Home / Romansa / Titik terakhir / Chapter 11 - Chapter 19

All Chapters of Titik terakhir: Chapter 11 - Chapter 19

19 Chapters

Part 9: Satru

Layaknya ombak pasang surut. Gemuruh dalam dada menciptakan debaran keras. Jantungku seolah menolak bertengger manis di dalam tubuhku sendiri. Aku membalas satu persatu pesan dari Miko, masih dengan pemikiran runyam yang menggelayut."Bersikaplah layaknya seorang laki-laki dewasa, Mik.": Rani Miko:"Sikapku yang mana yang nggak dewasa, Ran. Aku ngelakuin ini cuman mau liat kamu beneran suka atau nggak sama aku. Kamu tau sendiri. Aku maunya serius. Nggak akan main-main lagi." Aku menghela nafas, apa yang sedang dibuktikan Miko? Apa yang sedang Miko cari tau dariku? Semua hal yang aku rasain tidak bisa ditebak dan diukur begitu saja sesuai dengan pemahaman Miko! Apalagi membawa orang-orang dari luar hanya untuk menguji perasaanku? "
Read more

Part 10: Kalah

Pembawaan sikapku cukup tenang. Tidak ada rasa sesal yang berarti. Aku tidak yakin dengan perasaan Miko padaku. Menghembuskan nafas sedemikian lancar. Membuat aku hampir lupa bahwa aku tidak sendiri. Ada Angga yang saat ini tengah menatap intens di meja kursi tempat bumbu-bumbu dapur tertata rapi. Cukup lama menyimak segala gerak-gerik aku hanya memasang ekspresi datar. "Ada apa?" Angga bertanya. "Aku kalah," aku menjawab tidak minat. Tidak memiliki hafsu untuk mengumbar semua yang aku alami. Aku lantas pergi begitu saja. Meninggalkan jejak keheningan untuk Angga di dapur. Siang itu giliran Angga yang berjaga. Menunggu Nurul memanggilnya kalau ada pelanggan yang ingin dibuatkan minum. Kendat
Read more

Part 11: Past

Beberapa kenangan mungkin perlu diingat. Tetapi jangan pernah lupa bahwa sejak awal masalalu telah berkomitmen dengan posisi terbelakang. Tidak perlu terlalu miring menoleh. Karena di depan ada seseorang yang menunggu perjalanan.Dalam deburan ombak kenangan. Siapa yang sangka jika hiruk priuknya merupakan alunan melodi sepi yang cukup nikmat untuk dilewatkan.Mengabaikan seluruh penat, lelah. Pandangan lurus ke depan. Langit-langit kamar tampak putih remang seolah memberi dukungan luas untuk beranggan. Sepersekon mendetikkan setiap hembusan nafas. Seolah merasakan lelahnya masing-masing. Aku dan kedua temanku, Bu Ikhlas dan Nurul berjajar dengan posisi tidur tersendiri dalam satu kamar dengan kasur lipat tipis.Larutnya waktu tidak cukup membuat mata almond dan elangku tertutup. Bentuk mata yang berbeda dalam satu wajah. Yang kadang membuatku tidak terlalu pede. Tetapi aku cukup puas dengan pipi dekik yang selalu malu-mal
Read more

Part 12: Bahasa cinta

"Ish, kamu mah ngga tau. Bahasa cinta itu indah. Nanti kamu sakit hati loh ngga pernah mau berjuang selagi bisa." "Cinta itu relatif, In. Dia bakal datang dan pergi kapan saja dan kepada hati siapa saja kamu mau, asalkan kita ilhlas dan sungguh-sungguh. Ngga bakal sakit hati, deh." Kala itu aku masih berpegang teguh. Semilir angin menjeda perdepatan. Meluangkan otak untuk berpikir jernih. Kata yang barusan terucap. Apakah iya? Aku bahkan ragu dengan diriku sendiri. Aku hanya berusaha menipu untuk sejumput ketenangan. "Aku bingung banget sama perasaanku sendiri." Ina memusatkan perhatiannya ke arahku yang menunduk, memainkan rerumputan yang tampak hijau. "Kamu cuman terlalu sering me
Read more

Part 13: Dari masa lalu

'Alam pernah berkata...Ada kalanya dua pasang manusia yang saling mencinta itu kadang ditakdirkan tidak untuk bersama. Mereka hanya akan melengkapi separuh rasanya untuk orang lain yang dirasa lebih pantas mendapatkanya. Dan itu terjadi antar aku denganmu. Ada rasa sesal yang tidak pernah bisa membalikkan waktu ketika aku tidak bisa menyangkal perasaanku sendiri.' Catatan kecil tersebut seakan menjelma bebatuan terjal yang menimpaku secara bersamaan. Kesakitannya seolah becek tanpa pengering. Jika resiko mencintai adalah terluka. Maka aku adalah pemegang rekor murni, tanpa terbalas telah meninggalkan bekas. Lelah akan harap yangku bangun sendiri.
Read more

