Vina yang baru saja turun dari ojek online, merasa ada yang salah saat mendapati ada beberapa mobil yang tengah parkir di depan rumahnya. Ia baru saja pulang dari kantor sore ini. Kekhawatirannya kian menjadi saat mendengar tangisan ibunya, dan kalimat tolong yang berulang kali ayahnya ucapkan dari dalam rumah. Sementara suara keras beberapa orang menimpali kalimat ayahnya dengan kata, tidak bisa berulang kali. Ketika mendengar suara ibunya menjerit, Vina segera berlari menuju pintu utama.
Jantungnya seketika berdebar kencang saat mendapati beberapa orang berpakaian formal, anggota kepolisian dan TNI tengah berbicara keras dengan ayahnya. Firasatnya mengatakan kalau mereka ini adalah para petugas bank. Vina berkeringat dingin. Jangan-jangan rombongan ini adalah juru sita pengadilan yang dikawal oleh aparat, untuk melakukan penyitaan atas rumah mereka. Astaghfirullahaladzim. Cobaan apalagi ini!
"Vina, kebetulan kamu sudah pulang, Nak. Bapak-bapak ini ingin menyita rumah kita, Nak. Kalau rumah kita disita, kita mau tinggal di mana? Ibu bingung."
Bu Misna segera menghampiri Vina yang mematung. Anak bungsunya ini cerdas dan bisa diandalkan. Tidak seperti Dina, putri sulungnya yang kerjanya hanya membuat masalah saja. Apalagi Vina sekarang berpacaran dengan atasannya. Pasti calon menantunya yang kaya raya itu bisa menolong kesulitan mereka semua.
"Iya, Bu. Ibu tenang saja. Vina akan berbicara dengan bapak-bapak ini. Ibu beristirahat di kamar saja. Ibu kan masih sakit," bujuk Vina lembut. Semenjak kakaknya berulah macam-macam, ibunya memang kerap sakit-sakitan.
"Ya sudah. Ibu masuk ke dalam saja. Setelah kamu pulang, baru Ibu tenang. Bantu ayahmu berbicara dengan bapak-bapak ini ya, Vin?" pinta Bu Misna. Sekarang ia sudah lebih tenang. Vina itu sangat cerdas. Pasti Vina bisa menyelesaikan semuanya.
Setelah bayangan ibunya menghilang, barulah Vina bersuara.
"Selamat sore, Bapak-Bapak sekalian. Sebenarnya ini ada apa?" Walaupun tengah ketakutan, Vina berusaha bersikap tegar. Ia tidak mau membuat kedua orang tuanya makin stress. Saat ini ayahnya hanya duduk mematung di sofa. Ayahnya tampak linglung.
"Selamat sore, Mbak. Kenalkan saya Hendro Sujatmiko. Juru sita bank. Dan ini adalah rekan-rekan saya. Pak Budi dan Pak Warso." Pak Hendro memperkenalkan rekan-rekannya.
"Dan bapak-bapak ini, yang dari seragamnya saja sudah Mbak tahu, mereka adalah petugas kepolisian dan TNI. Kami ke sini karena akan menyita rumah ini, berdasarkan surat penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri Jakarta." Pak Hendro pun segera membaca surat penetapan eksekusinya.
"Sebentar... sebentar, saya ingin tahu kronologis kejadiannya. Mari kita duduk dulu Pak Hendro, Pak Budi, Pak Warso. Saya ingin tahu mengapa rumah kami ini akan disita, padahal kami tidak pernah mengagunkannya." Vina bingung. Sepengetahuannya ayahnya tidak pernah membicarakan soal mengagunkan sertifikat rumah pada bank.
Ketiga bapak-bapak juru sita saling berpandangan. Sepertinya Pak Ramli tidak pernah menceritakan soal pinjaman dana bank. Namun tak urung mereka bertiga duduk juga. Toh masalah penyitaan harus clear hari ini juga.
"Ayah mengagunkan sertifikat rumah kita ini dua tahun lalu, Vin. Dan selama enam bulan belakangan ini, ayah kesulitan membayar cicilan. Maafkan Ayah ya, Vin?" aku Pak Ramli lesu. Sebenarnya ia tidak mau sampai keluarganya tahu. Namun situasi memang sudah semakin tidak terkendali. Ia tidak kuasa menutupinya lebih lama lagi.
"Kami telah mengirimkan Surat Peringatan Pertama, dua bulan lalu. Namun tidak ada respon dari Pak Ramli. Hingga kami pun mengirimkan Surat Peringatan Kedua, yang berisi penurunan status kredit dari debitur dari kredit yang kurang lancar, menjadi kredit yang diragukan. Namun lagi-lagi Pak Ramli tidak mengindahkan peringatan kami. Hingga Surat Peringatan Ketiga kami kirim dengan isi status debitur menjadi kredit macet. Dan karena tiada itikad baik dari Pak Ramli, akhirnya kami melelang rumah ini, dua minggu lalu. Dan pemenangnya adalah Pak Dedy Suwirya. Jadi sertifikat hak milik rumah ini sudah atas nama Pak Dedy," terang Pak Hendro tegas.
