Home / All / Sidekick / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Sidekick: Chapter 61 - Chapter 70

79 Chapters

Bab 61 Penjelasan Bu Angel

Gue baru saja meletakkan laptop kembali ke atas meja dan mengecek ojol untuk pesan makan siang. Saat gue sedang scroll makanan, Bu Angel mendekati gue.“Ri, siang ke mana?” tanya beliau sambil duduk di samping gue, tempat Sania biasanya duduk.“Mau meeting sama Bu Anna, Bu. Gimana?” sahut gue dan meletakkan hp gue di atas laptop yang masih tertutup.“Oh, ya udah. Sania belom balik ya? Harusnya nanti sore kita meeting soal masalah kontrak kemarin itu,” kata Bu Angel.“Udah otw ke sini Bu, Ci Sanianya!” kata Rahma cepat-cepat.“Oh, bagus deh. Kalo gitu nggak jadi ya, Ri!” kata Bu Angel sambil menepuk-nepuk bahu gue.Rahma yang melihat sikap Bu Angel kepada gue itu tertegun sejenak. Namun tak berapa lama dia kembali lagi bekerja. Ya gue cukup kaget sih dia nepuk-nepuk bahu gue kaya gitu. Jujur aja dia nggak pernah gitu sama sesama karyawan wanita lainnya.“Tadinya tuh gue
Read more

Bab 62 Lebih Dekat

Seingat gue itu hari itu panas luar biasa. Sales bahkan nggak kelihatan di kantor satupun. Kayanya sih kalo mereka di project, mereka nggak akan milih buat balik kantor lagi. Kalau nggak ngadem di café atau workspace, mereka pasti balik ke tempat tinggal masing-masing. Begitupun gue. Perjalanan dari satu tempat ke tempat lain bener-bener terasa menguras tenaga hari ini. Belum macet di mana-mana.Untungnya, ground floor gedung bank tempat Bu Ana bekerja ini punya café dan koneksi internet yang cepet. Jadi biar nggak dikata ngebolos, gue kerja di situ sebentar sama Ronald, salah satu tim engineer gue yang biasa nemenin gue selain Yudha.“Ri, lo mau balik ke kantor nggak?” tanya Ronald.“Kayaknya enggak deh. Lo sendiri gimana?” tanya gue balik.“Kayanya gue malah mau balik ke atas. Ada masalah sama aplikasi yang lagi diupgrade,” sahut Ronald sambil membereskan laptop dan kabel-kabelnya.Ronald kemudian
Read more

Bab 63 Bu Nami

Seperti yang udah gue dengar sebelumnya dan harus gue rahasiakan, kedatangan Bu Nami sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan oleh Pak Jaya. Tentu saja dia nggak sendiri. Dia bahkan punya sekretaris pribadi bernama Ayu. Ayu bahkan disediakan tempat di area divisi sekretaris. Sofa mini yang biasa dipakai kami semua untuk duduk-duduk menunggu antrian penyerahan dokumen ke C level untuk ditandatangani, tak ada lagi. Sofa mini itu diganti dengan meja bulat kecil dan kursi 4 biji melingkarinya. Ayu duduk di sana, dan bagi kami para fakir tanda tangan, bisa menunggu di salah satu kursi itu. Yang artinya duduk bersamanya.Menyenangkan? Tentu saja enggak. Gue nggak mengenal Bu Nami dengan baik. Begitupun gue juga enggan untuk beramahtamah dengan Ayu. Dan sama seperti gue, karyawan lain akan merasa canggung duduk berdekatan dengannya.Bu Nami tak memiliki ruangan sendiri. Dia selalu duduk di manapun di area lounge. Dia tak membawa laptop, hanya Ipad dan keyboard portable yang
Read more

