Seiring Zeino yang mendaratkan tubuhnya di belakang kemudi, Zefanya merogoh tas jinjingnya. Jemarinya meraih telepon genggam yang diselipkan di sela kantong. Sejurus kemudian, gadis itu terlihat sibuk mengutak-atik benda pipih yang sedang menyala. Tatapannya terlalu fokus pada layar hingga ia tak memerhatikan pemuda di sebelahnya sedang memandang ke arahnya.
Zefanya tersadar ketika mengalihkan pandangan ke depan dan mendapati jika mereka masih di parkiran kafe. Kendaraan roda empat yang mereka naiki belum bergerak. Gadis yang menoleh ke samping kanan sambil menaruh kembali telepon genggamnya ke dalam tas, mendapati tatapan Zeino yang tertuju padanya. Kedua tangan pemuda itu mencengkram setir, mesin mobil telah menyala.
“Ada apa?” tanya Zee.
Tak ada jawaban lisan dari pertanyaan singkat itu. Yang terjadi selanjutnya adalah tangan Zeino yang membuka sabuk pengaman yang telah terpasang di tubuhnya. Lalu dengan cepat ia mendekat ke arah kiri. Mereka sekarang hanya sebatas angin. Zefanya bisa mencium aroma coffee latte dari hembusan napas pemuda itu. Situasi itu membuatnya menahan napas. Meski mereka berstatus pacar, gadis itu masih merasa canggung.
“Safety belt-nya dipake!” ujar Zeino sambil menjangkau sabuk pengaman yang berada di dekat pintu. Dengan cekatan ia menarik dan memasukan tuas sabuk pada tempatnya.
“Huh, kirain mau ngapain,” gumam Zefanya lega.
“Lupa. Biasanya bonceng motor. Tumben hari ini bawa mobil,” kilah gadis itu sambil memperbaiki posisi duduknya.
“Motornya lagi di-service,” jelas pemuda itu singkat.
Bibir Zefanya mengerucut membentuk huruf O sambil mengangguk pelan. Gadis itu sudah sangat memaklumi jika seorang Zeino Ardhana lebih suka menunggangi motor sport-nya ke mana-mana dari pada mengendarai mobil.
Begitu kendaraan roda empat itu dipacu menjelajahi jalan raya yang cukup ramai, tak ada saling sahut lagi di antara kedua muda-mudi itu. Hanya terdengar alunan suara penyanyi dari radio yang sengaja dihidupkan oleh si empunya mobil. Barangkali inilah yang disebut awkward moment. Baik Zefanya maupun Zeino tak berusaha memecahkan sunyi di antara mereka. Hingga mereka tiba di sebuah rumah besar bertingkat di sebuah komplek perumahan.
Tak perlu menunggu lama, seorang penjaga terlihat tergopoh-gopoh membuka pintu pagar besi yang menjulang. Tanpa hambatan, lalu mobil berkapasitas empat penumpang itu diparkirkan sejajar dengan dua kendaraan lain yang terlebih dahulu telah berada di sana.
Zefanya tak berniat menunggu Zeino membukakan pintu untuknya, ia memilih untuk turun terlebih dahulu. Gadis itu telah melihat bayangan pemilik rumah berdiri di teras rumah.
“Akhirnya orang sibuk sempet juga kemari!” lontar Lulu dari tepian teras.
“Ayo masuk! Yang lain udah nungguin. Kirain kalian ga bakalan datang,” ujarnya lagi ketika Zeino telah menyusul langkah gadis yang baru saja disindir.
“Maaf ya, telat.” Zefanya berusaha untuk terlihat normal dengan sedikit basa-basi sambil merangkul sahabatnya itu.
Lulu menggiring kedua temannya ke taman samping. Di sana terlihat anggota geng yang lain beserta pasangan masing-masing telah mengambil tempat yang menurut mereka nyaman. Zefanya pun menyapa satu per satu muda-mudi yang sedang berkumpul itu. Mereka memang masih terlihat akrab, meski akhir-akhir ini jarang bertemu.