"Sebagai pemenang lelang, Pak Dedy pun mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta. Dan Pihak pengadilan mengabulkan permohonan Pak Dedy yang tertuang dalam Surat Penetapan Eksekusi No: 15/Eks.HT/2021/PN.Mkt tertanggal 19 Juli 2021."
Keterangan dari Pak Hendro selanjutnya tidak lagi disimak oleh Vina. Benaknya dengan segera memutar otak untuk menyelamatkan mereka sekeluarga dari keharusan tidur di jalan malam ini. Vina mengeluarkan ponsel dan menelepon Suci. Ia berjalan ke teras, dan membiarkan ayahnya mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari Pak Hendro.
"Hallo, Ci. Rumah kontrakan tetangga lo yang baru pindah, udah terisi belum?"
"Belum, Vin. Kenapa? Lo mau ngontrak? Ya udah ntar sehabis gue makan, gue ke rumah Cang Abdul nanyain kontrakannya."
"Tolong tanyain secepatnya ya, Ci? Gue mau pindah sekarang juga soalnya."
"Hah! Bujubune kutu kupret. Lo kenapa tetiba mau pindah? Rumah lo digusur?"
"Disita bank tepatnya, Ci." Vina tertawa tanpa merasa lucu.
"Oke. Lo tenang aja. Sekarang juga gue ke sono. Lo tungguin kabar gue ya? Satu lagi, tetap kuat ya, Vin?"
Suara suci yang tadinya penuh dengan canda tawa berganti serius. Sepertinya suci sudah menyadari betapa kritisnya situasi saat ini.
"Harus, Ci. Terima kasih atas dukungan lo. Gue tunggu kabar dari lo secepatnya ya, Ci? Soalnya petugas bank sudah mulai mengeluarkan semua barang-barang kami." Suara Vina mulai bergelombang. Sekuat-kuatnya dirinya, ia hanyalah perempuan biasa. Lahir batinnya lelah didera oleh masalah hidup yang tiada hentinya.
Melihat ibunya menjerit-jerit histeris saat satu persatu barang-barang penuh kenangan mereka dikeluarkan dari rumah masa kecilnya, Vina menggigit bibir. Bahunya bergetar dengan tangis tertahan. Dari waktu beberapa menit saja hidup keluarga mereka telah hancur!
Tetangga kanan kiri mulai keluar satu persatu. Kehebohan yang mencolok yang berasal dari rumahnya membuat mereka heboh. Makin lama kerumunan makin banyak. Sebagian berbisik-bisik sembari menunjuk ibunya yang terus menangis histeris dalam pelukan ayahnya.
Vina menguatkan hati. Ia berusaha terlihat acuh. Menit-menit berikutnya, ia bergerak bagaikan robot. Suci yang datang dengan mencarter dua buah mobil bak terbuka, membantunya berkemas. Dua buah mobil pick up, hilir mudik mengangkuti barang-barang yang dikumpulkan juru sita di depan rumah. Memerlukan tiga kali putaran bolak-balik dua buah pick up, barulah barang-barangnya terangkut semua.
Masalah baru muncul di rumah kontrakan yang baru. Barang-barang mereka terlalu banyak, sementara rumah kontrakan sangat kecil. Untungnya Suci dan beberapa tetangga baru mereka, bersedia ditumpangi oleh barang-barangnya. Vina sangat terharu oleh kebaikan hati Suci dan tetangga-tetangga barunya. Semoga saja ia dan kedua orang tuanya betah tinggal dikontrakkan ini. Aamiin.
***
Vina menindai jam di pergelangan tangannya. Pukul 12.00 WIB. Waktunya untuk makan siang. Namun ia sama sekali tidak berselera makan. Ia hanya ingin tidur sejenak. Semalaman ia tidak tidur karena sibuk menenangkan hati ibunya. Belum lagi kesibukannya menyusun barang-barang, membuatnya tidak punya waktu untuk memicingkan mata.
Semalaman kedua orang tuanya bertengkar hebat. Ibunya menyalahkan ayahnya yang terlalu memanjakan Dina, hingga menuruti apa saja keinginannya. Ternyata ayahnya mengagunkan sertifikat rumah demi Dina. Selama ini kakaknya kecanduan berjudi dan berfoya-foya dengan meminjam uang panas pada rentenir. Akibatnya bisa diduga. Sang rentenir berniat meminta pembayaran pada Reyhan, yang kala itu masih berstatus suami Dina.
