Home / Fiksi Sejarah / Petualangan Nerva / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Petualangan Nerva: Chapter 11 - Chapter 20

29 Chapters

Introspeksi

Aku tidak merasa enakan dengan Abdullah karena telah menggendongku sejauh ini setelah kami mendarat kembali di daratan. Disamping rasa sakit yang ia derita pada lengannya, kini dia harus menanggung capek perjalanan jauh ke arah barat daya. Aku melihat Ruqqayah menertawakanku di jauh.“Sudahlah Abdullah, aku sudah baikan kali ini, sekarang berhentilah menggendongku!” Perintahku kepada pelayanku yang umurnya sudah hampir sepuh.“Aku sangat khawatir kepadamu, Tuan, karena kamu terlihat belum pulih secara sempurna, nanti bagaimana jika terjadi pendarahan jika kamu terus memaksakan diri berjalan?” Abdulllah bersikeras pada pendiriannya.“Kamu seperti anak kecil Nerva.” Tawa Ruqqayah.“Abdullah! Engkau membuatku malu! Cepat turunkan aku, jika tidak ,nanti aku tidak memberimu jatah kurma.” “Jangan begitu Tuanku, kalau terjadi apa-apa terhadapmu, aku nanti akan dimarahi oleh Nyon....”“Ibuk
Read more

Keterpaksaan

Saat Abdullah membuka tempat minum yang ia rampas, lalu dia mencium bau minumannya.“Astaga, ini adalah minuman keras, dan ini kurasa berasal dari fermentasi perasan anggur.” Abdullah menutup kembali tempat minum itu dan membuangnya.“Apakah kita tidak diperbolehkan meminumnya?” Aku bertanya penuh penasaran.“Tidak boleh anakku, nanti engkau akan mabuk!” Jelas Abdullah sembari melotot dan mengangkat alisnya yang tebal.“Mabuk?” tanyaku penuh heran“Hilang kesadaran dan engkau akan berbuat dosa.” Tutur Abdullah kepadakuSuasana yang panas dan dahaga yang menyerang membuat kami sedikit lemah dan kurang bersemangat. aku pun melihat dari jauh ada mata air yang banyak.“Lihat, ada mata air! Ayo Abdullah, Ruqqayah kita kesana!”“Itu bukan mata air. Itu fatamorgana Nerva.” Ruqqayah kurasa lebih paham daripada Abdullah.“Bukan Istriku Itu mata air. Lihat! It
Read more

Pantang Menyerah

Hari sudah semakin sore dan belum ada tanda-tanda adanya sebuah kota yang bisa kita gunakan untuk menetap. Kami sekarang sudah memasuki wilayah Abbasiyah dan terus berjalan sembari melihat sekitar. “Lihat itu ada karavan” Aku menjadi sangat senang dengan bertemu orang yang masih hidup dari kejaran Mongol.“Ayo kita kesana, Nerva ....” Ruqqayah juga ingin segera kesana dan berkumpul dengan mereka. Lalu kami menghampiri mereka sembari melambaikan tangan.Setelah sampai disana aku melihat banyak orangtua, anak-anak dan perempuan yang memiiki luka yang banyak. Kurasa mereka berhasil kabur dari tentara Mongol.“Assalamua’alaykum, bolehkah kami bersama kalian sejenak?” tanyaku kepada mereka. Lalu salah seorang anak kecil yang paling dekat kepadaku menyapaku dan menjawab salam.“Wa’alaykumussaam, Tuan, darimana asal kalian?”“Kami dari Benteng Urgench sedang berjalan menuju Baghdad, apakah
Read more

