"Waduh, ada trio macan pula di depan, Vin. Kagak sari-sarinya petinggi-petinggi perusahaan makan di mari. Pantesan tadi gue lihat ini kantin sepi amir. Rupanya temen-temen kita yang lain pasa ngiser gegara ada nih trio macan bertiga."
Bisik Suci pelan. Vina tidak menjawab. Ia terlalu takut kalau rahasianya ketahuan, hingga jantungnya jedag-jedug tidak karuan. Kedua kakinya seperti menolak bekerjasama untuk melangkah.
"Etdah, lo ngapain berdiri kayak patung begini? Ayo kita langsung jalan ke ibu kantin. Kita jalan dari pinggir aja, belagak kagak ngeliat mereka bertiga," bisik Suci setengah menyeret pergelangan tangannya. Dan lagi-lagi Vina merasa kalau ketiga atasannya memperhatikannya. Perasaannya makin tidak karuan saja.
Vina mengabaikan perasaannya. Seperti usul Suci tadi, ia berpura-pura tidak melihat ketiga atasannya. Ia pun mempercepat langkah di samping Suci. Tepat pada saat itu seseorang yang juga baru masuk, menyenggol tangannya keras, hingga kotak makanannya terlepas. Detik berikutnya nasi, telur rebus dan tumis kangkung terasinya berserakan di lantai kantin. Putri, staff bagian keuangan pura-pura kaget. Padahal Vina yakin, Putri memang sengaja melakukannya. Sudah menjadi rahasia umum kalau Putri membencinya. Putri kerap menyebarkan gosip kalau dirinya ada main dengan Aria. Karena karirnya dengan cepat melejit padahal ia baru bekerja empat bulan.
"Yah, tumpah. Maaf ya, Vin. Gue nggak sengaja. Gue ganti deh lauk lo dengan makanan yang lebih bergizi di kantin ini. Terserah lo mau pake lauk apa."
Putri pura-pura kaget dan prihatin. Namun air mukanya seperti mengejek. Belum lagi gerakan tangannya yang melambai-lambai di udara, seperti mengejek kesialannya. Walau geram, Vina berusaha menahan diri. Ia tidak mau membuat keributan untuk hal sepele. Terlebih lagi ada tiga orang atasannya yang memperhatikan.
"Nggak usah, Put. Hari ini emang gue berencana nraktir Vina. Kalo lo niat banget nyumbang makanan bergizi, noh lo sumbangin aja ke panti asuhan depan. Kali-kali aja perbuatan baik lo nanti bisa ngurang-ngurangin dosa lo dikitlah," cetus Suci sinis.
"Eh Suci. Maksud gue baik ya? Gue mau bersedekah dengan orang susah. Karena gue tahu keluarga si Vina ini udah bangkrut gara-gara selingkuhan kakaknya yang pelakor itu, ketahuan nipu selingkuhannya. Tapi kok lo malah nyolot sih?" Putri kini berkacak pinggang. Sepertinya Putri tidak melihat tiga orang atasannya. Wajar karena Putri baru saja masuk. Selain itu pandangan Putri pasti hanya fokus padanya, karena berniat untuk mempermalukannya. Putri memang selalu mencari pasal padanya.
Ketika Suci membuka mulut, bermaksud untuk mencuci otak Dinda, Vina segera menyenggol lengannya. Ia memperingati Suci dengan lirikan mata ke meja samping. Karena kalau mereka ribut-ribut untuk hal yang sepele begini, kreadibilitas mereka akan buruk di mata para atasan. Apalagi kini Aria terlihat berdiri dari kursinya. Namun akhirnya Aria kembali duduk. Pasti Aria teringat pada posisinya sebagai seorang suami. Vina sempat melirik sekilas tadi ke samping. Sebagai gantinya, malah Rajata yang berdiri dan menghampiri mereka bertiga. Matilah mereka kali ini.
"Ada apa ini?" Vina tidak mampu menjawab. Lagi pula apa yang harus ia katakan? Bahwa Putri dengan sengaja menjatuhkan kotak bekalnya begitu? Kesannya ia seperti anak kecil tukang mengadu bukan? Makanya ia bungkam. Sementara Putri menoleh cepat pada asal suara, dan seketika memucat. Putri pasti tidak mengira kalau atasannya ada di kantin.
"Itu... anu... tidak ada apa-apa kok, Pak. Saya hanya tidak sengaja menumpahkan bekal Vina. Tapi saya bermaksud menggantinya kok, Pak."
