Beranda / Urban / DOWN UNDER DOWN / Bab 31 - Bab 40

Semua Bab DOWN UNDER DOWN: Bab 31 - Bab 40

157 Bab

Hanya Melahirkan Luka

BAGI Haidar, obat mujarab bagi Aceh saat ini adalah keikhlasan. Perang hanya melahirkan luka dan dendam tak berujung.Ia tak menyalahkan orang-orang seperti sahabat ayahnya tersebut yang masih terluka. Karena pemerintah di tanah Jawa sendiri masih memainkan politik tarik ulur dengan Aceh.Dari sejarah yang dipelajarinya, masa damai di Aceh itu hanya bertahan sekitar 20 tahun. Kemudian konflik kembali berulang.Penyebabnya cuma satu. Pemerintah di tanah Jawa tak benar-benar tulus dalam merealisasi apa yang dijanjikan dengan pejuang Aceh. Dari masa Daud Beureueh hingga Hasan Tiro.Padahal, penduduk negeri ini telah memberikan apapun untuk negara ini sejak lepas dari Belanda dan Jepang. Bahkan bisa dibilang, Aceh adalah ibu dari Indonesia. Dari daerah ini, Indonesia kemudian ada. Saat tanah Jawa bermesra-mesraan dengan para kompeni, pejuang Aceh justru mengangkat rencong.Bahkan, demi Indonesia, perang saudara terbesar terjadi di Aceh. Perang cumbok a
Baca selengkapnya

Catatan Kelam

Haidar membantu Seti memungut pecahan gelas yang berada di dekat meja mereka. Si Abang kantin datang dan kemudian mengambil alih.“Tidak apa-apa. Biar saya bersihkan. Kalian lanjut saja,” kata pelayan muda itu.Sementara Sefti sendiri terlihat masih shock dengan pengakuan Haidar soal tentara. Jika lelaki di depannya itu menolak Rina karena memiliki ayah yang berstatus tentara, maka nasib yang sama akan dideritanya jika lelaki itu mengetahui bahwa ayahnya juga seorang tentara republik.Sefti terdiam. Sementara Haidar juga tak banyak berkata-kata.“Kenapa bang Haidar benci dengan tentara?” ujar Sefti kemudian. Kalimat itu terdengar datar. Tak lagi seantusias tadi.Haidar terdiam. Dia mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diungkapkan.“Aku mencoba berdamai dengan masalalu-ku sejak umur 10 tahun. Namun hingga kini semua ingatan di masa lalu masih membekas. Untuk itu, aku tak bisa pura-pura,” ujar Haidar k
Baca selengkapnya

Baju Loreng

“Tapi Rina bukan tentara. Hanya ayahnya yang tentara. Apakah itu tidak terlalu kejam baginya,” ujar Sefti tiba-tiba menimpali.Sefti berharap persepsi Haidar soal traumanya di masa lalunya itu tak mendalam. Itu membuka peluang baginya untuk mendapatkan hati lelaki di depannya itu. Status Rina sama seperti dirinya. Jika Haidar menjauhi Rina karena ayahnya yang tentara, maka hal yang sama juga berlaku baginya.Di sisi lain, ia juga berharap Haidar tak benar-benar menyukai Rina.“Ya, mungkin ini terlalu kejam baginya. Aku menyukainya sebagai teman. Tak lebih. Kemudian traumaku muncul ketika mengetahui ayahnya seorang tentara. Aku hanya sedikit menjauh dari posisi teman menjadi kenalan,” ujar Haidar kemudian.Penjelasan Haidar ini benar-benar membuat Sefti serba salah. Ia kini tahu bahwa Rina pernah menyatakan cinta pada pria di depannya itu. Meski Sefti kini mengetahui bahwa Haidar cuma menganggap Rina teman. Kini, seperti kata Haidar
Baca selengkapnya

