Semua Bab Jarak (tamu di hati suamiku): Bab 21 - Bab 30

44 Bab

Luka Masa Lalu

"Kamu lancang menikahi Inara! Padahal kamu tahu pasti siapa dia!" Ayah kembali melayangkan tangan, namun Mas Bayu mengelak cepat. "Antara aku dan Inara tidak ada hubungan darah. Dan kami sama-sama korban. Sudah sepantasnya aku melindunginya dari kejahatan kalian," teriak Mas Bayu. Dia bilang, tak ada hubungan darah? Apa maksudnya? "Bayu, hentikan semua ini. Kamu jangan seperti ini … Bayu," isak Ibu. "Apa Ibu dulu berhenti saat aku menangis, Bu?" Kali ini Mas Bayu menatap wajah Ibu. Aku tak tahu arah pembicaraan mereka. Ku pikir kemarahan Mas Bayu hanya ditujukan pada Ayah. Tangis Ibu semakin
Baca selengkapnya

Luka Masa Lalu 2

Sejak Tante Dilara meninggal, ayah yang pekerja keras merasa kewalahan mengasuh Inara yang sangat aktif. Saat itu ibu datang menawarkan diri untuk mengasuh Inara dan Bayu.   Tentu dengan syarat mereka kembali rujuk. Tak ada alasan bagi ayah untuk menolak. Dia berharap keputusannya tepat.   Tanpa persetujuan Bayu, mereka kembali bersatu. Menganggap jika anak kecil hanya akan mengangguk setuju. Mungkin ayah dan ibu lupa, Bayu bukan boneka yang tak bernyawa.   Mereka berpesta, mengabadikan persahabatan dalam ikatan pernikahan kedua.   Mengabaikan Bayu yang terombang ambing di antara ego kedua orang tuanya. Terlebih ayah begitu menyayangi Inara, karena paras Dilara seolah menempel erat di wajah gadis kecil itu. Dan hati
Baca selengkapnya

Lelaki Lain

Pagi ini mataku enggan terbuka. Sayangnya aku tak terbiasa bangun setelah matahari tinggi, karena itu tubuhku menolak kembali rebah. Dulu aku bersahabat dengan embun pagi. Sepertinya baru sebentar rasa damai membuai. Sedikit malas, ku rentangkan dua lengan, meluruskan beberapa sendi. Ponsel masih berada di genggamku. Sekilas kelebat suara sayup menyapa. Sepertinya semalam aku dengar tentang satu-satunya istri. Istri siapa? Apakah Mas Bayu? Tentu bukan. Jelas aku dan Inara sama-sama sah menjadi istrinya. Jangan-jangan rasa gelisah mencoba menyesatkan pendengaranku. Aku hanya tak mau salah arah. Guncangan luka masa lalu yang di buka Ibu semalam, masih begitu membekas. 
Baca selengkapnya

Peluk Aku Sebentar Saja

Beberapa kali Ibu memintaku menghubungi Mas Bayu untuk menanyakan kondisi Inara dan kandungannya. Namun rasa enggan membuatku hanya mengangguk tanpa melakukannya. Sepanjang hari aku lebih sering mendengar Ibu bicara. Bicara tentang apapun. Tentang masa mudanya, masa-masa awal kehamilannya. Dan saat Mas Bayu kecil.  Beberapa kali aku mengulum senyum saat Ibu menceritakan kenakalan Mas Bayu. Dia sering kualahan menghadapi tingkah anak lelaki satu-satunya. Menurut cerita Ibu, dulu Mas Bayu selalu ceria. Dan semua berubah karena ambisi Ayah untuk mendapatkan kembali cinta Dilara, dan juga Ibu yang selalu menjegal langkah Ayah. Miris. Manusia dewasa hanya b
Baca selengkapnya

Tamu di hati Suamiku

Aku berjalan sendiri menyusuri lorong sepi. Tak ada pengunjung, hanya sesekali perawat berbaju putih berjalan tergesa.   Beberapa jendela berteralis menampilkan beberapa wajah asing di dalam tiap ruang. Mereka yang di dalam sana, semua asyik dengan dunia mereka. Dunia yang hanya ada dalam imajinasi.   Di ujung lorong terdapat sebuah taman terbuka dengan beberapa kursi panjang. Masih dapat dilihat beberapa orang mengenakan seragam pasien. Mereka tertawa, merenung bahkan berbicara entah dengan siapa.   Rasa takut hinggap, namun coba ku tepis saat sadar jika selain pasien ada juga perawat lelaki siaga di beberapa titik. Mengawasi mereka yang mungkin tidak mengerti dan tidak bisa mengendalikan diri.   Ya, saat ini aku s
Baca selengkapnya

