23 JANGAN-JANGAN AMNESIA
Hujan sangat deras. Di rumah tidak ada siapa-siapa. Saat-saat ibu meninggal muncul dalam ingatanku. Saat itu juga hujan turun dengan deras. Hanya suara hujan dan petir yang menjadi saksi kepergiannya.Aku berlari keluar sekencang mungkin. Kenapa jadi begini, kenapa harus begini? Ibu, aku merindukanmu. Bisakah kita bertemu secepat mungkin.
Nafasku terengah-engah di tengah derasnya hujan dan jalan yang menanjak. Beberapa kali aku terjatuh.
Lampu-lampu kota terlihat dari atas bukit tempatku berdiri saat ini. Bu, aku ingin pergi sama seperti ketika kau pergi saat itu. Maafkan aku bu, aku benar-benar merasa malu akan sikapku selama ini.
Aku maju perlahan, melihat kilauan lampu yang seolah ikut menertawakan kebodohanku. Saat sudah di tepi tebing, kakiku terpeleset karena tumpukan tanah yang licin dan aku kehilangan keseimbangan. Seseorang menarik tanganku dan memelukku dengan erat.
“Jangan lakukan itu. Jangan24 MEMASAK UNTUK KELUARGA RENO Hari ini aku keluar dari rumah sakit namun menggunakan kursi roda. Aku kembali tinggal di rumah orang tua Reno, Reno juga akhirnya ikut tinggal lagi di sana. Untuk sementara waktu kamarku dipindahkan ke lantai bawah karena akan sulit bagiku naik turun tangga. Reva dan Dito juga ikut mengantarku pulang. “Untung gw udah lulus kuliah, kalau enggak mendingan mati aja, deh! Gw juga bisa kehilangan beasiswa,” kataku, lebih ke diri sendiri. “Jangan bicara seperti itu. Emang beasiswa lebih penting daripada nyawa?” tanya Reno. “Iya, lah. Kalau bukan dari beasiswa dan kerja rodi gimana gw bisa sampai kuliah? Dari hasil patungan orang-orang?” “Rana, ayo makan!” kata Rika mengalihkan pembicaraan. Ini juga untuk pertama kalinya aku berada di ruang makan. Selama bertahun-tahun aku tinggal di sini, aku belum pernah benar-benar makan masakan ibunya Reno. Berbagai jenis sayur dan lauk d
25 DOKTER SARAF DAN DOKTER MATA Aku berdiri di balkon, menatap kosong ke arah kolam renang, memikirkan segala peristiwa yang terjadi dalam hidupku. “Akhir-akhir ini lo aneh. Malaikat mana yang bikin lo kaya gini?” tanya Reno mengagetkanku. “Malaikat pencabut nyawa, lah. Lo kan tau gw hampir mati.” “Enggak lucu, deh!” “Siapa juga yang lagi melucu?” “Bisa enggak sih, kalau ngomong sama gw enggak pake urat?” “Emangnya lo tukang bakso?” “Dikasih tau ngeyel mulu sih, lo?” “Udah hobi sih, gimana, dong?” Dia mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala. *** Aku mengetuk pintu kantor papanya Reno. Om Hendro kaget melihatku. “Rana, ada apa?” tanyanya dengan wajah tersenyum. Aku memandang wajah pria yang kini tak muda lagi itu, namun masih menunjukkan ketampanan dan karisma yang kuat. “Aku hanya mau ngembaliin ini,” kataku
26 COWOK AJI MUMPUNG Bagiku sekarang seperti pertarungan siapa yang menang siapa yang kalah. “Gw bingung sama sikap lo. Kadang lo baik, kadang normal.” Kata Reno sambil meletakkan buku yang dibacanya di meja. “Maksudnya gimana, kadang baik kadang normal?” “Ya kalau lo marah-marah, teriak-teriak, acuh, bagi gw sih, itu normal. Tapi kalau lo baik itu baru aneh. Lo amnesia, enggak. Dah gitu bokap pernah sekali lo panggil ayah, satu kali juga lo panggil om. Sama nyokap, Rika dan Riki juga lo lebih ramah. Nah cuma sama gw doang lo tetap kaya biasa. Sebenarnya ada apa sih, sama lo?” “Lo mau gw panggil kakak?” “Ihhh ngapain amat. Geli gue juga, kalau lo panggil gw kakak. Emangnya lo pikir gampang menyesuaikan diri dengan kehadiran adik perempuan yang udah segede lo. Dah orangnya nyebelin, galak lagi.” “Lo pikir lo nyenengin? Lo ramah sama cewek-cewek juga buat TP.” “Siapa yang TP?”
