All Chapters of Anomali Afeksi: Chapter 1 - Chapter 5

5 Chapters

Mentari dan Kayu Lapuk

“Menurut kamu, apa makna menjadi manusia?” Margaret tiba-tiba saja melempar sebuah pertanyaan serius kepadaku. Aku mengernyit sembari menatap Margaret dengan penuh selidik.   “Kamu istirahat harus banget bahas yang berat?” tanyaku, langsung menunjukkan sikap tidak terima ketika jadwal santai di jam istirahat begini diganggu.   “Jawab dulu.” Kalau sudah begini, aku paham betul. Mau tidak mau, Margaret harus kujawab.   “Jadi manusia … itu berarti kita akan menderita,” kataku, lantas mengetuk meja di hadapan beberapa kali. “Hidup di dunia itu … menyedihkan, ya?”   Bagiku, hal paling menyebalkan di dunia ini adalah sendu dan pilu. Namun, ada satu hal lain yang membuat aku ingin menghentikan waktu agar tidak lagi berjalan adalah ketika harmoni dalam kehidupan telah hilang.   Barangkali semesta sering tertawa di atas lara yang kuderita. Barangkali pula, burung-burung tengah bernyanyi r
Read more

Terus Berusaha

Serupa bagaimana takdir yang tidak dapat ditebak akan pergi ke mana, aku juga tidak bisa menebak Davin. Ke mana langkah yang akan dia ambil, apa tindakan selanjutnya, maupun apa isi pikiran lelaki populer satu itu. Aku tidak pernah bisa tahu maupun menebak hal begitu karena aku bukan seorang cenayang, lho. Sejujurnya, kupikir perkataan Davin kapan lalu hanyalah sebuah senda gurau belaka. Namun, aku tidak pernah menyangka bahwa dia akan benar-benar datang kembali kepadaku. Aku jadi bertanya-tanya; mengapa aku? Lihatlah bagaimana kami sangat kontras dan berkontradiksi. Sudah seperti dua kutub magnet yang tidak seharusnya saling menarik. Davin kutub positif, aku kutub negatif. Lantas, mengapa kutub positif sepertinya berusaha menarikku? “Hai, Nadia, sekarang sudah mau kasih nomor WA-nya belum?” Lihat, ‘kan? Aku masih tidak mafhum. Sejak di hari awal Davin mengajakku berkenalan, dia sud
Read more

Anomali

Hidupku sangat berubah ketika Davin memilih mendekat, bahkan berniat untuk bergabung. Biasanya, aku selalu sendiri di setiap waktu. Bahkan di hari Sabtu, saat beberapa individu saling berkencan, aku justru berdiam di rumah untuk menonton. Sayangnya, kehidupan tenangku di hari Sabtu harus berakhir karena Davin secara tiba-tiba muncul di depan rumah sambil berucap kepada ibuku, “Tante, apa saya boleh mengajak Nadia berjalan-jalan?” “Memangnya ingin ke mana, Nak Davin?” Ibuku menyahuti. “Cuma mau berkeliling Kota Jakarta dan kalau Nadia ingin ke mana, saya bersedia menemani, Tante.” Oh, hei, tunggu. Tidak adakah yang berniat bertanya soal pendapatku? Sebab, seseorang yang akan diajak nantinya adalah AKU, lho. AKU. “Vin, ngapain sih kok tiba-tiba ngajak jalan?” Kesal, aku langsung bertanya tanpa basa-basi. “Ng
Read more

Aral Gendala

Menurutku, beberapa orang di dunia ini sangatlah tidak penting dan tidak punya pekerjaan. Sebab, mereka saling berlomba untuk menjadi orang nomor satu saat ada gossip tersebar bak lonceng yang berdenting. Untuk kali ini, aku adalah korbannya. Sejak aku tiba di sekolah ini, pemandangan yang kulihat adalah siswa-siswi saling berbisik sambil melihat ke arahku. Mereka bergiliran melirikku seolah aku ini binatang menjijikkan yang pantas untuk mereka hina dalam diam. “Kalian tau nggak, sih, Nadia itu ternyata cewek penggoda banget,” ucap salah seorang cewek yang mengomando obrolan tentangku. “Kenapa gitu?” “Iya! Soalnya dia genit dan godain Davin melulu. Nggak nyangka ternyata dia murahan, ya.” Oh, hei, sejak kapan kesimpulan itu kalian berikan kepadaku? Sejak kapan pula, aku menggoda Davin? Justru dia yang terus-menerus datang kepadaku! 
Read more

Usaha Rekonsiliasi

Sudah TIGA HARI lamanya, aku dan Davin tidak saling bertegur sapa. Tidak juga saling bertukar obrolan melalui sosial media. Alasannya? Aku mengacuhkan dia! Bahkan, semua kontak Davin telah aku blokir. Aku sudah benar-benar tidak peduli. Mendengar namanya pun, aku tidak sudi. “Nadia, Nadia, kamu nggak mau ambil tindakan ke mereka yang masih ngomongin kamu kah? Mereka sudah keterlaluan, lho.” Indira, si kawan sebangku, baru saja berbisik; atau sebenarnya mencoba memengaruhi. Yah, para kampret itu masih membicarakanku soal menjadi bahan taruhan Davin and the gang. Kalau boleh berkata jujur, aku tidak terlalu peduli tentang mereka yang membicarakanku. Aku hanya kecewa terhadap Davin karena ternyata dia tidak sedewasa itu. “Ah, enggak mau. Biarin aja. Nanti juga capek sendiri,” jawabku, mencoba acuh tak acuh pada sekitar. “Kamu seriusan mau diem aja? Nggak sakit hati memangny
Read more
DMCA.com Protection Status