Home / All / Secret Of The "Black" / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Secret Of The "Black": Chapter 11 - Chapter 20

25 Chapters

11. Siblings

Hye Jin melempar ranselnya ke lantai, helaan napas panjang mengiringi tubuhnya saat jatuh di atas sofa. Kedua kakinya diselonjorkan ke atas meja, dan punggungnya yang terasa bertekuk-tekuk diluruskan di sofa tersebut. Aktivitasnya semakin hari semakin padat, mengingat saat ini dirinya sudah menginjak akhir semester kelas 3 Sekolah Menengah Atas. Otaknya sejak pagi hingga malam bekerja tanpa henti, memasukkan segala macam materi dari sekolah maupun dari tempat les. Walau kadang kala otaknya memberontak ingin menyerah, gadis itu tetap memberikan asupan ilmu yang berlebihan agar dirinya dapat memperoleh nilai terbaik di ujian akhir. Waktu santai di hari libur, baginya hanya sebuah mimpi di siang bolong. Kedua matanya berkelana menjelajahi seisi rumah, keningnya mengkerut mendapati suasana rumah yang hening tanpa suara. Bahkan suara napas orang pun tidak terdengar di sana. Ia melirik ke arah jam dinding yang terpajang di ruang tamu, waktu menunjukkan pukul 09.00 P.M.
Read more

12. The Day

Sejak hari itu, hari dimana dunia Hye Jin runtuh, semangatnya hilang, hidup segan mati tak mau. Tatapan kosong, pikiran yang kalut, berat badan yang semakin turun, dan tubuh yang tidak terurus. Sejak hari itu jangankan untuk tertidur, makan pun tidak berselera. Kehidupannya hilang, saat satu-satunya cinta yang tersisa dalam kehidupannya yang berharga, telah hilang. Waktunya hanya untuk menangis di dalam kamar, di dalam kamar mandi sambil diguyur air dari shower. Menarik-narik rambutnya hingga rontok, membenturkan kepalanya ke dinding hanya untuk melampiaskan kebodohan dan kelalaiannya sebagai seorang kakak. Ia bahkan tidak segan menggores kulitnya dengan silet, tetapi goresan itu tidak cukup dalam untuk memutus urat nadinya. Pagi, siang, dan malam, tubuhnya berdiri di trotoar. Membagikan selebaran kehilangan, menghalangi langkah setiap orang yang ditemuinya di sana. Mencecar mereka dengan pertanyaan, “Apakah Anda pernah melihatnya? Dia Adikku! Tolong hubungi
Read more

13. Park Dong Joon

Hye Jin mengekor di belakang Dong Joon dalam keadaan lapar, perutnya meronta-ronta minta segera diisi. Namun, perjalanan mereka tak kunjung sampai pada tujuan. Mereka masih menelusuri jalan setapak yang di sekelilingi tembok besar pembatas ke jalan raya. Ia memegangi perutnya sambil mengatur napas yang berantakan karena perjalanan jauh hanya untuk makan siang.Setelah menghabiskan waktu yang panjang untuk menelusuri jalan tanpa ujung, akhirnya mereka sampai di sebuah restoran sederhana yang berdiri tepat di belokan keenam di sepanjang jalan setapak itu. Entah apa yang memotivasi sang pemilik restoran tersebut hingga mendirikan usahanya di daerah yang sulit terjangkau kendaraan roda empat, dan terlalu sempit untuk kendaraan roda dua.“Kenapa tidak ke restoran biasa saja sih? Ini tuh jauh banget!” keluhnya saat menjatuhkan tubuh di kursi yang terletak di pojok ruangan.  Sebuah restoran sederhana dengan jalur keluar masuk udara yang tidak terlalu
Read more

