Home / Romansa / Dilema Suami Bayaran / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Dilema Suami Bayaran : Chapter 11 - Chapter 20

38 Chapters

10. Gagal Malam Pertama

Barra mengurai pelukan, ia mengusap wajah Astra yang basah karena air mata. Perempuan tersebut tak menunjukkan ekspresi apapun. "Ma'afkan aku, sayang.. aku tidak becus menjaga mu." Ucap Barra yang kemudian membenamkan kembali kepala Astra di dada bidangnya. Astra tak menjawab ataupun merespon dengan gerakan tubuh. Barra belum pernah menemui Astra dalam keadaan kacau seperti saat itu. Barra mengenali Astra sebagai wanita tegas dan ceria. Astra memang pernah menangis, namun perempuan tersebut tak pernah diam membisu. Barra memutuskan untuk menutup warungnya, ia akan membawa gadisnya jalan-jalan. Mencari jajanan kesukaan Astra, itu adalah ide bagus untuk menaikkan mood gadisnya. "Ayo naik." Seru Barra, kala mereka telah berada di pinggir jalan depan warung. Barra baru saja selesai menghidupkan vespa tuanya. Ya, Barra butuh tenaga ekstra untuk menyalakan mesin motor antik tersebut. Astra masih saja melipat wajahnya, dua tangannya bersedekap di dad
Read more

11. Detektif

Sepeninggal Barra, tanpa bisa dicegah air mata Astra mengaliri pipi putihnya. Sepercayanya Astra tetap saja hati kecil Astra menyimpan keraguan yang seringkali membuat gadis itu terbengong-bengong. Pagi menyapa, masih setia bertahan dengan awan putih yang menyelimuti langit biru. Sampai pagi tiba, matahari seperti enggan menyibakkan awan yang menutup. Astra menggeliat, meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Astra menyibak horden yang menutupi cahaya masuk ke dalam. Astra menghela napas berat saat menyadari vespa Barra tak bertengger di halaman rumah. Kretekkk.. Suara pintu kamar yang Astra buka, Ervi juga Alby seketika menoleh ke arah Astra. "Eh, kalian sudah di dapur?" Astra masih mengucek matanya. Ia juga belum membersihkan muka, belum menyikat gigi gingsulnya. Ervi mengangguk, sedang Alby celingukan seperti mencari sesuatu. "Kakak sendiri?" Alby berbalik melayangkan sebuah pertanyaan tanpa menjawab Astra. "Iya, Kak Barra ke
Read more

12. Suami bayaran

Astra mendahului langkah lebar Alby dengan berlari tergopoh-gopoh di koridor rumah sakit. Ia melesat tanpa mengetahui tujuannya kemana. Ketika berada di perempatan koridor, Astra berhenti. Perempuan luwes itu kebingungan untuk memilih jalur sebelah mana. Alhasil, ia tetap menunggu sang adik ipar yang tengah berlari untuk mensejajarkan langkah dengannya."Papa dimana, By?" Tanya Astra dengan penuh kecemasan.Alby bungkam, ia terlalu lelah untuk bersuara. Napasnya yang naik turun membuat pria berpredikat setia itu memilih diam dan menarik lengan sang Kakak ipar."Pak-- Ab- bas, ada di-- ICU, Kak." Ucap Alby tersengal-sengal. Napasnya belum kembali stabil, ia masih sambil mengatur deru napas ketika mengarahkan Astra dengan menunjuk ke ICU tempat perawatan Pak Abbas.Alby tak berani ikut mendekat, ia cukup tahu diri. Meski Barra tak pernah bercerita perihal kekacauan yang terjadi di resepsi pernikahan. Namun Alby bukanlah sang Ibu, bukan juga Ervi. Alby pria
Read more

