Beranda / Semua / Raina / Bab 21 - Bab 30

Semua Bab Raina: Bab 21 - Bab 30

38 Bab

Dua Puluh

Galih menjemputku di bandara. Dia maksa. Padahal sudah kubilang, aku lebih baik naik taksi. Bukan tidak ingin dijemput, tapi pasti dia akan curiga dengan keadaan mataku yang bengkaknya luar biasanya ini. Terlebih bentuk mataku yang sedikit sipit, membuat bengkaknya semakin terlihat.“Ah, calon imam lo kangen banget ini.”Galih tidak segan untuk memelukku walaupun masih di bandara. Aku membiarkannya sejenak sebelum mendorong tubuhnya menjauh. Dia tidak protes.“Mata lo kenapa, Rain?” matanya memicing mengamati mataku.“Efek gak bisa pup, gue nangis.”“Parah banget, gitu aja nangis,” ledeknya menarik pipiku. “Sampai sekarang masih gak bisa pup? Pepayanya gak beli?”Aku hanya menggelengkan kepalanya.“Lo udah sarapan belum, kok lemes banget gitu?” Galih bertanya seraya menggendong ranselku.“Udah,” jawabku singkat.Aku terkesiap saat lengann
Baca selengkapnya

Dua Puluh Satu

Sebulan berlalu, aku kembali menata hidupku. Mencoba melupakan kejadian yang terjadi sebulan ke belakang. Terus bersugesti dalam hati, dan menganggap kejadian malam itu hanya mimpi. Lagi pula sebulan ini aku tidak pernah melihat Raka di mana pun. Jadi larut dalam penyesalan juga tidak akan menyelesaikan masalah, lebih baik berjalan maju, berpikir positif, dan berharap yang terbaik.Hari ini aku sibuk membereskan barang di apartemen dengan bantuan Galih dan Ghina. Aku resmi keluar dari rumah dan pindah ke apartemen. Rencana pindah dari beberapa minggu yang lalu, tapi harus tertunda karena Kak Kinan melahirkan. Dan aku yang kebagian mengurus si kembar. Itu membuatku kewalahan karena mereka super aktif dan tidak bisa diam.Ditambah lagi tour ke beberapa kota untuk membuka cabang Raighin Lupis. Beruntung kali ini ditemani sama Ghina, dan tidak bertemu Raka seperti sebuah kebetulan lagi.“Rain, ini figura keluarga bagusnya dipasang di sini deh biar kel
Baca selengkapnya

Dua Puluh Dua

Merasa kurang enak badan, aku memilih berdiam diri di meja kerjaku. Membaluri dahiku dengan minyak angin supaya rasa pusing yang aku rasakan sedikit mereda.Pintu ruangan terbuka, Ghina baru saja masuk setelah mengecek perlengkapan dapur kafe. Ia memperhatikanku sebelum duduk di kursi kerjanya.“Masih pusing lo?”Aku mengangguk.“Mau minum obat?”Kali ini aku menggeleng. “Lo tahu kalau gue gak bisa minum obat.”Anti obat sebenarnya. Kalau sakitnya cuma pusing, atau pun flu aku lebih baik tidak minum obat.“Kayak anak kecil,” ledek Ghina. “Yaudah mending gue anterin lo pulang deh. Istirahat aja.”Aku menggeleng cepat seraya memijit-mijit dahi. “Gak. Di apartemen sepi. Di rumah terlalu rame. Mending di sini aja. Tiduran bentar juga paling ilang pusingnya.”“Yaudah. Lo tidur deh,” balas Ghina sambil membuka laptopnya.Tidur dalam posi
Baca selengkapnya

Dua Puluh Tiga

Pagi-pagi sekali aku sudah berlari ke kamar mandi, berdiri di depan cermin besar. di tanganku ada dua buah alat uji kehamilan dengan merk berbeda yang Ghina beli kemarin. Perasaan cemas terus melandaku, takut jika memang aku benar-benar hamil anak Raka.Membaca seksama cara pemakaiannya. Dengan tangan bergetar aku merobek bungkus keduanya. Kedua benda pipih itu kini berada di genggamanku. Memejamkan mata, menguatkan tekat, menghela napas beberapa kali sebelum duduk di kloset. Rasa mulas melanda tiba-tiba saking tegangnya. Meski takut aku tetap mencelupkan dua testpack yang kupegang tadi ke dalam urine pertamaku pagi ini.Pikiranku buyar, berjalan ke sana-kemari dengan langkah terseok. Dalam hati aku terus berdoa semoga hasilnya negatif. Butuh waktu sekitar lima menit untuk aku siap melihat hasilnya.Setelah dirasa cukup, aku mengangkat testpacknya dengan mata tertutup.Berhitung dalam hati.SatuDuaTiga
Baca selengkapnya

Dua Puluh Empat

Me : Ka, aku dalam masalah... DeleteMe : Ka, kamu bilang mau bertanggungjawab...DeleteSudah beberapa kali aku menghapus pesan yang ingin aku kirimkan pada Raka. Kemarin, setelah aku mengirimkan hasil testpack pada Ghina, dan menceritakan pertemuanku dengan Raka dan Diandra di mall, Ghina langsung memberiku wejangan lagi. Kalau aku harus bertindak cepat dan memberitahu semua orang tentang kehamilanku. Makanya, meski enggan aku berusaha untuk memberitahu Raka meskipun itu lewat alat komunikasi canggih yang sedang kutatap ini.Bagaimana pun, janin ini milik Raka. Dan sekeras apapun aku menolak, itu hanya akan membuatku menyalahkan takdir untuk kesekian kalinya.Menghembuskan napas sebentar, mencari kata yang tepat untuk aku utarakan pada Raka. Dengan ragu aku kembali menulis di papan ketik.Me : Aku hamil.SendKali ini aku memberanikan diri u
Baca selengkapnya

