Home / Romansa / When I Was Blind / Chapter 21 - Chapter 25

All Chapters of When I Was Blind: Chapter 21 - Chapter 25

25 Chapters

Bab 21

Surat itu berisi beberapa lembar kertas dengan tulisan penuh di setiap lembar usangnya. Pena yang digunakan juga memendarkan warna hitam kekuningan. Khas orang tua zaman dahulu, tulisan tegak bersambung dengan ejaan lama.Baru membuka amplop bertuliskan “Untuk Arum” saja, matanya sudah berkunang-kunang. Huruf-huruf itu bertumpuk satu sama lain, kemudian memunculkan siluet-siluet aneh yang membuat kepalanya pusing. Keringat dinginnya bercucuran di tengkuk dan pelipis. Dia lupa kalau kemampuan membacanya menurun setelah meninggalnya Bu Asiyah.“Aku akan membacakannya untukmu. Tapi hanya satu-dua lembar. Sisanya, kamu harus membacanya sendiri.”Arum tampak lega saat Boy tidak jadi pergi dan memegangi badannya yang hampir roboh. Napas Arum yang tersengal berangsur normal. Dia sungguh berterima kasih karena Boy tidak meninggalkannya dalam keadaan seperti itu sendirian.“Untuk Arum. Cucu Mbah Uti yang tersayang.” Boy mulai me
Read more

Bab 22

“Dalam dua hari ini aku belajar memaafkan banyak hal. Bu Andini, Mbah Uti, terlebih diriku sendiri. Bagaimana denganmu, Boy?”Boy menikmati deru kereta api yang membawanya kembali ke Jakarta. Namun, pikirannya masih tertinggal di surat Mbah Uti yang belum selesai terbacakan untuk Arum. Arum memang membawa surat itu dalam tasnya, tetapi sepertinya dia mulai lupa telah berjanji untuk mengejanya sendiri.“Boy! Kamu nggak dengar aku bicara apa? Astaga, sejak kapan seorang Boy melamun? Oh, ya, ampun, Boy!”“Apa?”“Apa aku sudah keterlaluan mengambil jatah malam minggumu dengan pacarmu?”Dasar tidak peka, batin Boy.“Hanya anak muda yang pergi malam mingguan. Kekanakan!” ejek Boy.“Baiklah, Boy. Kurasa ini waktu yang tepat untuk mengungkap rahasia. Katakan, apa sampai sekarang kamu masih berpacaran dengannya? Apa Mama tahu dia calon istrimu?”Boy tertawa kecil, d
Read more

Bab 23

Diaz percaya satu hal, bahwa sebuah pengorbanan dalam urusan cinta itu datang dari hati. Seperti sebuah perjuangan yang tidak bisa dilakukan sendiri, maka pengorbanan itu pun tidak bisa dilakukannya sendiri. Hatinya dan hati Arum akan berusaha keras untuk itu.Dia berdiri di balkon kamar dan memandang sendu ke halaman rumahnya. Di gazebo itu mama dan papanya bercanda dengan mesra. Entah itu perasaan Diaz saja atau bagaimana, semenjak Bu Andini dirawat di rumah sakit, Pak Jaya sedikit banyak berubah. Pria yang dulu tidak terlalu peduli urusan keluarga dan membiarkan istrinya mengatur anak-anak sesuai kedisiplinannya, kini tampak perhatian. Mereka berdua bahkan saling mencium pipi di antara gelak tawa.Setelah Arum melepaskannya malam itu, Diaz yang bergejolak ingin segera memaki Bu Andini di ruang rawatnya. Dia ingin meminta keadilan dan pengertian, bahwa cintanya layak untuk diperjuangkan. Namun begitu dia membuka pintu ruangan itu, Mea menghalaunya.“Jang
Read more

Bab 24

“Mau jalan-jalan denganku hari ini?”“Bukankah kita sudah jalan-jalan sepanjang trotoar ini?” sergah Arum.Boy berdesis. “Maksudku, kita jalan ke suatu tempat untuk memulihkan perasaanmu, Arumanis Karamel!”Seterbit senyum menghias wajah Arum. Sejak pertemuan dengan Diaz di kafe tadi, rasa-rasnaya baru detik itu dia bisa tersenyum. Baiklah. Habis sudah acara bersedih hati. Semakin berdamai dengan hati sendiri, maka akan semakin mudah untuk melupakan segala luka.“Berapa lama kamu tidak memanggilku seperti itu?” tanya Arum.Boy tampak berpikir keras. Tak disangka, dia benar-benar menghitung angka di kalender sejak pancake Arum gosong saat itu.“Sebulan, delapan hari, lebih sejam.”“Wah, hebat! Sepenting itu kamu mengingat kapan terakhir kali memanggilku Arumanis!” Arum tergelak sembari bertepuk tangan.“Jadi, mau ikut jalan-jalan, nggak?”
Read more

Bab 25

Arum berlari menjauh. Merasa sangat kesal karena Boy mempermainkan perasaannya selama ini. Apa yang ada di pikiran Arum bahkan sudah sangat melebar ke mana-mana. Bagaimana mungkin Boy sengaja membuatnya berpikir yang tidak-tidak? Menyebalkan!“Rum, dengar dulu!” Akhirnya Boy berhasil meraih tangan perempuan itu.Arum tidak mau menatap Boy. Air matanya sudah terbendung, mungkin sebentar lagi akan meluap ke mana-mana.“Bukan itu rahasia terbesarnya!”“Bahkan kamu mau bilang ada rahasia yang lebih besar?” Arum terisak pelan.“Aku ... oh, aku ....”Arum kembali berjalan meninggalkan Boy. Dia tak lagi siap dengan rahasia lainnya tentang pria itu. Dia sudah cukup merasa bersedih karena pernah menahan perasaannya sendiri hanya karena berpikiran yang tidak-tidak tentang Neeta—yang ternyata sepupu Boy. Ini tidak adil baginya, jika ada satu perempuan lagi yang akan dikenalkan sebagai calon istri Bo
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status