"Sayang, badan kamu panas sekali, Nak." Lira meneteskan air matanya.
"Gino pusing, Ma," ucap Gino, bocah berumur 4 tahun itu.
"Sabar ya, Mama telepon Papa dulu, agar cepat pulang." Lira panik.
"Baik, Ma," jawab Gino dengan suara menggigil.
Lira keluar dari kamar Gino, dia mencari ponselnya. "Akhirnya ketemu juga," gumam Lira. Ternyata sang suami sudah pulang dengan keadaan mabuk.
"Mas!" teriak Lira panik melihat keadaan suaminya yang mabuk berat.
Lira dengan telaten membawanya masuk ke dalam kamar mereka berdua. Lira merebahkan tubuh Randi ke ranjang. Lira mencium alkohol yang sangat menyengat di hidungnya.
"Astaga Mas. Kapan kamu bisa berubah, sih?" tanya Lira pada Randi yang sudah tidak sadarkan diri.
Lira kembali ke kamar Gino, lalu menggendongnya. Lira berinisiatif untuk membawa Gino ke rumah sakit. Karena suhu tubuhnya tidak turun-turun.
"Mama kita mau ke mana?" tanya Gino yang berada di gendongan Lira.
"Kita ke rumah sakit ya, Sayang. Mama khawatir denganmu! Jika terjadi sesuatu," ucap Lira sambil menahan tangisnya.
"Kita naik mobil Papa 'kan, Ma?"
"Tidak, Sayang. Kita naik motor saja, Mama sudah memesan ojek online," terang Lira rasanya ingin menjerit.
"Baik, Ma." Gino memeluk erat tubuh sang Mama.
Tak butuh waktu lama, Lira sampai di rumah sakit. Sedikit berlari untuk masuk ke dalam agar Gino cepat ditangani di IGD. "Nona tunggu sebentar ya, biarkan anak Ibu diperiksa Dokter," ucap Suster.
"Baik, Sus."
Lira sedikit menjauh dari hadapan Gino, tanpa sadar ada sosok pria menepuk bahu Lira. "Luis!" seru Lira terkejut dengan adanya sahabat dari kecilnya itu.
"Apa kabar? Mana Randi, kok sendirian?" ucap Luis sambil melihat ke kiri dan ke kanan.
"Kamu celingukan gitu nyariin siapa?" tanya Lira heran dengan tingkah Luis.
"Suami kamu 'lah, siapa lagi?" Luis penasaran.
"Dia di rumah habis mabuk-mabukan," gerutu Lira.
"Lalu kamu di sini?"
"Gino sakit, kabarku baik. Kapan kamu pulang ke Indonesia?" Lira bertanya tanpa melihat wajah tampan Luis.
"Sudah satu Minggu yang lalu, Lir. Kenapa Gino?"
"Suhu tubuhnya tidak mau turun, aku khawatir." Lira sendu.
"Kamu ke sini naik apa? Kurang ngajar sekali suamimu!" ucap Luis kesal.
"Sudahlah tidak apa-apa, kok."
"Bela saja si brensek itu," gerutu Luis.
"Sorry," lirih Lira.
"Kenapa kamu minta maaf?"
"Atas kesalahannya." Lira menatap Luis tiba-tiba.
"Sudahlah jangan pasang wajah seperti itu, aku tidak bisa marah kepadamu." Luis membuang pandangannya.
Tiba-tiba dokter mendekati mereka berdua, Lira sedikit tegang dengan peka Luis meraih tangan Lira dan menggenggamnya. Seoalah Luis mentransfer tenaga untuk Lira agar tetap kuat untuk menghadapi masalah ini. Lira tanpa sadar kepanikannya berangsur menghilang.
"Selamat malam Nona," sapa Dokter.
"Malam Dokter," jawab Lira.
"Anak Anda tidak apa-apa, demam sudah sedikit turun, nanti saya beri obat silakan tebus di apotek rumah sakit, ya," saran Dokter.
