Aku berjalan sendiri menyusuri lorong sepi. Tak ada pengunjung, hanya sesekali perawat berbaju putih berjalan tergesa.
Beberapa jendela berteralis menampilkan beberapa wajah asing di dalam tiap ruang. Mereka yang di dalam sana, semua asyik dengan dunia mereka. Dunia yang hanya ada dalam imajinasi.
Di ujung lorong terdapat sebuah taman terbuka dengan beberapa kursi panjang. Masih dapat dilihat beberapa orang mengenakan seragam pasien. Mereka tertawa, merenung bahkan berbicara entah dengan siapa.
Rasa takut hinggap, namun coba ku tepis saat sadar jika selain pasien ada juga perawat lelaki siaga di beberapa titik. Mengawasi mereka yang mungkin tidak mengerti dan tidak bisa mengendalikan diri.
Ya, saat ini aku s
Hai reader ... Jangan lupa tinggalkan jejak di komen ya, love you đ„°
Tak berapa lama seorang pengendara motor sport datang menghampiri Mas Bayu. Sama seperti Rizal, pengendara itu berbincang serius setelah turun dan membuka helm. Sesekali ku lihat dia mengangguk patuh. Lelaki itu kemudian melepas jaketnya ketika Mas Bayu mendatangiku. "Ndhis, mobil ini mau dipakai orangku untuk mengecek lahan di luar kota. Kalau ku antar pakai motor, kamu nggak keberatan kan?" Aku mengangguk. Bagiku yang terpenting aku segera pulang. Menjauh dari keluarga yang kehidupannya penuh drama. Aku harus keluar untuk menjaga hati dan pikiranku. Mas Bayu memindai ku sejenak. Kemudian dengan isyarat memintaku untuk turun dari mobil mewahnya. Lelaki tadi mengangguk ramah ke arahku. Kemudian memberikan kunci motor pada Mas Bayu.
Menikmati cuaca sejuk yang semakin dingin oleh rasaku. Segelas teh, ku genggam erat, berharap bisa membuat hatiku jadi hangat.Tapi tidak, bahkan Mas Bayu yang duduk menempel di sisi kiriku tak bisa membuat hatiku menghangat.Di depannya, secangkir kopi yang berhasil kubuat dengan gemetar, masih mengepulkan asap. Tatapnya terbagi antara aku dan secangkir kopi."Aku merindukan aroma kopi buatanmu, Ndhis. Aku menikmati setiap gerakanmu saat mengaduk kopi," ungkapnya tadi. Mencoba mengalihkan suasana yang menjadi entah."Kopi buatan Bibik, bahkan cafe tak bisa membuatku berpaling. Kopi racikanmu yang terbaik." Tangannya meraih tatakan cangkir.Aku menunduk. In
"Kenapa, Ndhis?" Suara Mas Bayu membuatku segera menutup pintu.Aku berbalik, dan melihat Mas Bayu berbaring santai di atas ranjang.Hhhh, lagi-lagi aku menghembuskan nafas kasar. Lelaki itu, apa tidak ada niat untuk tidur di kamar lain? Aku sedikit risih berada dalam satu ruangan dengannya.Mas Bayu menepuk tempat kosong di sebelahnya. Memberi isyarat padaku untuk duduk.Ragu aku melangkah.Kali ini kami kembali duduk berdampingan, namun tidak sedekat tadi di kedai kopi. Aku membiarkan jarak membentang tak hanya di hati.Tangan Mas Bayu meraih jemariku, menggenggam seperti ingin menyalurkan rasa h
Mas Bayu menatapku. Tatapan hangat yang akhir-akhir ini kudapatkan darinya."Kalau saja pernikahan kita tidak serumit ini," gumaman lelaki itu memaksaku menentang matanya.Tersadar dari hanyutan gelombang rasa.Kembali layangan bogem seperti menimpa hati. Ya, pernikahan ini terjadi tanpa masing-masing dari kami menginginkannya.Mungkin ini saatnya. Dia, yang tanpa ku pungkiri pernah masuk dan menghuni ruang hati, harus pergi.Kami kembali seperti dulu, saling diam. Aku yang terbiasa membaca gerak tubuhnya, memilih abai.Jika memang harus pergi, pergi saja. Jangan pernah meninggalkan kenangan manis
