat setelah terdengar suara pukulan. Aku termangu. Itu tadi apa? Apakah Mas Abraham mau dihabisi? Bagaimana kalau dia mati? Kalau benar begitu, keinginannya mengorbankan nyawa terkabulkan. Walau aku sangat ingin dia mati, kenyataanya tetap saja hal ini menyakitkan. Seperti belum rela, jika ia meninggal sekarang.Entah siapa yang dipukul dan siapa yang memukul, sebab setelah itu tak ada lagi yang menelepon.Ternyata, selama aku menerima panggilan tadi, Mbok Darsih terdiam memperhatikanku."Bu Ulfa, ada apa?" tanya beliau."Mbok, saya sarankan ganti nomor hari ini juga. Pokoknya lepas nomor ini. Jangan sampai orang asing yang merampas hape Mas Abraham melacak kita. Ini sementara saya matikan sampai Mbok Darsih punya nomor baru, ya.""Iya, iya. Nanti saya ganti." Selesai makan, aku ingin melihat keadaan rumah baru kami ini. Sekaligus ingin tahu, si
Ia tak mungkin mencoba untuk bunuh diri setelah babak belur dihajar oleh mantan teman kuliahnya, bukan? Tapi bisa jadi ia memang dilempar ke sungai. Mungkin dikira sudah mati jadi jasad Mas Abraham dibuang untuk menghilangkan jejak. Hubungan pertemanan mereka sangat mengerikan.Pertama yang dilakukan, aku harus menepi dulu, dengan tertatih kaki melangkah ke pinggir sungai dan duduk di atas rerumputan di bawah pohon jati. Aliran sungai ini tak begitu deras, tapi cukup bisa membuat tubuh hanyut. Itu sebabnya aku bisa tersangkut. Untung juga tidak sedang hujan deras karena jika itu terjadi mungkin raga ini akan terbawa arus hingga ke kota besar dan bertemu dengan sungai besar yang menampung air dari sungai-sungai hulu beraliran kecil. Dengan volume air yang lebih tinggi di sungai besar, maka Mas Abraham bisa saja mati.Pikiranku mulai melayang untuk menganalisa awal mula kejadian. Pertama, jika pertukaran ini berulang, artinya ada yang belum selesai.Kedua, kami bertukar tatkala ada yan
Entah berapa lama aku berjalan menyusuri jalan setapak. Tiap kali jalan ini menjauh dari aliran sungai, pasti aku tinggalkan dan kembali berjalan di pinggirnya meski terhalang onak dan bebatuan. Mengapa seperti itu? Sebab, tujuanku memang mencari jejak pertama kali Mas Abrahan terlempar ke sungai.Sampai kutemukan asal cabang dari sungai ini menjadi tiga. Di sini aku mulai bingung untuk menentukan mana yang akan kutelusuri. Ah, ya. Aku bisa melakukan salat istiqarah untuk meminta petunjuk dalam memilih hulu sungai yang benar. Jika kalian mengira salat istiqarah hanya untuk memilih jodoh maka kalian keliru. Salat tersebut bisa dilakukan saat kita dihadapkan untuk memilih salah satu dari dua pilihan atau lebih.Aku benar-benar melakukan dua rekaat salat tersebut lalu memohon kepada agar apa yang kupilih baik untukku dan akheratku. Setelah itu aku merenung untuk menganalisa. Sampai akhirnya kuputuskan hulu sungai yang memiliki aliran paling deras, sebab aku yakin tubuh Mas Abraham tak
