Share

Sejak Kehadiran Pelakor...
Sejak Kehadiran Pelakor...
Penulis: Ezza Zakira

Bab 1

Penulis: Ezza Zakira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 16:09:19
Ibu menemukanku dengan melacak posisi dari jam tangan pintarku. Saat itu, aku tergeletak di tanah dengan kulit yang terlihat penuh dengan ruam merah. Ayah masih saja mengomel di sebelahku.

"Kamu memang nggak tahu mendidik anak! Kurang ajar sekali! Masa meludah langsung di atas meja, memangnya nggak bisa ke tempat sampah? Nggak menghargai orang lagi. Dia itu benar-benar mirip kamu ...."

Ibu yang sudah tidak tahan, langsung memberikan tamparan keras pada Ayah, lalu memelukku dan berlari ke rumah sakit.

Aku melihat semuanya dari atas dengan melayang di udara. Aku benci sekali sama Ayah! Dia tidak pernah peduli padaku ataupun Ibu.

Ya, aku sudah meninggal. Jadi begini rasanya kematian. Kalau begitu, apakah tahun lalu saat kakek tua di sebelah rumah meninggal, dia juga melayang di udara seperti ini? Aku tidak melihatnya waktu itu, jadi apakah itu artinya Ayah dan Ibu juga tidak bisa melihatku sekarang?

Namun, aku bisa melihat mereka. Aku melihat Ibu memeluk tubuhku sambil menangis tersedu-sedu dan panik menunggu ambulans di pinggir jalan. Dia memohon kepada dokter untuk menyelamatkanku. Dokter hanya menghela napas sambil menatap layar monitor. Di layar itu, terlihat tiga garis lurus yang datar.

Ibu sibuk mengurus semuanya sendirian. Aku melihat tubuhku dimasukkan ke dalam sebuah lubang. Kemudian, seorang pria memberikan Ibu sebuah kotak kecil. Ibu memeluk kotak kecil itu sambil duduk di pinggir jalan dan menatap kosong ke arah arus kendaraan yang lewat. Sampai malam tiba, Ibu baru pulang ke rumah.

Di rumah, Ibu berbaring di atas tempat tidur. Kadang menangis terisak di balik selimut, kadang hanya menatap kosong ke langit-langit.

Aku berbaring perlahan di sampingnya, berharap bisa menepuk lembut tubuhnya seperti saat Ibu menemaniku tidur dulu. Namun, aku hanya bisa menyaksikan tanganku menembus tubuh Ibu. Aku terkejut dan berteriak, tetapi Ibu sama sekali tidak menyadarinya. Ibu tetap terbaring tanpa bergerak.

Aku merasa bosan, lalu berjalan ke arah mainan balok yang belum sempat kami selesaikan kemarin. Aku ingin melanjutkannya, tetapi tanganku menembus balok itu. Aku tidak bisa mengangkatnya sama sekali.

Aku mencoba menyalakan televisi untuk menonton kartun, tapi tidak bisa. Tidak ada yang bisa kulakukan, jadi aku kembali berbaring di tempat tidur. Diam-diam menemani Ibu seperti ini juga tidak apa-apa.

Tapi, apa Ibu tidak lapar, ya? Dia tidak bangun untuk makan. Aku mulai merindukan ayam kecap buatan ibu! Tapi aku sudah mati. Apakah itu berarti aku tidak akan pernah bisa memakannya lagi?

Ketika aku menghitung dengan jariku hingga hari ketiga, akhirnya Ibu bangun dari tempat tidur. Dia melihat ponselnya sekilas ... ternyata kosong. Tidak ada pesan apa pun.

Aku sudah meninggal. Ibu begitu sedih, tapi Ayah sama sekali tidak menelepon. Apakah ayah-ayah lain juga seperti ini?

Aku melihat Ibu mengambil beberapa lembar kertas dari laci meja di samping tempat tidur. Aku mengenali tulisan besar di atasnya ... "Surat Cerai".

Kertas itu sudah ada di laci meja Ibu sangat lama. Ibu selalu melihatnya, kemudian menatapku, dan akhirnya memasukkannya kembali ke laci.

Akhirnya, Ayah pulang. Dia duduk di sofa dengan wajah marah dan langsung mulai memarahi ibu dengan keras.

"Anakmu benar-benar nggak sopan! Nala sudah susah payah persiapkan kejutan di pesta itu. Maknanya bagus sekali. Tapi, anakmu malah memuntahkannya begitu saja! Aku hukum dia berdiri sebentar, dia malah mengadu padamu!"