Putri dengan cepat mengubah nada suara dan gestur tubuhnya. Air mukanya berubah menjadi penuh penyesalan. Berikut suaranya yang diturunkan dalam nada terendah. Di depannya Suci mencebikkan bibirnya. Pasti temannya ini muak melihat sikap Putri.
"Saya tidak tuli dan juga tidak buta. Saya minta kalian berdua ke ruangan saya setelah jam makan siang berakhir." Rajata meninggalkan mereka berdua setelah memberi perintah.
"Baik, Pak." Vina dan Putri menjawab bersamaan.
"Dasar adek pelakor nggak tahu diri. Gue yakin lo pasti juga ada main dengan Pak Aria, makanya karir lo melesat sampai seperti ini. Kakak adek sama saja." Putri melontarkan makian dengan wajah prihatin. Putri ini memang benar-benar bertalenta seperti artis sinetron. Aktingnya sempurna.
"Daripada waktu lo habis digunakan untuk menduga-duga hal yang tidak berguna, better lo manfaatkan untuk hal yang lebih penting. Mengevaluasi kinerjo lo sendiri misalnya. Pikirkan, kenapa lo yang udah kerja hampir lima tahun, tidak pernah dipromosikan."
Vina membalas sembari tersenyum manis. Inilah dirinya. Ia tidak suka keributan atau memaki-maki dalam bahasa yang frontal. Cukup dengan sepatah dua patah kata. Tapi langsung mengenai sasaran rasanya lebih memuaskan bukan?
"Tjakep! Gue suka pembalasan ala ala sarkasme begini. Rasanya langsung nyessd ke hati. Senep... senep lo sono." Suci menyambung sembari mengacungkan jempolnya. Putri menjauh sambil melotot. Terlihat sekali kalau ia dongkol, namun tidak berani membalas. Ada Rajata masih duduk di belakangnya dengan secangkir kopi di tangan.
Dengan berjalan beriringan bersama Suci, Vina menghampiri ibu kantin. Ia memesan makanan yang sama dengan Suci. Setelahnya ia meminjam sapu dan pengki. Ia bermaksud membersihkan tumpahan bekalnya. Namun sang ibu kantin mengatakan agar salah seorang pekerjanya saja yang membersihkan. Syukurlah. Dan waktu makan siang itu terasa sangat pendek. Karena tanpa bisa ditahan Vina kerap melirik ke seberang meja. Belum lagi jika teringat bahwa ia harus menemui Rajata setelahnya. Makin-makin sajalah kegelisahannya.
***
"Apakah kalian berdua tahu bahwa prilaku kalian berdua itu mencerminkan karakter kalian?"
Inilah kalimat pertama yang dirinya dan Putri terima, saat berdiri di hadapan Rajata. Saat ini mereka memenuhi panggilan Rajata ke ruangannya.
"Tahu, Pak," jawabnya dan Putri serempak.
"Kalau tahu, mengapa kalian berdua mempertontonkan ketidakdewasaan kalian di tempat umum?!" Kuatnya suara Rajata membuatnya dan Putri nyaris melompat kaget. Namun mereka berhasil tetap berdiri di tempat, tanpa memperlihatkan reaksi yang berlebihan. Hanya bahu mereka berdua yang sedikit bergetar.
"Maaf, Pak. Kami berdua salah. Kami berjanji bahwa kami berdua tidak akan mengulangi kesalahan kami lagi," ikrar Putri takzim. Vina mengamini dengan menganggukkan kepalanya. Jujur, memang sudah seharusnya Putri yang menjawab. Toh dirinyalah yang mencari gara-gara. Ia hanya hanya sekedar menanggapi provokasi Dinda.
"Bagi saya, perilaku staff-staff saya itu sama pentingnya dengan pekerjaan. Karena apa? Karena kemampuan kalian untuk bekerjasama dengan rekan kerja akan mempengaruhi hasil kerja kalian. Bagaimana proyek bisa goals kalau staff-staff di dalamnya saling gontok-gontokkan. Ingat, saya tidak akan pernah mempromosikan jabatan kalian jika kalian tidak bisa bekerjasama dengan baik dan positif."
"Kami mengaku bersalah dan kami benar-benar minta maaf, Pak. Kami juga menyesali insiden memalukan saat berada di kantin tadi. Kami bersumpah, Pak!" Lagi-lagi Putri kembali meminta maaf."
"Baik. Ini adalah kesempatan pertama sekaligus terakhir kalian. Kalau kalian mengulangi kesalahan yang sama, saya tidak akan berpikir dua kali untuk menyingkirkan kalian berdua."