"Perkelahian seperti apa, Bu? Di mana tempatnya?" tanyaku penasaran."Sebenarnya di sana ada tiga orang. Tapi, satu lelaki sembunyi di balik pohon agak jauh sari situ. Saya hanya lihat pundaknya yang sebelah saja. Sedangkan dua orang lelaki saling berkelahi ada yang bawa pisau. Ih, ngeri! Saya cepat-cepat menyingkir. Takut ada yang tahu kalau saya melihat mereka."Ia masih belum menjawab tempat kejadiannya."Di mana?" Terpaksa kuulangi pertanyaanku."Sebelah timur, ayo! Saya tunjukin jalannya," ajak wanita paruh baya itu.Langkah wanita itu kuikuti. Ia berjalan ke samping rumah. Ada jarak satu meter antara rumahnya dan tanah yang agak tinggi. Untuk sampai ke atas, sudah ada lekukan tanah yang mirip tangga."Naik gampeng ini. Nanti ada jalan setapak. Ikuti saja sampai tiba di pinggiran sungai. Mungkin jaraknya sekitar lima ratus meter dari sini."Telunjuk wanita itu mengarah ke atas undakan tanah yang lebih tinggi."Kalau begitu saya permisi, Bu. Terima kasih banyak makan siangnya," ka
"Pembukaannya sudah sempurna. Sekarang tarik napas dalam-dalam!"Mas Abraham menarik napas sesuai arahan, pipinya tampak menggelembung besar.Aku menahan tawa dengan menakupkan tangan ke mulut karena ia sampai menyimpan udara di pipi."Kau, ke-ter-laluan mener-ta-wakanku," ucapnya tebata-bata di sela rintihannya yang menyayat jiwa.Mendengar ucapannya, aku segera memasang wajah serius."Mulai! Dorong!" perintah Bu Bidan.Ia mendorong sekuat tenaga seperti orang wasir yang ingin buang hajat tapi kotoran tak kunjung keluar karena kesangkut di ambiennya."Yeah! Dorong, dorong, dorong," kataku dengan mulut komat-kamit tanpa suara di belakang bidan tapi menghadap wajah Mas Abraham. Kedua tangan kuangkat sambil mengepal dan menggerakkan siku ke atas ke bawah seperti yel-yel."Bu, Bi-sa ge- ser, auuuuh!" Ia memohon Bu Bidan geser sambil merintih. Suaranya mirip lolongan serigala, ups.Karena Bu Bidan geser ke bawah aku jadi maju sedikit dekat kakinya. Tak disangka dengan cepat kakinya yang t
Sehari sebelum kelahiran, Mas Abraham memegangi perutnya."Perutku sekit sekali, lihatlah!" keluhnya sambil menunjukkan telapak tangannya yang gemetar, mungkin karena menahan rasa sakit. Tak lama kemudian tangannya menggenggam kencang dengan wajah yang meringis, keringat dahinya bercucuran.Kupikir mungkin ia sedang mengalami kontraksi, tapi aku yakin bahwa ia tak tahu kalau akan segera melahirkan."Sudah berapa lama sakit kayak gitu?" tanyaku santai."Habis subuh tadi pas rakaat kedua. Saking sakitnya aku lanjutkan shalat sambil duduk. Terus waktu salam sakitnya ilang terus sekarang sakit lagi. Ini kenapa, ya. Dalam perut rasanya ada tangan yang meremas-remas bagian dalamnya. Apa janinnya tidak mati remuk.""Hus, remuk-remuk, kayak roti kering diremat saja. Ke bidan, yok. Periksa kenapa bisa gitu. Kali aja dikasih obat pereda sakit," ajakku. Tak ingin kukatakan padanya bahwa ia sudah harus bersiap. Takutnya keluar bandelnya minta di SC.Kalau berdasarkan dengan penuturannya ada jara
"Sabar," jawabku saat ia mengeluh selepas dari kamar mandi."Kapan kita bisa kembali ke raga masing-masing. Sudah enam bulan tak ada titik terangnya." Ia kembali mengeluh."Kau beruntung bisa mengeluh padaku. Dan aku mau mendengarkanmu. Kau ingat dulu, betapa cueknya dirimu saat aku mengaduh.""Iya, aku ingat. Kupikir kau hanya berlebihan. Ternyata memang lelah luar biasa dan bikin stressssss!"Aku tersenyum mendengarnya. Semoga tak ada lagi di dunia ini yang menuduh istrinya di rumah cuma ongkang-ongkang kaki. Apa yang dikerjakan dan dirasakan oleh wanita itu tak terlihat mata hasilnya. Padahal meletihkan.Andaikan semua yang dilakukan oleh wanita dihargai dengan uang. Aku yakin mereka pantas diberi nafkah lebih banyak dari ART yang merangkap sebagai baby sitter sekaligus sebagai koki bahkan lebih dari itu.Usia kandungan mulai menginjak sembilan bulan aku mengajaknya untuk USG terakahir kalinya."Buat apa? Buang-buang uang lagi pula aku malu jika harus dilihat lagi. Ini aurot," tola