"Kamu juga sama saja! Itu rumahnya Nala! Dia nanya kenapa kamu datang, tapi kamu bahkan nggak menjawab dan langsung dorong dia!"

"Kamu nggak bisa bicara baik-baik? Tahu nggak, Nala sampai terjatuh karena doronganmu. Tangannya terluka sampai berdarah!"

Ibu mendengarkan semuanya dengan ekspresi datar, seolah-olah kata-kata Ayah sudah tidak bisa lagi menyakitinya.

Sejak wanita bernama Nala itu muncul di hidup kami, Ayah semakin tidak sabar dengan Ibu dan selalu mengucapkan hal-hal yang membuat Ibu sedih.

Aku ingin mengatakan kepada Ayah, "Aku sudah mati. Apakah itu cukup sebagai permintaan maaf kepada Tante Nala? Bisakah Ayah berhenti menyalahkan Ibu?"

Bab terkait

  • Sejak Kehadiran Pelakor...   Bab 2

    Melihat Ibu tidak menanggapinya, Ayah kembali meninggikan volume suaranya. "Aku lagi ngomong sama kamu. Kamu tuli ya? Tahu nggak, tamparanmu di depan umum tadi benar-benar buat aku malu!""Semua kebiasaan buruk anakmu itu dari kamu! Dia itu laki-laki, tapi malah kalah sama anak perempuan Nala gara-gara kamu manjain!"Sambil bicara, Ayah berjalan menuju kamarku. "Mulai sekarang, aku yang ngurus anak kita saja. Kalau kamu yang urus lagi, dia bakal jadi anak nggak berguna!"Ibu mengadangnya dengan senyuman sinis. "Kamu masih ingat kalau Keenan itu anakmu? Tiap kali kamu bilang 'anakmu', aku sampai ngira Keenan itu anakku seorang! Tapi nggak masalah, kita cerai saja."Ayah memandang surat cerai yang Ibu sodorkan dengan penuh ejekan. "Kamu ini gila, ya? Dulu kamu yang nangis-nangis minta nikah. Sekarang kamu mau cerai begitu saja?"Ibu menghela napas panjang, terlihat sangat lelah. "Benar, aku yang memintanya dulu. Tapi kamu nggak mencintaiku, juga nggak mencintai Keenan. Kenapa kita harus

  • Sejak Kehadiran Pelakor...   Bab 3

    Aku takut Ibu akan khawatir, jadi aku mencoba meniru apa yang biasanya dilakukan Ibu. Aku memasukkan pakaian ke mesin cuci untuk mencucinya dan mengepel lantai hingga bersih.Ketika Ibu pulang, dia bertanya kenapa aku mengganti pakaian. Aku hanya berpura-pura malu dan berkata bahwa aku mengompol. Karena masalah itu, Ibu mengejekku selama beberapa hari.Ayah tentu saja tidak menemukan aku di kamarku, karena "aku" sudah berada di dalam kotak kecil itu. Dia memandang Ibu dengan tidak puas dan berkata, "Virly, hebat juga kamu! Sebelum mengajukan cerai, kamu masih sempat menyembunyikan anak!""Kamu nggak punya uang, pekerjaan, atau latar belakang keluarga. Kamu sendiri tahu kamu nggak bakal bisa menang dariku kalau cerai, 'kan? Kamu pasti mau manfaatin anak untuk tetap mengikatku, 'kan? Mau pakai cara begini untuk minta uang dariku, ya? Kamu memang penuh akal licik!""Kukasih tahu nih, boleh saja kalau mau cerai. Aku bahkan bisa mengasihanimu dengan ngasih kamu sedikit uang. Tapi Keenan har

  • Sejak Kehadiran Pelakor...   Bab 4

    Ibu menatap Ayah dengan tak percaya, "Joseph, hanya karena Keenan memuntahkan ceri yang bisa membuatnya alergi, kamu nggak berhenti mengungkitnya? Dia itu anakmu!"Ayah melambaikan tangannya dengan tak acuh, "Aku nggak punya anak kayak dia! Masih kecil saja sudah berani mencelakai orang lain! Kalau sampai ketangkap, akan kupukul dia sampai mati!"Aku berteriak dengan lantang, "Fitnah!"Meskipun masih kecil, aku tahu bahwa hanya orang jahat yang mencelakai orang lain dan aku bukan orang jahat! Namun, Ayah tidak bisa mendengarku.Ibu yang marah besar, langsung melangkah maju dan hendak memukul Ayah. "Kamu bilang apa? Keenan masih kecil, mana mungkin dia mencelakai orang lain?"Kata-kata itu seperti menjadi petunjuk bagi Ayah. Dia menunjuk Ibu dengan tangan sambil menudingnya, "Benar juga! Nyiram Nala dengan asam sulfat itu pasti idemu! Kalau nggak, dari mana Keenan yang masih kecil bisa mendapatkan asam sulfat?"Ibu meraih vas bunga dekoratif di dekat pintu, "Asam sulfat? Kapan? Di mana?