Sebahagian besar dari teman-teman Zefanya itu masih disibukkan dengan kuliah. Hanya dirinya, Shandy dan Jeromy yang telah diwisuda. Sementara yang lain sedang menyusun skripsi dan menyelesaikan sisa SKS. Termasuk Zeino yang jika tak ada rintangan maka ia akan meraih gelar sarjana beberapa bulan lagi.
Tanpa ragu kemudian Zefanya mencomot sepotong pizza dari kotak yang telah terbuka. Ia tak menghiraukan lagi sekelilingnya. Bahkan ia melewatkan tatapan menyelidik Lulu ke arahnya dan Zeino yang juga duduk di sebelahnya.
“Laper?”
“Uhum. Tadi pulang kerja langsung ke sini.”
“Pantes. Eh, elo ganti baju aja dulu di kamar gue. Kita mau bakar-bakaran loh, ntar lo gerah. Baju elo masih ada yang ketinggalan ‘kan di sini.”
Kepala Zefanya mengangguk. Di antara teman-temannya hanya dia yang terlihat formal memakai blazer. Kontras sekali dengan yang lain. Mereka bahkan ada yang memakai celana pendek dan baju kaus saja. Gadis itu lalu mengikuti langkah Lulu memasuki rumah. Tak biasanya Lulu menemani seperti ini. Anggota gengnya itu sangat bebas berkeliaran di rumahnya. Termasuk membiarkan Zefanya yang memang sudah tahu seluk beluk rumah besar itu untuk memasuki kamarnya yang terletak di lantai dua.
Rumah dengan konsep kekinian itu terihat sepi. Tak ada kehadiran keluarga yang lain. Zefanya tak bertanya, ia menduga jika orang tua Lulu pasti sedang berada di luar kota. Pekerjaan papa Lulu yang seorang pengusaha dan juga anggota partai sering membuatnya meninggalkan rumah untuk waktu lama. Termasuk mamanya yang bergerak di bidang yang sama. Hanya terlihat beberapa orang pelayan yang wara-wiri dari arah dapur sambil membawa perlengkapan barbeque.
“Elo lagi bertengkar, ya?” Kalimat tanya itu meluncur dari bibir Lulu tanpa menghentikan langkahnya terlebih dahulu. Mereka masih beriringan menapaki anak tangga menuju lantai dua.
Melihat Zefanya yang menghela napas panjang, Lulu kembali bertanya,” ada apa lagi sih kalian?”
“Tau tuh, dia lagi PMS kali. Sensi banget.”
Menghempaskan tubuhnya di tepi ranjang setiba di kamar Lulu, Zefanya berkeluh kesah. Semua sikap Zeino yang mulai cepat marah, suka melarang dan membuatnya tertekan terucap pada sesi curahan hati dadakan itu.
“Dia itu ga ngerti keadaan gue sekarang. Gue baru kerja, lagi masa probation, percobaan 3 bulan. Ga bisa seenaknya. Dia kayak ga ngedukung gitu. Belum lagi sekarang suka cemburuan, ngelarang ini itu. Tau ga lo, dia udah kayak laki posesif aja!”
Lulu menatap bibir Zefanya yang terus komat-kamit. Ia seperti petasan yang baru saja disulut. Terlihat sangat jelas raut wajah sahabatnya itu menyimpan beban pikiran.
“Emang harus banget ya, lo kerja di hotel itu? Ga ada kerjaan lain apa? Ya yang lebih fleksibel dengan waktu. Ga kayak sekarang. Pasti banyaklah perusahaan lain yang bakal terima lo, yang cerdas begini.”
“Kak Zeino ngomong ke elo buat ngebujuk gue pindah ke perusahaan papanya, ya?”
Sebuah gelengan berulang-ulang melengkapi kalimat sanggahan yang disampaikan Lulu. “Engga. Gue cuma pengen kalian berdua aku-akur. Toh semua masalah 'kan ada solusinya. Gue perhatiin masalah kalian itu di waktu aja. Kalian jarang ketemu, bener 'kan?”
Sebuah guling harus merasakan cubitan-cubitan kecil dari jari Zefanya yang tengah memeluk benda bulat panjang itu di dada. Lalu kembali suara gadis itu memenuhi kamar temannya itu dengan curahan hati.