Dina yang ketakutan kalau boroknya sampai diketahui oleh Reyhan, meminta bantuan ayahnya. Ayahnya yang kasihan kalau Dina sampai diceraikan Reyhan, akhirnya meminjam uang bank sejumlah delapan ratus juta rupiah. Ibunya sempat tidak setuju dengan tindakan ayahnya. Namun karena ayahnya bersikeras maka ibunya terpaksa menurutinya. Dan seperti inilah hasil akhirnya.
Karena keduanya terus bertengkar, Vina terpaksa turun tangan demi mendamaikan kedua orang tuanya. Ia mengatakan kalau nasi sudah menjadi bubur. Jadi tidak ada gunanya lagi saling menyalahkan. Sebaiknya mereka berpikir ke depannya saja. Seperti apa yang akan mereka lakukan demi melanjutkan hidup. Demikianlah, semalamam mereka saling beradu argumen hingga kedua orang tuanya tertidur karena kelelahan. Sementara dirinya masih sibuk berargumen dengan diri sendiri.
"Vin, ayo kita makan? Lo nggak laper? Gue yang traktir deh. Gue tahu, lo nggak sempet membuat bekal hari ini kan?" Suci muncul di sampingnya. Vina menggeleng.
"Gue nggak laper, Ci. Gue cuma pengen tidur sebentar aja di sini. Mata gue sepet banget rasanya," ucap Vina lesu.
"Ya udah. Lo istirahat sono. Ntar gue bawain makanan deh. Eh, lo dipanggil Pak Aria ke ruangannya. Jangan lama. Ntar lo diomelin lagi." Suci menepuk bahunya sebelum keluar ruangan. Bahu Vina mencelos saat mengetahui kalau Aria kembali mencari celah untuk menghubunginya. Tapi bagimanapun dirinya memang karyawatinya. Aria berhak memerintahnya selama jam kerja.
Vina menarik napas tiga kali, dan menghembuskannya melalui mulut. Ia mempersiapkan diri untuk menghadapi perdebatan dengan Aria. Beberapa hari ini strategi main petak umpetnya dengan Aria, berhasil dengan baik. Dengan adanya Rajata di kantor, Aria kesulitan untuk mendekatinya secara pribadi. Sementara apabila Aria menelepon ataupun menulis pesan untuknya, selalu ia abaikan. Kecuali untuk urusan kantor. Dan hari ini sepertinya Aria tahu bahwa Rajata tidak masuk kantor. Karena hingga jam makan siang seperti ini, Rajata belum tiba di kantor. Dan inilah kesempatan bagi Aria untuk kembali mengusiknya.
Vina mengetuk tiga kali pintu ruangan Aria. Setelah terdengar jawaban masuk, Vina memutar handle pintu. Seperti yang ia duga, Aria menyambut kedatangannya dengan senyuman manis. Demi mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, ia sengaja tidak merapatkan daun pintu. Ia memberi sedikit celah, sehingga sewaktu-waktu ia dapat berlari keluar apabila Aria mulai bersikap kurang ajar.
"Halo, Sayang. Tolong tutup kembali pintunya. Mas ingin membicarakan banyak hal denganmu."
Belum apa-apa sudah seperti ini. Namun tak urung Vina merapatkannya juga. Walau tidak benar-benar rapat.
"Maaf. Bapak memanggil saya ke sini ada keperluan apa? Karena saat ini adalah jam istirahat." Vina masih berusaha bersikap professional. Ia juga tetap dalam posisi berdiri tegak di hadapan Aria. Sementara Aria duduk santai di kursi kebesarannya, sembari memutar-mutarnya sesekali. Aria terlihat menikmati ketegangannya.
"Mengapa kamu berbicara seformal itu pada Mas, Sayang? Kita ini kan berpacaran."
Berarti masalah yang ingin dibahas Aria bukan masalah pekerjaan.
"Kalau tidak ada hal penting lagi yang ingin Bapak bicarakan, saya permisi dulu. Selamat siang." Vina menundukkan sedikit kepalanya seraya memutar tubuh. Ia bermaksud kembali ke kubikelnya. Dan seperti seekor ular, Arya dengan cepat melesat ke arahnya. Dalam sekejap Aria kini berdiri di hadapannya. Menghalangi dirinya yang ingin keluar ruangan.
"Siapa yang menyuruhmu keluar? Urusan kita belum selesai." Aria meraih pergelangan tangannya dan mendudukkannya paksa di atas sofa panjang. Dan Arya kemudian menyusul duduk di sampingnya.
"Maaf, Pak. Jangan memperlakukan saya seperti ini. Ini kantor. Lagipula telah berulang kali saya katakan bahwa hubungan kita telah berakhir. Kalau Bapak tidak bisa menjaga sikap, saya akan melaporkan kelakuan Bapak ini pada Pak Rajata, atau Bu alamat sekalian. Saya serius, Pak," ucap Vina sungguh-sungguh.