  • Sejak Kehadiran Pelakor...   Bab 5

    Polisi segera datang. Setelah menanyakan situasi, mereka menatap ibuku dan bertanya, "Bu, apa kami boleh bertemu anak kalian?"Ayahku mencela, "Huh! Kamu sendiri yang membuat para polisi ini datang. Ada video sebagai bukti. Lagian, aku ayah kandungnya. Mana mungkin aku mencelakainya? Cepat suruh bocah itu keluar dan minta maaf kepada Nala!"Tebersit kelegaan pada tatapan ibuku. "Pak, silakan ikut denganku."Kain hitam perlahan-lahan dibuka. Kotak yang berisikanku perlahan-lahan terlihat. Ada pula foto hitam putihku yang sedang tersenyum cerah. Itu adalah foto yang diambil ibuku saat pertama kali mengajakku ke taman hiburan."Eee ...." Para polisi bertatapan dan tidak tahu harus mengatakan apa. Tatapan ibuku dipenuhi kebencian. Dia menatap ayahku lekat-lekat dan berkata, "Putraku sudah meninggal dan dikremasi tiga hari lalu. Abunya di sini. Aku punya semua bukti. Kalau begitu, gimana anakku bisa muncul di mal dan menyiramkan cairan asam sulfat ke Nala kemarin? Bukankah ini fitnah?"Nada

  • Sejak Kehadiran Pelakor...   Bab 6

    Ibu bersikeras ingin menemaniku, jadi paman dan bibiku pergi duluan. Langit mendung. Aku menjulurkan tangan untuk memeluk ibuku.Meskipun tahu ibuku tidak bisa merasakan keberadaanku, aku tetap menghiburnya. "Ibu, jangan sedih lagi. Meskipun nggak ada aku, Ibu tetap harus senang.""Keenan, kamu masih kecil. Kamu takut kegelapan, tapi harus tidur sendiri di tempat yang gelap dan dingin. Ini salah Ibu. Ibu nggak seharusnya memaksa kalau memang nggak dicintai. Ibu seharusnya bercerai saja hari itu. Dengan begitu, kamu nggak bakal celaka."Aku dan ibuku duduk berdampingan. Aku bersandar di tubuhnya, mendengar ceritanya yang tak ada habisnya. Ini seperti dongeng sebelum tidur.Ketika hendak tertidur, aku tiba-tiba mendengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Itu ayahku. Ibuku langsung bangkit dengan waspada.Pakaian ayahku tampak berantakan. Wajahnya pucat pasi. Terutama saat melihat fotoku, tebersit kesedihan pada tatapannya."Kenapa kamu melarangku bertemu putraku untuk yang terakhir k

  • Sejak Kehadiran Pelakor...   Bab 7

    Ibuku mencari pekerjaan. Dia bekerja di toko buku. Meskipun gajinya tidak tinggi, itu sudah cukup untuk ibuku. Selain itu, jam pulang kerja tidak terlalu malam sehingga dia selalu datang ke kuburan untuk mengunjungiku.Setiap kali, ibuku selalu membawa bunga. Dia akan mengobrol dan bercerita kepadaku. Bahkan, dia membawa beberapa mainan unik dan mengajariku cara memainkannya.Setengah bulan kemudian, asisten pamanku menemukan ibuku, memberitahunya bahwa pamanku telah menepati janjinya.Pamanku menyelidiki jejak kehidupan Nala. Ternyata wanita ini punya hubungan dengan banyak pria. Dia bahkan tidak tahu siapa ayah putrinya. Meskipun begitu, dia membuat hasil tes DNA palsu untuk mendapat uang dari mereka.Sementara itu, ayahku hanya target Nala. Dia ingin ayahku menghidupinya untuk seumur hidup. Bagaimanapun, Nala adalah cinta pertama ayahku. Dia tahu ayah dan ibuku tidak saling mencintai, sedangkan aku adalah satu-satunya penghalang yang ada.Nala mendapat informasi dari pelayan di ruma

