Home / Romansa / Better Without You / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Better Without You: Chapter 41 - Chapter 50

53 Chapters

Chapter 40 - Mas Daffin

Izinkan akuUntuk terakhir kalinyaSemalam saja bersamamuMengenang asmara kitaDan aku pun berharapSemoga kita tak berpisahDan kau maafkan kesalahanYang pernah ku buat Suasana café menjadi ramai seketika saat orang-orang yang berada disana mengikuti lirik lagu Berharap Tak Berpisah. "Lirik lagu ini gak kaya lo kan, La?" April mengolok sembari bernyanyi "Ya nggak lah. Males banget. Duh andai aja ya gue terlepas dari dia dari jauh-jauh hari, pasti hidup gue gak sengsara." Teriakku "Udah ah gak usah bahas lagi. Kita kesini mah mau seneng-seneng!” Seru Dina "Alright. Jadi setelah lagu Berharap Tak Berpisah, gimana kalo kita bawain lagu Glenn Fredly - Akhir Cerita Cinta." Ucap Diego sekaligus penyanyi yang berada di café itu. Ya, Diego masih sering menjadi bintang tamu di café yang memiliki live music karena coffee shop yang dia miliki masih belum memberikan fasilitas itu. Bagi Diego musik itu adalah passion bagi dirinya. "Wew, bagus juga tuh." Teriak April bersemangat "Well. Ada
last updateLast Updated : 2022-06-07
Read more

Chapter 41 - Generalisasi

(WazzApp Notification - Mas Daffin) "La, udah di apartemen kamu? Aku baru sampe nih." -Mas Daffin "Udah, Mas." -Laila "Jadi gak? Yuk." – Mas Daffin "Oke boleh-boleh. Aku siap-siap dulu, ya, Mas. Langsung ketemu di tempat aja?" -Laila "Bareng aja, ya, La. Aku juga mau mandi dulu. Lagian aku gak tau tempatnya juga." -Mas Daffin "Oh iya. Okedeh." -Laila Aku dan Mas Daffin akhirnya menuju coffee shop apartemen dan berbincang mengenai hal-hal pada umumnya. Seperti kegiatan kami sehari-hari dan juga asal-usul aku dan Mas Daffin. Sebagai seseorang yang memang baru dikenal, aku memang selalu menanyakan asal-usul lawan bicaraku untuk sekedar memastikan bahwa mereka benar-benar orang baik. Ditambah lagi dengan zaman yang sangat maju seperti saat ini, kita pun bisa langsung memastikan dari social media mengenai kehidupan lawan bicara kita. Ya, sebelum memutuskan untuk pergi dengan Mas Daffin, aku pun langsung melihat social media miliknya dan beberapa foto yang dia unggah, sama halnya sep
last updateLast Updated : 2022-06-07
Read more

Chapter 42 - Trauma?

Sudah hampir satu bulan, aku seringkali menjalani hari-hariku bersama Mas Daffin. Selama satu bulan itu aku merasa bahagia dengan Mas Daffin yang masuk ke dalam kehidupanku. (WazzApp Notification - Mas Daffin) "La, kamu pulang jam berapa? Aku jemput ya." "Aku pulang jam tiga, Mas. Emang kamu udah pulang?" -Laila "Hmm. Belum sih. Rencananya aku mau ngajak kamu ke rooftop buat nongkrong. Tapi kayanya kelamaan ya?" -Mas Daffin "Iya sih. Lagian aku juga bawa mobil, Mas. Kalo gitu kita ketemu di Rooftop aja." -Laila "Yakin gapapa?" -Mas Daffin "Iya gapapa." -Laila Aku mengikuti Aurora menuju ke apartemennya sembari menunggu Mas Daffin selesai bekerja. Setelah itu, aku dan Mas Daffin pun langsung bergegas ke rooftop tempat kami mengobrol seperti biasa. *** Mas Daffin sudah beberapa kali tertangkap basah memperhatikan aku sedari tadi sehingga membuatku menjadi tidak nyaman. Tak biasanya dia memperhatikanku seperti itu. Akan tetapi dari tatapannya aku bisa mengerti maksud dari tatapa
last updateLast Updated : 2022-06-07
Read more