"Dan kamu pikir mereka akan mempercayai kamu?" ejek Aria sinis.
"Kamu terlalu naif, Vina. Yang ada mereka akan mengira kalau kamu menggoda saya," ancam Aria sembari tertawa mengejek. Vina tidak menjawab. Tetapi ia berusaha bangkit dari sofa. Dan lagi-lagi Aria menahan bahunya agar kembali duduk.
"Dan Bapak tidak merasa malu pada diri sendiri, karena telah memfitnah saya?" Vina memandang Aria dengan tatapan skeptis.
"Pak, mari kita bicara baik-baik sebagai dua orang dewasa yang berbudi dan berakal sehat. Menurut Bapak, apa mungkin kita bersatu? Lebih jelasnya lagi, apa Bapak yakin melepaskan istri "seistimewa" Bu Alana, demi saya yang bukan apa-apa? Saya tidak bermaksud merendahkan harga diri Bapak. Tetapi Bapak bisa mencapai posisi seperti ini, karena campur tangan Bu Alana bukan?" Vina berusaha berbicara dengan logika dulu. Ia ingin mengajak Aria untuk berpikir jernih.
"Siapa bilang saya akan melepaskan Alana?" dengkus Aria dengan suara di hidung.
"Syukurlah. Berarti Bapak sudah sadar." Vina lega. Walaupun firasatnya mengatakan bahwa Aria sepertinya mempunyai plan B.
"Tapi itu bukan berarti saya akan melepaskan kamu juga. Saya membutuhkan Alana. Namun saya mendambakanmu. Semua bisa diatur asal kita main cantik, Sayang."
Kurang ajar!
Kalimat melecehkan Aria membuat Vina murka. Selebar wajahnya memerah mendengar ucapan melecehkan Aria. Sepertinya tidak ada gunanya lagi ia bicara baik-baik dengan atasannya ini. Pikiran Aria bejat dan otaknya mandul.
"Bapak melecehkan saya. Jiwa Bapak busuk dan moral Bapak buta. Ingat, saya adalah staff Bapak. Saya bisa menuntut Bapak atas dasar pelecehan seksual dan perbuatan tidak menyenangkan," ancam Vina geram. Ia beringsut dari sofa.
"Saya akan keluar dan jangan coba-coba untuk menahan saya lagi. Kalau tidak--"
"Kalau tidak apa?" tantang Aria sembari berkacak pinggang.
"Kalau tidak saya akan melaporkan kelakuan Bapak ini pada Pak Rajata dan Bu Alana. Saya tidak main-main, Pak."
"Silakan," Aria memperlihatkan gerakan mempersilahkan dengan tangan kanannya.
"Dan saya akan memperlihatkan photo-photo kita. Eh bukan. Photo-photo kamu yang tengah mencium saya dengan mesra tepatnya. Hehehe." Aria menyeringai menjijikan.
"Coba kamu bayangkan reaksi mereka, apabila mereka melihat bahwa kamulah yang mencium saya. Aduanmu menjadi tidak sinkron dengan bukti-bukti yang saya punya bukan?" Ancam Aria santai.
"Bagaimana? Kamu masih berniat melaporkan saya?" Aria tersenyum manis. Vina membeku. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Aria selicik itu. Ya, Vina ingat kalau bulan lalu Aria meminta hadiah ulang tahun berupa sebuah ciuman darinya, alih-alih hadiah berupa barang. Dan dirinya yang pada waktu itu tengah mabuk kepayang menuruti saja keinginan Aria. Ia tengah cinta-cintanya pada Aria. Ia sama sekali tidak menyangka kalau photo-photo itu akan menjadi bumerang baginya sekarang.
"Senjata makan nona ya, Sayang." Aria mendekatkan wajahnya. Ia bermaksud mencium pipi pucat Vina, agar sedikit berwarna. Sebenarnya ia kasihan juga melihat Vina terdiam dengan mata berkaca-kaca. Jujur, ia menyukai Vina yang cerdas dan dewasa. Sikap Vina ini berbanding terbalik dengan Alana yang manja dan cemburuan. Ia sering merasa bosan terus diinterogasi dan diintinidasi. Alana menjadikan dirinya tahanan, alih-alih suami. Ia sengaja mengancam Vina ini dan itu, semuanya demi mempertahankan hubungannya dengan Vina. Apapun akan ia lakukan. Apapun!
Tepat ketika ia ingin mencercahkan kecupan di pipi Vina, pintu tiba-tiba terbuka. Rajata dan Alana masuk dengan tiba-tiba.
Celaka!