"Terima kasih, Pak." Putri membungkukkan tubuhnya dengan takzim. Vina mengikuti tanpa bersuara.
"Kamu bisu?" Satu kalimat Rajata yang diucapkan seraya memandangnya sinis, membuat Putri tersenyum tipis. Namun dengan cepat ia mengubah air mukanya kembali biasa.
"Tidak, Pak," jawab Vina singkat. Dari sini saja ia tahu kalau Rajata memang sengaja menyerangnya. Vina menyadari bahwa sesungguhnya Rajata ini dengan jelas mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Seperti yang ia katakan tadi. Bahwa dirinya tidak buta dan tidak tuli. Rajata sengaja ingin menyerangnya saja.
"Kalau tidak, mengapa sedari tadi kamu tidak berbicara?"
"Saya merasa apa yang dikatakan oleh Mbak Putri sudah mewakili, Pak." Vina berupaya menjawab sopan sesuai dengan keadaan.
"Jangan suka memakai perasaanmu secara berlebihan. Karena apa yang kamu rasa belum tentu sama dengan yang dirasakan oleh orang lain. Mengerti?"
Ambigu.
"Mengerti, Pak." Vina menjawab tegas. Sudahlah, akan ia ikuti saja apa maunya Rajata ini. Semakin cepat urusannya selesai, semakin baik bukan?
"Baik. Kamu boleh kembali bekerja," Rajata menunjuk Putri. Vina menarik napas lega. Akhirnya ia terbebas dari interogasi ini juga.
"Kamu tetap di sini."
Astaga. Cobaan apalagi ini?
Vina memandang Putri yang berlalu dengan perasaan iri. Putri yang mencari masalah, namun Putri jua yang lebih dulu dibebaskan. Keadilan dalam dunia ini memang sulit untuk didapatkan bukan?
"Duduk,"
Seperti robot Vina duduk di depan Rajata. Rajata menyusul duduk di kursi kebesarannya. Posisi mereka kini saling berhadapan. Mereka hanya dibatasi oleh sebuah meja kerja besar.
"Mari kita berbincang-bincang sejenak.
Kamu punya hubungan apa dengan Dina Hadinata?"
Vina termangu. Ia sama sekali tidak mengira kalau Rajata akan menanyakan hal di luar pekerjaan padanya. Istimewa masalahnya sangat sensitif seperti ini.
"Dina Hadinata itu kakak saya, Pak." Rajata mengangguk-angguk kecil. Ia mengetuk-ngetuk ujung bolpennya ke meja. Ia seperti memikirkan sesuatu.
"Kalau Ghifari Albani? Kamu mengenalnya?"
Vina menggerak-gerakkan bokongnya tidak nyaman. Ia merasa serba salah sekarang. Dijawab, salah. Tidak dijawab salah juga. Vina yakin sekali kalau Rajata sudah tahu semua jawaban-jawaban yang ingin ia ketahui. Rajata hanya ingin mendengarnya sendiri dari mulutnya.
"Pak Ghifari Albani itu setahu saya adalah mantan suami Mbak Kanaya. Teman kakak saya," jawab Vina hati-hati. Ia tidak ingin terpeleset kata.
"Dan? Saya menunggu lanjutan kalimatmu?"
Rajata benar-benar memaksanya, hingga ia tidak punya ruang untuk mengelak.
"Dan... dan... kebetulan saat ini kakak saya sedang dekat dengan mantan suami Mbak Naya tersebut." Vina berusaha memilih jawaban yang ia rasa paling aman.
"Jawaban kamu berbelit-beli. Saya sederhanakan saja menjadi satu kalimat. Apakah kakakmu berselingkuh dengan Ghifari hingga istri sah Ghifari menuntut cerai?" Front telah dibuka.
"Saya tidak tahu pasti, Pak. Karena saya dan kakak saya tidak dekat. Kakak saya tidak pernah menceritakan masalah pribadinya dengan saya. Lagi pula, maaf, saya merasa tidak ada korelasi antara kakak saya dengan perusahaan ini. Saya keberatan kalau masalah kakak saya kita bahas di sini."
Vina berusaha menjawab dengan diplomatis. Rajata tidak menanggapi kalimatnya. Namun Rajata memandangnya lurus-lurus. Ada ancaman samar di dalam manik gelap matanya.
"Secara langsung memang tidak ada. Tapi dampak dari karakter kakakmu padamu, ada." Vina tidak menanggapi kalimat Rajata. Ia pura-pura tidak tahu saja.
"Kamu tahu pasti. Namun kamu melindungi kakakmu. Wajar seberapa bejatnya Dina, dia adalah kakakmu."
