Shinta merasa kesal. Dia membantah, "Jangan bicara sembarangan! Aku sudah memberitahumu hotel disewa! Aku menyuruhmu membuat janji di minggu depan!""Kamu sendiri yang pelit dan nggak sanggup bayar! Kamu mau menyuapku dengan 30% harga sewa! Kamu menyuruhku diam-diam menyewa aula untukmu! Kamu kira uang yang kamu kasih itu sangat banyak? Kamu mau menyalahkanku? Jangan mimpi!""Kamu .... Jangan bicara omong kosong!" pekik Elvi yang murka. Namun, dia agak terbata-bata karena gugup.Aku ingin tertawa mendengar perdebatan ini. Aku bertepuk tangan. "Rupanya uang yang kamu punya cuma segini?"Wajah Elvi menjadi makin pucat. Gladys dan Edo juga merasa malu sehingga menunduk. Mereka tidak berkoar-koar lagi seperti sebelumnya.Aku tidak menghiraukan mereka lagi dan menoleh untuk bertanya kepada Rey, "Karena semua sudah jelas, bukankah sudah seharusnya mereka diusir?""Ya, ya!" Rey yang bereaksi segera mengangguk dan menyuruh satpam mengusir Elvi dan lainnya."Sebentar!" Sebelum satpam mendekat,
Kukira kehidupanku akan menjadi tenang kembali. Tiga bulan kemudian, aku kembali ke rumah tuaku untuk membereskan beberapa dokumen.Begitu tiba di depan pintu, aku langsung melihat sebuah sosok menyerbu ke arahku dari kegelapan. Sosok itu menarikku dan berseru, "Ibu, akhirnya kamu pulang! Aku mencarimu begitu lama!"Itu adalah Edo. Dia jauh lebih kurus sekarang. Wajahnya berkumis. Tatapannya yang menatapku terlihat lesu.Aku terperanjat. Setelah tersadar kembali, aku mendorongnya dengan ekspresi datar. "Kamu salah orang.""Kamu masih marah padaku, Ibu?" Sekujur tubuh Edo menegang. Dia menatapku dengan ekspresi bersalah.Aku tidak berbicara dan hendak membuka pintu. Edo malah mengadang supaya aku tidak bisa masuk. Kemudian, dia berlutut dan berkata dengan mata memerah, "Ibu, aku sudah tahu aku salah!""Kuakui aku khilaf. Aku dihasut Elvi. Aku kira kamu pelakor yang merusak hubungan orang. Makanya, aku percaya padanya. Sekarang aku sudah menyadari kesalahanku. Tolong maafkan aku!"Edo pi
Setelah membereskan semuanya, Edo meletakkan ponselku dan meninggalkan kamarku. Beberapa saat kemudian, aku membuka mataku dengan perlahan. Aku memeriksa saldoku dan mendapati saldoku yang seharusnya 200 juta menjadi nol.Untungnya uang hasil menang lotere di simpan di rekening lain. Aku menghela napas lega, lalu langsung menelepon polisi. Kebetulan, di dekat rumahku ada kantor polisi. Dalam waktu kurang dari 5 menit, polisi tiba. Aku mengira butuh sedikit waktu untuk menangkap Edo. Siapa sangka, polisi membawa Edo ke hadapanku. "Bu Naomi, apa ini orang yang kamu katakan?"Aku telah menjelaskan kronologinya kepada polisi saat di telepon. Beberapa petugas polisi itu pun menahan Edo di hadapanku. Aku mengangguk dan masih tidak percaya sampai sekarang.Polisi menjelaskan, "Saat kami tiba di depan tadi, orang ini terlihat sangat mencurigakan. Begitu melihat kami, dia langsung ingin kabur."Ternyata Edo merasa bersalah atas tindakannya. Aku terkekeh-kekeh. Dasar anak tidak berguna.Ekspresi
Setelah menang lotre senilai 160 miliar, aku langsung menjual restoran yang kukelola selama 20 tahun. Aku juga mencari rumah 3 lantai untuk putraku sebagai hadiah pernikahannya.Malam itu, aku menelepon putraku. "Restoran kita sudah tutup. Nanti Ibu tinggal di rumahmu untuk sementara waktu ya?""Tutup? Apa maksudnya?" Putraku termangu. "Restoran kita bangkrut?""Ya. Aku jual dengan harga murah," sahutku sambil bercanda. "Ada bagusnya juga. Aku sudah bekerja keras selama 10 tahun lebih. Sudah waktunya aku pensiun. Apalagi, bulan depan kalian akan nikah. Takutnya aku nggak punya waktu untuk hadir.""Pensiun?" Sebelum aku sempat melanjutkan ucapanku, tiba-tiba terdengar suara calon menantuku yang kaget. "Kamu belum 50 tahun. Kamu harap kami menghidupimu?"Ekspresiku sontak membeku. Gladys dan putraku berkenalan saat wisuda. Keduanya telah berpacaran selama dua tahun. Tahun lalu, mereka bertunangan.Kami sudah bertemu beberapa kali. Gladys selalu bersikap sopan. Setiap tahun baru, dia sela