13. Kerinduan Astra

Begitu sampai di pelataran rumah sakit, Tuan Hiro berpisah arah dengan rombongan bawahannya. Tuan Hiro kembali ke kantor, setelah sebelumnya melayangkan ancaman pada Barra Farzan serta Kenzi untuk tidak melakukan hal tanpa seizinnya.Barra mengepal kuat telapak tangannya, ia sudah ingin melayangkan bogeman ke wajah sangar Tuan Hiro. Untunglah aksinya berhasil dicegah oleh Kenzi.Kenzi sangat memahami perangai bos besarnya tersebut. Pria itu tak ingin Barra Farzan mengalami kesulitan karena ulah bodohnya."Dasar Ayah b******k.!" Umpat Barra Farzan dengan meninjukan kepalan tangannya pada body mobil.Tuan Hiro jelas tak mendengar, pria setengah abad itu telah melangkah jauh. Barra menyusul Kenzi yang sudah berada di dalam mobil.Ia sangat tak tega melihat tubuh tak berdaya Annisa Yuzawa yang tergeletak di pangkuan Bi Sumi."Bi, apakah Nyonya Laksmi tak pernah sekalipun menghubungi Annisa?" Barra bertanya pada asisten pribadi Annisa tersebut.
Read more

14. Jangan tinggalkan aku

Sudah dua hari Barra Farzan meninggalkan rumah. Sejak kepergiannya, ia belum mengabari sang istri. Apakah Astra kesepian tanpa dirinya, apakah Astra merindukannya. Barra seolah lupa akan itu.Barra tengah tersenyum, ia senang ketika melihat Annisa sadar dengan kondisi normal. Keluarga menjadi penyebab ketenangan Annisa. Barra hanya berharap Tuan Hiro tak akan mengamuk akibat ulahnya.Meski Barra tak yakin akan hal itu. Barra membaringkan tubuh di ranjang. Tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu."Astaga. Dimana ponselku?" Gumam Barra.Barra membuka resleting tasnya, ia mendapati ponsel dalam keadaan mati. Bara menggeleng-gelengkan kepala. Bisa-bisanya ia melupakan sang istri.Barra keluar dari kamar, ia hendak mencari pengisi daya untuk ponselnya. Namun ketika sampai di ruangan keluarga, Barra melihat Tuan Hiro sedang memukuli Kenzi sampai babak belur.Barra berlari, melerai keduanya. Bukannya berhenti, Tuan Hiro malah semakin membabi buta. Ta
Read more

15. Bubur Ayam

Barra mengecup kening Astra begitu dalam. Setelah itu, Barra menyiapkan air hangat untuk sang istri mandi.Astra keluar kamar mandi sudah dengan pakaian bersih menempel di tubuh rampingnya.Barra menoleh, lalu tersenyum."Bagaimana, kalau aku buatkan bubur ayam. Spesial untukmu. Kau bisa request topingnya juga. Aku lihat, di lemari es masih banyak bahan makanan."Barra menawarkan makanan yang biasa dikonsumsi orang-orang yang sedang tidak sehat. Ia memang handal dalam urusan memasak. Sedari kecil, ia diajarkan untuk mandiri. Pengalaman kerja diberbagai rumah makan membuat Barra menguasai banyak menu yang bisa ia eksekusi sendiri."Boleh, aku ingin makan bubur ayam diberi tambahan udang goreng tepung." Kata Astra sembari mengukir senyum.Gadis itu sudah tampak lebih cerah cahayanya, suhu tubuhnya pun sudah menurun.Barra merasa lega, selain sang ibu, Astra juga merupakan separuh hidupnya.Barra dengan luwes menyiapkan semua baha
Read more

16. Pengintai

Barra Farzan bersembunyi di balik dinding ruang ICU. Ia jelas tidak berani mendekati keberadaan Astrata yang kini tengah dirundung kecemasan bersama Alfa Zen. Tiga puluh menit berlalu, Barra Farzan sampai tidak sanggup lagi berdiri menopang seluruh tubuhnya. Kakinya terasa pegal, Barra meluruh ke lantai rumah sakit. Ia duduk sila di sana, banyak pasang mata yang menatap melas ke arah Barra Farzan. Pria itu hanya bisa pura-pura tidak peduli, padahal dalam hati ia menahan malu. Lima menit, setelah tiga puluh menit pertama, akhirnya Astrata mengingatnya dan menghampiri Barra Farzan yang sedang menopang kan kepalanya pada lutut yang ditekuk. "Astaga Sayang, ma'afkan aku. Aku terlalu fokus pada kondisi Papa." Ucap Astrata. Barra Farzan berdiri, menyeka debu di pantat dengan beberapa kali menepuk-nepuk bagian belakang. "Tidak apa, bagaimana dengan Papa? Aku lihat, belum ada dokter yang keluar dari ruangan?" Astrata kembali bersedih, senyum y
Read more