"Ada yang saya lewatkan di sini?" Masuknya Rajata dan Alana semakin memiaskan wajah Vina. Pandangannya mendadak gelap saat ia buru-buru bangkit dari sofa. Ia nyaris tersungkur kalau saja Aria tidak menahan kedua bahunya. Telinganya berdenging dan berkeringat dingin. Ia ketakutan hingga nyaris pingsan. Ditambah keadaan tubuhnya yang memang kurang sehat, Vina merasa pandangannya berkunang-kunang. Ia bahkan tidak sadar kalau Aria telah mendudukannya kembali ke sofa. Ia terlalu lemah untuk melawan."Vina kurang sehat, Ja. Makanya gue ngecek suhu tubuhnya. Tadi gue nyuruh dia nganterin dokumen untuk penawaran besok. Tapi lo liat sendiri keadaannya kayak gini. Lo jangan mikir yang aneh-aneh, Ja.""Bohong! Pasti perempuan kegatelan ini sengaja pura-pura sakit, supaya dia bisa menggoda Mas Ari. Ayo ngaku lo, dasar perempuan ganjen!"Alana merangsek maju, dan bermaksud menghajar Vina. Sedari pertama kali menjejakkan kakinya
Brian bersiul. Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban seperti ini dari mulut Rajata. Selingkuhan Aria? Menarik. Bria mendekati pasiennya. Bersiap memeriksa keadaannya. Brian memicingkan mata kala pandangannya membentur seraut wajah yang sepertinya tidak asing baginya. Saat masuk tadi, ia hanya menatap sekilas sosok gadis yang tergeletak diam ini. Dan kini saat ia memperhatikan dengan seksama, ia seperti familiar dengan garis-garis wajah sensual ini. Suatu pemikiran melintas di benaknya. Brian berdecak. Wajah Dina ternyata. Mantan istrinya Reyhan."Ia orang siapanya Dina, Ja? Mukanya plek ketiplek dengan si Dina." Brian meraih tas dokternya. Mengeluarkan stetoskop untuk memeriksa pasien cantiknya."Adik kandungnya Dina. Lo nggak liat kalau mukanya bagai pinang dibelah dua dengan si Dina? Bukan hanya wajah. Kelakuannya juga sama," dengkus Rajata kasar. Seumur hidupnya ia terbiasa dicekoki dengan perempuan-perempuan mani
Vina yang baru kembali dari warung, saat melihat ada sebuah gerobak bakso di depan rumahnya. Ternyata ayahnya serius saat mengatakan bahwa dirinya ingin berjualan bakso keliling. Vina memandangi gerobak bakso itu dengan seksama. Gerobak bakso ayahnya ini terlihat rapi dan fungsional. Terbuat dari aluminium yang jauh lebih ringan dan juga dilengkapi dengan tabung gas dan kompor. Di bagian atasnya terdapat sebuah etalase kecil yang berfungsi untuk menyimpan berbagai macam bumbu. Seperti kecap manis, saos, sambal dan yang lainnya. Di bagian steling kaca atas, difungsikan untuk menyusun bahan baku bakso sehingga lebih menarik oleh pembeli.Secara keseluruhan gerobak bakso ini fungsional dan sempurna. Masalahnya Vina tidak tega membayangkan, ayahnya yang dulunya berpenampilan rapi dan necis, harus mengendarai gerobak bakso bermotor untuk berjualan seperti ini.Bayangkan saja, dulu ayahnya mempunyai 8 gerai bakso terkenal. Nama bakso Pak Kum
"Eh, Bang Rayhan. Vina sedang menebus obat, Bang." Vina refleks berdiri. Ia kaget sekaligus rikuh. Hubungannya dengan Reyhan kini sudah berubah. Reyhan bukan abang iparnya lagi."Menebus obat? Kamu sakit, Vin? Sakit apa?" Reyhan memandangnya prihatin."Bukan, Bang." Vina menggeleng. Ia benar-benar gugup saat Rajata terus saja menatapnya tajam dari balik punggung Reyhan."Bukan? Oh Bapak atau Ibu ya yang sakit?" tebak Rayhan. Vina kembali menggeleng."Bukan, Bang. Yang sakit Mbak Di--Dina," jawab Vina gagap. Hening. Reyhan seketika tampak rikuh. Wajar, membicarakan mantan istri bukanlah topik yang nyaman untuk dibahas. Istimewa membahasnya dengan mantan adik ipar."Oh," guman Reyhan singkat. Kalimatnya itu menginsyaratkan kalau Reyhan tidak ingin membahas masalah Dina lagi."Bang Rey sendiri ngapain di sini? Demi membunuh Kecanggungan, Vina m