Pertanyaan Mbak Ipar soal keramas membuat aku dan Mas Abraham saling pandang, lalu kami tertawa sambil menutup mulut."Kenapa tertawa?" tanya Mbak Fatma Kumala."Kami semalam itu cuma ngobrol saja, Mbak. Tentang urusan desa. Kami tidak nganu, kok. Iya, 'kan, Dek?" Aku mencoba meluruskan serta meminta penguatan pada Mas Abraham."Iya, Mbak. Wong Mas Abraham kuajak ndak mau, kok."Et, dah kenapa pula jawaban Mas Abraham pakai menyudutkan aku."Kamu ndak kangen, Ham? Kasihan istrimu, loh." Mbak Fatma Kumala, kok, tak malu, ya, bilang gitu. Padahal dia 'kan perempuan."Aku capek, Mbak. Mana ada mood." Kujawab saja seperti itu, rasanya mukaku panas kayak kepiting rebus yang baru ditiriskan. "Yang sabar, ya, Fa. Gitu dia mau kawin lagi sama Arina. Satu istri saja ndak kuat." Mbak Fatma berkata menghadap ke Mas Abraham yang menghuni ragaku."Entahlah Mas Abraham itu. Baru jadi carik saja, sok-sokan mau poligami. Ya, kan, Mbak?" Aku tersedak air minum. Mentang-mentang tubuh yang dia pakai
Malam itu, aku, Maryam, Mbak Fatma dan Mas Abraham berkumpul di ruang tamu dengan beralaskan tikar.Mereka berdua bertanya tentang kejadian yang menimpa kami. Tentu kuceritakan menit-menit terjadinya likuifaksi. Juga tentang Pak Lana yang tak sanggup kami selamatkan."Kalau saja Pak Lana tak terlalu sombong, ...." Mas Abraham menyayangkan kejadian itu. "Sudah takdirnya hanya sampai di situ," ucapku.Kami banyak bercerita sampai tak terasa kami berempat, tertidur di ruang tamu beralaskan tikar. Kasur kapuk yang ada di kamar juga di bawa ke depan agar Maryam tidur di situ sekalian. Jarang-jarang Mbakyu Fatma Kumala mau menginap.Jam dua dini hari aku terbangun. Kulihat Mbak Fatma dan juga Maryam tertidur pulas begitu pula Mas Abraham. Kutinggal mereka untuk pergi ke kamar mandi karena kebelet pipis.Sekembaliku, Mas Abraham sudah bangun dan duduk menantiku."Mau ke kamar mandi?" tanyaku padanya."Nanti saja. Aku mau bicara mumpung mereka tidur," jawabnya sambil matanya seolah menunju
"Kalian tunggulah di sini, saya akan pergi meminta bantuan untuk transportasi kita ke pemukiman baru," ujar Pak Lurah."Ham, ayo, ikutlah!" ajak Pak Lurah."Kemana, Pak?" tanyaku."Ke pemesanan travel. Kita pesan bus pariwisata.""Mau tamasya, Pak?"Tiba-tiba Pak Lurah memukul kepalaku dengan dahan ranting kecil.Salahku apa?"Mau ikut tidak?" tanyanya.Kalau di suruh milih ikut atau tidak, pastinya ingin tidak ikut. Lha, di sini ada Muzakka ya, pilih tinggal di sini, nunggu mantan. Andai tak disemat namaku dengan label Pak Carik. Sayangnya karena faktanya aku Pak Carik, suka duka harus mau mendampingi Pak Lurah. Jadi, mau tak mau harus brangkat.Aku naik ke boncengan motor Pak Carik. "Kami cari bantuan, kalian tunggu di sini. Tapi kalau ada bencana cepat pindah ke tempat aman. Jangan lupa terus berzikir!" perintah Pak Lurah."Siap, Pak!" Semua yang ada di situ menjawab bersamaan."Oh, ya. Yang bawa motor boleh melakukan perjalanan lebih dulu, ada yang sudah tahu kan lokasinya? Bus