Chapter 43 - Trust Issues

Berjalan memasuki salah satu tempat club dengan Mas Daffin waktu itu aku merasa agak canggung. Aku baru tahu ternyata Mas Daffin pernah juga pergi ke tempat seperti ini. Ya, aku memang tidak pernah membayangkan sama sekali jika Mas Daffin menyukai tempat yang menyuguhkan dentuman musik yang lumayan keras. Selama ini aku mengira Mas Daffin hanya pria kaku yang sangat berwibawa. Tidak... Aku tidak mengatakan orang-orang yang menghabiskan waktu di sebuah club bukanlah orang yang berwibawa, akan tetapi Mas Daffin orangnya sangat berbeda. Dari raut wajahnya dia bukan tipe pria yang menyukai dentuman musik yang terlalu keras. Atau jangan-jangan memang aku saja yang salah menilai Mas Daffin? Hmmm… sepertinya aku memang selalu saja salah memberikan penilaian kepada orang lain. Saat aku dan Mas Daffin masuk ke dalam club, seketika aku melihat teman-temanku berada disana. Aku bingung, mengapa teman-temanku ada di tempat ini dan mengapa mereka tidak mengabariku? “Guys? Kalian ngapain disini?”
last updateLast Updated : 2022-06-07
Read more

Chapter 44 - Denial

Mas Daffin… Entahlah, semenjak kejadian memalukan yang aku ciptakan di bar beberapa hari yang lalu dia selalu saja semakin memperhatikanku. Terkadang aku selalu tertawa dan senyum-senyum sendiri saat mengingat kenangan aku ciptakan dengan Mas Daffin. Ditambah lagi saat Mas Daffin mengajakku menonton di salah satu bioskop. Aku benar-benar merasa bahwa Mas Daffin tidak pernah menutup nutupi aku dari wanita lain. Namun lagi-lagi hatiku masih saja selalu meragukan Mas Daffin. “Lo udah sadar?” Tanya April menginterogasiku bersama dengan Dina dan Aurora. Bisa-bisanya mereka datang ke apartemenku tanpa basa basi sedikitpun dan masuk ke dalam apartemenku tanpa mengetuk sama sekali. “Ya udah dong. Lo pikir gue mabok sampe berhari-hari apa?” Ucapku cetus sembari menggeleng-gelengkan kepala. “Lo gak pernah sampe mabok gini, La. Kenapa, sih?” Tanya April sembari duduk di hadapanku. “Gue juga bingung. Udah deh gue gak mau bahas. Intinya sih beberapa hari yang lalu itu gue lost control karna ke
last updateLast Updated : 2022-06-07
Read more

Chapter 45 - Forgiveness

Setelah aku meninggalkan Mas Daffin di apartemennya beberapa hari yang lalu karena aku menolaknya lagi dan lagi. Mas Daffin pun akhirnya mengunjungi apartemenku lagi seperti biasa. Mungkin Mas Daffin memang membutuhkan waktu untuk mencerna semuanya. Ditambah lagi Mas Daffin juga masih belum pulih sepenuhnya dengan luka yang masih membekas di lututnya. Namun saat Mas Daffin mengunjungiku waktu itu, syukurlah dia sudah berjalan dengan normal. “La, I think you aren’t okay.” Mas Daffin mengejutkanku dengan pernyataannya seperti itu saat aku tengah fokus menonton serial tv. “Maksudnya?” Tanyaku menatap Mas Daffin dengan bingung “Oh… Pasti kamu mikir aku gak baik-baik aja karna kelakuan aku beberapa hari ini, kan?” Tanyaku dengan yakin. Mas Daffin hanya tersenyum sembari memegang tanganku "Laila, you’re not okay. Kita ke dokter yuk?" "Ke dokter?” Aku tertawa sinis “Mas, aku gapapa loh." Jawabku tegas "Kamu sakit, La." "Apaan sih, Mas. Aku baik-baik aja!" Seruku "Bukan, bukan fisik kam
last updateLast Updated : 2022-06-07
Read more

Chapter 46 - Teddy Bear

Saat ini aku sadar bahwa aku benar-benar merasakan kehilangan Mas Daffin. Lagi lagi aku merasakan hal itu, sama halnya saat Eithan memutuskan hubungan denganku hanya karena aku selalu membawa nama Rafael. Mas Daffin adalah pria yang selalu ada disaat aku membutuhkannya dan juga pria yang selama ini bertegur sapa setiap harinya denganku. Dan tanpa sadar dia adalah pria yang aku sayangi akhir-akhir ini. Namun sekarang? Aku sudah mengecewakan Mas Daffin hanya karena ketakutanku akan masalalu. Ketakutanku akan disakiti lagi. Aku masih sering bertemu dengan Mas Daffin, apalagi setiap pagi ketika aku pergi kuliah dan dia pun berangkat kerja. Namun, hubungan kami saat ini memang sebatas sapa saja dan hanya bertemu di lorong apartemen. Sejujurnya aku tak bisa mengatakan bahwa aku baik-baik saja saat Mas Daffin tak ada di dekatku lagi. Namun, aku tetap harus mengikhlaskannya dan mengambil pelajaran dari semua pengalamanku. Waktu itu, aku benar-benar kehilangan Mas Daffin. Mas Daffin yang be
last updateLast Updated : 2022-06-07
Read more