"Baik, Dok. Terima kasih, sudah membantu," ucap Lira dengan kelembutan hatinya.
Setelah mengobrol dengan dokter, Lira merasa lega. Lira berjalan meninggalkan Luis, ia pergi ke apotek untuk mengambil obat Gino. Ternyata Luis mengikuti Lira, karena Luis penasaran Lira mau pergi ke mana.
"Hah? Mahal sekali obat ini?" ucap Lira, ia membuka dompetnya ternyata uangnya kurang. Lira hanya bisa memejamkan matanya, rasanya ingin menangis karena kekurangan uang.
"Berapa Kak?" tanya Luis tiba-tiba yang membuat Lira terkejut.
"Tiga ratus lima puluh ribu rupiah, Tuan."
"Baik." Luis mengeluarkan dompetnya lalu memberikan uang, untuk mengambil tebusan obat.
"Luis, terima kasih. Nanti kalo aku udah kerja aku bayar." Lira merasa tak enak hati.
"Sudahlah, urusi anakmu saja, tunggu aku di luar. Biar aku bayar rumah sakit," titah Luis kasian melihat Lira hidupnya begitu tidak membahagiakan.
Lira pun menuruti kemauan Luis, setelah mendapatkan obat Lira menjemput Gino yang berada di ruang IGD. Lira mengendong Gino dengan penuh kasih sayang. Lira meneteskan air matanya, saat berjalan keluar rumah sakit.
"Sayangnya, Mama. Kuat ya, Nak." Gino hanya mempererat pelukannya.
Sampai di luar ternyata Luis sudah di dalam mobil, ia keluar dari mobilnya lalu membukakan pintu untuk Lira. "Ayo, masuk," titah Luis.
"Terima kasih," ucap Lira.
"Tidur?" tanya Luis.
"Iya," jawab Lira dengan singkat.
"Kamu ada uang?" Luis bertanya lagi.
"Ada sedikit." Bohong Lira, karena tidak mau merepotkan Luis.
Sampailah mereka di rumah Lira, sekitar pukul 05.00 pagi. Ternyata Randi sudah menunggu di depan rumah. Lira santai masuk ke dalam, Luis pun ikut turun mengantarkan Lira.
"Istri kurang ngajar!" teriak Randi.
"Ak ...."
Plak! Tamparan yang begitu keras di wajah Lira. Luis langsung berlari lalu menendang tubuh Randi hingga tersungkur. Lira hanya bisa menangis dan merasakan pipinya itu terasa panas.
"Gila kamu, Ran!" bentak Luis.
"Kamu itu yang gila! Berani jalan bareng istri orang!" Randi berteriak tak mau kalah denga Luis.
"Mas, cukup! Luis itu udah bantu aku buat ngobatin Gino, dia demam," bela Lira.
"Kamu bisa minta tolong aku!"
"Hah, apa? Minta tolong!" Suara Lira meninggi.
"Iya, kamu tuli?"
"Apa kamu bodoh! Kamu itu mabuk, Mas. Mana mungkin semalam kamu bisa membawa mobil," ucap Lira kesal.
"Oke, jika kamu tetap menyalahkanku, akan aku talak kamu sekarang juga. Hei, Lira Larasati! Akan aku ceraikan kamu!" ucap Randi dengan tegas.
Jedar! Seperti bunyi petir telah menyambar Lira di pagi itu. Badannya yang terasa lemas tiba-tiba. Hingga Gino hampir terjatuh dari gendongan Lira. Dengan sigap Luis meraih tubuh Lira agar tidak terjatuh.
"Mas," lirih Lira.
"Apa! Aku sudah tidak peduli lagi denganmu!" bentak Randi.
"Ayo, kita pergi dari sini, Lira," ajak Luis.
"Kamu pulang dulu ya, Luis. Aku ingin bicara empat mata dengan suamiku," tolak Lira secara halus.