Seminggu kemudian, angin topan akhirnya berhenti. Maskapai kembali beroperasi dengan normal. Aku membeli penerbangan terdekat untuk pergi ke kota tempat putraku tinggal.Setibanya di depan apartemen putraku, aku mengetuk pintu, tetapi tidak ada yang merespons. Seseorang yang kebetulan lewat pun berbaik hati bertanya, "Kamu salah rumah ya? Yang tinggal di sini sudah pindah seminggu lalu."Aku terkejut. "Kok bisa?"Orang itu mengira aku tidak percaya, jadi menarikku ke rumahnya untuk melihat. Dia berkata, "Entahlah. Mereka terburu-buru sekali. Banyak perabotan yang diberikan kepadaku."Sambil memandang ke dalam rumahnya, aku melihat barang-barang putraku. Namun, kenapa mereka pindah dengan terburu-buru? Apa yang sebenarnya terjadi?Apa mungkin putraku terlilit utang? Atau mungkin dia dalam masalah besar yang tidak bisa diatasi? Kalaupun ada masalah, dia tidak seharusnya merahasiakannya dari ibunya.Aku merasa panik. Aku ingin melapor polisi, tetapi takut menimbulkan kerepotan untuknya. P
Jika dibandingkan dengan saat berbicara di telepon, ekspresi putraku yang histeris ini membuatnya terlihat jauh berbeda. Situasi sudah seperti ini. Apa lagi yang tidak kupahami? Kecelakaan mobil itu tidak nyata. Putraku merasa aku adalah beban hidupnya. Itu sebabnya, dia berusaha mencampakkanku!"Kalau kamu masih punya hati nurani, cepat pergi dari sini! Jangan menghancurkan pernikahanku!" Putraku memelototiku dengan galak. Dia menunjuk pintu masuk hotel dengan ekspresi jijik.Saat ini, Elvi datang. Dia menepuk bahu putraku, lalu berpura-pura memasang ekspresi suram saat berkata, "Dia ibu kandungmu. Kenapa kamu malah mengusirnya? Seharusnya orang luar sepertiku yang pergi.""Jangan bicara begitu!" sela putraku buru-buru. "Di hatiku, kamu baru ibuku. Wanita ini yang mengganggu hubunganmu dengan ayahku. Dia merusak hubungan kalian dengan melahirkanku. Dia baru pelakor!"Usai berbicara, putraku menoleh menatapku dan mengancam, "Kalau kamu tahu diri, cepat pergi dari sini. Kalau nggak, kup
Langkah kaki semua orang sontak terhenti.Sesaat kemudian, Gladys terkekeh-kekeh dan bertanya, "Kamu terlalu syok sampai jadi gila ya? Ini adalah hotel bintang lima terbesar di kota ini. Kamar di sini setidaknya puluhan juta per malam. Kalau kamu menyewa seluruh hotel, harganya setidaknya miliaran! Memangnya kamu sanggup bayar?""Aku sanggup atau nggak, kamu tanyakan saja kepada staf di sini," timpalku dengan dingin. Kemudian, aku menyuruh satpam memanggil resepsionis kemari.Satpam ragu-ragu sejenak, tetapi tetap pergi. Tidak berselang lama, resepsionis pun datang dan menanyakan situasinya. Seketika, dia mengamatiku dengan sikap merendahkan."Bu, kalau mau menyewa tempat, ada prosedurnya. Sekalipun kamu tamu VIP, kamu nggak seharusnya mengusir tamu lain. Kalau kamu membuat keributan, aku terpaksa menyuruh satpam menyeretmu keluar."Ekspresinya terlihat sopan, tetapi nada bicaranya terdengar mengejek. Resepsionis ini sepertinya menganggapku gila.Aku mengernyit dan memperingatkan, "Nam
Setelah membereskan semuanya, Edo meletakkan ponselku dan meninggalkan kamarku. Beberapa saat kemudian, aku membuka mataku dengan perlahan. Aku memeriksa saldoku dan mendapati saldoku yang seharusnya 200 juta menjadi nol.Untungnya uang hasil menang lotere di simpan di rekening lain. Aku menghela napas lega, lalu langsung menelepon polisi. Kebetulan, di dekat rumahku ada kantor polisi. Dalam waktu kurang dari 5 menit, polisi tiba. Aku mengira butuh sedikit waktu untuk menangkap Edo. Siapa sangka, polisi membawa Edo ke hadapanku. "Bu Naomi, apa ini orang yang kamu katakan?"Aku telah menjelaskan kronologinya kepada polisi saat di telepon. Beberapa petugas polisi itu pun menahan Edo di hadapanku. Aku mengangguk dan masih tidak percaya sampai sekarang.Polisi menjelaskan, "Saat kami tiba di depan tadi, orang ini terlihat sangat mencurigakan. Begitu melihat kami, dia langsung ingin kabur."Ternyata Edo merasa bersalah atas tindakannya. Aku terkekeh-kekeh. Dasar anak tidak berguna.Ekspresi