“Entahlah, Lu. Gue juga ga yakin apa cuma itu masalahnya. Makin ke sini tu, gue ngerasa ga satu pemikiran sama dia. Gue ga pernah loh ngelarang dia mau jalan sama siapa aja. Gue kasih dia kepercayaan, gue selalu dukung dia untuk selesaian kuliah. Ga pernah gue ngerepotin dia harus ini itu untuk gue. Supaya apa? Supaya dia tetap bisa bergaul dengan yang lain dan konsentrasi kuliah.”
Zefanya menarik napas sebelum akhirnya berkata,” perkerjaan ini penting buat gue sebagai batu loncatan. Lagian di sana ga hanya dapat gaji doang, ada bonus uang pelayan. Disediain makan dalam jam kerja, belum lagi tips dari tamu yang royal. Dan yang paling penting ada jenjang karirnya.”
Hanya helaan napas yang terdengar dari gadis pemilik rumah mendengar isi hati tamunya itu. Lulu sangat kenal bagaimana sifat Zefanya. Dia adalah gadis yang tidak hanya cerdas, tapi juga mandiri dan berprinsip. Di balik kemauannya yang keras, sebenarnya Zee memiliki sifat yang penyayang dan selalu menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya.
Dibandingkan dengan anggota geng cewek lain yang diketuainya, secara ekonomi memang Zee tidak terlalu menonjol. Tetapi Zee tidak pernah mau menerima saja jika mereka meminta gadis itu untuk tidak mengeluarkan uang pada saat mereka membuat acara liburan bersama. Zee selalu membiayai keperluannya sendiri. Bahkan ia juga tak memanfaat Zeino yang notabene termasuk anak orang kaya.
Ayun langkah Lulu menuruni anak tangga berselisih dengan hentakan tungkai panjang milik Zeino yang setengah tergesa menaiki tangga. Tatapan mereka bertemu. Sambil mendongakan kepala pemuda yang sedang menggenggam sebuah gawai di tangannya itu menyampaikan tanya pada pemilik rumah. “Zee ada di mana, Lu?” tanya Zeino pada gadis yang berpapasan dengannya itu. “Masih di kamar. Lagi mandi,” jawab Lulu sambil menolehkan leher menunjuk arah kamarnya. “Ini, dia dicariin Bunda,” jelas Zeino sambil menunjukan telepon genggam Zee yang ada di tangannya. “Oh, ya udah sana aja, Kak. Kali aja udah selesai.” Perkataan Lulu seperti ijin untuk Zeino meneruskan niatnya. Keduanya lalu melanjutkan langkah masing-masing. Mereka sama-sama bergegas menuju arah yang berbeda. Zeino langsung mengetuk pintu sesampai di depan kamar Lulu. “Iya, ini gue udah kelar!” ujar Zefanya dari dalam kamar. Alunan suara yang dibarengi sembulan kepala dari daun pintu ya
Zefanya, gadis yang telah berganti tampilan itu kembali menjadi penumpang. Ia duduk tenang di sebelah Zeino yang sedang mengendarai mobilnya. Perjalanan sunyi tanpa kata memaksa lantunan suara merdu penyanyi dari playlist yang diputar merajai ruang itu. Kesal di dada yang memaksa Zeino untuk memilih memulangkan Zefanya lebih awal dari waktu yang diperkirakan.Candaan Dito yang mengungkit kebersamaannya dengan seorang mahasiswa baru beberapa waktu yang lalu membangkitkan emosi Zeino. Dia seakan dijadikan terdakwa atas tuduhan mendua. Padahal Zefanya sendiri mengetahui dan tidak pernah membesarkan masalah itu. Pacarnya itu cukup mengerti dengan penjelasan singkat yang ia sampaikan. Jika dia dan Talita, juniornya di kampus, hanya kebetulan bertemu. Lagi pula gadis yang baru memulai perkuliahan itu adalah anak dari kolega orang tuanya. Sehingga tak heran jika mereka sudah terlihat akrab.“Ayo habiskan. Setelah itu kita pulang.&rdq
