Home / Romansa / DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR: Chapter 21 - Chapter 30

37 Chapters

21 PENASARAN

21 Lagi-lagi aku diam di sepanjang perjalanan. Ini seperti mimpi. Aku memejamkan mataku, berpikir siapa orang itu. Tapi aku tetap tidak bisa menebaknya. Aku tidak mengenal satu pun teman ibuku. Atau mungkin teman ayah, entahlah. “Ran, lo mikirin siapa orang itu? Coba entar gue tanya ke bokap, mungkin bokap tahu,” kata Reno. “Jangan! Lo jangan pernah nanya sama bokap lo!” Reno mengangguk, karena mungkin dia merasa ini bukan urusannya.   Kereta api berjalan dengan pelan. Aku menyandarkan kepalaku ke jendela, karena perjalanan masih jauh. Aku merasa lelah, lebih dari sekedar lelah fisik.   Bisakah aku berdamai dengan keadaan ini? Walau bagaimana pun aku memberontak, masa laluku tetap tidak dapat berubah.   Bisakah aku bersandar pada seseorang dan menggenggam tangan seseorang?   Aku merasa kesepian, bu. Bu, kenapa pria itu datang dengan seorang istri dan tiga o
Read more

22 SURAT DARI IBU

22 SURAT DARI IBU Rasanah anak ibu yang baik. Maafkan ibu yang tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk kamu. Maafkan ibu yang selama ini sudah susah memilih jalan. Maafkan ibu atas semua kesalahan ibu padamu dan membuat kamu menderita .... Sebagai seorang anak yang besar di panti asuhan, ibu sering kali melihat teman-teman ibu di adopsi. Ada saatnya ibu juga ingin pergi, namun ada saatnya ibu ingin tinggal.   Suatu waktu, ibu dipilih untuk diadopsi oleh seorang pengusaha yang bekerja di Singapura. Ibu bimbang, sangat bimbang ... namun akhirnya ibu menolaknya. Ibu tidak tahu apakah keputusan ibu ini tepat atau tidak, namun ibu sudah menolaknya.   Setelah lulus SMA, ibu punya kesempatan untuk bekerja di luar kota bersama teman ibu yang berbeda panti asuhan. Dia teman yang sangat baik, namun tidak pernah di adopsi oleh siapapun. Lalu kami bertemu dengan Hendro dan Ajeng, dan sejak saat itu kami
Read more

23 JANGAN-JANGAN AMNESIA

23 JANGAN-JANGAN AMNESIA Hujan sangat deras. Di rumah tidak ada siapa-siapa. Saat-saat ibu meninggal muncul dalam ingatanku. Saat itu juga hujan turun dengan deras. Hanya suara hujan dan petir yang menjadi saksi kepergiannya. Aku berlari keluar sekencang mungkin. Kenapa jadi begini, kenapa harus begini? Ibu, aku merindukanmu. Bisakah kita bertemu secepat mungkin. Nafasku terengah-engah di tengah derasnya hujan dan jalan yang menanjak. Beberapa kali aku terjatuh. Lampu-lampu kota terlihat dari atas bukit tempatku berdiri saat ini. Bu, aku ingin pergi sama seperti ketika kau pergi saat itu. Maafkan aku bu, aku benar-benar merasa malu akan sikapku selama ini. Aku maju perlahan, melihat kilauan lampu yang seolah ikut menertawakan kebodohanku. Saat sudah di tepi tebing, kakiku terpeleset karena tumpukan tanah yang licin dan aku kehilangan keseimbangan. Seseorang menarik tanganku dan memelukku dengan erat. “Jangan lakukan itu. Jangan
Read more