Melawan Kabut

Minumanku yang diberikan Abdullah kepadaku kini berubah rasa menjadi anyir seperti lemak kambing. Kemudian aku tanyakan kepada Abdullah“Kenapa minumanku berubah seperti lemak kambing, wahai Abdullah, apakah kamu campur dengan lemak?”“Kamu kan sudah pernah merasakan pertama kalinya, segar bukan? Itu karena ada kekurangan dari tempat minum yang dibuat dari kulit hewan.” Jelas Abdullah kepadaku.“Lalu bagaimana ini, apakah harus aku buang?” Aku merasa jijik dengan tempat minum ini.“Tidak mengapa, selama perjalanan masih jauh pakailah saja, jika sudah menemukan penjual tempat minum yang tidak dilarang islam maka boleh kamu membelinya. Kurasa tempat minum dari kaca lebih bagus, kalau tidak ya tempat minum dari bambu yang dijual oleh pedagang timur.”“Ide yang bagus, Abdullah.” Aku menyetujui ide Abdullah.“Memang tempat minum apa saja yang dilarang oleh islam?” tanya ku penuh keherana
Read more

Penyelamatan

“Semuanya lekaslah berkumpul kemari di dekatku.” Aku memberi aba-aba kepada semua pengungsi yang kebanyakan mereka memencar di sekitar lembah.“Ayo semua, dengarkanlah gadis ini dan ikutilah.” Seorang janda 30 tahun mendukung untuk mengikuti perintahnya.“Dia menantu tuan Aida, namanya Ruqqayah, ayo dekati anak itu dan dengarkan apa yang ia katakan.” Salah satu sesepuh laki-laki memukul-mukul tongkat dan menyuruh mereka untuk segera berkumpul.Tidak tersisa seorang lelaki yang kuat menyandang pedang yang tampak di antara para pengungsi. Hanya ada anak-anak, perempuan, dan orang tua. Kami hanya bisa menunggu kapan suamiku, paman Abdullah, dan mertuaku Aida akan pulang kembali. Mega masih terlihat warna merah yang semburatnya tinggal sebentar lagi akan lenyap menuju waktu isya’.“Aku mendapat perintah oleh ayah mertuaku Aida agar membacakan surat al-Baqarah. Harap dengarkan dengan seksama wahai kaum muslim supaya kali
Read more

Akhir dari Penyihir Wanita

“Ayo lewat sini anak-anak, pelan-pelan dan tetaplah bergandengan tangan.” Aku harus tetap menjaga anak-anak itu agar tetap aman dan selamat hingga sampai ke tempat pengungsian.“Kakak, kami kelaparan.” Rintih anak yg paling bongsor diantara mereka.“Sambil jalan ayo makanlah kismis kering ini pelan-pelan. Temannya jangan lupa diberi ya.” Lalu aku memberikan satu genggam kismis yang ada di dalam tas kulitku untuk aku bagi kepada anak-anak kecil itu.“Waaa.... Terimakasih..nama kakak siapa.?” Ucap syukur anak-anak pemberani ini atas apa yang aku beri, lalu mereka penasaran siapa namaku.“Panggil saja kak Nerva, hehehe.”Ayahku mencari-cari keberadaan penyihir itu yang telah berbuat jahat terhadap anak-anak itu. Melihat banyaknya mayat dan tengkorak di dalam rumah maupun di halamannya membuatku menyimpulkan jika penyihir itu tidak hanya membunuh anak-anak saja, tetapi orang dewasa juga.“Abd
Read more

Seorang Tawanan Perang Seharga 60.000 Kepala Prajurit

Pengepungan benteng ibukota Kwarezmia Urgench, berakhir gagal total bagi para tentara Mongol. Kegagalan mendapatkan kepala Shah membuat mereka tidak bisa tidur berhari-hari, khawatir jika pemimpin Khwarezmia menyusun rencana balasan, atau hendak meminta bantuan kepada aliansinya, terlebih negeri Islam.Dan kini mereka masih bertempur dengan sporadis terhadap pasukan Khwarezmia mati-matian. Dibunuh atau membunuh. Itulah jalan satu-satunya mereka bertempur. Jika mereka lari, maka keluarga mereka di dataran merah Mongolia akan menjadi santapan elang gunung setelah dinodai kehormatannya."Wahai prajurit berbadan besar, engkau begitu kuat dan belum pernah aku melihatmu, tiada satupun anak panah mengenaimu kecuali terpental, tiada yg menghadangmu puluhan prajurit namun tiada satupun yg tersisa melainkan mati dengan mudah, siapa namamu!" Tanya prajurit veteran Kwarezmia terhadap seorang yg ia anggap aneh itu."Namaku adalah, Hasan!" Sambil menyilangkan kakinya diatas tumpukan tengkorak pasu
Read more