17. Pertarungan

"Ingat! Tetap waspada, jangan sampai kecerobohanmu merugikan ku! Mengerti!""Baik, siap Bos.""Bermain bersih! Aku tidak menerima kegagalan!"Setelah panggilan diputus sepihak, pria muda tersebut membuka sarung tangannya. Lalu ia menyimpan semua perlengkapan tempur itu ke dalam bagasi motor yang cukup lebar.Ia bukanlah pemain profesional, namun dirinya berusaha untuk tetap mengikuti alur permainan. Bermain sesuai arahan rekannya yang lebih berpengalaman. Biarlah seperti itu, asal ia tetap diperbolehkan mendekap seseorang yang berarti di hidupnya.* *Barra Farzan mengetuk pintu berkayu akasia tersebut. Jantungnya tidak beraturan, kejadian tadi membuatnya agak parno dengan hal-hal yang mencekam.Tiga kali sudah ia mengucap salam, namun tidak seorangpun menyahut dari dalam. Hatinya semakin resah karena lampu-lampu di dalam rumah pun dalam kondisi padam. Teras rumah terasa begitu hampa dan sunyi.Barra memutuskan untuk mengambil
Read more

18. Gadis Papa

Alfa Zen tidak kembali lagi setelah berkelahi dengan Barra Farzan. Hingga malam berubah menjadi pagi, Alfa Zen tidak menampakkan batang hidungnya. Barra tidak tidur sejak semalam, ia membiarkan pahanya digunakan Astrata sebagai bantal. Semalaman ia menjaga Astrata tidur, di kursi tunggu. Berli Astrata Bustomi, meski dalam keadaan bangun tidur, ia tetap tampak cantik. Menurut Barra, kecantikan Astrata semakin bersinar saat bangun tidur. Dan itu membuat Barra Farzan semakin jatuh cinta. Astrata cepat-cepat duduk saat menyadari Barra Farzan menatapnya intens. Ia malu karena saat bangun tidur, seseorang biasanya akan mengeluarkan kotoran dari mata. Bahkan ada juga yang sampai menciptakan kepulauan dengan air liurnya, sehingga menyisakan bekas-bekas putih di sudut bibir hingga melebar ke dagu. Gadis itu segera menyapukan tangannya ke wajah, jari-jarinya lincah menyeka bagian-bagian yang berpotensi membuatnya malu di depan sang suami. "Kenapa? Tidak
Read more

19. Kebakaran

Di sebuah cafe yang berjarak 5 km dari rumah sakit tempat Pak Abbas dirawat, Alfa Zen menemui seorang gadis. Alfa Zen berpisah dengan Chan kala ia mendapat telepon dari gadis tersebut. Ia memutar balik kendaraan dan berakhir di cafe greendi. "Kak, silakan duduk." Ujar gadis itu. "Waktuku tidak banyak, cepat katakan apa tujuanmu memanggilku." Ketus Alfa Zen yang menolak duduk. "Minum dulu, Kak. Aku sudah pesankan minuman untukmu." "Aku tidak punya banyak waktu untuk berbasa-basi denganmu." "Baiklah," Akhirnya gadis tersebut mengalah. "Aku tahu alasan Papi memutus semua kerjasama dengan BPC." "Lalu?!" Gadis itu geleng-geleng, ia berharap informasi itu akan memperbaiki hubungannya dengan Alfa Zen yang merenggang akibat ulah sang papi. Namun, ekspektasi tidak seindah kenyataan. Sikap Alfa Zen tak ubahnya saat pertama ia tahu kalau Hiro melepas semua kerjasama dengan perusahaan pria itu. Alfa Zen seperti tida
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status