Siapa sih yang nggak kesal kalau posisinya terancam? Apalagi posisi yang udah dia pegang selama bertahun-tahun tanpa adanya intervensi dari pihak manapun? Bagaikan Raja kecil, Bu Wanda selalu merasa dia bisa berbuat apapun sesuai kehendaknya. Peraturan-peraturan mengenai karyawan yang sudah disesuaikan di UU ketenagakerjaan banyak yang dilanggarnya. Gue juga heran gimana bisa semua itu lolos dari pantauan kementrian. Kalo kata Victor sih, klausul-klausul di kontrak kerja karyawan banyak yang membuat kementrian sendiri nggak bisa berbuat apa-apa. Apalagi kontrak kerja itu sudah dittd oleh masing-masing karyawan di atas materai. Sudah sah banget secara hukum jadinya.
Peraturan-peraturan itu sedikit demi sedikit dievaluasi lagi sama Pak Jaya. Dia akan mempertahankan yang akan dipertahankan dan merubah yang tidak sesuai dengan cara memimpinnya. Makanya orang-orang di divisi HRD lagi rajin banget meeting. Kaya hampir tiap hari mereka mondar-mandir ke ruang meeting. Sekalinya kela
Waktu gue masuk ke ruang divisi legal, ruang yang sempit itu hanya menyisakan Hanna di sana. Bu Res nggak ada. Dua orang lainnya pun tak ada. Asisten Hanna sendiri nggak ada di tempatnya. Hanna tampak sedang membereskan semua dokumen-dokumennya. Besok adalah hari terakhir dia di kantor. Sisa cuti 5 hari dia ambil semua, sehingga tanggal 22 Maret 2019 adalah hari terakhirnya di kantor ini. Gue melempar senyum. Hanna membalas senyum gue dengan canggung. “Beberes Ci?” tanya gue. “Well, iya nih. Gue harus cabut besok kan. Dan gue mau bawa beberapa barang gue yang ada di sini. Biar besok nggak banyak-banyak banget bawa barang apa-apa. Tinggal keliling salaman, maap-maapan, gitu aja,” sahut Hanna sambil memasukkan barang pribadinya ke kardus yang sudah dia siapkan. “Kaya lebaran aja, Ci,” kata gue meledek. Hanna tertawa. Ya, itu dia tertawa pertama kali karena candaan gue. “Hahaha, iya juga ya. Ngapain gue minta maaf segala. Mereka yang ngedepak gue
Ruangan meeting Sansekerta tampak mencekam saat gue masuk. Auranya bener-bener kaya aura lagi ada sidang pembunuhan di dalamnya. Gue dan Victor yang sepakat untuk masuk ke dalam bersama-sama, sama tegangnya satu sama lain. Apalagi beberapa pasang mata menatap kami begitu tajam saat kami masuk. Termasuk Bu Wanda. Bawahannya yang ikut serta di dalamnya, juga sama. Padahal biasanya Sonny ramah banget sama gue. Tapi kali ini enggak. Mungkin dia sendiri merasa terancam juga posisinya sekarang karena dia juga bawahan Bu Wanda. Apalagi Mba Kamila, yang awalnya emang nggak pernah ramah sama gue, dagunya kaku banget kaya lagi sakit gigi. Gue dan Victor berjalan masuk, kami nggak mencetak laporan kami selembarpun, kami hanya membuatnya dalam bentuk word yang akan disiarkan di proyektor. Di deretan depan ada Bu Angel dan Pak Vino. Nggak lupa ada Pak Jaya, Pak Marjan, Bu Nami serta sekretaris kesayangannya, Ayu, si cewek kecil berkacamata. “Langsung dicolok aja laptop ke kabel p
Gue menunggu driver langganan gue di lobby kantor, saat gue lihat Olin turun pelan-pelan sambil membawa dokumen. Dia tersenyum pada gue dengan ramah. Kemudian berjalan menuju resepsionis, menyerahkan dokumen tersebut. Setelah berbincang sejenak, dia menghampiri gue. “Mau ke mana, Mba?” tanya Olin sambil duduk di sebelah gue. “Mau meeting sama klien,” sahut gue sambil tersenyum. “Bentar lagi lunch kan?” timpal Olin. “Nggak papa, gue udah bawa roti di tas gue,” sahut gue tenang. “Lo sendiri? Nggak makan?” “Ini lagi nungguin ojol, tadi temen-temen ngajakin beli bubble drink sama-sama.” “Wah enak tuh.” “Hehehe, iya. Btw, Mba, aku mau bilang makasih. Nyari kesempatan buat ngomong ke Mba secara langsung susah bener. Baru sekarang pas waktunya.” “Eh, iya, makasih buat apa, Lin?” “Udah ngebelain Olin.” Gue masih terdiam. Jujur aja, otak gue nggak konek waktu itu, karena pikiran gue lagi ke mana-mana. “It