Semua mungkin sepertiku, terkesiap dengan mata terbelalak. Hujan pun seolah tiba-tibw berhenti meski suara guntur masih terdengar bersahutan di ujung bukit Andai. Tuh, orang baru datang langsung aja main nyelonong mau nyeberang langsung. Akibatnya pohon bergerak hebat. Muzakka langsung tiarap dan dan merambat cepat untuk menggapai ranting. Sementara Pak Lana yang sama sekali tak tahu kondisi hanya terburu nafsu ingin cepat sampai sempat tiba-tiba oleh untungnya ia sempat berbalik arah dan melompat mundur. Wajahnya memutih pucat pasi. Ia bingung. Abaikan, orang menyebalkan itu. Aku mau fokus tentang perjuangan Muzakka dulu. Salah Pak Lana sendiri disuruh pergi saat kloter pertama, sok-sokan kayak gak butuh orang. Sakit hatiku mengingat datang ke rumahnya dicuekin gak dibukain pintu. Jika kalian lupa sikapnya, kalian bisa baca lagi di bab dua puluh sembilan. Kali ini Muzakka masih merambat tapi si Pengganggu maksudku Pak Lana kembali ingin menapakkan kakinya ke batang. Ia ikutan ca
Orang-orang yang ada bersama kami saling menyemangati agar mereka bisa melewati lubang memanjang itu.Beberapa lelaki melompati tanah terbelah dan berhasil mendarat di tempat aku dan Pak Lurah berada.Yang membawa mobil, dengan sangat terpaksa meninggalkan mobilnya di sana begitu saja. Mereka semua melompati lubang dalam yang lebarnya semeter lebih.Sekarang hanya tersisa keluarga Muzakka. Aku tahu mengapa Muzakka dan Pak Haji tak segera melompat. Sebagai seorang suami, Pak Haji tak mungkin meninggalkan istrinya di situ, begitu pula Muzakka, sebagai anak lelaki akan sangat keterlaluan jika ia membiarkan ibunya sendirian. Jadilah mereka bertiga mondar-mandir mencari solusi.Di sini area hutan jati. Kiri dan kanan jalan tak ada rumah penduduk yang ada hanya batang pokok jati. Beberapa pohon menjadi doyong bahkan ada dua atau tiga yang roboh dikarenakan tanah yang tidak stabil.Tampaknya Muzakka ingin memanfaatkan pohon yang roboh. Ia dan abinya berusaha menyeret pohon tumbang tapi tent
"Jadi kamu diculik? Dan barang-barang di rumahmu dirampok?" tanya Pak Lurah terkejut.Aku hanya menjawab dengan anggukan.Pak Lurah menggelengkan kepala. Ia sepertinya prihatin dengan apa yang menimpaku. Yah, beginilah nasibku."Begitulah, Pak. Nasib orang jelek seperti saya." Jelek perilaku Mas Abraham maksudku."Ya, Allah, Ham. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Seperti apa temanmu itu sebenarnya sampai melakukan hal yang mengerikan seperti itu."Tak ada yang bisa kurespon selain memasang wajah sedih. Siapa yang tak galau punya musuh bebuyutan tapi tak mengenalnya.Untuk beberapa saat kami hening. Aku sendiri sibuk berpikir tentang bagaimana keadaan Mas Abraham dan Maryam di sana. Kira-kira dia panik tidak mengingat dirinya semula berhadapan dengan musuh dan setelahnya aku yang menghuni raga. Kalau dia masih ada hati harusnya kebingungan.Di luar terdengar rintik hujan makin lama makin deras. Tampaknya musim hujan sudah dimulai hari ini. Aku dan pak lurah saling berpandangan. Apa yang