"Tapi ...." Luis enggan pergi.
"Aku mohon, Luis. Mengertilah, aku," usir Lira.
Dengan terpaksa pergi dari rumah Lira, ekspresi wajah Luis sangat kecewa. "Andai aku berani melamarmu dulu, mungkin nasibmu tidak akan seperti ini, Lira," batin Luis sambil berjalan.
***
Di sebuah ruangan yang cukup luas, yaitu kamar mereka berdua. Setelah menidurkan anaknya, Lira mencoba memilih suaminya. "Mas," panggil Lira.
"Apa lagi? Kenapa kamu ke sini? Kurang cukup kamu bermainku!" tanya Randi seolah-olah dia merasa tersakiti.
"Mas, ini salah paham, aku tidak berselingkuh dengan Luis. Aku bertemu dengannya di rumah sakit, lalu membantuku, itu saja," terang Lira sambil meraih tangan suami.
"Lepaskan tanganku, aku jijik padamu!" bentak Randi lalu mendorong tubuh Lira hingga terjatuh di lantai.
"Mas, percayalah padaku," lirih Lira sambil meraih kaki suaminya.
"Kabari aku, segera. Aku akan pergi ke rumah sakit, untuk menjenguk Mama." Luis berdiri lalu pergi."Apa kamu!" Rosa pergi meninggalkan Leo yang sendirian di ruangan Luis."Sensitif banget, jadi perempuan. Apa lagi PMS." Leo masih setia duduk di sofa.Setelah menggerutu Leo mengambil ponselnya di dalam saku celana. Leo lalu menelepon Riko terlebih dahulu untuk membantunya untuk menyelidiki kasus penyerangan Rosa. Berkali-kali menelepon Riko tidak diangkat membuat Leo sedikit kesal."Halo!" Leo sedikit meninggi."Kenapa, Le." Riko dengan santai."Ke mana aja, sih? Di telepon dari tadi nggak diangkat.""Sorry, aku lagi tugas penyelidikan. Soalnya habis ada pembunuhan.""Tuan Luis, meminta kamu menyelidiki sesuatu.""Di mana?" tanya Riko mulai antusias."Di rumah sakit Ahmad Yani, di bagian dokter tulang. Aku tidak mau tahu, kamu harus selidiki itu, nama pasien yang berobat, adalah Resa dan Bella."Tut! Tut!Telepon yang dimatikan oleh Leo begitu saja membuat Riko kesal, menurutnya tidak
"Kabari aku, segera. Aku akan pergi ke rumah sakit, untuk menjenguk Mama." Luis berdiri lalu pergi."Apa kamu!" Rosa pergi meninggalkan Leo yang sendirian di ruangan Luis."Sensitif banget, jadi perempuan. Apa lagi PMS." Leo masih setia duduk di sofa.Setelah menggerutu Leo mengambil ponselnya di dalam saku celana. Leo lalu menelepon Riko terlebih dahulu untuk membantunya untuk menyelidiki kasus penyerangan Rosa. Berkali-kali menelepon Riko tidak diangkat membuat Leo sedikit kesal."Halo!" Leo sedikit meninggi."Kenapa, Le." Riko dengan santai."Ke mana aja, sih? Di telepon dari tadi nggak diangkat.""Sorry, aku lagi tugas penyelidikan. Soalnya habis ada pembunuhan.""Tuan Luis, meminta kamu menyelidiki sesuatu.""Di mana?" tanya Riko mulai antusias."Di rumah sakit Ahmad Yani, di bagian dokter tulang. Aku tidak mau tahu, kamu harus selidiki itu, nama pasien yang berobat, adalah Resa dan Bella."Tut! Tut!Telepon yang dimatikan oleh Leo begitu saja membuat Riko kesal, menurutnya tidak