Gue sampai di tempat meeting andalan gue dan Bu Ana, coffee shop di ITC yang mati suri dekat kantor gue. Di sana, Bu Ana sudah duduk sambil bekerja dengan laptopnya. Ice americano favoritnya ada di sebelahnya dan baru berkurang sedikit. Gue langsung menyapanya dengan ramah. Dia menyambut gue dengan bahagia bak anaknya sendiri seperti biasa. Bahkan dia membawakan gue bolu gulung yang katanya dibuatnya sendiri hari Minggu kemarin lusa dan dijamin masih enak walaupun tanpa pengawet. Dokumen-dokumen yang seharusnya diterima oleh Bu Ana segera dicek dengan cepat. Dia memang orang yang sangat cekatan namun sekaligus teliti pada saat yang sama. Sebenernya sih gue tahu, dia mau cepet-cepet kelarin kerjaan kami semua ini dan berlanjut ke gossip. Gue emang udah lama banget nggak ngegosip sama dia. Soalnya udah berapa kali dia meeting, asisten dan engineer dia ikut mulu. Kalau giliran dia sendiri, gue yang datang bareng Ronald kalo nggak si Yudha. Setelah gue double check terak
Sebulan lamanya, penyelidikan diam-diam untuk kasus Pak Cokro sudah hampir selesai. Bukti-bukti cctv, kisah dari para korban, semua dikumpulkan dalam satu file. Yang Matari dengar, saat Pak Cokro selesai kembali dari trainingnya di Singapore, beliau akan dipanggil di kantor. Tentu saja polisi juga ikut dipanggil datang. Gue nggak ngerti prosedurnya gimana, tapi mereka memang sengaja menunggu selama ini dan serahasia ini adalah agar Pak Cokro nggak kabur. Dengan uang yang dihasilkannya, dia bisa aja kabur ke mana gitu. Bersyukur semua tim berkerjasama. Mengingat kantor gue itu gudangnya para gossipers. Bahkan ibaratnya, dinding pun bisa mendengar kami. Jadi, semua udah sepakat bahkan menandatangani perjanjian agar tutup mulut sampai kasus selesai. Jadi, nggak ada yang kena judgemental negatif, terutama para korban. Biasa kan di negara kit aini, lucunya, para korban yang disalahin. Padahal yang nggak punya akhlak adalah si pelaku. Seperti biasa, hari pertama Pak Cokro
“Ri, kamu ada waktu nggak besok?” tanya Bu Angel di telepon, ketika gue baru kelar meeting. “Besok sih cuma meeting aja sore, Bu. Gimana, ada yang bisa saya bantu?” sahut gue sambil duduk di lobby perusahaan. “Oh, tenaaaangggg, saya ngajak kamu pergi pagi kok, jam 10-an, gitu. Kamu ikut gue ya, berangkat dari kantor aja,” kata Bu Angel. “Oh, iya, pakai celana ya, jangan rok, terus kalau bisa sneakers aja. Kita mau ke lapas.” Lapas? Penjara maksudnya? “Eh, iya, Bu. Siap, ada lagi yang perlu saya bawa?” “Sementara nggak, besok aja gue jelasin semuanya. Laptop ditinggal di kantor aja, kecuali kamu mau langsung meeting. Tapi saran gue sih balik ke kantor aja lagi. Gue juga, kok.” Gue nggak punya pilihan lain selain setuju aja. Bu Angel segera mengakhiri panggilan telepon, karena dia tahu gue masih di kantornya salah satu klien. ***************************************************************** Gue nggak menutup laptop, membi