Kukira kehidupanku akan menjadi tenang kembali. Tiga bulan kemudian, aku kembali ke rumah tuaku untuk membereskan beberapa dokumen.Begitu tiba di depan pintu, aku langsung melihat sebuah sosok menyerbu ke arahku dari kegelapan. Sosok itu menarikku dan berseru, "Ibu, akhirnya kamu pulang! Aku mencarimu begitu lama!"Itu adalah Edo. Dia jauh lebih kurus sekarang. Wajahnya berkumis. Tatapannya yang menatapku terlihat lesu.Aku terperanjat. Setelah tersadar kembali, aku mendorongnya dengan ekspresi datar. "Kamu salah orang.""Kamu masih marah padaku, Ibu?" Sekujur tubuh Edo menegang. Dia menatapku dengan ekspresi bersalah.Aku tidak berbicara dan hendak membuka pintu. Edo malah mengadang supaya aku tidak bisa masuk. Kemudian, dia berlutut dan berkata dengan mata memerah, "Ibu, aku sudah tahu aku salah!""Kuakui aku khilaf. Aku dihasut Elvi. Aku kira kamu pelakor yang merusak hubungan orang. Makanya, aku percaya padanya. Sekarang aku sudah menyadari kesalahanku. Tolong maafkan aku!"Edo pi
Shinta merasa kesal. Dia membantah, "Jangan bicara sembarangan! Aku sudah memberitahumu hotel disewa! Aku menyuruhmu membuat janji di minggu depan!""Kamu sendiri yang pelit dan nggak sanggup bayar! Kamu mau menyuapku dengan 30% harga sewa! Kamu menyuruhku diam-diam menyewa aula untukmu! Kamu kira uang yang kamu kasih itu sangat banyak? Kamu mau menyalahkanku? Jangan mimpi!""Kamu .... Jangan bicara omong kosong!" pekik Elvi yang murka. Namun, dia agak terbata-bata karena gugup.Aku ingin tertawa mendengar perdebatan ini. Aku bertepuk tangan. "Rupanya uang yang kamu punya cuma segini?"Wajah Elvi menjadi makin pucat. Gladys dan Edo juga merasa malu sehingga menunduk. Mereka tidak berkoar-koar lagi seperti sebelumnya.Aku tidak menghiraukan mereka lagi dan menoleh untuk bertanya kepada Rey, "Karena semua sudah jelas, bukankah sudah seharusnya mereka diusir?""Ya, ya!" Rey yang bereaksi segera mengangguk dan menyuruh satpam mengusir Elvi dan lainnya."Sebentar!" Sebelum satpam mendekat,
Kemudian, Rey berbalik untuk menatap resepsionis itu. Dengan geram, dia bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi? Bukannya sudah kubilang hotel nggak terbuka untuk umum selama seminggu ini?""Aku .... Lagi pula, mereka cuma pakai aula dan dapur. Mereka nggak pakai kamar di sini kok ...." Resepsionis itu tidak menyangka situasi akan menjadi seperti ini. Dia terbata-bata saat menjelaskan."Se ... selain itu, kamu nggak memberitahuku ada yang menyewa seluruh hotel. Kamu cuma bilang kita nggak menerima tamu."Kemudian, resepsionis itu melirikku dan meneruskan dengan enggan, "Lagi pula, dia nggak mungkin bisa menempati semua kamar yang ada di sini ....""Tutup mulutmu!" Rey yang murka menjadi makin murka mendengarnya. "Sekarang, usir semua orang tak berkepentingan dari hotel ini!"Resepsionis itu tidak bisa berkata-kata. Di sisi lain, Gladys dan lainnya merasa enggan. "Atas dasar apa kalian mengusir kami? Kami juga bayar!""Hotel nggak menerima uang apa pun dari kalian. Sepertinya kalian sala