Bagian Pertama : Menjadi seorang yang hanif

Suara detak jantung kuda serasa di tanganku saat aku memacu kuda. Resimen yang kini aku ikuti sangat terlampau gelisah atas apa yang menimpa kita hingga saat ini. Hanya ada suara derapan kuda di tengah bayangan purnama dengan suasana hutan oak yang begitu angker dan menyimpan dendam terhadap kerajaan kami. “Tuan Said, tolong berhentilah, kita sangat kelelahan selama seharian berjalan melarikan diri!” Rintihku terhadap veteran tua yang menjadi komando resimen yang bertugas mengawal Shah agar Beliau bisa melarikan diri. Namun dirinya hanya diam saja tanpa sedikitpun menoleh kepadaku. “Tegarlah kawan, nanti setelah ini kita akan bertemu tebing yang bisa kita gunakan untuk berlindung dari kejaran tentara setan itu!” Dibawah bayangan yang temaram muncul sepasukan berkuda mongol yang berhasil mengejar kami membawa pedang beracun yang siap mencabik kami dari belakang! Kilatan racunnya bagaikan zamrud yang memantulkan sinarnya yang berkilauan, indah tetapi mematikan. “Hruaaaaaaa!” Teriakan
Read more

Bagian Pertama, Belajar Memahami Sebuah Hati

"Suara apa tadi yang berbunyi sangat dahsyat hingga tentara Mongol kalang kabut? Aku belum pernah sekalipun mendengarnya, sangat-sangat mengerikan!" Orang yang mengolok-olokku tadi berbalik arah wajah dengkinya menjadi wajah takjub genit bagaikan wanita yang hendak dilamar lelaki kaya raya yang ia tujukan terhadap pemuda aneh yang berhasil memporak-porandakan pasukan setan.Pemuda itu mendekat kepada kami, dan kami gemetar akan langkah kakinya setelah dirinya turun dari kuda yg sering kulihat di kota ku bertugas, Orthar."Janganlah takut kepadaku, aku adalah saudaramu dan diri kalian semua, dalam keimanan. Kalian heran dengan apa yang aku bawa ini?" Sambil menunjukkan sebuah besi panas berbentuk tabung yang ia bawa dengan tali yang mengikat di belakang punggungnya, kurasa itu barang yang sangat berat. Tapi anehnya aku melihatnya tidak sedikitpun terasa letih menyandangnya."Beritahukan kepada kami kawan! Aku penasaran". Temanku ini diam-diam memb
Read more

Bagian Pertama : Mencari Pedang Es Bergagang Api

Kegalauanku semakin menggebu-gebu. Pilihan antara bangsaku dengan keinginanku pribadi. Akankah aku harus melawan hukum islam demi menyelamatkan gadis itu dari pengepungan Mongol? Aku ingat dimana tempat tinggal gadis kecil itu berada, meski kenangan itu hampir berlalu berpuluh tahun. Tapi aku ingat janjinya denganku, jika diriku bisa kapanpun datang ke tempatnya berada, disana terdapat rumah yang megah dan berbagai keindahan dunia yang terkumpul di dalamnya.Dia adalah anak seorang pedagang kaya yang sudah terkenal melalang buana. Bagaimana aku bisa tahu? Ya karena tiada yang bisa menghalangi kharisma seorang ayah sholeh yang memiliki anak se baik itu meski tertutup rimba harta yang menggunung.Bagiku, gadis tersebut berasal dari garis keturunan yang mulia, bermasyarakat dengan masyarakat yang santun, dan dipenuhi dengan keberkahan dari akar hingga ujung pepohonan iman yang menjulang tinggi di sebuah tebing yang tinggi, yang disekitarnya berisi tanaman hijau yang rindang berbuah manis
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status