Seharusnya udah musim kemarau, tapi bulan April itu gue disambut hujan deras di awal bulan. Banyak yang masih bertahan di kantor karena nggak menyangka hujan akan turun sederas itu. Biasanya bulan April bakalan jadi sisa-sisa musim penghujan. Namun nyatanya, hujan masih sederas bulan Desember dan Januari. Gue yang mau pulang akhirnya mengurungkan niat dan mengajak Anwar buat main PS di lounge.“Nggak berani gue, Kak!” sahut Anwar sambil mengeluarkan hpnya dengan niat main game online sambil menungggu hujan.“Kan udah selesai jam kerja, dodol!” timpal gue kesal.“Boleh kali, War, main PS, orang disediain juga! Gue liat-liat lo sekarang jiper amat! Biasanya juga seenaknya lo!” ledek Sania.Anwar menarik napas.“Ya udah ayok, tapi bentar aja ya, gue mau nerobos hujan aja. Mau pulang cepet, nyokap masak opor ayam kesukaan gue nih!” sahut Anwar dan mengikuti gue menuju ke lounge.Untungnya di sana t
Gue kaget setengah mati saat Sania dan Rahma memberitahu bahwa hari itu adalah hari terakhir Bu Wanda bekerja bersama di kantor ini. Meskipun sebenarnya gue sudah mengira kejadian ini akan segera datang, tapi gue nggak menyangka bahwa hari itu adalah hari yang sudah gue prediksi selama ini. Wajah para bawahannya tampak sedih. Karena bagaimanapun juga Bu Wanda sudah bergabung lama dengan perusahaan. Beberapa orang memberikan ucapan selamat dan menyalaminya dengan sopan. Meskipun akhir-akhir ini banyak tersulut emosi, Bu Wanda nyatanya tetap membagi-bagikan kue donat untuk dibagi-bagi ke seluruh divisi. Gue sendiri juga dapet bagian. Lumayan snack time di sore hari. Beberapa orang berkerumun untuk ngajak foto farewell. Tentu saja gue enggak ikutan atau sedikitpun tertarik. Sania dan Rahma nggak mau ketinggalan. Sepertinya banyak yang ingin foto bareng sama beliau untuk terakhir kali. Namun hal itu nggak membuat gue berkeinginan yang sama. Gue sendiri belum genap 1 tahu
Namun kejanggalan yang lain yang gue temukan, malah bukan soal Bu Angel lagi. Mungkin Bu Angel berhasil diredam dan nggak mencuat, setidaknya gitu yang gue pahami. Tapi soal Pak Marjan dan Bu Cla.Gue pikir, mereka juga udah adem. At least kalopun emang masih ada hubungan, mereka nggak yang seenak jidat muncul di publik sebagai pasangan. Tapi, gue malah ketemu mereka, saat gue sedang antri beli kopi di salah satu kedai kopi di dekat kantor.“Siang, Bu, Pak!” sapa gue dengan lantang pada mereka yang baru masuk ke barisan antrian, yang kebetulan sebagai pengantri terakhir.Mereka nggak bisa mengelak untuk nggak ngantri di belakang gue, karena memang belum ada pelanggan lain yang masuk. Bu Cla akhirnya cuma bisa tersenyum. Sedangkan Pak Marjan malah tampak tak peduli dengan kehadiran gue di situ. Sudah biasa, dia cuma nyapa yang menurut dia satu level sama dia. Sedangkan gue? Gue cuma budak corporate aja, nggak lebih dari itu.Waktu gue order, Bu
Kepulangan gue dari Singapore disambut kabar tak enak saat gue masuk ke kantor. Desas-desus soal Bu Angel jadi simpanan udah jadi bahan obrolan blak-blakan siapapun. Dulu, biasanya cuma jadi bahan ghibah underground. Soalnya nggak banyak yang tahu cowoknya siapa. Meskipun beberapa dari mereka bisa menebak bahwa dia adalah orang penting, bukan orang biasa.Makanya, gue pun nggak ketemu sama sekali dengan Bu Angel saat kedatangan gue pertama di kantor dari liburan. Oleh-oleh yang gue sengaja beli khusus buat dia bahkan nggak disentuh sama sekali sama dia di meja yang biasa dia duduki. Dia nggak pernah muncul di kantor. Semua koordinasi bahkan lewat email dan telepon aja. Chat gue bahkan dibaca dan dibalas bisa sehari kemudian. Itupun ngambang. Padahal gue lagi butuh dia buat nge-guide customer gue yang baru yang gue dapet dari bokapnya Hafis, anak perusahaan Bank lama yang mau mandiri dan bikin manajemen sendiri.Tentunya itu nggak gampang. Selain karena pasti banyak per