Bab terbaru

  • Sejak Kehadiran Pelakor...   Bab 7

    Ibuku mencari pekerjaan. Dia bekerja di toko buku. Meskipun gajinya tidak tinggi, itu sudah cukup untuk ibuku. Selain itu, jam pulang kerja tidak terlalu malam sehingga dia selalu datang ke kuburan untuk mengunjungiku.Setiap kali, ibuku selalu membawa bunga. Dia akan mengobrol dan bercerita kepadaku. Bahkan, dia membawa beberapa mainan unik dan mengajariku cara memainkannya.Setengah bulan kemudian, asisten pamanku menemukan ibuku, memberitahunya bahwa pamanku telah menepati janjinya.Pamanku menyelidiki jejak kehidupan Nala. Ternyata wanita ini punya hubungan dengan banyak pria. Dia bahkan tidak tahu siapa ayah putrinya. Meskipun begitu, dia membuat hasil tes DNA palsu untuk mendapat uang dari mereka.Sementara itu, ayahku hanya target Nala. Dia ingin ayahku menghidupinya untuk seumur hidup. Bagaimanapun, Nala adalah cinta pertama ayahku. Dia tahu ayah dan ibuku tidak saling mencintai, sedangkan aku adalah satu-satunya penghalang yang ada.Nala mendapat informasi dari pelayan di ruma

  • Sejak Kehadiran Pelakor...   Bab 6

    Ibu bersikeras ingin menemaniku, jadi paman dan bibiku pergi duluan. Langit mendung. Aku menjulurkan tangan untuk memeluk ibuku.Meskipun tahu ibuku tidak bisa merasakan keberadaanku, aku tetap menghiburnya. "Ibu, jangan sedih lagi. Meskipun nggak ada aku, Ibu tetap harus senang.""Keenan, kamu masih kecil. Kamu takut kegelapan, tapi harus tidur sendiri di tempat yang gelap dan dingin. Ini salah Ibu. Ibu nggak seharusnya memaksa kalau memang nggak dicintai. Ibu seharusnya bercerai saja hari itu. Dengan begitu, kamu nggak bakal celaka."Aku dan ibuku duduk berdampingan. Aku bersandar di tubuhnya, mendengar ceritanya yang tak ada habisnya. Ini seperti dongeng sebelum tidur.Ketika hendak tertidur, aku tiba-tiba mendengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Itu ayahku. Ibuku langsung bangkit dengan waspada.Pakaian ayahku tampak berantakan. Wajahnya pucat pasi. Terutama saat melihat fotoku, tebersit kesedihan pada tatapannya."Kenapa kamu melarangku bertemu putraku untuk yang terakhir k

  • Sejak Kehadiran Pelakor...   Bab 5

    Polisi segera datang. Setelah menanyakan situasi, mereka menatap ibuku dan bertanya, "Bu, apa kami boleh bertemu anak kalian?"Ayahku mencela, "Huh! Kamu sendiri yang membuat para polisi ini datang. Ada video sebagai bukti. Lagian, aku ayah kandungnya. Mana mungkin aku mencelakainya? Cepat suruh bocah itu keluar dan minta maaf kepada Nala!"Tebersit kelegaan pada tatapan ibuku. "Pak, silakan ikut denganku."Kain hitam perlahan-lahan dibuka. Kotak yang berisikanku perlahan-lahan terlihat. Ada pula foto hitam putihku yang sedang tersenyum cerah. Itu adalah foto yang diambil ibuku saat pertama kali mengajakku ke taman hiburan."Eee ...." Para polisi bertatapan dan tidak tahu harus mengatakan apa. Tatapan ibuku dipenuhi kebencian. Dia menatap ayahku lekat-lekat dan berkata, "Putraku sudah meninggal dan dikremasi tiga hari lalu. Abunya di sini. Aku punya semua bukti. Kalau begitu, gimana anakku bisa muncul di mal dan menyiramkan cairan asam sulfat ke Nala kemarin? Bukankah ini fitnah?"Nada

  • Sejak Kehadiran Pelakor...   Bab 4

    Ibu menatap Ayah dengan tak percaya, "Joseph, hanya karena Keenan memuntahkan ceri yang bisa membuatnya alergi, kamu nggak berhenti mengungkitnya? Dia itu anakmu!"Ayah melambaikan tangannya dengan tak acuh, "Aku nggak punya anak kayak dia! Masih kecil saja sudah berani mencelakai orang lain! Kalau sampai ketangkap, akan kupukul dia sampai mati!"Aku berteriak dengan lantang, "Fitnah!"Meskipun masih kecil, aku tahu bahwa hanya orang jahat yang mencelakai orang lain dan aku bukan orang jahat! Namun, Ayah tidak bisa mendengarku.Ibu yang marah besar, langsung melangkah maju dan hendak memukul Ayah. "Kamu bilang apa? Keenan masih kecil, mana mungkin dia mencelakai orang lain?"Kata-kata itu seperti menjadi petunjuk bagi Ayah. Dia menunjuk Ibu dengan tangan sambil menudingnya, "Benar juga! Nyiram Nala dengan asam sulfat itu pasti idemu! Kalau nggak, dari mana Keenan yang masih kecil bisa mendapatkan asam sulfat?"Ibu meraih vas bunga dekoratif di dekat pintu, "Asam sulfat? Kapan? Di mana?