Dari awal aku menapaki tangga yang rapuh. Walau berjuta keindahan melambai di tingkat teratas, aku seakan tak cukup mampu untuk terus merangkak naik.Sikap mas Bayu terlalu sering berubah-ubah beberapa hari terakhir. Aku tak nyaman. Dia ingin aku menempati posisi. Tapi saat aku berusaha menempatkan diri, dengan kasar menolak. Tanpa sadar dia berusaha menjatuhkan aku.Aku berusaha bangkit, dia berusaha menjauh. Tak berhenti bahkan untuk melihat, apa aku bisa berdiri tegak, atau aku semakin lumpuh.Dia bilang, aku akan menyakiti anak Inara. Pikiran kotor itu bahkan tak pernah terbersit sedikitpun. Sedikitpun.Bahkan aku merasakan ada rasa lembut di hatiku untuk bayi Inara. Rasa membuncah, meletup pelan dan tidak bisa
Tanganku gemetar, banyak tanya menumpuk di pikiranku. Bagaimana bisa bapak menyimpan foto Dilara? Apa hubungan bapak dengan ibu Inara?Siapa saudara kembar Dilara? Apa dia … ibu?Mereka sangat mirip. Hanya rambut dan tawa mereka yang berbeda. Mana Dilara, dan mana ibuku?Aku terus terpaku pada wajah yang selalu tertawa. Mencoba menautkan sebentuk rasa yang hanya bisa diketahui hati.Sekuat tenaga aku mencoba mengingat raut wajah ibu. Namun sia-sia. Aku hanya bisa mengingat suara tawanya yang selalu berderai, juga halus lembut tangannya. Inikah ibu?Siapa nama ibuku? Mungkinkah saudara kembar Dilara ibu kandungku?
Aku berusaha meraup oksigen. Air mata meleleh begitu saja. Haruskah berakhir seperti ini, di tangan lelaki yang seharusnya melindungiku?Saat-saat terakhir ku rasakan tangan Mas Bayu mengendur. Aku terbatuk keras saat dia benar-benar melepas cengkramannya. Sekuat tenaga aku menepuk dada, berharap bisa mengenyahkan sesak yang tak jelas berasal dari mana.Mata tajamnya sekejap meredup. Kelibat rasa bersalah seperti hilang dan timbul bergantian.Belum lengkap kesadaranku, dia kembali berulah. Dengan kasar dijepitnya pipiku dengan dua jari. Kemudian tanpa permisi memasukkan sebutir pil ke dalam mulutku. Aku meronta. Namun tak berdaya untuk melawan. Pil kecil itu berhasil meluncur ke dalam perutku.Setelahnya aku merasakan pelukan erat disertai kecupan lembut di atas kepala. Manusia macam apa yang ada di depanku ini?La
Pak Dirman mengemudi mobil dengan tenang. Namun aku merasa dia menyembunyikan kegugupan.Aku memilih tak mengusiknya. Beruntung bagiku mendapat tumpangan sampai ke pasar. Apalagi darinya aku juga mendapat sedikit titik terang tentang nama ibuku. Selanjutnya aku tinggal mengoreknya pada Pak Mahmud. Sopir keluarga mertuaku."Mau diantar sampai terminal, Ndhis?" tanya Pak Dirman."Ttidak usah, Pak. Sampai pasar saja," sahutku sambil tersenyum.Dari jauh mulai terlihat hiruk pikuk pasar sayur. Sepagi ini banyak pedagang mencari mobil bermuatan sayur. Mendekati kerumunan, Pak Dirman melambatkan laju mobil. Beberapa orang dewasa terlihat naik ke atas bak dengan terburu."Kenapa mereka naik?" ujarku sedikit ketakutan."Tenang, mereka mencari sayur. Kalau ada sayur incaran mereka di mobil ini. Setelah sebelumnya menandai sayur di mobil bapak. Dengan begitu sayur yang dipilih tidak akan diambil pedagang lain." Pak Dirman menje
Rasa tak percaya diri muncul. Apa bentuk tubuhku berubah mengerikan? Apa lemak yang mengiringi kehamilanku membuat hasratnya lebur?Lagi-lagi aku patah.Kuputuskan untuk mengunci pintu, dan menangis diam-diam. Berusaha meredam amarah agar tak salah arah.Duduk diam dan membiarkan air mata mengalir begitu saja.Hampir tengah malam seseorang mencoba membuka pintu. Aku tetap diam. Tak berusaha bangun untuk membukanya.Saat ini aku ingin sendiri. Berdamai dengan rasa yang menyakitiku.***"Kenapa p