Gue adalah orang yang paling terakhir ke basement. Ditemani Hafis, sebagai juru kunci apartemen, kami berdua sama-sama turun. Seharusnya, lift ini bisa disetting langsung ke basement, tapi entah kenapa, lift berhenti di lantai Ground, tempat lobby berada.Gue hampir menahan napas saat gue sadar, yang masuk ke dalam lift adalah istrinya Pak Abimanyu, yang sampai saat itu gue nggak tahu namanya. Menyadari ada Hafis, dia hanya tersenyum namun setelah itu memalingkan muka dan menunduk. Gue dan Hafis tahu dia habis atau masih menangis. Hanya saja kami berdua merasa kikuk untuk berbincang. Akhirnya lift melaju menuju basement dengan sunyi senyap. Suara mesin lift yang halus terdengar samar menjadi satu-satunya background suara.“Ting!”Lift berhenti. Wanita tadi mengangguk pada Hafis dengan sopan tanpa berkontak mata bersiap untuk pergi.Ternyata, kami menuju basement yang sama, meskipun masih ada 3 lantai basement lagi. Gue yang tahu kalau dekat de
“Sebelum berangkat, jangan lupa kumpul dulu di tempat gue!” Hardik Hafis mengingatkan di telepon.Gue yang masih di kantor dan izin setengah hari itu langsung memakinya.“Nggak usah teriak-teriak juga, kali!” kata gue kesal.“Lo di mane nih?” tanya Hafis.“Masih di kantor gue cuy!” sahut gue.“Are you kidding me? Lo izin setengah hari?”“Iyap! Gue nggak mau rugi, man! Penerbangan kita kan masih jam 7 malem. Nanti istirahat makan siang gue balik kosan dulu, ganti baju terus ke apartemen lo.”“Ya udah, pokoknya jam 4 sore kita berangkat ya dari apartemen. Kalo lo telat dikit, gue tinggal. Ngerti lo?”“Iya, iya, tenang aja!”“Oke deh, gue udahan ya! Mau nelepon yang lain.”“Siap.”Gue kadang geli sama sifat perfeksionisnya Hafis. Kaya kalau kita mau trip bareng-bareng kaya gini, pasti kita ak
Gebrakan pertama yang dibuat HRD adalah mereka membuat HRD Socialization Day setiap satu bulan sekali. Makin padat nggak tuh jadwal gue di kantor. Ada Sales Monthly Meeting, ada Quarterly Meeting dan kali ini ada HRD Socialization Day yang diprakarsai Bu Sylvi lewat email blast-nya hari ini. Gue yang lagi kelar meeting bareng Yudha dan Ronald langsung mengeluh saat mengecek email itu dari hp kami. Tentu saja bagi kami yang mirip sebagai pekerja lapangan itu cukup memberatkan.“Gue udah dapet mandat nih di group WA, kalau dari divisi gue, digilirin aja jadwal yang ikut sosialisasi itu. Kan lo tahu anak engineer sebanyak apa, jadi kaya dibagi dua orang per sesi. Bagus deh jadinya adil. Kalo yang nggak bisa dateng boleh tukeran jadwal sama yang belum pernah dateng,” kata Ronald sambil menunjukkan WA grupnya.“Beneran tuh?” sahut Yudha.“Beneran, makanya kalo punya grup WA dibaca dong, bro!” sahut Ronald.“Bukannya gi