Lampu penerangan di sepanjang jalan yang menjadi jalur lintas Zefanya menuju tempat kerjanya masih menyala. Jam digital di pergelangan tangan kirinya menunjukan angka lima menit sebelum jam enam pagi, ketika gadis dalam balutan jaket berbahan jeans itu berpamitan pada ibundanya untuk berangkat kerja. Temaram suasana kota menjelang kehadiran sang surya di ufuk timur. Semringah raut wajah gadis yang dipenuhi semangat untuk menunaikan kewajibannya.Suatu hal tak pernah disesali oleh Zefanya dalam dua bulan belakangan ini, keputusannya menerima perkerjaan yang membuat pola hidupnya berubah. Seperti saat ini, ketika hari Minggu kebanyakan penduduk bumi bermalasan untuk membuka mata, ia sudah berada di atas motor matic-nya untuk mengais rejeki. Ketika sekelompok remaja melintas sambil berlari bersama di hari libur, Zee akan menjadikan tugasnya sebagai GRO yang akan mondar-mandir di lobby hotel sebagai sarana olah raganya. Gadis itu tak akan menaruh c
Tubuh Zefanya masih terpaku di depan kanopi kafe. Kebingungan atas kehadiran Zeino di depannya membuatnya salah tingkah. Apa lagi tatapan pemuda itu terlihat sangat tidak bersahabat memandang ke arah Sammy yang sedari tadi berada di dekatnya.Belum hilang keterkejutannya, seorang pemuda lain yang baru keluar dari arah kafe semakin membuat Zefanya terpana.“Kak Jeromy!” sapa Zee yang hampir tak percaya melihat pacar Lampita itu.“Eh, Zee. Kebelet tadi, numpang ke toilet.” Dengan wajah cengengesan pemuda berkaca mata itu berkata sambil menggaruk rambutnya.“Hmm, Bang Sammy duluan aja, ya. Aku mau ketemu temen dulu,” ujar Zee pada Sammy.Tentu saja gadis itu tak ingin berlama dengan pria yang pasti akan dipertanyakan oleh Zeino.“Oh, ya udah. Bye, Zee!” pamit Sammy yang bernama asli Samuel.Tak
Sebuah motor sport berwarna hitam legam meluncur membelah jalan aspal yang menuju area salah satu kampus universitas swasta terkenal di kota. Begitu kuda besi itu berhenti di pelataran parkir, kedua pengendara yang masih mengenakan helm turun bergantian dari sadel. Begitu penutup kepala itu terbuka, terlihat pasangan muda-mudi yang berinisial sama ‘ZA’ itu segera merapikan rambut dan tampilan mereka sebelum melanjutkan langkah ke tujuan.Menepati janjinya, hari Senin ini Zefanya yang sedang libur bekerja menemani Zeino untuk melakukan bimbingan skripsi. Gadis itu memang sengaja mempersembahkan hari libur yang seharusnya untuk beristirahat dari lelah bekerja untuk memperbaiki hubungannya yang sedang kurang harmonis dengan Zeino.Walaupun sebenarnya ia sendri belum mengerti standar harmonis yang seharusnya seperti apa. Karena jika dirunut sejak mereka dijodohkan, hubungan mereka seperti air yang mengalir mengikuti alur yang mereka
Melengkung senyum di wajah Zeino yang telah ditutupi helm ketika sepasang tangan gadis di boncengan merengkuh pinggangnya. Ada rasa yang ingin meledak di hatinya ketika teringat bagaimana reaksi Zefanya ketika melihat Talita berada di dekatnya. Berbeda dengan saat ia dan adik kelasnya itu tak sengaja kedapatan sedang berada di café oleh pacarnya itu, kali ini Zee menampakan rasa memilikinya. Gadis itu tanpa malu-malu bergelayut manja di lengannya dengan tatapan lurus pada perempuan yang menghampiri.“Ternyata kamu bisa cemburu juga ya, Zee,” gumam Zeino.Kuda besi hitam legam itu terus melaju meninggalkan sorak – sorai anggota geng lainnya yang sengaja menjadikan pasangan ZA itu sebagai objek candaan. Kedatangan Zefanya ke kampus yang baru ditinggalkannya beberapa bulan, tentu saja masih mendapat sambutan yang hangat dari teman-temannya yang sedang berusaha merampungkan studinya. Termasuk dari para dosen yan