Bab 64 Bu Wanda vs Bu Nami

Siapa sih yang nggak kesal kalau posisinya terancam? Apalagi posisi yang udah dia pegang selama bertahun-tahun tanpa adanya intervensi dari pihak manapun? Bagaikan Raja kecil, Bu Wanda selalu merasa dia bisa berbuat apapun sesuai kehendaknya. Peraturan-peraturan mengenai karyawan yang sudah disesuaikan di UU ketenagakerjaan banyak yang dilanggarnya. Gue juga heran gimana bisa semua itu lolos dari pantauan kementrian. Kalo kata Victor sih, klausul-klausul di kontrak kerja karyawan banyak yang membuat kementrian sendiri nggak bisa berbuat apa-apa. Apalagi kontrak kerja itu sudah dittd oleh masing-masing karyawan di atas materai. Sudah sah banget secara hukum jadinya. Peraturan-peraturan itu sedikit demi sedikit dievaluasi lagi sama Pak Jaya. Dia akan mempertahankan yang akan dipertahankan dan merubah yang tidak sesuai dengan cara memimpinnya. Makanya orang-orang di divisi HRD lagi rajin banget meeting. Kaya hampir tiap hari mereka mondar-mandir ke ruang meeting. Sekalinya kela
Read more

Bab 65 Part 2 See You Again, Hanna!

Waktu gue masuk ke ruang divisi legal, ruang yang sempit itu hanya menyisakan Hanna di sana. Bu Res nggak ada. Dua orang lainnya pun tak ada. Asisten Hanna sendiri nggak ada di tempatnya. Hanna tampak sedang membereskan semua dokumen-dokumennya. Besok adalah hari terakhir dia di kantor. Sisa cuti 5 hari dia ambil semua, sehingga tanggal 22 Maret 2019 adalah hari terakhirnya di kantor ini. Gue melempar senyum. Hanna membalas senyum gue dengan canggung. “Beberes Ci?” tanya gue. “Well, iya nih. Gue harus cabut besok kan. Dan gue mau bawa beberapa barang gue yang ada di sini. Biar besok nggak banyak-banyak banget bawa barang apa-apa. Tinggal keliling salaman, maap-maapan, gitu aja,” sahut Hanna sambil memasukkan barang pribadinya ke kardus yang sudah dia siapkan. “Kaya lebaran aja, Ci,” kata gue meledek. Hanna tertawa. Ya, itu dia tertawa pertama kali karena candaan gue. “Hahaha, iya juga ya. Ngapain gue minta maaf segala. Mereka yang ngedepak gue
Read more

Bab 66 Laporan

Ruangan meeting Sansekerta tampak mencekam saat gue masuk. Auranya bener-bener kaya aura lagi ada sidang pembunuhan di dalamnya. Gue dan Victor yang sepakat untuk masuk ke dalam bersama-sama, sama tegangnya satu sama lain. Apalagi beberapa pasang mata menatap kami begitu tajam saat kami masuk. Termasuk Bu Wanda. Bawahannya yang ikut serta di dalamnya, juga sama. Padahal biasanya Sonny ramah banget sama gue. Tapi kali ini enggak. Mungkin dia sendiri merasa terancam juga posisinya sekarang karena dia juga bawahan Bu Wanda. Apalagi Mba Kamila, yang awalnya emang nggak pernah ramah sama gue, dagunya kaku banget kaya lagi sakit gigi. Gue dan Victor berjalan masuk, kami nggak mencetak laporan kami selembarpun, kami hanya membuatnya dalam bentuk word yang akan disiarkan di proyektor. Di deretan depan ada Bu Angel dan Pak Vino. Nggak lupa ada Pak Jaya, Pak Marjan, Bu Nami serta sekretaris kesayangannya, Ayu, si cewek kecil berkacamata. “Langsung dicolok aja laptop ke kabel p
Read more

Bab 67 Olin

Gue menunggu driver langganan gue di lobby kantor, saat gue lihat Olin turun pelan-pelan sambil membawa dokumen. Dia tersenyum pada gue dengan ramah. Kemudian berjalan menuju resepsionis, menyerahkan dokumen tersebut. Setelah berbincang sejenak, dia menghampiri gue. “Mau ke mana, Mba?” tanya Olin sambil duduk di sebelah gue. “Mau meeting sama klien,” sahut gue sambil tersenyum. “Bentar lagi lunch kan?” timpal Olin. “Nggak papa, gue udah bawa roti di tas gue,” sahut gue tenang. “Lo sendiri? Nggak makan?” “Ini lagi nungguin ojol, tadi temen-temen ngajakin beli bubble drink sama-sama.” “Wah enak tuh.” “Hehehe, iya. Btw, Mba, aku mau bilang makasih. Nyari kesempatan buat ngomong ke Mba secara langsung susah bener. Baru sekarang pas waktunya.” “Eh, iya, makasih buat apa, Lin?” “Udah ngebelain Olin.” Gue masih terdiam. Jujur aja, otak gue nggak konek waktu itu, karena pikiran gue lagi ke mana-mana. “It
Read more