27 HAMPA Aku ke kosanku yang lama. Mengobrol dengan ibu kost sambil membantunya membuat kue-kue kering. Dia sudah seperti ibuku sendiri. “Rana, sebenarnya ada yang mau ibu katakan sejak dulu sama kamu,” kata ibu kos. “Apa, Bu?” “Bertahun-tahun yang lalu, kira-kira lima bulan setelah kamu tinggal di kosan ini, ada seseorang yang datang menanyakanmu. Katanya, dia disuruh oleh seorang pria bernama Hendro. Pria suruhan itu menanyakan banyak hal tentang kamu. Setelah itu, dia meminta nomor telepon ibu untuk diberikan kepada pak Hendro. Sejak saat itu, pak Hendro sering menelepon ibu. Dia juga sering mengirimkan uang untuk kebutuhan kamu. Tapi setiap kali Ibu ingin memberikan sesuatu padamu, kamu selalu menolaknya. Ibu bilang pada pak Hendro, sebenarnya dia tidak perlu mengirimkan uang terus-menerus, karena Ibu ikhlas membiayai semua kebutuhan kamu. Dia juga bilang, kalau setiap kali dia mau menjemputmu dari panti asuhan, kamu selalu saja ka
28 JALAN-JALAN “Ya ampun, bikinin gw minum, kek,” ucap Reno sambil mendengkus. “Ihhh ... lo enggak tahu malu ya, datang-datang langsung minta minum.” “Yang hangat ya, airnya,” katanya tidak perduli dengan omonganku. Aku memberikannya teh dan dia langsung meminumnya. “Ya ampun, ini pahit banget. Enggak lo kasih gula, apa?” “Lagi ngirit gw!” “Enggak berubah juga ya, lo.” “Mau ngapain lo ke sini?” “Liburan. Oya, minggu depan lo pulang ke Indonesia, kan? Entar pulang sama-sama aja. Gw di sini satu minggu,” kata Reno. Aku tidak menjawab pertanyaannya, karena tidak tahu harus menjawab apa. Aku sendiri ragu untuk pulang. Takut akan bertemu dengan om Hendro dan tante Ajeng. Bagaimana bisa aku yang tidak tahu malu ini tiba-tiba hadir lagi dalam kehidupan mereka. “Dah sana pulang ke hotel lo, gw mau tidur!” “Lo enggak punya cemilan?” “Disuruh
29 INGIN MELAMAR Aku menyiram tanaman. Aroma mawar membuat suasana di taman ini lebih menyenangkan. Aku baru memperhatikan kalau di taman belakang ini ada bunga kesukaan ibu. “Rana, rencana kamu hari ini apa?” tanya tante Ajeng. Reno dan yang lainnya sudah berkumpul dan duduk di pinggir taman. “Aku mau ke tempat Reva.” “Oya Rana, ayah mau kamu kerja di perusahaan ayah. Ayah sudah nyiapin posisi manajer untuk kamu,” kata om Hendro. “Tapi ....” “Tolong bantu ayah, ya. Reno juga kan sekarang sudah kerja di perusahaan. Kalau ada kalian berdua, pasti lebih baik.” Bagaimana nanti om Hendro akan memperkenalkan aku. Anaknya, kah? Keponakan? Atau hanya sebagai manajer biasa? Siang harinya aku bertemu dengan Reva. Dia memelukku. Aku membawakan oleh-oleh untuknya dan Dito. “Dito gimana kabarnya, Rev?” “Baik-baik aja. Pokoknya hari ini khusus untuk kita berdua. Lo ngin
30 MAAFKAN AKU “Rana, ayah mau bicara. Ayo turun!” Aku dan Reno turun dan duduk di ruang keluarga. Aku melihat wajah mereka yang terlihat serius, apa yang akan dibicarakan adalah hal yang sangat penting? “Rana, ada hal serius yang ingin ayah bicarakan.” Om Hendro dan tante Ajeng berpandangan. Apa seperti yang aku pikirkan? “Ini menyangkut masa depan kamu. Begini, kamu kan sudah dewasa dan sudah cukup umur. Ayah bermaksud ingin menjodohkan kamu dengan seseorang, tapi ayah tidak akan memaksa, semua keputusan ada di tangan Kamu.” Nah loh, kok enggak seperti yang aku kira, meskipun agak menjurus dikit. Orang tua Reno berpandangan, menunggu reaksiku. Aku melihat Reno, dia juga kelihatan kaget. Berarti dia juga enggak tau apa-apa. “Iya, nanti aku pikirkan dulu.” Kami berbicara dengan santai, tentang pria yang akan dijodohkan denganku. Pria itu berumur 30 tahun, lulusan luar n