Kembali Zefanya tak bisa menyimpulkan apa yang sedang terjadi dengan hubungan pertemanannya dengan Zeino. Satu hari yang mereka lewati kemarin tak secara otomatis menjelaskan semuanya. Gadis itu menganggap kebersamaan mereka adalah quality time tanpa meributkan rutinitas keduanya yang sering bertolak – belakang.“Ga ada ngomong serius, Bun. Habis dari kampus, kita pergi ke pantai, makan doang.”Begitu Zefanya menjawab pertanyaan dari ibundanya ketika pagi hari di meja makan. Seperti kebiasaan ibu dan anak itu memulai hari.“Tadinya Zee mau bicara, Bun. Tapi ga jadi, lagi males. Ntar malah bertengkar lagi.” Zefanya bersungut mengakhiri kalimatnya.Ibu Kartika, wanita yang telah menjadi orang tua tunggal bagi kedua anak gadisnya sejak Zefanya anak bungsunya berusia dua bulan itu, hanya melempar senyum. Wanita paruh baya itu memang sangat terbuka dengan kedua anak
Tatapan mata Zefanya dan Zeino bertemu tatkala daun pintu yang memisahkan mereka terkuak. Keduanya menarik garis senyum di wajah mereka.“Kak Zeino duduk dulu ya, aku mau ambil tas.”Seiring anggukan, pemuda itu menghempaskan tubuhnya di kursi yang berada di teras rumah. Sementara Zee melangkah masuk untuk meneruskan niatnya. Selang berapa lama kemudian, gadis pemilik rumah yang tampak berpenampilan santai dengan rambut tergerai, menghampiri dengan membawa segelas air minum.“Diminum dulu, Kak.”“Kamu yakin bisa datang ke pestanya itu, Zee?” tanya Zeino setelah menyeruput setengah air di dalam gelas.“Hmm apa maksudnya bertanya seperti itu?” gumam Zee yang mengira ada niat lain dari pertanyaan itu.“Kebetulan hari itu, aku jadwal pagi. Acaranya malam 'kan, ya?”Zei
Untuk apa menunggu, jika yang kau mau telah ada di hadapanmu. Untuk apa menunda jika hanya bersamanya kau merasa bahagia. Untuk apa meragu jika hanya dia yang ada di hatimu. Untuk apa bersama jika tak ada ikatan yang sah dan nyata. Kali kedua sepasang anak manusia itu membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Sesaat setelah pembukaan showroom berbulan-bulan yang lalu, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memenuhi komitmen pekerjaan dan meresmikan ikatan cinta setelahnya. Sekarang ketika menjalani hubungan jarak jauh, keduanya berusaha mempersingkat jarak. Dan upaya itu bersyarat, harus berlabel sah jika tetap memaksa. Memang lebih cepat dari apa yang mereka rencanakan. Tentu belum semua sempurna seperti angan. Namun apa tolak ukur sempurna itu perlu ketika ada rasa terpenuhi dengan apa yang ada di tangan? Keraguan karena ketakutan akan terulang sejarah pahit dari orang-orang terdekat, tak seharusnya menjadi pemata
Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Zeino, Zee tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bukan karena grogi, ia sudah sering berkunjung ke sana, tapi kali ini Zee tak bisa menghalau kecemasannya. Kepergok oleh orangtua Zeino saat mereka sedang berpelukan, membuat Zee gundah dan malu. Zeino berusaha menenangkan Zee. Genggaman jemarinya tak lepas meski sebelah tangannya harus memegang kemudi. Zeino sendiri tak bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh papanya, hingga meminta mereka menyusul ke rumah. Sesampai di kediamannya, Zeino melangkah pasti dengan tak membiarkan Zee menarik genggaman jemarinya. Keduanya memasuki ruang tamu namun tak menemukan Handoko di sana. Seorang pelayan yang datang menghampiri memberitahu jika mereka diminta menunggu di ruang kerja. Pilihan ruang kerja sebagai tempat bertemu tentu memberi kesan berbeda. Zee merasakan ada hal serius yang akan dibicarakan. Dan tentu akan ada hubungannya dengan kejadian di kan