Dugaannya benar bukan? Rajata ini sudah mengenal kakaknya.
"Baik, tidak masalah kalau kamu tidak mau membahasnya. Toh Ghifari itu bukan siapa-siapa saya. Tapi lain halnya dengan Aria. Karena ia menikahi adik kandung saya."
Masalah sudah semakin mengerucut sepertinya. Vina berkeringat dingin. Rajata tiba-tiba bangkit dan mendekatkan wajahnya. Napas Vina tercekat. Ia sama sekali tidak berani bergerak. Bukan hanya itu saja. Ia bahkan menahan napasnya.
"Saya mencurigai sesuatu. Namun saya belum menemukan bukti yang cukup memadai untuk kecurigaan saya ini. Dan saya bukan type orang yang suka sembarang menuduh. Satu hal yang ingin saya tekankan padamu, jangan pernah mencontoh perbuatan kakakmu. Jangan berani-berani menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga adik saya. Karena saya tidak akan berpikir dua kali untuk menghancurkan siapapun itu, yang telah mengusik rumah tangga adik saya."
Vina bergeming. Saking gugupnya ia berulang kali menelan salinvanya sendiri sebelum menjawab gugup.
"Jangan khawatir, Pak. Saya bukan type orang yang bisa berbahagia setelah menginjak kepala orang lain. Saya bersumpah, bahwa saya tidak akan pernah mengganggu apalagi menanggapi laki-laki yang sudah berkeluarga."
Janji Vina yakin. Ia menatap netra hitam Rajata dengan berani. Apa yang ia katakan memang bebar. Ia tidak akan pernah mau menjadi orang ketiga dalam hubungan siapapun. Dengan Aria, itu terjadi karena atasannya itu membohonginya. Kalau saja waktu ia tahu, bahwa Aria berbohong, mana mungkin ia mau menerima pernyataan cintanya. Dan setelah ia tahu kebenarannya, ia langsung minta putus saat itu juga bukan?
"Baik. Saya pegang kata-katamu. Namun kamu harus mengingat satu hal. Apabila kamu berbohong, saya akan membalasmu seratus kali lipat lebih sakit, kalau kamu terbukti ada main dengan Aria. Ingat kalimat saya baik-baik. Sekarang kamu boleh pergi!" Rajata segera menarik wajahnya, dan kembali duduk di kursi kebesarannya.
"Terima kasih, Pak. Saya akan kembali bekerja." Vina buru-buru bangkit dari kursi dan bergegas berjalan ke arah pintu.
"Ingat baik-baik kata-kata saya. Kalau kamu tertangkap basah mempunyai hubungan gelap dengan Aria, saya akan membalasmu seratus kali lipat lebih sakit, belum termasuk bunganya." Vina menggangguk cepat seraya memutar kenop pintu. Dikhawatirkan kalau ia akan terkena serangan jantung diri, kalau ia berada dalam ruangan ini lebih lama lagi.
"Selamettt." Vina mengelus dada.
"Astaghfirullahaladzim." Vina kembali kaget saat berbalik. Karena ia nyaris bertabrakan dengan Putri yang berdiri di depan pintu. Sepertinya Putri menguping.
"Lo jangan senang dulu. Semua orang yang pernah berbohong pada Pak Rajata, tidak pernah bisa hidup dengan normal lagi. Lo siap-siap aja. Karena gue yakin kalau sesungguhnya lo punya rahasia besar yang terus aja lo tutup-tutupi. Bersenang-senanglah, sebelum neraka dunio lo menghampiri."
Amit... amit... jabang bayi. Semoga semua itu tidak terjadi. Aamiin.