Chapter 47 - Laki-laki yang Tepat

Aku dan Mas Daffin duduk di sudut rooftop dengan pemandangan yang menyuguhkan lampu-lampu gedung pencakar langit di Jakarta. Awalnya, aku memang mengingat setiap memori yang pernah ku ukir bersama Rafael disana. Namun, lama kelamaan aku melupakannya begitu saja ditambah dengan adanya Mas Daffin yang selalu menceritakan setiap guyonannya. "Mas, aku mau ngomongin keputusan aku. Aku nerima kamu sebagai pacar aku dan kita mulai berbagi setiap hari bersama-sama." Ucapku spontan. "Kamu serius kan, La?" Tanya Mas Daffin membelalakkan matanya. "Iya, Mas." Aku melempar senyum Mas Daffin meraih dan menggenggam tanganku "La, aku seneng banget bisa ngejalani hubungan sama kamu. Aku gak mau menaruh janji. Tapi selama aku dan kamu bersatu, aku masih bisa janjiin kalo aku akan nemenin kamu ke psikolog dan hilangin trauma kamu." "Thanks, Mas. Tapi, Mas--" Ucapku melas. "Kenapa, La?" "Hmm-- aku harus pake piyama teddy bear ya biar bisa dapetin tas sama espresso machine?" "Hahaha. Ya ampun polos
last updateLast Updated : 2022-06-07
Read more

Chapter 48 - Katarsis

Tok… tok… tok… Sedikit demi sedikit aku membuka mataku yang masih melekat saat terdengar suara ketukan pintu apartemenku dari luar yang membuatku terbangun dari tidur. Cklek! “Ya ampun sayang. Kamu tidur?” Tanya Mas Daffin keheranan ketika melihat wajahku kusut dengan rambut acak-acakan “Iya, Mas. Aku capek banget tadi pulang magang. Sini masuk dulu.” Jawabku dengan mata yang masih melekat. Mas Daffin masuk ke apartemenku dan duduk di ruang tamuku yang tampak berserakan. Aku pun duduk di samping Mas Daffin sembari memeluknya dengan memejamkan mata. “Kamu masih ngantuk banget ya, La?” “Iya. Mau tidur lagi.” Jawabku singkat. “Jangan tidur lagi sayang. Bentar lagi udah maghrib. Pamali tidur pas lagi maghrib.” Aku membelalakkan mata dan menatap Mas Daffin panik “Serius udah mau maghrib?” “Iya, sayang. Kamu mandi gih. Masih pake baju magang malah di bawa tidur. Aku mau ngajak kamu nongkrong bareng temen aku. Yuk?” “Ya abisnya aku capek, Mas. Banyak banget kerjaan di kantor. Duh m
last updateLast Updated : 2022-06-07
Read more

Chapter 49 - Better Without You

Setiap kali aku menulis novel ini, ada beberapa halaman tentang penyesalan yang sering membuatku menangis. Aku pun pernah menghentikan tulisan ini untuk sementara waktu karena jiwaku masih belum kuat untuk mereka ulang kejadian dan kenangan yang pernah aku ukir bersama masalaluku dulu. Bukan, aku menangis bukan karena aku merindukannya. Bukan pula merindukan kenangan yang pernah kami ukir bersama. Aku menangis karena kesal terhadap diriku sendiri dengan setiap penyesalan yang terus menghantuiku. Saat aku berada di dunia yang gelap. Aku menyalahkan diriku atas keputusan yang aku pilih. Aku merasa aku adalah orang yang paling tidak bisa memilih keputusan yang tepat. Beberapa bulan, aku harus bertanya mengenai keputusan yang harus aku ambil kepada orang terdekatku. Aku merasa takut untuk bertanggung jawab atas konsekuensi keputusan yang akan aku ambil. Aku masih tak menyangka dengan diriku, aku bisa melewati setiap harinya dengan perlahan bisa bangkit dan melupakannya dengan ikhlas.
last updateLast Updated : 2022-06-07
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status