Beranda / Semua / Raina / Bab 11 - Bab 20

Semua Bab Raina: Bab 11 - Bab 20

38 Bab

Sepuluh

Soal pesan dari Raka kemarin, aku sempat bimbang antara mengiyakan tawarannya atau menolak. Semalaman aku berpikir, saat tidak menemukan jawaban yang tepat aku memutuskan cerita sama Galih, dan menuruti ide kampretnya. Yakni menemui Raka dengan mengajak Galih.Kebetulan arah apartemen Galih itu searah dengan kampus tempat mengajar Kak Arkan, jadi pagi ini aku diantar Kak Arkan untuk sampai ke apartemen Galih dan membangunkan si Biji Selasih yang pastinya masih sibuk bergelut dengan dunia mimpinya.Ternyata salah, penampilan Galih sudah rapi. Sebelum berangkat kami terlibat obrolan, bukan obrolan santai karena setiap kali berbicara dengannya emosiku selalu naik tanpa diminta.“Ngapain sih mau tinggal di apartemen, lo masih punya rumah, Rain.” Nada protes dilontarkan Galih saat aku memintanya untuk mencarikanku apartemen.Hidup sendiri di apartemen sepertinya bukan hal yang sulit. Tidak akan ada lagi ocehan Bunda yang memintaku menikah. Hidupku
Baca selengkapnya

Sebelas

Tidak semua warna tampak setiap kali pelangi muncul, dan tidak setiap senyuman berarti kebahagiaan. Ya, memang. Tapi pelangi tetap indah tanpa adanya semua warna, tidak seperti hidupku. Saat satu warna tidak ada, maka hidupku tidak sempurna.Warna hidupku lenyap satu. Iya, itu ada dalam diri seseorang. Galih benar, aku terbelenggu masa lalu. Dibutakan oleh keindahan yang pernah terjadi di masa itu. Bersamanya, bersama dia yang kini duduk di hadapanku. Membidik ke arahku tanpa mengeluarkan kata.Sesuai kesepakatan, aku menemui Raka di salah satu Cafe yang dulu sering kami jadikan tempat nongkrong. Nama Cafe ini tetap sama, namun interiornya yang sudah banyak berubah. Menjadi lebih elegan.
Baca selengkapnya

Dua Belas

Hari ini pembukaan toko kue baruku dan Ghina. Awalnya Ghina yang punya ide buka toko kue, ya semacam cake para selebritis yang sempat booming. Di mana satu sama lain saling berlomba menciptakan sebuah usaha yang sama. Ghina juga ternyata tidak mau kalah, dia menciptakan resep sendiri dengan berinovasi. Kue lupis, siapa yang tidak tahu?Kue tradisional yang Ghina modifikasi dengan berbagai varian rasa. Ghina memang the best kalau soal kuliner. Bunda saja yang jago buat aneka macam kue, sekarang tersaingi oleh sahabatku tercinta ini. Untuk nama kue lupisnya sendiri, kami menggabungkan nama kami yaitu Raighin Lupis. Kami bakal merintis usaha ini dari awal, modal disiapkan semaksimal mungkin.“Galih gak dateng?” tanya Ghina yang berdiri di sampingku sambil menggendong Calvin. Kami berdua sedang menyambut para tamu yang hadir. Kebanyakan dari tamu itu customer di Cafe juga dari kalangan teman-teman dan keluarga, kelua
Baca selengkapnya

Tiga Belas

Berbicara soal Galih, aku bukan menyanjungnya. Tapi kegigihannya memang harus aku akui. Dia lelah setelah operasi tadi yang entah berjalan berapa lama, belum lagi kemacetan di Jakarta yang kadang sulit dihindari. Dan Ia masih memaksakan diri buat menemuiku.Sayangnya, kegigihannya belum memberi efek di hatiku. Sekadar kagum sama kegigihannya, dan belum mencapai rasa cinta.“Awas lo gak usah modus sama nyokap bokap gue. Kalo modus, tinggal milih pipi kanan atau kiri yang mau gue tonjok,” ancamku mengacungkan kepalan tangan ke arah wajahnya.“Tanpa gue modus mereka udah kasih gue lampu ijo, Rain.” Galih ter
Baca selengkapnya

Empat Belas

Hari ini mungkin akan menjadi awal dari segalanya. Setiap ada acara besar rumahku selalu disulap bak ballroom hotel. Tamu undangan sudah mulai memenuhi ruangan. Banyak kolega-kolega Ayah juga kolega ayahnya Galih yang hadir. Sementara aku hanya mengundang teman dekatku saja sewaktu kuliah dan sekolah.Galih lebih banyak tamu undangannya, teman sekolah, kuliah dan teman satu profesinya. Termasuk Raka. Mau tidak mau aku harus mengakui kalau Raka dan Galih itu sangat akrab saat sekolah, bahkan Raka hanya akrab dengan segelintir orang saja. Sahabatnya yang kutahu hanya sesama anggota ekskul futsal. Galih, Erfan, Wisnu, Anwar, Fahmi dan Dipo.Mataku memanas saat sebuah cincin mungil melekat erat di jari manisku. Aku menatap Galih, lelaki itu melontarkan senyum manisnya untukku. Senyuman yang justru menyayat hati, karena aku merasa secara tidak langsung aku menyakitinya. Perasaan Galih terpaut padaku sementara perasaanku masih terombang-ambing.Selesai memasa
Baca selengkapnya