Dua Puluh Lima

Author POVLayaknya sebuah kejutan yang tanpa diduga, Raka dipaksa untuk mengikuti ritme Galih yang cepat. Ia bahkan tidak bisa melawan saat Galih menyeretnya masuk ke apartemen Raina dan melanjutkan adu jotosnya tanpa ingin dilihat oleh penghuni apartemen yang lain.Tidak terhitung berapa jumlah tonjokan yang melayang di wajah Raka karena memar sudah memenuhi seluruh bagian wajah pria itu. Sementara hanya sesekali Raka melakukan perlawan. Sosok sahabat yang dulu merangkul, kini berubah menjadi iblis jahat yang kapan saja siap membunuhnya. Sebagai sesama pria, Raka tahu kondisi Galih sekarang. Dia pun melakukan hal yang sama pada selingkuhan mantan istrinya dulu.“BANGUN LO!” teriak Galih lantang, memenuhi ruangan.Tubuh Raka seperti tidak memiliki tulang untuk menopang. Lemas dan sulit untuk bergerak. Tapi ia berusaha kuat karena melihat Raina yang sedang menangis ketakutan di bawah sofa. Ia harus kuat demi wanita itu, wanita
Baca selengkapnya

Dua Puluh Enam

AUTHORMata yang terpejam itu kini memicing dengan dahi berkerut. Mencoba melawan cahaya lampu yang masuk ke retinanya. Telinganya yang masih berfungsi dengan baik, mendengar suara isakan lirih. Ia menoleh walaupun lehernya seakan mati rasa.“Rain...,” rintihnya lemah.Raka meringis, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Ia berusaha bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki. Ada seseorang yang membutuhkannya, membutuhkan dekapannya.Ternyata ia lemah, untuk berdiri saja susah. Namun Raka tak kehabisan akal.
Baca selengkapnya

Dua Puluh Tujuh

Kalau harus memilih, aku ingin mencari kebahagiaan dengan cara yang lebih baik. Tapi aku tidak bisa memprediksi jalan yang diberikan Tuhan untuk menunjukan takdirnya kepadaku. Dan ini adalah jalan takdirku.“Aku bawa susu buat ibu hamil, buah-buahan, dan berbagai jenis sayuran.”Aku terkejut saat membuka pintu apartemen dan langsung diserbu dengan untaian kalimat Raka sambil mengangkat dua kantong kresek putih bermerek sebuah mini market yang isinya penuh.“Jadi ceritanya mau jadi asistenku yang rela beliin isi kulkas?” Aku bersidekap di depannya.
Baca selengkapnya

Dua Puluh Delapan

Kejadian ini, masalah yang kuciptakan ini mungkin cara Tuhan menegur lewat semesta. Semesta memang suka bercanda, aku yakin semesta hanya sedang mengajariku untuk lebih dewasa dan bertanggungjawab kedepannya.Mengajak Raka makan bubur ayam bukan pilihan yang tepat sepertinya. Dia paling anti sama makanan yang lembek seperti bubur. Mau bagaimana lagi, toh sekarang ini hanya bubur ayam yang ingin aku makan.Wajah Raka tidak bersahabat setiap kali dia melihat bubur ayam yang sedang ku makan. Sementara dia hanya memesan air mineral saja. Aku mencoba tidak peduli, salah siapa tidak suka bubur. Padahal rasa bubur ayam ini sangat enak sekali.“Apa aja yang dibicarain sama Galih?”Setelah sekian lama dia memasang wajah datar, dan hanya mengamati sekeliling. Akhirnya Raka membuka suara.“Gak banyak. Kita udah clear. Dia ngelepas aku,” balasku sambil menyelidik ekspresi yang Raka tunjukan. Gurat ekspresinya selalu su
Baca selengkapnya

Dua Puluh Sembilan

Gundah, satu kata yang menggambarkan keadaan hatiku pagi ini. Dinner sederhana di tukang sate namun terkesan romantis semalam seolah lenyap dengan datangnya kabar dari Galih. Galih bilang, Mamanya siap bertemu jam delapan pagi sebelum berangkat untuk menjenguk suaminya.Aku menyetujui. Walaupun berat, tapi aku ingin selesai secepatnya supaya tidak terus kepikiran yang pada akhirnya membuatku stress. Sementara aku baca dari berbagai artikel online, jika ibu hamil tidak boleh banyak pikiran.Tidak ada jemputan, aku memilih naik Grab-Car karena kondisi badan yang tidak memungkinkan untuk menyetir. Sementara Galih tidak mungkin menjemputku, dan Raka harus mengantar ibunya periksa ke dokter. Efek shock yang berujung turunnya kondisi kesehatan dari Tante Marina.Setelah membayar Grab-Car, aku langsung membuka pintu gerbang rumah Galih. Terlihat Galih sedang berdiri di depan pintu rumahnya dengan kemeja abu tua yang dikenakan.“Gak telat
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status