“Kamu pasti tahu, untuk membuka cabang showroom di daerah utara, penjualan harus setengah break even point dulu. Kalau tidak, harus ada sumber dana lain.” “Pa, modal kita yang terpakai hanya setengah. Karena yang di sini ada kerjasama dengan Pak Sony. Zei, mau ijin Papa untuk pakai dana yang tesisa untuk memulai buka cabang di wilayah utara.” “Belum cukup Zei. Harga tanah dan bangunan di wilayah utara cukup tinggi. Apa mau kerjasama lagi dengan Pak Sony.” “Kali ini cukup kita saja, Pa.” “Lalu kamu mau dapat tambahan modal dari mana?” “Waktu kunjugan ke kantor lisensi, ada pihak bank yang menawarkan kredit usaha. Beberapa hari ini Zei pelajari, bunganya cukup rendah. Zei akan coba ini, Pa.” Handoko tak langsung menanggapi. Pria paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi hitam di atas meja. Menyeruput perlahan lalu menaruh kembali cangkir porselen itu ke tempat semula. “Coba kamu buat proposalnya. Papa mau pelajari
Memenuhi janjinya, Zee menerima kunjungan Batara Bramantyo di restoran hotel sambil sarapan. Gadis itu tak sendiri, tentu Zeino ada di sampingnya. Keduanya menempati sebuah meja yang berkapasitas empat orang. Dua buah kursi masih belum ditempati. Tak lama berselang sejak kedatangan mereka, seorang pria datang mendekat. Pria itu dibalut stelan baju kerja formal lengkap dengan jas dan dasi yang senada. Terlihat ia mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru restoran. Ia mengukir senyum begitu menemukan sosok yang dicarinya. Pria yang tak lain adalah Batara Bramantyo itu disambut dengan baik oleh sepasang muda-mudi yang terlihat berdiri sambil menyapa dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak Batara.” Zee menyapa terlebih dahulu. Lalu menyusul Zeino mengakat tubuhnya dari kursi. Mereka saling berjabat tangan. “Pagi. Apa kabar kalian?” Percakapan basa-basi sekedar pembuka bicara itu berlangsung singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan bincang santai sambi
Kecenderungan anak laki-laki akan lebih dekat pada ibu daripada ayah, sepertinya berlaku pada Zeino. Pemuda yang sangat irit bicara apalagi mengungkapkan isi hati pada orang lain itu, perlahan memang lebih terbuka pada Utari, sang ibu. Tentu sikapnya itu tak lepas karena tanggapan Utari yang bisa disebut sangat menerima kehadiran Zee sebagai orang terdekatnya. Malam ini sebelum berangkat menenuhi undangan perusahaan lisensi, Zeino berbincang dengan Utari di sudut taman rumah. Hanya ada mereka berdua. Handoko masih ada kegiatan di luar bersama rekan bisnisnya. “Jadi karena alasan Talita akhirnya kamu membawa Zee ikut serta?” tanya Utari yang kemudian mendengar tentang Talita yang mengadu pada mamanya tentang Zeino yang tak berangkat bersama. Tentu saja Silvia langsung menghubungi Utari untuk merubah semua rencana Zeino. “Salah satunya karena itu, Ma. Ini juga sekalian mau meyakinkan Zee tentang pilihan tempat kerjanya yang baru nantinya.” “Zee jadi pin