Vina yang baru saja turun dari ojek online, merasa ada yang salah saat mendapati ada beberapa mobil yang tengah parkir di depan rumahnya. Ia baru saja pulang dari kantor sore ini. Kekhawatirannya kian menjadi saat mendengar tangisan ibunya, dan kalimat tolong yang berulang kali ayahnya ucapkan dari dalam rumah. Sementara suara keras beberapa orang menimpali kalimat ayahnya dengan kata, tidak bisa berulang kali. Ketika mendengar suara ibunya menjerit, Vina segera berlari menuju pintu utama.Jantungnya seketika berdebar kencang saat mendapati beberapa orang berpakaian formal, anggota kepolisian dan TNI tengah berbicara keras dengan ayahnya. Firasatnya mengatakan kalau mereka ini adalah para petugas bank. Vina berkeringat dingin. Jangan-jangan rombongan ini adalah juru sita pengadilan yang dikawal oleh aparat, untuk melakukan penyitaan atas rumah mereka. Astaghfirullahaladzim. Cobaan apalagi ini!"Vina, kebetulan kamu sudah pulang, Nak. Bapak-b
"Ada yang saya lewatkan di sini?" Masuknya Rajata dan Alana semakin memiaskan wajah Vina. Pandangannya mendadak gelap saat ia buru-buru bangkit dari sofa. Ia nyaris tersungkur kalau saja Aria tidak menahan kedua bahunya. Telinganya berdenging dan berkeringat dingin. Ia ketakutan hingga nyaris pingsan. Ditambah keadaan tubuhnya yang memang kurang sehat, Vina merasa pandangannya berkunang-kunang. Ia bahkan tidak sadar kalau Aria telah mendudukannya kembali ke sofa. Ia terlalu lemah untuk melawan."Vina kurang sehat, Ja. Makanya gue ngecek suhu tubuhnya. Tadi gue nyuruh dia nganterin dokumen untuk penawaran besok. Tapi lo liat sendiri keadaannya kayak gini. Lo jangan mikir yang aneh-aneh, Ja.""Bohong! Pasti perempuan kegatelan ini sengaja pura-pura sakit, supaya dia bisa menggoda Mas Ari. Ayo ngaku lo, dasar perempuan ganjen!"Alana merangsek maju, dan bermaksud menghajar Vina. Sedari pertama kali menjejakkan kakinya
Brian bersiul. Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban seperti ini dari mulut Rajata. Selingkuhan Aria? Menarik. Bria mendekati pasiennya. Bersiap memeriksa keadaannya. Brian memicingkan mata kala pandangannya membentur seraut wajah yang sepertinya tidak asing baginya. Saat masuk tadi, ia hanya menatap sekilas sosok gadis yang tergeletak diam ini. Dan kini saat ia memperhatikan dengan seksama, ia seperti familiar dengan garis-garis wajah sensual ini. Suatu pemikiran melintas di benaknya. Brian berdecak. Wajah Dina ternyata. Mantan istrinya Reyhan."Ia orang siapanya Dina, Ja? Mukanya plek ketiplek dengan si Dina." Brian meraih tas dokternya. Mengeluarkan stetoskop untuk memeriksa pasien cantiknya."Adik kandungnya Dina. Lo nggak liat kalau mukanya bagai pinang dibelah dua dengan si Dina? Bukan hanya wajah. Kelakuannya juga sama," dengkus Rajata kasar. Seumur hidupnya ia terbiasa dicekoki dengan perempuan-perempuan mani
Vina yang baru kembali dari warung, saat melihat ada sebuah gerobak bakso di depan rumahnya. Ternyata ayahnya serius saat mengatakan bahwa dirinya ingin berjualan bakso keliling. Vina memandangi gerobak bakso itu dengan seksama. Gerobak bakso ayahnya ini terlihat rapi dan fungsional. Terbuat dari aluminium yang jauh lebih ringan dan juga dilengkapi dengan tabung gas dan kompor. Di bagian atasnya terdapat sebuah etalase kecil yang berfungsi untuk menyimpan berbagai macam bumbu. Seperti kecap manis, saos, sambal dan yang lainnya. Di bagian steling kaca atas, difungsikan untuk menyusun bahan baku bakso sehingga lebih menarik oleh pembeli.Secara keseluruhan gerobak bakso ini fungsional dan sempurna. Masalahnya Vina tidak tega membayangkan, ayahnya yang dulunya berpenampilan rapi dan necis, harus mengendarai gerobak bakso bermotor untuk berjualan seperti ini.Bayangkan saja, dulu ayahnya mempunyai 8 gerai bakso terkenal. Nama bakso Pak Kum