Hari-hari selanjutnya kulalui dengan normal. Tidak ada yang mengusikku, selain Mas Bayu.Lelaki itu nyaris setiap saat memintaku kembali ke rumah. Sayangnya aku masih merasa nyaman disini. Rumah Diana yang sudah dibeli suamiku dengan harga fantastis.Diana bahkan mampu membeli rumah lain yang lebih besar dan juga liburan ke luar kota. Aku tidak akan melupakan saat Mas Bayu juga menjanjikan sebuah toko kue lengkap dengan karyawan untuknya.Entahlah, aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran suamiku itu. Terlalu mudah menghamburkan uang.Sepertinya setelah kepergianku, dia berubah bekerja keras hingga lupa waktu. Mungkin itu caranya untuk melupakan aku. Menurut Inara, harta Mas Bayu tak akan
"Kamu mau makan apa?" tanya Mas Bayu. Tatapannya tak beralih dari jalan raya yang padat ileh kendaraan."Tidak," jawabku pelan."Anakku, apa dia tidak lapar?" Kali ini Mas Bayu menatapku sebentar.Rasa hangat kembali memenuhi dadaku. Aku tersenyum. Semudah itu membuatku bahagia."Kenapa?""Hmm? Kenapa apanya?" Aku menoleh. Mengamati tangan kekarnya yang memegang setir."Kamu, senyum-senyum begitu.""Nggak boleh?" rajukku.Mas Ba
Tidak apa?" Aku masih mencoba mencari kepastian.Mas Bayu masih berdiri tegak. Tak menoleh, juga tak menyahut. Dengan cepat kulempar bantal ke arahnya.Hanya terdengar helaan nafas darinya. Aku hampir putus asa. Sikapnya semakin mambuatku yakin pada apa yang kupikirkan. Pak Mahmud telah meninggal."Aku ikut," putusku cepat.Ternyata ucapanku kali ini menimbulkan reaksi. Dia berbalik dan memandangku. Aku berdiri dan segera meraih jaket untuk menutupi piyama yang kukenakan. Selanjutnya aku menabrak lengannya untuk keluar menuju kamar mandi."Ndhis!"Seruannya tak kuhiraukan. Dengan cepat aku mencuci muka dan menggosok gigi. Tak lupa kuikat rambut menyerupai gaya ekor kuda."Ayo," ajakku."Kamu di rumah saja." Dia masih berusaha membujuk."Tidak. Aku ikut atau kamu tidak akan pernah bisa menemukanku lagi. Aku akan pergi," ancamku."Bagaimana bisa kamu pergi, sedangkan dun
"Katakan, di mana Pak Mahmud?" Aku mencecar Mas Bayu. Lelaki itu menghela nafas kasar."Entahlah. Terakhir yang kutahu, dia mengantar ayah melakukan perjalanan bisnis. Beberapa malam yang lalu, dia menghubungiku. Memberi tahu tentang kamu. Semua begitu cepat. Seperti sesuatu mengejarnya.""Kamu tidak melacak ponselnya?" tanyaku khawatir. Hal mudah bagi Mas Bayu untuk mengetahui keberadaan seseorang melalui ponsel. Apalagi ada beberapa karyawannya yang dibidang itu."Sudah. Dan hanya ponsel yang kutemukan." Mas Bayu membuang muka. Terlihat sekali dia tengah menyembunyikan sesuatu."Lalu, siapa laki-laki yang tadi berkelahi denganmu?""Mereka suruhan ibu.""Suruhan? Untuk apa?" Heranku."Kamu mengandung pewaris mereka," ucapnya pelan."Apa hubungannya?""Jika anak kita lahir, mereka akan membawanya, dan tidak mustahil mengakhiri hidup kita."Gila! Aku tidak habis pikir, ini ha