24 MEMASAK UNTUK KELUARGA RENO

24 MEMASAK UNTUK KELUARGA RENO Hari ini aku keluar dari rumah sakit namun menggunakan kursi roda. Aku kembali tinggal di rumah orang tua Reno, Reno juga akhirnya ikut tinggal lagi di sana. Untuk sementara waktu kamarku dipindahkan ke lantai bawah karena akan sulit bagiku naik turun tangga. Reva dan Dito juga ikut mengantarku pulang. “Untung gw udah lulus kuliah, kalau enggak mendingan mati aja, deh! Gw juga bisa kehilangan beasiswa,” kataku, lebih ke diri sendiri. “Jangan bicara seperti itu. Emang beasiswa lebih penting daripada nyawa?” tanya Reno. “Iya, lah. Kalau bukan dari beasiswa dan kerja rodi gimana gw bisa sampai kuliah? Dari hasil patungan orang-orang?” “Rana, ayo makan!” kata Rika mengalihkan pembicaraan. Ini juga untuk pertama kalinya aku berada di ruang makan. Selama bertahun-tahun aku tinggal di sini, aku belum pernah benar-benar makan masakan ibunya Reno. Berbagai jenis sayur dan lauk d
Read more

25 DOKTER SARAF DAN DOKTER MATA

25 DOKTER SARAF DAN DOKTER MATA Aku berdiri di balkon, menatap kosong ke arah kolam renang, memikirkan segala peristiwa yang terjadi dalam hidupku. “Akhir-akhir ini lo aneh. Malaikat mana yang bikin lo kaya gini?” tanya Reno mengagetkanku. “Malaikat pencabut nyawa, lah. Lo kan tau gw hampir mati.” “Enggak lucu, deh!” “Siapa juga yang lagi melucu?” “Bisa enggak sih, kalau ngomong sama gw enggak pake urat?” “Emangnya lo tukang bakso?” “Dikasih tau ngeyel mulu sih, lo?” “Udah hobi sih, gimana, dong?” Dia mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala. *** Aku mengetuk pintu kantor papanya Reno. Om Hendro kaget melihatku. “Rana, ada apa?” tanyanya dengan wajah tersenyum. Aku memandang wajah pria yang kini tak muda lagi itu, namun masih menunjukkan ketampanan dan karisma yang kuat. “Aku hanya mau ngembaliin ini,” kataku
Read more

26 COWOK AJI MUMPUNG

26 COWOK AJI MUMPUNG Bagiku sekarang seperti pertarungan siapa yang menang siapa yang kalah. “Gw bingung sama sikap lo. Kadang lo baik, kadang normal.” Kata Reno sambil meletakkan buku yang dibacanya di meja. “Maksudnya gimana, kadang baik kadang normal?” “Ya kalau lo marah-marah, teriak-teriak, acuh, bagi gw sih, itu normal. Tapi kalau lo baik itu baru aneh. Lo amnesia, enggak. Dah gitu bokap pernah sekali lo panggil ayah, satu kali juga lo panggil om. Sama nyokap, Rika dan Riki juga lo lebih ramah. Nah cuma sama gw doang lo tetap kaya biasa. Sebenarnya ada apa sih, sama lo?” “Lo mau gw panggil kakak?” “Ihhh ngapain amat. Geli gue juga, kalau lo panggil gw kakak. Emangnya lo pikir gampang menyesuaikan diri dengan kehadiran adik perempuan yang udah segede lo. Dah orangnya nyebelin, galak lagi.” “Lo pikir lo nyenengin? Lo ramah sama cewek-cewek juga buat TP.” “Siapa yang TP?”
Read more

27 HAMPA

27 HAMPA Aku ke kosanku yang lama. Mengobrol dengan ibu kost sambil membantunya membuat kue-kue kering. Dia sudah seperti ibuku sendiri. “Rana, sebenarnya ada yang mau ibu katakan sejak dulu sama kamu,” kata ibu kos. “Apa, Bu?” “Bertahun-tahun yang lalu, kira-kira lima bulan setelah kamu tinggal di kosan ini, ada seseorang yang datang menanyakanmu. Katanya, dia disuruh oleh seorang pria bernama Hendro. Pria suruhan itu menanyakan banyak hal tentang kamu. Setelah itu, dia meminta nomor telepon ibu untuk diberikan kepada pak Hendro. Sejak saat itu, pak Hendro sering menelepon ibu. Dia juga sering mengirimkan uang untuk kebutuhan kamu. Tapi setiap kali Ibu ingin memberikan sesuatu padamu, kamu selalu menolaknya. Ibu bilang pada pak Hendro, sebenarnya dia tidak perlu mengirimkan uang terus-menerus, karena Ibu ikhlas membiayai semua kebutuhan kamu. Dia juga bilang, kalau setiap kali dia mau menjemputmu dari panti asuhan, kamu selalu saja ka
Read more