"Eh, Bang Rayhan. Vina sedang menebus obat, Bang." Vina refleks berdiri. Ia kaget sekaligus rikuh. Hubungannya dengan Reyhan kini sudah berubah. Reyhan bukan abang iparnya lagi."Menebus obat? Kamu sakit, Vin? Sakit apa?" Reyhan memandangnya prihatin."Bukan, Bang." Vina menggeleng. Ia benar-benar gugup saat Rajata terus saja menatapnya tajam dari balik punggung Reyhan."Bukan? Oh Bapak atau Ibu ya yang sakit?" tebak Rayhan. Vina kembali menggeleng."Bukan, Bang. Yang sakit Mbak Di--Dina," jawab Vina gagap. Hening. Reyhan seketika tampak rikuh. Wajar, membicarakan mantan istri bukanlah topik yang nyaman untuk dibahas. Istimewa membahasnya dengan mantan adik ipar."Oh," guman Reyhan singkat. Kalimatnya itu menginsyaratkan kalau Reyhan tidak ingin membahas masalah Dina lagi."Bang Rey sendiri ngapain di sini? Demi membunuh Kecanggungan, Vina m
"Lo beneran mau resign ya, Vin? Kenapa? Bukannya lo bilang kalo gaji di sini itu gede?" Suci membisikinya saat melihatnya tengah mengajari Ruby, penggantinya di perusahaan. Ruby sebenarnya adalah staff baru di divisi II. Rajata yang memilih langsung sebagai penggantinya."Iya, Ci. Ntar deh pas makan siang di kantin gue ceritain semuanya," Vina balas berbisik. Suci mengangguk dengan air muka yang tidak puas. Wajar saja. Suci adalah teman terdekatnya di perusahaan. Pasti ia merasa heran, karena tidak ada angin, tidak ada hujan, ia tiba-tiba saja ingin resign. Istimewa Suci mendengarnya dari mulut Putri.Setelah Aria menyobek two weeks notice resignationnya, ia memang langsung menemui Rajata, setelah ia membuat surat resign yang baru. Namun jeda waktunya berbeda. Jika sebelumnya ia membuat two weeks notice regisnation, maka kali ini ia membuat one weeks notice resignation saja. Ia berpikir, semakin cepat ia keluar dari perusahaan ini maka
Vina menarik napas panjang beberapa kali, sebelum mengetuk ruang kerja Aria. Ia tahu, kemungkinan ia akan dibantai oleh dua naga sekaligus di dalam sana. Hanya saja ia tidak mengira kalau Aria kali ini akan berkolaborasi dengan Rajata.Apa yang terjadi, terjadilah. Bissmillahirohmanirohim! Vina mengetuk daun pintu. Ketika terdengar sahutan masuk dari dua orang secara bersamaan, Vina pun memutar pegangan pintu.Kedatangannya langsung disambut dengan air muka ganas dari Aria dan Rajata. Keduanya tengah membolak-balik beberapa dokumen penawaran tender, yang kemarin ia berikan pada Aria untuk ditandatangani."Selamat siang, Pak Aria, Pak Rajata." Vina menyapa dua atasannya sopan. Walau perasaannya saat ini tidak karuan, tapi ia berusaha menampilkan air muka tenang. Ia tidak ingin dua orang di hadapannya ini mengetahui kegamangannya."Duduk." Alih-alih membalas sapaannya, Aria langsung memerintahkannya
"Ibu duduk dulu. Dengarkan Vina baik-baik. Setelah itu barulah Ibu boleh mengecam Vina, kalau menurut Ibu tindakan yang Vina ambil ini salah."Vina meraih bahu ibunya. Mendudukkannya pada sofa panjang satu-satunya, di samping ayahnya. Sementara dirinya sendiri duduk bersimpuh di hadapan kedua orang tuanya. Ia ingin memohon ampun atas kesalahan yang tidak sengaja ia perbuat. Ya, dirinya memutuskan untuk menceritakan asal muasal penyebab masalah ia resign atau dipecat, atau apapun sebutannya.Ia tidak mau menyembunyikan apapun pada kedua orang yang paling mencintainya di dunia ini. Ia mengerti tidak semua orangtua mampu bersikap bijaksana. Contohnya ya kedua orang tuanya ini, yang terlalu memanjakan kakaknya. Sehingga kakaknya tidak pernah mengerti apa yang disebut dengan tanggung jawab. Tapi mau bagaimana lagi. Orang tua tetaplah orang tua. Kasih mereka lebih besar dari seisi dunia."Bu, Ayah. Vina ingin minta maaf