Part 14: step child

Seperti biasa, dalam acara makan malam bersama sebagai karyawan aku duduk tersisih. Satu meja dengan Angga dan saling berhadapan. Sungguh aneh jika Bu Ikhlas dan Nurul yang baru keluar dari rumah lebih memilih meja lain. Sedangkan setiap meja mampu menampung empat orang. Terdapat banyak celah di mejaku untuk mereka bergabung. Tatkala begitu, aku sungguh tidak peduli. Mereka punya hak atas apa yang ingin mereka lakukan.Dalam keheningan yang menyapu temaram selepas menuntaskan makanan, aku lebih memilih sibuk dengan android. Membuat cerita fantasi berjudul "Wolf Fair Eyes" di Wattpad. Mengabaikan Nurul dan Bu Ikhlas yang sibuk bercanda gurau. Sedangkan Angga? Aku yakin bahwa pemuda tersebut sibuk bermain game.Berbeda dari malam biasanya, saat ini mereka tengah menanti seseorang. Aku tidak tahu siapa itu, dan tentunya aku tidak peduli. Bu Ikhlas bilang namanya Desi. Menurut ceritanya Desi dulu hanyalah anak berandal yang suka mengumpat sana-sini. Namun lambat laun segal
Read more

Part 15: (jangan ikut campur!)

Aku mengangguk tanpa ragu, meletakkan android milikku ke atas meja. "pakai saja, nggak disandi," ujarku ringan. Dulu pernah bersama dengan Farhan selama dua bulan lebih membuatku dan ia layaknya kakak adik. Kupikir tidak ada yang salah dengan terbuka padanya.Dengan wajah pucat tanpa ekspresi tersebut aku tak acuh menatap Farhan melakukan sesuatu pada androidku. Sekilas aku mendengar dari belakang Desi masih setia mendongeng merdu bersama Bu Ikhlas dan Nurul. Dan Angga masih setia bercinta dengan game yang aku tidak tau apa namanya dibangku pojok, terpisah menyendiri.Selama aku bekerja dua bulan ini, Angga terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Berselancar jauh meninggalkan posisinya. Tentu saja aku tidak peduli dengan siapapun. Bagaimanapun."Hai, Mik!"Secara mendadak aku tersadar. "Kamu ngapain, Han?"Sekilas senyum licik menjelma jail. Farhan menurunkan posisi android ku yang semula b
Read more

Part 16: blooming again

Seringkali aku berusaha menebak. Kata apa saja yang telah diucapkan Desi tentangku pada Farhan. Sanjungankah? Atau bahkan keburukan?Entah mengapa aku menjadi sepeduli ini mengenai pendapat Farhan tentang diriku. Terlepas dari iya atau tidak Desi mengumpat dibelakangku. Yang paling penting untuk saat ini hanya satu. Farhan masih menghubungiku walau sekedar butuh.Tepat pukul 8 malam nanti Farhan berjanji akan datang. Mengajakku keliling Jogja, terutama Malioboro. Meski aku sudah sering ketempat itu, pasti akan lain lagi rasanya jika Farhan yang menemani.Dengan diiringi rasa nano-nano aku membereskan resto untuk tutup. Hal itu tidak lepas dari kebahagiaan yang menular pada Bu Ikhlas. Beliau sesekali mengarahkan aku untuk bersiap-siap. Baju apa yang sekiranya pantas dipakai?Rasanya jantung seolah ingin lepas dari asalnya begitu paham Farhan datang lebih awal. N
Read more

Part 17: Hujan dan pembuat kenangan

"Kayaknya Angga suka deh sama kamu."Aku tidak cukup bodoh untuk menyadarinya. Tetapi apa peduliku? Yang kupikirkan saat ini hanya ketenangan batin. Tidak lebih."Tau dari mana?""Keliatan jelas banget dari matanya. Gelagatnya juga kelihatan tidak suka dengan kehadiranku." Aku tidak cukup paham kenapa Farhan terkekeh saat mengucapkan itu. Tetapi ia kembali meneruskan, "dia itu kaya bocil. Pikirannya belum dewasa.""Tauu, kamu saja juga gitu.""Lah, kalau aku kan  kaya gini biar ngimbangin kamu."Saat itu aku hanya bisa tersenyum kecil. Tidak tau harus seperti apa menanggapi. Tapi satu hal yang pasti, terkadang aku membenci semesta. Ia mampu melambatkan atau mempercepat waktu. Dan yang mengesalkan ia tidak berkoordinasi denganku. Dia lancang mempercepat waktu sampai larut malam. Bahkan sebelum aku bisa merasakan arti dari perjalanan ini.
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status