31 DIA ADALAH AYAH TERBAIK Aku menuju kamarku dan mengambil buku tabungan dan ATM-nya, lalu kembali ke bawah. “Ini. Ini semua uang yang sudah Om kirimkan kepadanya untuk memenuhi kebutuhanku. Jumlahnya masih sama, tidak ada yang berkurang sedikit pun.” Aku menyerahkan buku tabungan dan ATM itu pada om Hendro. “Rana ... seharusnya ayah yang minta maaf. Ayah enggak ada maksud untuk menyembunyikan kebenarannya dari kamu. Ayah hanya takut, kalau kamu nanti tahu, kamu akan pergi karena merasa tidak berhak ada di rumah ini.” Aku langsung melihatnya. Dia masih menyebut dirinya ayah padaku, dan dia tidak ingin aku pergi kalau aku tahu dia bukan ayahku? Aku semakin merasa malu. Mengapa om Hendro begitu baik padaku? Dia membiarkan anak-anaknya berpikir kalau dia memiliki anak dari perempuan lain, hanya untuk menjagaku, yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya sedikit pun. Apakah orang lain akan melakukan ha
37 BONUS CHAPTER Aku membesuk Reva yang baru saja melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. “Siapa namanya, Rev?” tanyaku sambil menggendong bayi tampan itu. “Arkana Albian Abizar.” “A semua?” “Hahaha, Albian nama keluargaku, kan. Abizar nama keluarga Dito. Maklumlah lah Ran, aku kan anak satu-satunya, jadi kedua orang tuaku ingin nama Albian tetap dipakai.” “Halo baby Arkana, jadi anak yang soleh ya dan sehat selalu, membanggakan kedua orang tua kamu.” Reno mengusap perutku yang sudah membuncit. Saat ini aku juga sudah mengandung lima bulan. Keluarga Reno sangat bahagia saat pertama kali mengetahui soal kehamilanku. Reno menjadi suami yang siaga. Setiap malam dia selalu menemaniku yang susah tidur dan yang terkadang ingin ini itu. Pagi harinya dia akan membuatkan susu hamil untukku. Banyak hal yang sudah Reno lakukan, bukan hanya saat aku hamil saja. Aku benar-benar ber
36 KEBAHAGIAAN DI LAUT BIRU Reno menggenggam tanganku dengan erat, seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. “Ren ....” “Sstttt ... sudah tenang saja, kita akan menikah dan kamu tidak boleh pergi lagi tanpa aku.” Ck, percaya diri sekali dia. Entah kenapa aku memang tidak dapat menghilangkan rasa tidak percaya diriku mengenai hubungan dengan laki-laki. “Yang harus kamu pikirkan itu mengenai konsep pernikahan kita nanti. Kamu pasti mau menikah di pantai, kan. Tenang saja, selama ini aku sudah menyiapkan semuanya, kamu tinggal memilihnya saja.” “Yang paling penting itu restu, Ren.” “Ya pasti direstuin lah, Yang!” Yang? Maksudnya, Sayang? Aku menahan senyum, tapi Reno menyadarinya. “Kok kamu senyum-senyum sendiri gitu, sih? Sudah gak sabar ya, nikah sama aku?” Tuh kan, sekarang jadi aku kamu, biasanya juga gue elo. “Dih, percaya diri