Racikan Kopi

Tak berapa lama seorang pengendara motor sport datang menghampiri Mas Bayu. Sama seperti Rizal, pengendara itu berbincang serius setelah turun dan membuka helm.   Sesekali ku lihat dia mengangguk patuh.   Lelaki itu kemudian melepas jaketnya ketika Mas Bayu mendatangiku.   "Ndhis, mobil ini mau dipakai orangku untuk mengecek lahan di luar kota. Kalau ku antar pakai motor, kamu nggak keberatan kan?"   Aku mengangguk. Bagiku yang terpenting aku segera pulang. Menjauh dari keluarga yang kehidupannya penuh drama.   Aku harus keluar untuk menjaga hati dan pikiranku.   Mas Bayu memindai ku sejenak. Kemudian dengan isyarat memintaku untuk turun dari mobil mewahnya.   Lelaki tadi mengangguk ramah ke arahku. Kemudian memberikan kunci motor pada Mas Bayu.  
Baca selengkapnya

Nuansa Baru

Menikmati cuaca sejuk yang semakin dingin oleh rasaku. Segelas teh, ku genggam erat, berharap bisa membuat hatiku jadi hangat. Tapi tidak, bahkan Mas Bayu yang duduk menempel di sisi kiriku tak bisa membuat hatiku menghangat. Di depannya, secangkir kopi yang berhasil kubuat dengan gemetar, masih mengepulkan asap. Tatapnya terbagi antara aku dan secangkir kopi. "Aku merindukan aroma kopi buatanmu, Ndhis. Aku menikmati setiap gerakanmu saat mengaduk kopi," ungkapnya tadi. Mencoba mengalihkan suasana yang menjadi entah. "Kopi buatan Bibik, bahkan cafe tak bisa membuatku berpaling. Kopi racikanmu yang terbaik." Tangannya meraih tatakan cangkir. Aku menunduk. In
Baca selengkapnya

Seindah Matahari

"Kenapa, Ndhis?" Suara Mas Bayu membuatku segera menutup pintu. Aku berbalik, dan melihat Mas Bayu berbaring santai di atas ranjang. Hhhh, lagi-lagi aku menghembuskan nafas kasar. Lelaki itu, apa tidak ada niat untuk tidur di kamar lain? Aku sedikit risih berada dalam satu ruangan dengannya. Mas Bayu menepuk tempat kosong di sebelahnya. Memberi isyarat padaku untuk duduk. Ragu aku melangkah. Kali ini kami kembali duduk berdampingan, namun tidak sedekat tadi di kedai kopi. Aku membiarkan jarak membentang tak hanya di hati. Tangan Mas Bayu meraih jemariku, menggenggam seperti ingin menyalurkan rasa h
Baca selengkapnya

Aku, Kamu atau Kita?

Mas Bayu menatapku. Tatapan hangat yang akhir-akhir ini kudapatkan darinya. "Kalau saja pernikahan kita tidak serumit ini," gumaman lelaki itu memaksaku menentang matanya. Tersadar dari hanyutan gelombang rasa. Kembali layangan bogem seperti menimpa hati. Ya, pernikahan ini terjadi tanpa masing-masing dari kami menginginkannya. Mungkin ini saatnya. Dia, yang tanpa ku pungkiri pernah masuk dan menghuni ruang hati, harus pergi. Kami kembali seperti dulu, saling diam. Aku yang terbiasa membaca gerak tubuhnya, memilih abai. Jika memang harus pergi, pergi saja. Jangan pernah meninggalkan kenangan manis
Baca selengkapnya

Foto dalam Laci

Dari awal aku menapaki tangga yang rapuh. Walau berjuta keindahan melambai di tingkat teratas, aku seakan tak cukup mampu untuk terus merangkak naik. Sikap mas Bayu terlalu sering berubah-ubah beberapa hari terakhir. Aku tak nyaman. Dia ingin aku menempati posisi. Tapi saat aku berusaha menempatkan diri, dengan kasar menolak. Tanpa sadar dia berusaha menjatuhkan aku. Aku berusaha bangkit, dia berusaha menjauh. Tak berhenti bahkan untuk melihat, apa aku bisa berdiri tegak, atau aku semakin lumpuh. Dia bilang, aku akan menyakiti anak Inara. Pikiran kotor itu bahkan tak pernah terbersit sedikitpun. Sedikitpun. Bahkan aku merasakan ada rasa lembut di hatiku untuk bayi Inara. Rasa membuncah, meletup pelan dan tidak bisa
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status