  • Sejak Kehadiran Pelakor...   Bab 3

    Aku takut Ibu akan khawatir, jadi aku mencoba meniru apa yang biasanya dilakukan Ibu. Aku memasukkan pakaian ke mesin cuci untuk mencucinya dan mengepel lantai hingga bersih.Ketika Ibu pulang, dia bertanya kenapa aku mengganti pakaian. Aku hanya berpura-pura malu dan berkata bahwa aku mengompol. Karena masalah itu, Ibu mengejekku selama beberapa hari.Ayah tentu saja tidak menemukan aku di kamarku, karena "aku" sudah berada di dalam kotak kecil itu. Dia memandang Ibu dengan tidak puas dan berkata, "Virly, hebat juga kamu! Sebelum mengajukan cerai, kamu masih sempat menyembunyikan anak!""Kamu nggak punya uang, pekerjaan, atau latar belakang keluarga. Kamu sendiri tahu kamu nggak bakal bisa menang dariku kalau cerai, 'kan? Kamu pasti mau manfaatin anak untuk tetap mengikatku, 'kan? Mau pakai cara begini untuk minta uang dariku, ya? Kamu memang penuh akal licik!""Kukasih tahu nih, boleh saja kalau mau cerai. Aku bahkan bisa mengasihanimu dengan ngasih kamu sedikit uang. Tapi Keenan har

  • Sejak Kehadiran Pelakor...   Bab 2

    Melihat Ibu tidak menanggapinya, Ayah kembali meninggikan volume suaranya. "Aku lagi ngomong sama kamu. Kamu tuli ya? Tahu nggak, tamparanmu di depan umum tadi benar-benar buat aku malu!""Semua kebiasaan buruk anakmu itu dari kamu! Dia itu laki-laki, tapi malah kalah sama anak perempuan Nala gara-gara kamu manjain!"Sambil bicara, Ayah berjalan menuju kamarku. "Mulai sekarang, aku yang ngurus anak kita saja. Kalau kamu yang urus lagi, dia bakal jadi anak nggak berguna!"Ibu mengadangnya dengan senyuman sinis. "Kamu masih ingat kalau Keenan itu anakmu? Tiap kali kamu bilang 'anakmu', aku sampai ngira Keenan itu anakku seorang! Tapi nggak masalah, kita cerai saja."Ayah memandang surat cerai yang Ibu sodorkan dengan penuh ejekan. "Kamu ini gila, ya? Dulu kamu yang nangis-nangis minta nikah. Sekarang kamu mau cerai begitu saja?"Ibu menghela napas panjang, terlihat sangat lelah. "Benar, aku yang memintanya dulu. Tapi kamu nggak mencintaiku, juga nggak mencintai Keenan. Kenapa kita harus

  • Sejak Kehadiran Pelakor...   Bab 1

    Ibu menemukanku dengan melacak posisi dari jam tangan pintarku. Saat itu, aku tergeletak di tanah dengan kulit yang terlihat penuh dengan ruam merah. Ayah masih saja mengomel di sebelahku."Kamu memang nggak tahu mendidik anak! Kurang ajar sekali! Masa meludah langsung di atas meja, memangnya nggak bisa ke tempat sampah? Nggak menghargai orang lagi. Dia itu benar-benar mirip kamu ...."Ibu yang sudah tidak tahan, langsung memberikan tamparan keras pada Ayah, lalu memelukku dan berlari ke rumah sakit.Aku melihat semuanya dari atas dengan melayang di udara. Aku benci sekali sama Ayah! Dia tidak pernah peduli padaku ataupun Ibu.Ya, aku sudah meninggal. Jadi begini rasanya kematian. Kalau begitu, apakah tahun lalu saat kakek tua di sebelah rumah meninggal, dia juga melayang di udara seperti ini? Aku tidak melihatnya waktu itu, jadi apakah itu artinya Ayah dan Ibu juga tidak bisa melihatku sekarang?Namun, aku bisa melihat mereka. Aku melihat Ibu memeluk tubuhku sambil menangis tersedu-se

DMCA.com Protection Status