“Jadi, elo tetep pindah kota?” Kedua bola mata Rayesa semakin membulat mendengar cerita Zee. “Kak Zeino ngijinin?” tanyanya lagi. Terlihat Zee menganggukan kepala. “Serius?” Kali ini terlihat raut tak percaya terpampang di wajah Lulu. “Bakal LDR-an 2 tahun?” Lampita ikut menimpali. “Iya.” Akhirnya Zee bersuara tak hanya sekedar menggoyang kepala turun naik. “Tujuh ratus tiga puluh hari loh, Zee. Ga bakal ketemuan, gitu?!” timpal Lampita setelah bermain hitung-hitungan dengan jemarinya. “Ya ga gitu juga kali ngitungnya. Emang jadi TKW ga pulang-pulang 2 tahun. Kan ada hari libur, cuti. Aku bisa pulang. Ato Kak Zeino yang nyamperin.” Zee dan teman-teman gengnya menyempatkan diri untuk bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing. Lulu yang masih harus memutar otak untuk mendapat restu, Rayesa yang sudah mulai bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi dan Lampita yang menjalankan bisnis onlinenya. Mereka mengh
Senja telah menelan semesta. Lenyap kuasa cahaya sang surya berganti sinar rembulan yang belum bulat sempurna. Ditemani setitik sinar yang berpijar tanpa jeda, sang bintang kejora. Zee dan Zeino beranjak dari Panorama. Keduanya kembali berkendara meninggalkan sepenggal percakapan yang masih diakhiri tanda koma. “Sudah gelap, kita cari makan dulu, ya.” Sebuah restoran yang berada tak jauh dari Panorama menjadi pilihan Zeino. Restoran itu juga memiliki pemandangan lepas ke arah pusat kota karena terletak di dataran yang cukup tinggi. “Kita udah pacaran berapa tahun ya, Zee?” Zeino membuka percakapan lagi sambil menunggu pesanan mereka datang. “Berapa tahun, ya? Ngitungnya dari kapan? Bingung.” Zee menerawang. Kilas peristiwa pertemuan pertama mereka bermain di pelupuk mata. Mereka berdua sering bertemu ketika Lulu dan Dito saling mengunjugi fakultas masing-masing. Atau ketika mereka mengajak bertemu di luar kampus. Baik Zee maupun Zeino
Bagaimana pun untuk menghalau resah, perasaan tetaplah hal yang gampang diombang – ambing oleh kenyataan dan peristiwa. Hal itu yang sedang dirasakan Zee saat ikut menghadiri peresmian showroom. Dari sejak menginjak pelataran parkir, ia sudah tak asing dengan pemandangan yang ditemuinya. Pemandangan yang hampir sama, pernah dilihatnya melalui mimpi. Perlahan satu-satu per satu rekaman alam bawah sadarnya menyesuaikan di alam nyata. Tepat ketika momen yang membuat resah, Zee memutuskan untuk menjauh. Jujur, ia tak punya keberanian untuk mendengar langsung jika kalimat-kalimat yang meluncur dari keluarga Zeino dan Talita setelah keberhasilan mereka berdua membuka showroom akan benar-benar terucap. “Jadi setelah showroom selesai, kita bisa lanjutkan dengan proyek masa depan kalian. Bagaimana? Kapan? “Kalian sudah cocok, bisa buka bisnis bersama. Jadi berumahtangga juga akan bisa sama-sama.” Zee tak tahu apa benar akhirnya ada percakapan seperti itu di de
Zee mematut diri di depan kaca rias. Pagi ini ia tengah bersiap untuk hadir di acara peresmian showroom sepeda motor yang dipimpin Zeino. Proyek kerjasama, yang menurut Zee penuh drama itu, akhirnya berdiri juga. Tubuh semampainya telah berbalut seragam showroom yang khusus dipesan Zeino untuknya. Berbeda dengan tampilannya ketika menjadi GRO yang harus berblazer dan baju long dress dengan belahan di samping, kali ini Zee terlihat lebih casual. Ia mengikuti gaya pegawai showroom yang memang lebih santai dalam seragam lengan pendek warna hitam atau putih dengan bordiran logo di sana-sini. Seragam itu memang disukai Zeino dari pada padanan dasi dan jas yang terkesan kaku. Agar tak terlalu santai, rambut Zee yang biasa dicepol jika berkerja, sekarang dikuncir agak tinggi seperti gaya genie. Tak lupa riasan ringan untuk acara outdoor di pagi hari menghias wajahnya. Setelah merasa puas dengan tampilannya di kaca, Zee segera turun untuk menikmati sarapan bersama ib