Lima Belas

Duduk melamun di Cafe, menatap lurus lalu lalang kendaraan dari balik kaca besar di depanku. Beberapa kali aku menghela napas berat. Segelas matcha tersaji di meja dan belum sama sekali kucicip. Jika bercermin, wajahku amat sangat mengenaskan. Mata panda, pucat, kusam seperti tidak punya sinar yang cerah.Meringis pilu seraya menatap lipatan kertas yang menjadi tersangka kenapa air mataku jatuh dengan derasnya semalam. Lipatan kertas sederhana namun punya isi yang bermakna. Hatiku sesak setiap kali membaca kata per-kata tulisan tangan milik Raka yang ia tuangkan dalam secarik kertas yang kini berada dalam genggamanku.Entahlah...
Baca selengkapnya

Enam Belas

Keberangkatanku ke Palembang pagi ini hanya diantar Galih ke Airport. Aku memberanikan diri untuk berangkat sendiri tanpa ditemani siapapun. Rencananya Galih ikut, tetapi tidak dapat izin dari rumah sakit.Emang stress dia. Ya gak bakal dikasih izin.Lagi pula aku bukan anak kecil yang harus dimomong ke mana-mana. Kalau pun nyasar, teknologi sudah canggih sekarang. Jadi apa yang harus ditakutkan? Aku berani.Dan resenya Galih itu, dia menyerocos sepanjang jalan. Sudah seperti ibu-ibu yang anaknya hendak pergi camping ataupun study tour. Banyak sekali pepatah dan larangannya.“Pokoknya sampai sana lo harus kabarin gue, kalau ada apa-apa di hotel langsung telepon pihak hotelnya, kalau nyasar di jalan lo buka aplikasi Maps, makan harus tiga kali sehari, jangan lupa ngemil, jangan kerja terlalu diforsir, dan jangan lupa sama gue.”Serentetan wejangan itu dia lafalkan dalam satu tarikan napas. Aku jawab iy
Baca selengkapnya

Tujuh Belas

Aku pernah ditawari untuk kerja di perusahaan Ayah, tapi menolak karena ingin berwirausaha. Menurutku wirausaha itu tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga, ya minimal kalau sudah maju aku hanya perlu ongkang-angking menerima laba dari hasil penjualan. Pada kenyataannya, kerja di sebuah instansi ataupun berwirausaha sama-sama capeknya.Harus aku akui, tanpa Ghina aku tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kedewasaan Ghina yang mampu mengontrol setiap pekerjaan.“Ini gue harus gimana, Ghin?”Ghina menggeram di ujung sambungan telepon. “Ya udah lo tinggal ngomong santai, lo bilang makasih udah berkunjung atau apalah itu semacam basa-basi atau persuasi gitu biar mereka ketagihan.”“Berbusa dong mulut gue?”“Bagi orang yang bisa nyerocos kayak lo itu satu hal yang biasa. Lo pasti bisa, okay?”“Hmm...”“Ya udah, gue sibuk nih. Nanti gue telepon lagi, fightin
Baca selengkapnya

Delapan Belas

Munafik jika aku bilang tidak senang ketika melewati waktu berdua dengan Raka di sisa hari ini. Tapi di sisi lain, rasa bersalah karena berbohong pada Galih dan menyembunyikan fakta kalau aku bertemu, ah bukan sekadar bertemu tapi hari ini aku malah jalan dengan Raka. Sesuatu yang bisa saja orang sebut sebagai perselingkuhan.Tapi Raka kembali menjadi Raka yang dulu, Raka yang menjadi sahabatku dan dengan suka rela menemaniku ke mana pun aku pergi. Itu dulu, terjadi ketika kami masih duduk di bangku SMA. Dan hari ini, Raka-ku telah kembali.“Kamu pasti sering ke Palembang?” tebakku, ketika kami baru saja sampai di hotel malam harinya.
Baca selengkapnya

Sembilan Belas

Bagai ufuk barat dan timur, kita ini sepasang tapi tidak searah. ~RAINA~Kalau saja tidak akan di cap sebagai pasien rumah sakit jiwa, rasanya ingin sekali aku membanting semua barang yang ada di kamar hotel ini juga memecahkan cermin yang masih berani mengejek bayanganku.Tapi buat apa menyesalinya. Aku pun tidak menolaknya. Aku pun hanyut dalam permainannya. Aku pun... Ah, sudahlah. Terlalu banyak membela diri padahal tidak pantas sama sekali.Dering ponsel kembali menyadarkanku pada kenyataan jika ini bukan mimpi. Dan kejadian semalam nyata terjadi.Mencari letak ponsel yang lupa kutaruh dari semalam. Bahkan aku sampai tidak memikirkan di mana keberadaan benda pipih itu. Aku terlalu larut dalam balutan rindu yang pada akhirnya membuatku menyesal dengan sendirinya.Kelabakan mencari ponsel, aku sampai mengeluarkan semua isi tas yang kemarin ku pakai jalan-jalan. Satu dari banyaknya benda yang jatuh di at
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status