"Lo beneran mau resign ya, Vin? Kenapa? Bukannya lo bilang kalo gaji di sini itu gede?" Suci membisikinya saat melihatnya tengah mengajari Ruby, penggantinya di perusahaan. Ruby sebenarnya adalah staff baru di divisi II. Rajata yang memilih langsung sebagai penggantinya."Iya, Ci. Ntar deh pas makan siang di kantin gue ceritain semuanya," Vina balas berbisik. Suci mengangguk dengan air muka yang tidak puas. Wajar saja. Suci adalah teman terdekatnya di perusahaan. Pasti ia merasa heran, karena tidak ada angin, tidak ada hujan, ia tiba-tiba saja ingin resign. Istimewa Suci mendengarnya dari mulut Putri.Setelah Aria menyobek two weeks notice resignationnya, ia memang langsung menemui Rajata, setelah ia membuat surat resign yang baru. Namun jeda waktunya berbeda. Jika sebelumnya ia membuat two weeks notice regisnation, maka kali ini ia membuat one weeks notice resignation saja. Ia berpikir, semakin cepat ia keluar dari perusahaan ini maka
Vina menarik napas panjang beberapa kali, sebelum mengetuk ruang kerja Aria. Ia tahu, kemungkinan ia akan dibantai oleh dua naga sekaligus di dalam sana. Hanya saja ia tidak mengira kalau Aria kali ini akan berkolaborasi dengan Rajata.Apa yang terjadi, terjadilah. Bissmillahirohmanirohim! Vina mengetuk daun pintu. Ketika terdengar sahutan masuk dari dua orang secara bersamaan, Vina pun memutar pegangan pintu.Kedatangannya langsung disambut dengan air muka ganas dari Aria dan Rajata. Keduanya tengah membolak-balik beberapa dokumen penawaran tender, yang kemarin ia berikan pada Aria untuk ditandatangani."Selamat siang, Pak Aria, Pak Rajata." Vina menyapa dua atasannya sopan. Walau perasaannya saat ini tidak karuan, tapi ia berusaha menampilkan air muka tenang. Ia tidak ingin dua orang di hadapannya ini mengetahui kegamangannya."Duduk." Alih-alih membalas sapaannya, Aria langsung memerintahkannya
"Ibu duduk dulu. Dengarkan Vina baik-baik. Setelah itu barulah Ibu boleh mengecam Vina, kalau menurut Ibu tindakan yang Vina ambil ini salah."Vina meraih bahu ibunya. Mendudukkannya pada sofa panjang satu-satunya, di samping ayahnya. Sementara dirinya sendiri duduk bersimpuh di hadapan kedua orang tuanya. Ia ingin memohon ampun atas kesalahan yang tidak sengaja ia perbuat. Ya, dirinya memutuskan untuk menceritakan asal muasal penyebab masalah ia resign atau dipecat, atau apapun sebutannya.Ia tidak mau menyembunyikan apapun pada kedua orang yang paling mencintainya di dunia ini. Ia mengerti tidak semua orangtua mampu bersikap bijaksana. Contohnya ya kedua orang tuanya ini, yang terlalu memanjakan kakaknya. Sehingga kakaknya tidak pernah mengerti apa yang disebut dengan tanggung jawab. Tapi mau bagaimana lagi. Orang tua tetaplah orang tua. Kasih mereka lebih besar dari seisi dunia."Bu, Ayah. Vina ingin minta maaf
Vina sangat meyakini pepatah yang mengatakan ; di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Dan jika satu pintu tertutup, insyallah pintu lain akan terbuka. Kuncinya adalah terus berusaha yang diiringi dengan ikhtiar yang tidak putus-putusnya. Begitu juga dengan musibah demi musibah yang terus menerpanya. Walau ia harus jatuh bangun menghadapi semuanya, namun menyerah bukanlah karakternya.Seperti sekarang saja misalnya. Pada pukul lima pagi, ia telah sibuk berbelanja ke pasar tradisional. Setiba di pasar, ia memeriksa satu persatu daftar belanjaan yang harus ia beli di selembar kertas. Setiap satu bahan telah ia beli, maka ia akan langsung mencoretnya dari daftar, agar tidak tumpang tindih. Ia memang sengaja mencatat daftar belanjaan pada selembar kertas, dibandingkan dengan notes di ponselnya. Pengalamannya berbelanja di hari pertama memberikan pelajaran, bahwa berbelanja sembari memeriksa ponsel itu menyusahkan. Selain berkali-kali jatuh, karena tangan