Awal bulan Juni tahun 2019 bertepatan dengan libur panjang Hari Raya Idul Fitri 2019. Tentu saja kantor gue baru officially masuk di tanggal 10 Juni. Trip gue bareng geng Sableng harus diundur hingga bulan depan. Gue enggak enak sama mereka sebenarnya, cuma mengingat seharusnya Bu Sylvi, pengganti Direktur HRD sudah datang, dan cuti gue bisa disapprove. Lagian nggak cuma gue yang mengalami hal yang sama. Untuk cuti lebaran semuanya sudah approve kecuali cuti harian, semuanya masih menunggu approval HRD.Ada opsi lain. Pak Vino udah nawarin ke kami semua kalau mau cuti, cuti aja izin ke dia, nanti dia catetin, sambil nunggu sistem beres. Kalau udah beres, dia akan minta HRD input semua kuota cuti yang terpakai. Cuma kaya ribet aja harus laporan dulu ke dia. Pasti gue harus ngejelasin mau ke mana. Mana kontrak kerja gue ditangguhkan lagi. Ini kejadian yang persis sama kaya waktu Nana dulu. Bedanya kalau dulu ngebenerin sistem, kalau sekarang nggak ada yang approve sistemnya. Ja
Selama menunggu pengganti resmi, Bu Nami membantu beberapa pekerjaan HRD. Misalnya untuk review kebijakan baru, review cuti, review sistem dan lain-lain, namun bukan sebagai final approval. Dia mencatat banyak hal, untuk dilaporkan kepada Pak Jaya. Seperti biasa, sistem karyawan milik gue belum bener. Alamat trip sama geng Sableng bakalan diundur. Untungnya mereka bisa ngerti dan menunggu sinyal oke dari gue.Beberapa pekerjaan gue sebagai sidekick sudah banyak berkurang, dulu seminggu sekali pasti ada job, sekarang, bisa 2 sampai 3 minggu sekali, itu pun cuma ngecekin SOP-SOP baru doang udah sampai proses apa. Dari situ gue banyak tahu, beberapa alur proses ada yang diubah sedikit, adapula yang dirombak abis-abisan. Terutama soal budget entertainment ke customer. Bahkan terang-terangan ditulis, perwakilan kantor gue yang biasanya 2-3 orang, dibatasi hanya 1 orang aja. Kalaupun nambah, FA berhak nggak approved sisanya. Hal ini dikecualikan jika gue udah kasih proposal di awal
Gue kaget setengah mati saat Sania dan Rahma memberitahu bahwa hari itu adalah hari terakhir Bu Wanda bekerja bersama di kantor ini. Meskipun sebenarnya gue sudah mengira kejadian ini akan segera datang, tapi gue nggak menyangka bahwa hari itu adalah hari yang sudah gue prediksi selama ini. Wajah para bawahannya tampak sedih. Karena bagaimanapun juga Bu Wanda sudah bergabung lama dengan perusahaan. Beberapa orang memberikan ucapan selamat dan menyalaminya dengan sopan. Meskipun akhir-akhir ini banyak tersulut emosi, Bu Wanda nyatanya tetap membagi-bagikan kue donat untuk dibagi-bagi ke seluruh divisi. Gue sendiri juga dapet bagian. Lumayan snack time di sore hari. Beberapa orang berkerumun untuk ngajak foto farewell. Tentu saja gue enggak ikutan atau sedikitpun tertarik. Sania dan Rahma nggak mau ketinggalan. Sepertinya banyak yang ingin foto bareng sama beliau untuk terakhir kali. Namun hal itu nggak membuat gue berkeinginan yang sama. Gue sendiri belum genap 1 tahu
Seharusnya udah musim kemarau, tapi bulan April itu gue disambut hujan deras di awal bulan. Banyak yang masih bertahan di kantor karena nggak menyangka hujan akan turun sederas itu. Biasanya bulan April bakalan jadi sisa-sisa musim penghujan. Namun nyatanya, hujan masih sederas bulan Desember dan Januari. Gue yang mau pulang akhirnya mengurungkan niat dan mengajak Anwar buat main PS di lounge.“Nggak berani gue, Kak!” sahut Anwar sambil mengeluarkan hpnya dengan niat main game online sambil menungggu hujan.“Kan udah selesai jam kerja, dodol!” timpal gue kesal.“Boleh kali, War, main PS, orang disediain juga! Gue liat-liat lo sekarang jiper amat! Biasanya juga seenaknya lo!” ledek Sania.Anwar menarik napas.“Ya udah ayok, tapi bentar aja ya, gue mau nerobos hujan aja. Mau pulang cepet, nyokap masak opor ayam kesukaan gue nih!” sahut Anwar dan mengikuti gue menuju ke lounge.Untungnya di sana t