Curahan Hati

Sefti benar-benar tak dapat tidur ketika malam hari tiba. Berkali-kali ia mencoba memejamkan mata, tapi tak juga tertidur. Curhatan hati Haidar membuatnya gelisah. Ia sadar peluangnya untuk bisa bersama pria Aceh itu kian tipis. Sefti tak mungkin menghindari ayah kandungnya sendiri. Hubungan ayah dan anak akan abadi. Ia bahkan rela meninggalkan seribu lelaki demi ayahnya itu. Konon lagi, ayahnya adalah satu-satunya orangtua yang kini ia dimiliki. Ayahnya-lah yang menjaganya ketika ibunya meninggal dunia usai melahirkan. Ia dirawat dengan penuh kasih sayang meskipun untuk melahirkannya, nyawa sang ibu melayang. “Haruskah aku berbohong hanya untuk memikat hati pria itu? Atau lebih baik aku menjauhi-nya sebelum rasa ini bertambah. Aku tak ingin ia terluka ketika mengetahui ayahku juga seorang tentara,” gumam Sefti dalam hati. Namun hatinya benar-benar sakit. Ia sangat kecewa. Ia juga tak bisa menyalahkan Ibnu atas masalalunya yang kelam s
Baca selengkapnya

Di Antara

Nicah Awe, Maret 1997JALAN Medan-Banda Aceh relative sepi dari biasanya. Perang besar baru saja reda di Julok. Sejumlah angkutan umum serta angkutan antar kota tertahan di Idi dan Lhoknibong. Beberapa yang nekat menerobos kini tinggal rangka.Angkutan itu dibakar. Para wartawan menyebutnya dengan istilah oknum.Kini jalanan sepi seperti kota mati. Hanya suara mobil reo yang meraung di jalan raya itu. Mereka hilir mudik seolah sedang mencari lawan guna membalas dendam atas tragedy di Julok, sekitar 3 jam lalu.Kejadian itu diamati diam-diam oleh sekelompok pria di balik kebun sawit. Mereka berjumlah 12 orang. Mereka bersenjata. Enam memegang senjata AK buatan Rusia. Selebihnya bersenjata rakitan.Seorang pria paruh baya bangkit dari tempatnya duduk. Tanpa aba-aba, ia langsung menampar satu persatu para anggotanya itu.“Tap, tup.”Tak hanya cukup menampar, ia juga berkali-kali menendang para anggotanya itu.
Baca selengkapnya

Mata Berdebu

USAI salat, Mustafa mencoba mendekati pria tua yang sedang berzikir di posisi imam. Mustafa ingin memastikan jika sosok itu tak lagi marah kepadanya. Selain itu, ia juga memperoleh informasi dari penghubung bahwa anak tertua dari pimpinannya itu sedang berada di kawasan Nicah Awe. Anak tertua dari pimpinannya itu hampir seumurannya dengannya. Dia juga Tentara Nanggroe tapi berada dalam kelompok gerilya yang terpisah. “Teungku,” sapanya pelan. Namun pria tua di depannya tak merespon. “Teungku Fiah,” katanya lagi. Kali ini pria itu menoleh ke arahnya. “Maaf menganggu zikir, teungku. Penghubung tadi menyampaikan jika anakmu, Rahman, ada di Nicah Awe,” kata Mustafa lagi dengan hati-hati. Pria tua itu tertegur. Namun dia kemudian justru menutup mata. Ia melanjutkan zikirnya. Mustafa sendiri merasa serba salah. Dia hendak turun dari balai agar tak kembali jadi sasaran kemarahan pimpinannya itu. Namun baru hendak bergerak, pimpinannya itu justru mena
Baca selengkapnya

Aturan Ketat

“Mustafa, apakah kau membenciku karena menerapkan aturan terlalu ketat kepada kalian?” ujar pria tua itu sambil melepaskan pelukannya. Mustafa menggeleng berulangkali. Ia tahu bahwa sikap kerasnya tetua itu adalah untuk kebaikan mereka semua. Jika seandainya mereka tidak disiplin serta bergerak sesuai peunutoh, mungkin sudah lama ia dan rekan-rekannya tewas di medan pertempuran. “Tidak teungku. Kami yang salah. Kami yang berulangkali melanggar peunutoh dari teungku. Saya merasa bersalah atas kejadian tadi pagi,” ujar Mustafa. Ia benar-benar shock ketika mengetahui Si Cah dan Si Lah meninggal. “Sudahlah. Ini mungkin kesalahanku juga,” ujar tetua itu. “Aku tahu ketika kalian turun ke kampung semalam, tapi aku tak mencegahnya. Apalagi ketika aku mengetahui ketika kau hendak melamar gadis pujaan hatimu,” katanya lagi. Mustafa tertunduk lesu. Tetua di depannya itu begitu arif dan bijaksana. Ia menyesal telah membuat tetua itu berulangkali kecewa.
Baca selengkapnya