28 JALAN-JALAN

28 JALAN-JALAN “Ya ampun, bikinin gw minum, kek,” ucap Reno sambil mendengkus. “Ihhh ... lo enggak tahu malu ya, datang-datang langsung minta minum.” “Yang hangat ya, airnya,” katanya tidak perduli dengan omonganku. Aku memberikannya teh dan dia langsung meminumnya. “Ya ampun, ini pahit banget. Enggak lo kasih gula, apa?” “Lagi ngirit gw!” “Enggak berubah juga ya, lo.” “Mau ngapain lo ke sini?” “Liburan. Oya, minggu depan lo pulang ke Indonesia, kan? Entar pulang sama-sama aja. Gw di sini satu minggu,” kata Reno. Aku tidak menjawab pertanyaannya, karena tidak tahu harus menjawab apa. Aku sendiri ragu untuk pulang. Takut akan bertemu dengan om Hendro dan tante Ajeng. Bagaimana bisa aku yang tidak tahu malu ini tiba-tiba hadir lagi dalam kehidupan mereka. “Dah sana pulang ke hotel lo, gw mau tidur!” “Lo enggak punya cemilan?” “Disuruh
Read more

29 INGIN MELAMAR

29 INGIN MELAMAR Aku menyiram tanaman. Aroma mawar membuat suasana di taman ini lebih menyenangkan. Aku baru memperhatikan kalau di taman belakang ini ada bunga kesukaan ibu. “Rana, rencana kamu hari ini apa?” tanya tante Ajeng. Reno dan yang lainnya sudah berkumpul dan duduk di pinggir taman. “Aku mau ke tempat Reva.” “Oya Rana, ayah mau kamu kerja di perusahaan ayah. Ayah sudah nyiapin posisi manajer untuk kamu,” kata om Hendro. “Tapi ....” “Tolong bantu ayah, ya. Reno juga kan sekarang sudah kerja di perusahaan. Kalau ada kalian berdua, pasti lebih baik.” Bagaimana nanti om Hendro akan memperkenalkan aku. Anaknya, kah? Keponakan? Atau hanya sebagai manajer biasa? Siang harinya aku bertemu dengan Reva. Dia memelukku. Aku membawakan oleh-oleh untuknya dan Dito. “Dito gimana kabarnya, Rev?” “Baik-baik aja. Pokoknya hari ini khusus untuk kita berdua. Lo ngin
Read more

30 MAAFKAN AKU

30 MAAFKAN AKU “Rana, ayah mau bicara. Ayo turun!” Aku dan Reno turun dan duduk di ruang keluarga. Aku melihat wajah mereka yang terlihat serius, apa yang akan dibicarakan adalah hal yang sangat penting? “Rana, ada hal serius yang ingin ayah bicarakan.” Om Hendro dan tante Ajeng berpandangan. Apa seperti yang aku pikirkan? “Ini menyangkut masa depan kamu. Begini, kamu kan sudah dewasa dan sudah cukup umur. Ayah bermaksud ingin menjodohkan kamu dengan seseorang, tapi ayah tidak akan memaksa, semua keputusan ada di tangan Kamu.” Nah loh, kok enggak seperti yang aku kira, meskipun agak menjurus dikit. Orang tua Reno berpandangan, menunggu reaksiku. Aku melihat Reno, dia juga kelihatan kaget. Berarti dia juga enggak tau apa-apa. “Iya, nanti aku pikirkan dulu.”   Kami berbicara dengan santai, tentang pria yang akan dijodohkan denganku. Pria itu berumur 30 tahun, lulusan luar n
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status