Dua puluh bulan kemudian. Vina meraih sehelai gaun berwarna magenta berlengan balon dan dari lemari. Beserta hanger yang ia lekatkan ke dada, Vina mematut gaun tersebut di depan cermin. Pagi ini Rajata akan bebas setelah menjalani masa hukuman selama dua puluh bulan penjara. Sebenarnya Rajata divonis dua puluh empat bulan penjara dipotong masa tahanan. Rajata bebas lebih cepat karena mendapat remisi umum. Yaitu pemotongan masa tahanan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Ketentuan remisi ini adalah, Narapidana yang masa hukumannya enam sampai dua belas bulan, memperoleh satu bulan pengurangan. Sedangkan narapidana dua belas bulan atau lebih, memperoleh dua bulan pengurangan. Setelah di potong masa tahanan dan lain sebagainya, hari ini Rajata akan menghirup udara sebagai manusia bebas. Untuk itu Vina akan tampil semempesona mungkin untuk melengkapi kebahagiaan Rajata. Bagaspati Bagaskara, sudah lebih dulu Vina dandani. Bagas mengenakan paduan
Keringat menguar dari segenap pori-pori Vina, ketika ia dipapah masuk ke dalam mobil oleh ayahnya dan Mang Pardi. Setelah perekonomiam ayahnya pulih, Mang Pardi memang kembali menjadi supir ayahnya. Vina mencoba bernapas pendek-pendek sesuai yang diajarkan oleh dokter Lita sebelumnya. Vina berusaha bersikap tenang agar ayahnya dan Lita tidak panik. Padahal dirinya sendiri juga panik dan ketakutan. Ia belum pernah melahirkan sebelumnya. Perutnya yang sakit ditambah dengan suasana yang kacau seperti ini semakin menciutkan nyalinya. "Apa yang kamu rasakan, sekarang, Nak? Bayinya sudah akan lahir ya?" Pak Ramli panik ketika melihat Vina terus meremas lengannya dengan napas terengah-engah. Ekspresi wajah putrinya seperti menahan kesakitan yang amat sangat. "Rasa--rasanya perut Vina bergolak, Yah. Cucu A--ayah sedang mengamuk, ingin segera melihat dunia." Walau perutnya mulas luar biasa, Vina masih berupaya bercanda. Suci yang duduk tepat di sebelah Vina meringis. Sahabatnya ini memang l
Vina bermimpi. Ia tengah berlari-lari di pantai Pulau Nusa sebelum ombak besar menggulungnya ke dalam pusaran tak berdasar."Bangun, perempuan sombong!" Vina tersentak dan seketika gelagapan ketika air dingin menyiram wajahnya.Ini bukan mimpi. Ia diculik oleh Tante Rena cs.Vina mengerjap-ngerjapkan mata dan memindai sekeliling. Ia tidak mengenali tempat ini. Sepertinya para komplotan orang sinting ini telah memindahkan lokasi eksekusi ketika ia pingsan saat melihat penembakan Arman.Arman? Di mana Arman? Vina memindai sekeliling namun ia tidak mendapati jejak Arman di mana pun."Jasad Arman sedang on the way ke sini. Nah itu dia!" Tante Rena seperti bisa membaca pikirannya. Ketika Tante Rena meneriakkan kata itu dia, Vina tercekat. Aria, anak Hendro dan Sarah terlihat menggotong-gotong tubuh tidak berlumuran
Setengah jam sebelumnya.Suci tengah mendengar pemaparan Rajata tentang loyalitas karyawan terhadap perusahaan, kala notifikasi ponselnya bergetar. Suci mengabaikannya. Pasti itu adalah pesan dari ibunya. Karena waktu hampir menunjukkan pukul sembilan malam, sementara ia belum pulang ke rumah. Biasanya ia pulang kantor paling lambat pukul setengah tujuh malam.Suci memang lupa mengabarkan ibunya tentang rapat dadakan ini. Suasana tegang karena pemecatan tidak hormat terhadap Putri, Frans, Rani dan Daniel membuat seluruh staff tegang. Mereka takut kalau-kalau mereka juga ikut dipecat. Empat orang yang diberhentikan secara tidak hormat tadi siang adalah orang-orang yang membantu Aria dalam melakukan kecurangan. Frans dan Daniel adalah staff bagian keuangan. Sementara Putri dan Rani adalah sekretaris dan asisten Aria.Setelah memecat keempat staff tersebut Rajata langsung menggelar rapat dadakan. Rajata mengeval
"Man, kayaknya kita sudah berjalan lebih dari lima belas menit. Tapi tidak ada apa-apa di sekitar jalan ini. Sebaiknya kita pulang saja, Man."Vina mulai merasa ada yang tidak beres. Indra keenamnya mengatakan ada sesuatu yang salah di sini. Rasanya mustahil ada restaurant mewah di tengah-tengah perkebunan sawit begini. Sepanjang jalan yang mereka lewati hanya jalanan gelap nan sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan apalagi rumah-rumah penduduk. Entah Rajata yang salah membagikan lokasi atau Arman lah yang salah jalan. Yang pasti Vina mulai tidak nyaman dengan keadaan ini."Sabar sebentar ya, Bu? Sebentar lagi kita sudah sampai pada tujuan. Maafkan saya ya, Bu?" desah Arman lirih. Kesedihan terdengar dari nada suaranya yang lesu.Vina mengernyitkan kening. Arman bilang apa? Sebentar lagi mereka akan sampai pada tujuan? Itu artinya Arman tahu tempat yang akan mereka tuju. Lantas mengapa Arman sepanjang jalan ta