Foto Keluarga

Malam kian larut. Namun di atas balai, Mustafa melihat Teungku Fiah belum juga tertidur. Ada cahaya senter yang masih menyala di sana. Mustafa mencoba mendekat. Dugaannya ternyata benar adanya. Teungku Fiah ternyata belum tidur. Sosok yang dituakan dalam pasukan itu ternyata diam-diam mengamati selembar foto yang terlihat gambar seorang wanita dengan bocah berusia sekitar 6 hingga 7 tahun. Itu adalah foto istri dan anak terkecil Teungku Fiah. “Belum tidur teungku?” ujar Mustafa menyapa. Teungku Fiah terkejut dengan sapaan Mustafa. Ia buru-buru menyimpan foto anak dan istrinya itu. “Kalau Teungku rindu dengan keluarga, Teungku dapat pulang sebentar untuk membesuk. Bukankah dari sini ke Nicah Awe tak jauh. Saya siap mengawal teungku dalam perjalanan,” ujar Mustafa. Sebagai pasukan nanggroe, ia tahu bagaimana kerinduan yang sering dialami oleh para tetua yang meninggalkan keluarga di kampung. Mereka bahkan tak memiliki kesempatan untuk melihat wa
Baca selengkapnya

Berita Duka

USAI subuh, Teungku Fiah memerintahkan Mustafa dan para anggota lainnya untuk berkemas-kemas. Mereka harus meninggalkan kamp tersebut agar tidak terlacak oleh tentara republik. Menurut informasi yang diperoleh dari intelijen tentara nanggroe, tentara republic kini mengetahui bahwa penyerangan yang terjadi di Julok merupakan perbuatan pasukan Teungku Fiah. Beberapa kompi pasukan republic diturunkan serta sedang menyisir sebahagian Julok serta Nicah Awe. Kabarnya, tentara republic bahkan menurunkan kendaraan berlapis baja untuk menangkar taktik perang pasukan Teungku Fiah. Sedangkan Teungku Fiah memutuskan untuk mundur ke pedalaman Panton Labu. Ia sedang tak ingin terlibat perang terbuka dengan pasukan republic. Konon lagi mereka sedang berduka setelah meninggalnya Si Cah dan Si Lah. “Untuk saat ini, kita mundur ke pedalaman dulu. Ada saatnya kita melawan dan ada saatnya kita mundur,” ujar Teungku Fiah. Semua pasukan mengangguk setuju. Perjalana
Baca selengkapnya

Jangan Bersuara

Simpang Ulim, 1997 BELASAN pria berpakaian loreng terlihat hilir mudik. Mereka mengetuk sejumlah rumah dan memeriksa satu persatu. Gerak mereka cepat dan sejumlah barang terlempar keluar. Mereka masuk sekitar 5 menit per rumah. Namun kemudian keluar tanpa hasil. Hasil yang sama juga dituai untuk 4 rumah selanjutnya. Sejumlah pria berpakaian loreng itu terlihat kesal. Namun yang dihadapi adalah ibu-ibu. Tak ada satu orang pria pun di rumah yang dapat dijadikan tempat pelampiasan. Tak ada juga lelaki dan wanita muda. Selama konflik, mereka mungkin telah diungsikan ke kota. Tinggal ibu-ibu dan anak-anak yang masih kecil di rumah. Mereka lah yang menghadapi tentara ketika murka atau mencari orang-orang yang dianggap bersalah pada negara. “Kalau Ibu lihat mereka, segera kasih tahu.” Ucapan itu terdengar dari kejauhan. “Saya tak akan menjamin keselamatan ibu kalau ternyata menyembuyikan pemberontak di sini.”
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
16
DMCA.com Protection Status