Dua puluh bulan kemudian. Vina meraih sehelai gaun berwarna magenta berlengan balon dan dari lemari. Beserta hanger yang ia lekatkan ke dada, Vina mematut gaun tersebut di depan cermin. Pagi ini Rajata akan bebas setelah menjalani masa hukuman selama dua puluh bulan penjara. Sebenarnya Rajata divonis dua puluh empat bulan penjara dipotong masa tahanan. Rajata bebas lebih cepat karena mendapat remisi umum. Yaitu pemotongan masa tahanan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Ketentuan remisi ini adalah, Narapidana yang masa hukumannya enam sampai dua belas bulan, memperoleh satu bulan pengurangan. Sedangkan narapidana dua belas bulan atau lebih, memperoleh dua bulan pengurangan. Setelah di potong masa tahanan dan lain sebagainya, hari ini Rajata akan menghirup udara sebagai manusia bebas. Untuk itu Vina akan tampil semempesona mungkin untuk melengkapi kebahagiaan Rajata. Bagaspati Bagaskara, sudah lebih dulu Vina dandani. Bagas mengenakan paduan
Keringat menguar dari segenap pori-pori Vina, ketika ia dipapah masuk ke dalam mobil oleh ayahnya dan Mang Pardi. Setelah perekonomiam ayahnya pulih, Mang Pardi memang kembali menjadi supir ayahnya. Vina mencoba bernapas pendek-pendek sesuai yang diajarkan oleh dokter Lita sebelumnya. Vina berusaha bersikap tenang agar ayahnya dan Lita tidak panik. Padahal dirinya sendiri juga panik dan ketakutan. Ia belum pernah melahirkan sebelumnya. Perutnya yang sakit ditambah dengan suasana yang kacau seperti ini semakin menciutkan nyalinya. "Apa yang kamu rasakan, sekarang, Nak? Bayinya sudah akan lahir ya?" Pak Ramli panik ketika melihat Vina terus meremas lengannya dengan napas terengah-engah. Ekspresi wajah putrinya seperti menahan kesakitan yang amat sangat. "Rasa--rasanya perut Vina bergolak, Yah. Cucu A--ayah sedang mengamuk, ingin segera melihat dunia." Walau perutnya mulas luar biasa, Vina masih berupaya bercanda. Suci yang duduk tepat di sebelah Vina meringis. Sahabatnya ini memang l
Vina bermimpi. Ia tengah berlari-lari di pantai Pulau Nusa sebelum ombak besar menggulungnya ke dalam pusaran tak berdasar."Bangun, perempuan sombong!" Vina tersentak dan seketika gelagapan ketika air dingin menyiram wajahnya.Ini bukan mimpi. Ia diculik oleh Tante Rena cs.Vina mengerjap-ngerjapkan mata dan memindai sekeliling. Ia tidak mengenali tempat ini. Sepertinya para komplotan orang sinting ini telah memindahkan lokasi eksekusi ketika ia pingsan saat melihat penembakan Arman.Arman? Di mana Arman? Vina memindai sekeliling namun ia tidak mendapati jejak Arman di mana pun."Jasad Arman sedang on the way ke sini. Nah itu dia!" Tante Rena seperti bisa membaca pikirannya. Ketika Tante Rena meneriakkan kata itu dia, Vina tercekat. Aria, anak Hendro dan Sarah terlihat menggotong-gotong tubuh tidak berlumuran
Setengah jam sebelumnya.Suci tengah mendengar pemaparan Rajata tentang loyalitas karyawan terhadap perusahaan, kala notifikasi ponselnya bergetar. Suci mengabaikannya. Pasti itu adalah pesan dari ibunya. Karena waktu hampir menunjukkan pukul sembilan malam, sementara ia belum pulang ke rumah. Biasanya ia pulang kantor paling lambat pukul setengah tujuh malam.Suci memang lupa mengabarkan ibunya tentang rapat dadakan ini. Suasana tegang karena pemecatan tidak hormat terhadap Putri, Frans, Rani dan Daniel membuat seluruh staff tegang. Mereka takut kalau-kalau mereka juga ikut dipecat. Empat orang yang diberhentikan secara tidak hormat tadi siang adalah orang-orang yang membantu Aria dalam melakukan kecurangan. Frans dan Daniel adalah staff bagian keuangan. Sementara Putri dan Rani adalah sekretaris dan asisten Aria.Setelah memecat keempat staff tersebut Rajata langsung menggelar rapat dadakan. Rajata mengeval
"Man, kayaknya kita sudah berjalan lebih dari lima belas menit. Tapi tidak ada apa-apa di sekitar jalan ini. Sebaiknya kita pulang saja, Man."Vina mulai merasa ada yang tidak beres. Indra keenamnya mengatakan ada sesuatu yang salah di sini. Rasanya mustahil ada restaurant mewah di tengah-tengah perkebunan sawit begini. Sepanjang jalan yang mereka lewati hanya jalanan gelap nan sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan apalagi rumah-rumah penduduk. Entah Rajata yang salah membagikan lokasi atau Arman lah yang salah jalan. Yang pasti Vina mulai tidak nyaman dengan keadaan ini."Sabar sebentar ya, Bu? Sebentar lagi kita sudah sampai pada tujuan. Maafkan saya ya, Bu?" desah Arman lirih. Kesedihan terdengar dari nada suaranya yang lesu.Vina mengernyitkan kening. Arman bilang apa? Sebentar lagi mereka akan sampai pada tujuan? Itu artinya Arman tahu tempat yang akan mereka tuju. Lantas mengapa Arman sepanjang jalan ta