"Kabari aku, segera. Aku akan pergi ke rumah sakit, untuk menjenguk Mama." Luis berdiri lalu pergi."Apa kamu!" Rosa pergi meninggalkan Leo yang sendirian di ruangan Luis."Sensitif banget, jadi perempuan. Apa lagi PMS." Leo masih setia duduk di sofa.Setelah menggerutu Leo mengambil ponselnya di dalam saku celana. Leo lalu menelepon Riko terlebih dahulu untuk membantunya untuk menyelidiki kasus penyerangan Rosa. Berkali-kali menelepon Riko tidak diangkat membuat Leo sedikit kesal."Halo!" Leo sedikit meninggi."Kenapa, Le." Riko dengan santai."Ke mana aja, sih? Di telepon dari tadi nggak diangkat.""Sorry, aku lagi tugas penyelidikan. Soalnya habis ada pembunuhan.""Tuan Luis, meminta kamu menyelidiki sesuatu.""Di mana?" tanya Riko mulai antusias."Di rumah sakit Ahmad Yani, di bagian dokter tulang. Aku tidak mau tahu, kamu harus selidiki itu, nama pasien yang berobat, adalah Resa dan Bella."Tut! Tut!Telepon yang dimatikan oleh Leo begitu saja membuat Riko kesal, menurutnya tidak
"Kabari aku, segera. Aku akan pergi ke rumah sakit, untuk menjenguk Mama." Luis berdiri lalu pergi."Apa kamu!" Rosa pergi meninggalkan Leo yang sendirian di ruangan Luis."Sensitif banget, jadi perempuan. Apa lagi PMS." Leo masih setia duduk di sofa.Setelah menggerutu Leo mengambil ponselnya di dalam saku celana. Leo lalu menelepon Riko terlebih dahulu untuk membantunya untuk menyelidiki kasus penyerangan Rosa. Berkali-kali menelepon Riko tidak diangkat membuat Leo sedikit kesal."Halo!" Leo sedikit meninggi."Kenapa, Le." Riko dengan santai."Ke mana aja, sih? Di telepon dari tadi nggak diangkat.""Sorry, aku lagi tugas penyelidikan. Soalnya habis ada pembunuhan.""Tuan Luis, meminta kamu menyelidiki sesuatu.""Di mana?" tanya Riko mulai antusias."Di rumah sakit Ahmad Yani, di bagian dokter tulang. Aku tidak mau tahu, kamu harus selidiki itu, nama pasien yang berobat, adalah Resa dan Bella."Tut! Tut!Telepon yang dimatikan oleh Leo begitu saja membuat Riko kesal, menurutnya tidak
"Kabari aku, segera. Aku akan pergi ke rumah sakit, untuk menjenguk Mama." Luis berdiri lalu pergi."Apa kamu!" Rosa pergi meninggalkan Leo yang sendirian di ruangan Luis."Sensitif banget, jadi perempuan. Apa lagi PMS." Leo masih setia duduk di sofa.Setelah menggerutu Leo mengambil ponselnya di dalam saku celana. Leo lalu menelepon Riko terlebih dahulu untuk membantunya untuk menyelidiki kasus penyerangan Rosa. Berkali-kali menelepon Riko tidak diangkat membuat Leo sedikit kesal."Halo!" Leo sedikit meninggi."Kenapa, Le." Riko dengan santai."Ke mana aja, sih? Di telepon dari tadi nggak diangkat.""Sorry, aku lagi tugas penyelidikan. Soalnya habis ada pembunuhan.""Tuan Luis, meminta kamu menyelidiki sesuatu.""Di mana?" tanya Riko mulai antusias."Di rumah sakit Ahmad Yani, di bagian dokter tulang. Aku tidak mau tahu, kamu harus selidiki itu, nama pasien yang berobat, adalah Resa dan Bella."Tut! Tut!Telepon yang dimatikan oleh Leo begitu saja membuat Riko kesal, menurutnya tidak