35 SESEORANG ITU DIA Awalnya aku merasa kagum, namun tidak pernah kutunjukan. Orang yang selama berbulan-bulan kulihat turun bersamaku di pemberhentian terakhir. Seolah dia menjagaku di keheningan malam dan aku merasa aman dan nyaman dengan itu. Orang yang akhirnya menjadi rekan kerjaku di kafe, dan ternyata dia juga satu kampus denganku. Meskipun kami sering bertengkar di kafe dan bersikap tidak peduli satu sama lain di kampus, namun aku tidak pernah benar-benar membencinya. Entah apa penyebabnya, aku juga tidak tahu. Saat pertama kali ke rumah om Hendro dan bertemu dengannya, seperti ada petir yang menyambarku. Aku merasa kecewa, aku terjebak mimpi buruk dan tidak bisa keluar. Kenapa orang yang aku kagumi harus menjadi saudara yang kubenci. Aku tutupi perasaanku rapat-rapat, dan rasa kagum itu harus aku kubur dalam-dalam. Saat tahu kami tidak bersaudara, ada perasaan lega dan senang. Aku bisa kembali mengaguminya sebagai seorang teman, d
34 TENTANG ISI HATI "Terus waktu seperti diputar ke belakang lagi, saat gw mendengar percakapan itu. Tuhan enggak mungkin ngasih perasaan sayang seperti itu ke adik gw sendiri, dan ternyata memang bukan perasaan gw yang salah.” Reno terdiam sejenak, kemudian melanjutkan kembali. “Awalnya gw merasa penasaran kenapa lo selalu duduk sendiri di kantin sekolah atau di perpustakaan. Lo enggak pernah memperhatikan siapa orang-orang yang ada di sekitar lo, seolah mereka tiang listrik yang bergerak, yang kalau lo dekat-dekat bakalan kesetrum. Berkali-kali kita berpapasan, tetapi lo enggak pernah mandang gw sekali pun. Lo enggak pernah tersenyum atau pun marah. Tetapi saat ada Dito, lo selalu tersenyum dan merasa senang, tapi karena dia juga lo kecewa dan patah hati. Gw pengen bikin lo tersenyum tapi ujung-ujungnya kita selalu berantem. Lo sering mandangin hujan dari kamar lo, seolah lo lagi curhat sama hujan itu. Tadinya, gw kira ayah menyuruh gw ngekos di sit
33 INGIN MEMULAI HIDUP BARU Om Hendro dan tante Ajeng sepertinya masih keberatan, tapi akhirnya mereka setuju juga. Aku memasukkan bajuku ke dalam koper. “Lo pergi karena patah hati?” “Ren, lo pernah nanya pertanyaan yang sama juga kan dulu. Kenapa harus diulang lagi, sih? Gw bosan menjawab pertanyaan yang sama dengan jawaban yang sama juga. Sebagai mantan teman kerja dan senior, seharusnya lo ngedukung gw.” “Gw bukannya enggak ngedukung, tapi ....” “Dah enggak usah tapi-tapian.” “Kan bentar lagi juga gw mau nikah.” “Oya, selamat ya. Entar gw datang deh. Gw doakan semoga dia bahagia.” “Kok cuma dia, gw enggak?” “Ya lo sih udah pasti bahagia lah, kan lo yang mau. Justru dia yang gw cemaskan.” “Ya bahagia juga, lah. Kata orang-orang, gw baik, ganteng, lucu, hmmm ... apa lagi yang belum, ya?” “Tapi kurang waras!” “Coba deh, hati dan pikiran lo
32 PERNIKAHAN Reno yang merancang bangunannya, sedangkan Reva menulis daftar semua kebutuhan. Dito, Vivian, dan Andre juga ikut membantu. Bukan hanya mereka, tante Hartini dan ibu kos juga ikut andil. Tante Hartini menghubungi teman-teman lamanya semasa tinggal di rumah yatim. Mengerjakan semua ini, entah mengapa perasaanku campur aduk. “Kita bisa membuat beberapa kegiatan, untuk melatih kemandirian mereka. Misalnya setiap hari Minggu kita bikin kegiatan membuat kue, nanti hasilnya bisa