"Jadi bagaimana Pak Aria? Bapak memilih di penjara atau melepaskan saham Bapak pada PT Karya Inti Mandiri ini pada Pak Raja?"Hotman Marpaung Sarjana Hukum, memberikan ultimatum pada Aria. Saat ini dirinya bertindak sebagai pengacara Rajata, mewakili perusahaan. Aria telah terbukti melakukan korupsi dan switch pada perusahaan. Aria menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan dirinya sendiri, serta meminta komisi pada perusahaan yang ia menangkan. Aria bekerjasama dengan Putri dan staff keuangan untuk menggelapkan sejumlah besar dana perusahaan."Ini semua akal bulus lo kan, Ja? Lo pengen melenyapkan gue dari perusahaan, makanya lo mengarang bebas seperti ini!" Aria mengamuk. Ia kalah selangkah dari Rajata. Ia terlalu santai hingga akhirnya lengah. Dan si Rajata brengsek ini menyerangnya dari segala arah."Akal bulus?" Rajata mengernyitkan kening. Ia pura-pura berpikir keras sebelum melemparkan sebuah file d
Vina meletakkan sendok dan garpu. Sebagai gantinya ia memindai Tante Rena dan Sarah dari atas ke bawah. Ia sudah sering mendengar sepak terjang Tante Rena. Namun ia sama sekali tidak pernah melihat sosoknya.Untuk ukuran perempuan berusia awal empat puluhan Tante Rena ini terlihat awet muda. Nyaris seperti kakak adik dengan Sarah. Tidak heran karena usia mereka hanya berpaut tujuh belas tahun. Ditambah Tante Rena sangat fashionable, ia nyaris terlihat seumuran dengan Sarah."Nama saya Davina Bagaskara. Jangan memanggil saya dengan sebutan hai hei hai hei begitu. Sakit kuping saya mendengarnya."Rajata terkekeh. Tante Rena jumpa imbang kali ini. Vina ini berbeda dengan ibu dan juga adik perempuannya yang cenderung penakut dan labil. Sehingga mereka berdua gampang sekali dipengaruhi. Dulu setiap kali Tante Rena memamerkan keberhasilannya memikat ayahnya, ibunya paling hanya menangis pilu. Sementara Alana kecil
"Mas, coba jawab dengan jujur. Apa Mas tidak punya perasaan apa-apa setelah Mbak Sarah mengungkapkan soal kepergiannya dulu."Setelah berkendara hampir lima belas menit lamanya, Vina mengungkapkan apa yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia sudah tidak tahan diam-diaman seperti ini."Tidak, Vin. Mungkin kalau dulu Sarah langsung mengatakan alasannya, saya bisa sedikit memahaminya. Karena Sarah toh tidak bisa memilih dari rahim siapa ia dilahirkan," jawab Rajata dengan pandangan lurus ke depan. Lalu lintas sore ini lumayan padat."Sedikit memahami," Vina mengangguk-anggukkan kepalanya. Pura-pura mengerti padahal ia kesal atas jawaban Rajata."Itu artinya Mas akan menerima Mbak Sarah kalau dulu ia berterus terang tentang jati dirinya. Begitu ya, Mas?" cecar Vina lagi. Ia tidak puas dengan jawaban ambigu Rajata."Tidak seperti itu juga analoginya, Vin. Memahami bukan
Vina yang masih termenung dengan ponsel di tangan, kaget saat ponselnya kembali bergetar. Firasatnya mengatakan kalau Sarah kembali menghubunginya. Mungkin sarah ingin memamerkan keberhasilannya memikat Rajata."Ha--""Vina, ini saya. Dokter Lita dalam perjalanan menjemputmu. Kamu siap-siap ya? Sebentar lagi ia pasti akan sampai.""Menjemputku ke mana, Mas?""Ke rumah, Sarah. Saya akan menjelaskan semuanya nanti. Pokoknya kamu ke sini saja dulu."Telepon kemudian ditutup saat terdengar suara manja Sarah menawarkan minuman. Benak Vina memikirkan kejanggalan dalam masalah ini. Rajata ke rumah Sarah. Namun Rajata juga memintanya menyusul ke sana. Kalau Rajata memang ingin menjalin hubungan kembali dengan Sarah, untuk apa Rajata memintanya datang bukan? Rajata pasti mempunyai rencana lain. Vina jadi penasaran karenanya.Vina bergegas ke kamar untuk me