14. DongJoon Fears

Irama musik pop mengalun memanjakan indra pendengaran Hye Jin ketika dirinya melangkah di lobi. Beberapa orang menyapanya sambil tersenyum dan membungkukkan badan mereka lima belas derajat. Permen karet yang sudah berubah rasa, masih betah berada di mulutnya untuk memberikan peregangan kepada rahang-rahang yang akhir-akhir ini kurang pergerakan. Gadis itu memutar kunci mobil di jari telunjuknya sembari bersenandung ringan, membolak-balikkan gumpalan permen karet di mulut dengan santai. Seringaian tipis terlukis di bibirnya saat melihat Dong Joon berdiri kaku di pintu keluar.Hye Jin melemparkan kunci tersebut setelah berpapasan dengan Dong Joon. Pria itu refleks dan menangkapnya cepat. “Seonbae, ini apa?” tanyanya dengan kedua alis yang naik.Gadis itu membuang permen karetnya di tisu, “Kau tidak bisa lihat itu apa?” Kemudian melemparnya ke arah tempat sampah di sudut lorong.“Iya aku bisa lihat, tapi maksudnya apa?”
Read more

15. Stay With Me

Keningnya mengkerut menautkan dua alis hitam dan tebal yang semula berjauhan menjadi dekat. Sejak tadi malam, hingga pukul 7 pagi Hye Ji terperangkap di depan layar cerah berukuran 14 inchi. Tanpa disadari kedua mata besarnya yang indah telah berubah menjadi sepasang mata panda dengan kantung mata yang hitam. Ia bahkan tidak khawatir akan radiasi yang terpapar langsung ke retinanya.Otaknya tidak berhenti beroperasi, kedua matanya tidak berhenti menjelajahi layar laptopnya, serta jemarinya berselancar hebat di atas keyboard. Inilah yang sering dia sebut sebagai bentuk penyiksaan diri secara nyata. Di sebelah kanan ada dua cangkir kosong, menyisakan ampas kopi hitam. Aroma kopi, bercampur dengan aroma sisa ramen yang mangkuknya masih tergeletak di sudut kamar, belum lagi jamur-jamur yang tumbuh di sudut lemari membuat aroma di kamar itu mirip kandang hewan.Hye Jin terjebak dalam diamnya, bibirnya terkatup rapat, hanya ada suara deru napas yang bersahutan keluar masuk l
Read more

16. Han River

Kehangatan yang mengalir ke seluruh tubuh Hye Jin lewat genggaman sang kekasih, membuatnya tidak berhenti tersenyum tenang. Udara yang mengalir lembut, menerbangkan beberapa helai anak rambutnya yang tidak terkuncir dengan baik. Kesegaran angin masuk lewat pori-pori tangan dan lehernya yang tidak tertutupi. Saat Won Seok terpaku oleh pemandangan sungai Han yang tenang dan jernih, Hye Jin memilih objek pemandangannya sendiri. Kedua matanya terpaku menatap lirih ketika anak-anak kecil berlarian di dekatnya. Tubuh kecil mereka dengan celana levis selutut, mengantar kedua kaki mereka berlari saat bermain layang-layang di taman tersebut. Senyuman mereka merekah luas saat layang-layang berbentuk segi empat dan segi lima itu terbang tinggi di angkasa. Tawa mereka saat melihat angin mengarahkan layangan ke arah yang lebih jauh, menjadi melodi yang mengantarkan Hye Jin untuk berkelana lebih jauh ke dalam alam bawah sadarnya. Dia rehat sejenak dari penatnya urusan dun
Read more

17. Secret of Kim Jae Ha

Sebuah pigura menggambarkan satu keluarga yang terlihat bahagia. Senyuman terukir di bibir kedua anak perempuan yang berdiri berdampingan dengan rambut panjang dikuncir dua. Di sisi kanan berdiri seorang pria bertubuh kekar dengan setelan jas hitam menutupi otot besarnya, serta di sisi kiri terdapat seorang wanita tinggi semampai dengan rambut pendek sebahu. Tidak tampak senyuman yang terukir di bibir dua orang dewasa tersebut. Hye Jin menghela napas panjang saat melangkah mendekati pigura yang tidak pernah dibersihkan olehnya hingga debu halus dan kasar memenuhi seluruh bagian pada bingkai tersebut. Ia meremas tali tas yang masih terselempang di bahunya, melampiaskan amarah, rindu, kesedihan yang berkecamuk dalam dirinya. Kata-kata rindu tersendat di tenggorokannya, terkalahkan oleh kata “kenapa?” yang memenuhi pikirannya. Merindukan seseorang memang menyiksa, tetapi ketika rindu dan benci menjadi satu, akan terasa lebih menyakitkan. Sebisa mungkin gadis itu menahan
Read more