Langkah kaki semua orang sontak terhenti.Sesaat kemudian, Gladys terkekeh-kekeh dan bertanya, "Kamu terlalu syok sampai jadi gila ya? Ini adalah hotel bintang lima terbesar di kota ini. Kamar di sini setidaknya puluhan juta per malam. Kalau kamu menyewa seluruh hotel, harganya setidaknya miliaran! Memangnya kamu sanggup bayar?""Aku sanggup atau nggak, kamu tanyakan saja kepada staf di sini," timpalku dengan dingin. Kemudian, aku menyuruh satpam memanggil resepsionis kemari.Satpam ragu-ragu sejenak, tetapi tetap pergi. Tidak berselang lama, resepsionis pun datang dan menanyakan situasinya. Seketika, dia mengamatiku dengan sikap merendahkan."Bu, kalau mau menyewa tempat, ada prosedurnya. Sekalipun kamu tamu VIP, kamu nggak seharusnya mengusir tamu lain. Kalau kamu membuat keributan, aku terpaksa menyuruh satpam menyeretmu keluar."Ekspresinya terlihat sopan, tetapi nada bicaranya terdengar mengejek. Resepsionis ini sepertinya menganggapku gila.Aku mengernyit dan memperingatkan, "Nam
Jika dibandingkan dengan saat berbicara di telepon, ekspresi putraku yang histeris ini membuatnya terlihat jauh berbeda. Situasi sudah seperti ini. Apa lagi yang tidak kupahami? Kecelakaan mobil itu tidak nyata. Putraku merasa aku adalah beban hidupnya. Itu sebabnya, dia berusaha mencampakkanku!"Kalau kamu masih punya hati nurani, cepat pergi dari sini! Jangan menghancurkan pernikahanku!" Putraku memelototiku dengan galak. Dia menunjuk pintu masuk hotel dengan ekspresi jijik.Saat ini, Elvi datang. Dia menepuk bahu putraku, lalu berpura-pura memasang ekspresi suram saat berkata, "Dia ibu kandungmu. Kenapa kamu malah mengusirnya? Seharusnya orang luar sepertiku yang pergi.""Jangan bicara begitu!" sela putraku buru-buru. "Di hatiku, kamu baru ibuku. Wanita ini yang mengganggu hubunganmu dengan ayahku. Dia merusak hubungan kalian dengan melahirkanku. Dia baru pelakor!"Usai berbicara, putraku menoleh menatapku dan mengancam, "Kalau kamu tahu diri, cepat pergi dari sini. Kalau nggak, kup
Seminggu kemudian, angin topan akhirnya berhenti. Maskapai kembali beroperasi dengan normal. Aku membeli penerbangan terdekat untuk pergi ke kota tempat putraku tinggal.Setibanya di depan apartemen putraku, aku mengetuk pintu, tetapi tidak ada yang merespons. Seseorang yang kebetulan lewat pun berbaik hati bertanya, "Kamu salah rumah ya? Yang tinggal di sini sudah pindah seminggu lalu."Aku terkejut. "Kok bisa?"Orang itu mengira aku tidak percaya, jadi menarikku ke rumahnya untuk melihat. Dia berkata, "Entahlah. Mereka terburu-buru sekali. Banyak perabotan yang diberikan kepadaku."Sambil memandang ke dalam rumahnya, aku melihat barang-barang putraku. Namun, kenapa mereka pindah dengan terburu-buru? Apa yang sebenarnya terjadi?Apa mungkin putraku terlilit utang? Atau mungkin dia dalam masalah besar yang tidak bisa diatasi? Kalaupun ada masalah, dia tidak seharusnya merahasiakannya dari ibunya.Aku merasa panik. Aku ingin melapor polisi, tetapi takut menimbulkan kerepotan untuknya. P
Setelah menang lotre senilai 160 miliar, aku langsung menjual restoran yang kukelola selama 20 tahun. Aku juga mencari rumah 3 lantai untuk putraku sebagai hadiah pernikahannya.Malam itu, aku menelepon putraku. "Restoran kita sudah tutup. Nanti Ibu tinggal di rumahmu untuk sementara waktu ya?""Tutup? Apa maksudnya?" Putraku termangu. "Restoran kita bangkrut?""Ya. Aku jual dengan harga murah," sahutku sambil bercanda. "Ada bagusnya juga. Aku sudah bekerja keras selama 10 tahun lebih. Sudah waktunya aku pensiun. Apalagi, bulan depan kalian akan nikah. Takutnya aku nggak punya waktu untuk hadir.""Pensiun?" Sebelum aku sempat melanjutkan ucapanku, tiba-tiba terdengar suara calon menantuku yang kaget. "Kamu belum 50 tahun. Kamu harap kami menghidupimu?"Ekspresiku sontak membeku. Gladys dan putraku berkenalan saat wisuda. Keduanya telah berpacaran selama dua tahun. Tahun lalu, mereka bertunangan.Kami sudah bertemu beberapa kali. Gladys selalu bersikap sopan. Setiap tahun baru, dia sela