Aku berpura tidak peduli dengan raut wajahnya yang terlihat kesal. Dengan gerakan santai kubereskan peralatan untuk membersihkan luka Mas Bayu tadi.Selain obat pereda nyeri, orang-orang itu juga membeli kain kasa dan beberapa lembar plester.Cangkir kopi kubawa ke dalam. Sebagai gantinya aku membuatkan teh manis untuknya dan empat orang yang berdiri siaga di teras. Sebenarnya aku sudah mempersilahkan mereka untuk duduk, tapi aura Mas Bayu yang kehilangan secangkir kopi begitu kelam. Mungkin itu membuat mereka memilih berdiri.Hari sudah malam, dan aku menyiapkan makanan untuk lima lelaki dewasa. Mudah saja bagiku yang memang senang bergelut di dapur. Apalagi si kecil yang biasanya aktif, entah kenapa kurasa tenang. Apa mungkin dia senang, bisa merasakan kehadiran ayahnya?Senyum muncul saat menyentuh perutku sendiri. Ah, bagaimana rasanya jika Mas Bayu mengelusnya?Aku menggigit bibir. Tiba-tiba dorongan untuk merasakan tangan
"Aku terluka, tidakkah kamu ingin melihatnya?"Melihat lukanya? Dia terluka?Hatiku mulai sedikit goyah. Apalagi bayi dalam kandunganku seolah memaksa untuk mendekati sang ayah."Aku yang masuk, atau kamu keluar," tegasnya. Matanya tak lepas dariku.Terlihat Mas Bayu mulai melangkah, tanpa melepas pandangan. Semakin dekat, dan semakin terlihat luka lebam di wajahnya. Dia benar-benar terluka!"Berhenti! Aku akan keluar." Segera kututup ponsel dan berjalan membuka pintu.Pintu terbuka, angin senja menyambutku. Memainkan anak rambut di dahiku.Setelah sekian lama, aku kembali bisa menatapnya. Ada rasa membuncah yang memaksaku untuk berlari. Ingin meraup wajah tampannya, menenggelamkan diri di pelukannya."Jangan lari!" Serunya tertahan. Sorot matanya terlihat khawatir."Tidak, aku tidak berlari," elakku. Aku hanya mempercepat langkah, agar bisa segera berdiri di depanmu. Berada dala
Sangat jelas dia mengawasiku. Salah satu dari empat lelaki yang tempo hari melakukan pengeroyokan.Lelaki itu terlihat mengamati, lalu menengok ke segala arah. Siapa dia?Apa yang dia inginkan?Aku cepat-cepat mengambil ponsel, berusaha menghubungi Rizal. Sesaat aku ragu. Apa Rizal benar-benar bermaksud baik? Atau ada sesuatu yang dia dan Pak Mahmud sembunyikan dariku?Atau mungkinkah Pak Mahmud mengirim orang-orang itu untuk menjagaku? Ah, tidak!Tatapan lelaki itu terlihat begitu kelam. Seperti menunggu waktu tepat untuk berbuat jahat.Apa yang harus aku lakukan?Bingung. Ya, aku tak tahu siapa yang benar-benar peduli saat ini. Tak ada satupun yang berusaha menemuiku.Aku seperti terbelenggu di tempat ini.Aku hidup, tapi kebebasanku terenggut. Aku lelah. Sangat lelah.***Tak tahu berapa lama aku bergelung di balik selimut. Keringat dingin terus mengalir. Suara
Kandunganku saat ini memasuki bulan ketujuh. Aku begitu menikmati setiap prosesnya. Perut yang perlahan membesar, membuatku merasa semakin percaya diri.Percaya diri, dan berusaha untuk meyakinkan diri jika aku bisa melalui ini semua. Setiap saat aku membaca dongeng untuk calon anakku. Semua kasih sayang tercurah penuh untuknya. Apalagi saat ini hanya dia yang benar-benar kumiliki.Orang-orang disekitar tempat tinggalku sangat baik. Mereka percaya jika aku majikan Diana yang sedang 'tirah' (istirahat di tempat lain untuk memulihkan kesehatan).Mereka tak mempersoalkan aku yang tinggal seorang diri. Sedikit aneh bagiku, mereka sama sekali tidak mengusik ataupun menatapku curiga. Tapi tak apa. Bukankah ini lebih baik?Di pagi hari aku sering berjalan mengitari komplek. Seperti pagi ini, aku mengambil rute memutar lewat area belakang yang masih berupa perkebunan milik warga. Suasana yang masih asri mengingatkan aku pada desa yang kutinggalkan