"Jadi bagaimana Pak Aria? Bapak memilih di penjara atau melepaskan saham Bapak pada PT Karya Inti Mandiri ini pada Pak Raja?"Hotman Marpaung Sarjana Hukum, memberikan ultimatum pada Aria. Saat ini dirinya bertindak sebagai pengacara Rajata, mewakili perusahaan. Aria telah terbukti melakukan korupsi dan switch pada perusahaan. Aria menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan dirinya sendiri, serta meminta komisi pada perusahaan yang ia menangkan. Aria bekerjasama dengan Putri dan staff keuangan untuk menggelapkan sejumlah besar dana perusahaan."Ini semua akal bulus lo kan, Ja? Lo pengen melenyapkan gue dari perusahaan, makanya lo mengarang bebas seperti ini!" Aria mengamuk. Ia kalah selangkah dari Rajata. Ia terlalu santai hingga akhirnya lengah. Dan si Rajata brengsek ini menyerangnya dari segala arah."Akal bulus?" Rajata mengernyitkan kening. Ia pura-pura berpikir keras sebelum melemparkan sebuah file d
Vina meletakkan sendok dan garpu. Sebagai gantinya ia memindai Tante Rena dan Sarah dari atas ke bawah. Ia sudah sering mendengar sepak terjang Tante Rena. Namun ia sama sekali tidak pernah melihat sosoknya.Untuk ukuran perempuan berusia awal empat puluhan Tante Rena ini terlihat awet muda. Nyaris seperti kakak adik dengan Sarah. Tidak heran karena usia mereka hanya berpaut tujuh belas tahun. Ditambah Tante Rena sangat fashionable, ia nyaris terlihat seumuran dengan Sarah."Nama saya Davina Bagaskara. Jangan memanggil saya dengan sebutan hai hei hai hei begitu. Sakit kuping saya mendengarnya."Rajata terkekeh. Tante Rena jumpa imbang kali ini. Vina ini berbeda dengan ibu dan juga adik perempuannya yang cenderung penakut dan labil. Sehingga mereka berdua gampang sekali dipengaruhi. Dulu setiap kali Tante Rena memamerkan keberhasilannya memikat ayahnya, ibunya paling hanya menangis pilu. Sementara Alana kecil
"Mas, coba jawab dengan jujur. Apa Mas tidak punya perasaan apa-apa setelah Mbak Sarah mengungkapkan soal kepergiannya dulu."Setelah berkendara hampir lima belas menit lamanya, Vina mengungkapkan apa yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia sudah tidak tahan diam-diaman seperti ini."Tidak, Vin. Mungkin kalau dulu Sarah langsung mengatakan alasannya, saya bisa sedikit memahaminya. Karena Sarah toh tidak bisa memilih dari rahim siapa ia dilahirkan," jawab Rajata dengan pandangan lurus ke depan. Lalu lintas sore ini lumayan padat."Sedikit memahami," Vina mengangguk-anggukkan kepalanya. Pura-pura mengerti padahal ia kesal atas jawaban Rajata."Itu artinya Mas akan menerima Mbak Sarah kalau dulu ia berterus terang tentang jati dirinya. Begitu ya, Mas?" cecar Vina lagi. Ia tidak puas dengan jawaban ambigu Rajata."Tidak seperti itu juga analoginya, Vin. Memahami bukan
Vina yang masih termenung dengan ponsel di tangan, kaget saat ponselnya kembali bergetar. Firasatnya mengatakan kalau Sarah kembali menghubunginya. Mungkin sarah ingin memamerkan keberhasilannya memikat Rajata."Ha--""Vina, ini saya. Dokter Lita dalam perjalanan menjemputmu. Kamu siap-siap ya? Sebentar lagi ia pasti akan sampai.""Menjemputku ke mana, Mas?""Ke rumah, Sarah. Saya akan menjelaskan semuanya nanti. Pokoknya kamu ke sini saja dulu."Telepon kemudian ditutup saat terdengar suara manja Sarah menawarkan minuman. Benak Vina memikirkan kejanggalan dalam masalah ini. Rajata ke rumah Sarah. Namun Rajata juga memintanya menyusul ke sana. Kalau Rajata memang ingin menjalin hubungan kembali dengan Sarah, untuk apa Rajata memintanya datang bukan? Rajata pasti mempunyai rencana lain. Vina jadi penasaran karenanya.Vina bergegas ke kamar untuk me