dijual. Bercocok tanam, kerajinan tangan dan yang lainnya. Masalah tenaga pengajar enggak usah khawatir, teman-teman kampus kita siap bantu. Masing-masing dari mereka bisa ngajarin keahlian mereka. Misalnya, gw bisa ngajarin melukis. Nah karena Reva suka banget sama fashion, dia bisa ngajarin merancang baju, tinggal cari orang yang bisa ngejahit. Pokoknya lo tenang aja Ran, semua udah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya,” kata Dito. Aku tersenyum penuh rasa terima k
31 DIA ADALAH AYAH TERBAIK Aku menuju kamarku dan mengambil buku tabungan dan ATM-nya, lalu kembali ke bawah. “Ini. Ini semua uang yang sudah Om kirimkan kepadanya untuk memenuhi kebutuhanku. Jumlahnya masih sama, tidak ada yang berkurang sedikit pun.” Aku menyerahkan buku tabungan dan ATM itu pada om Hendro. “Rana ... seharusnya ayah yang minta maaf. Ayah enggak ada maksud untuk menyembunyikan kebenarannya dari kamu. Ayah hanya takut, kalau kamu nanti tahu, kamu akan pergi karena merasa tidak berhak ada di rumah ini.” Aku langsung melihatnya. Dia masih menyebut dirinya ayah padaku, dan dia tidak ingin aku pergi kalau aku tahu dia bukan ayahku? Aku semakin merasa malu. Mengapa om Hendro begitu baik padaku? Dia membiarkan anak-anaknya berpikir kalau dia memiliki anak dari perempuan lain, hanya untuk menjagaku, yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya sedikit pun. Apakah orang lain akan melakukan ha
30 MAAFKAN AKU “Rana, ayah mau bicara. Ayo turun!” Aku dan Reno turun dan duduk di ruang keluarga. Aku melihat wajah mereka yang terlihat serius, apa yang akan dibicarakan adalah hal yang sangat penting? “Rana, ada hal serius yang ingin ayah bicarakan.” Om Hendro dan tante Ajeng berpandangan. Apa seperti yang aku pikirkan? “Ini menyangkut masa depan kamu. Begini, kamu kan sudah dewasa dan sudah cukup umur. Ayah bermaksud ingin menjodohkan kamu dengan seseorang, tapi ayah tidak akan memaksa, semua keputusan ada di tangan Kamu.” Nah loh, kok enggak seperti yang aku kira, meskipun agak menjurus dikit. Orang tua Reno berpandangan, menunggu reaksiku. Aku melihat Reno, dia juga kelihatan kaget. Berarti dia juga enggak tau apa-apa. “Iya, nanti aku pikirkan dulu.” Kami berbicara dengan santai, tentang pria yang akan dijodohkan denganku. Pria itu berumur 30 tahun, lulusan luar n
29 INGIN MELAMAR Aku menyiram tanaman. Aroma mawar membuat suasana di taman ini lebih menyenangkan. Aku baru memperhatikan kalau di taman belakang ini ada bunga kesukaan ibu. “Rana, rencana kamu hari ini apa?” tanya tante Ajeng. Reno dan yang lainnya sudah berkumpul dan duduk di pinggir taman. “Aku mau ke tempat Reva.” “Oya Rana, ayah mau kamu kerja di perusahaan ayah. Ayah sudah nyiapin posisi manajer untuk kamu,” kata om Hendro. “Tapi ....” “Tolong bantu ayah, ya. Reno juga kan sekarang sudah kerja di perusahaan. Kalau ada kalian berdua, pasti lebih baik.” Bagaimana nanti om Hendro akan memperkenalkan aku. Anaknya, kah? Keponakan? Atau hanya sebagai manajer biasa? Siang harinya aku bertemu dengan Reva. Dia memelukku. Aku membawakan oleh-oleh untuknya dan Dito. “Dito gimana kabarnya, Rev?” “Baik-baik aja. Pokoknya hari ini khusus untuk kita berdua. Lo ngin