18. Never Give Up

Sepasang sepatu Fila putih mengunci kedua mata Hye Jin selama beberapa menit, rasanya tidak sering ia mengenakan sepatu yang dibelinya dengan potongan harga itu, tetapi kakinya terasa sesak terjebak di sana.Detak jarum jam terdengar sayup-sayup, dengungan kecil mirip suara nyamuk mendominasi indra pendengarannya ketika cahaya pagi menyeruak masuk lewat jendela. Saat kedua kakinya terhimpit di dalam sepatu kecil, gadis itu lebih mengkhawatirkan kesehatan telinganya saat ini.Di atas lantai putih yang setiap hari disapu dan dipel oleh petugas kebersihan, Hye Jin membayangkan ribuan alphabet warna-warni jatuh satu persatu setelah tertolak oleh indra pendengarannya yang terlalu malas mendengar ocehan.Dia berdiri santai sambil melipat kedua tangannya di belakang punggung, telinganya memang terbuka lebar, tetapi bukan berarti setiap kalimat dapat diterima. Tidak masuk kuping kiri keluar di kuping kanan, setiap kalimat yang keluar bersama air liur itu bahkan
Read more

19. My Mind

Hye Jin menjatuhkan tubuh di salah satu kursi empuk berwarna hijau, disusul dengan Dong Joon setelah sibuk mempersiapkan laptop dan kameranya. Di bagian belakang dari deretan kursi-kursi tersebut, para wartawan dengan kamera masing-masing sedang bersiap-siap mengarahkan kamera mereka ke setiap sudut dalam ruangan tersebut, hingga berpusat pada satu titik yaitu mimbar yang berada paling depan.Suara kamera ditemani cahaya lampu yang menyorot, saling bersahutan dengan nada dari jemari di atas keyboard laptop. Setiap gerakan tidak boleh terlepas dari lensa kamera para wartawan, sedangkan setiap kata yang keluar dari narasumber tidak boleh ketinggalan dari para incaran penulis berita. Di dalam aula besar dari hotel berbintang lima yang berdiri di pertengahan kota metropolitan Gangnam-Seoul. Hye Jin dan anggota pers lainnya bersatu untuk menyajikan berita bagi masyarakat.Setelah 15 menit acara dibuka oleh seorang pembawa acara berjas hitam, satu persatu para pemai
Read more

20. Her

Hye Jin menggigiti kuku ibu jarinya sambil menatap layar ponsel yang menunjukkan artikel tentang basemen di Seoul dan sekitarnya. Setelah merasa tidak yakin dengan satu artikel, ia pergi ke artikel lain, dan kegiatan itu terus berulang hingga 20 menit. Tidak ada satu pun basemen yang ia yakini akan menjadi tempat pertemuan Jae Ha dan pria misterius itu. Gadis itu meletakkan kepalanya di atas setir, membayangkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Tatapannya kosong, menatap jauh pada lorong basemen yang hening. Suara ban mobil berdecit di sekitarnya, satu persatu meninggalkan basemen tersebut, ia belum juga mendapatkan jawaban. Setelah membuang waktunya cukup lama, Hye Jin memutuskan untuk mengendarai mobilnya menuju basemen yang terlintas di otaknya. Dengan kecepatan penuh, ia melewati jalan yang lengang. Gadis itu berbelok di pertigaan akhir, hingga sampai di basemen Xyentertainment. Kedua matanya berkelana mencari mobil Ferrari merah milik Jae Ha, di antara puluhan mobil mewah lainn
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status