Bab 68 Gossip and Suggestion

Gue sampai di tempat meeting andalan gue dan Bu Ana, coffee shop di ITC yang mati suri dekat kantor gue. Di sana, Bu Ana sudah duduk sambil bekerja dengan laptopnya. Ice americano favoritnya ada di sebelahnya dan baru berkurang sedikit. Gue langsung menyapanya dengan ramah. Dia menyambut gue dengan bahagia bak anaknya sendiri seperti biasa. Bahkan dia membawakan gue bolu gulung yang katanya dibuatnya sendiri hari Minggu kemarin lusa dan dijamin masih enak walaupun tanpa pengawet. Dokumen-dokumen yang seharusnya diterima oleh Bu Ana segera dicek dengan cepat. Dia memang orang yang sangat cekatan namun sekaligus teliti pada saat yang sama. Sebenernya sih gue tahu, dia mau cepet-cepet kelarin kerjaan kami semua ini dan berlanjut ke gossip. Gue emang udah lama banget nggak ngegosip sama dia. Soalnya udah berapa kali dia meeting, asisten dan engineer dia ikut mulu. Kalau giliran dia sendiri, gue yang datang bareng Ronald kalo nggak si Yudha. Setelah gue double check terak
Read more

Bab 69 Hasil Penyelidikan

Sebulan lamanya, penyelidikan diam-diam untuk kasus Pak Cokro sudah hampir selesai. Bukti-bukti cctv, kisah dari para korban, semua dikumpulkan dalam satu file. Yang Matari dengar, saat Pak Cokro selesai kembali dari trainingnya di Singapore, beliau akan dipanggil di kantor. Tentu saja polisi juga ikut dipanggil datang. Gue nggak ngerti prosedurnya gimana, tapi mereka memang sengaja menunggu selama ini dan serahasia ini adalah agar Pak Cokro nggak kabur. Dengan uang yang dihasilkannya, dia bisa aja kabur ke mana gitu. Bersyukur semua tim berkerjasama. Mengingat kantor gue itu gudangnya para gossipers. Bahkan ibaratnya, dinding pun bisa mendengar kami. Jadi, semua udah sepakat bahkan menandatangani perjanjian agar tutup mulut sampai kasus selesai. Jadi, nggak ada yang kena judgemental negatif, terutama para korban. Biasa kan di negara kit aini, lucunya, para korban yang disalahin. Padahal yang nggak punya akhlak adalah si pelaku. Seperti biasa, hari pertama Pak Cokro
Read more

Bab 70 Penjara

“Ri, kamu ada waktu nggak besok?” tanya Bu Angel di telepon, ketika gue baru kelar meeting. “Besok sih cuma meeting aja sore, Bu. Gimana, ada yang bisa saya bantu?” sahut gue sambil duduk di lobby perusahaan. “Oh, tenaaaangggg, saya ngajak kamu pergi pagi kok, jam 10-an, gitu. Kamu ikut gue ya, berangkat dari kantor aja,” kata Bu Angel. “Oh, iya, pakai celana ya, jangan rok, terus kalau bisa sneakers aja. Kita mau ke lapas.” Lapas? Penjara maksudnya? “Eh, iya, Bu. Siap, ada lagi yang perlu saya bawa?” “Sementara nggak, besok aja gue jelasin semuanya. Laptop ditinggal di kantor aja, kecuali kamu mau langsung meeting. Tapi saran gue sih balik ke kantor aja lagi. Gue juga, kok.” Gue nggak punya pilihan lain selain setuju aja. Bu Angel segera mengakhiri panggilan telepon, karena dia tahu gue masih di kantornya salah satu klien. ***************************************************************** Gue nggak menutup laptop, membi
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status