"Kenapa kamu tidak menjawab teleponku semalam?" Tiba-tiba suara Mischa mengagetkan Ibra dan juga Zahrana. Zahrana langsung masuk ke dalam kamarnya, sedangkan Ibra berdecak kesal dengan Mischa yang tiba-tiba datang dan berteriak."Ada apa kamu pagi-pagi datang kemari?" tanya Ibra berjalan pergi meninggalkan Zahrana dab Mischa, gadis itu mengejar sepupunya keluar rumah."Ish, orang bicara itu di perhatikan. Kenapa kamu pergi begitu saja." kata Mischa mensejajarkan langkahnya dengan Ibra."Ini sudah siang, aku harus bertemu Joni di kantor." kata Ibra masuk ke dalam mobilnya.Tapi pintu mobil Ibra di tahan oleh Mischa, hingga gadis itu mendapat tatapan tajam dari sepupunya."Apa sih kamu?""Dengar dulu, papa bilang kamu harus datang ke Singapura." kata Mischa."Kenapa om beritahu sama kamu, bukannya langsung saja menghubungiku?" tanya Ibra heran."Kamu di hubungi susah, dan terbukti tadi malam aku meneleponmu malah di abaikan." kata Mischa."Memang ada apa papamu memintaku datang ke Sing
Zahrana memikirkan apa yang di ceritakan oleh Bi Iyam tentang Ibra. Kartu nama di tangannya masih dia pandangi, di bolak balik beberapa kali. Tapi tak bisa membuat kegelisahannya berhenti memikirkan tentang Ibra."Apa benar dia ayahnya Raka? Lalu, apa yang harus aku lakukan?" gumam Zahrana.Matanya masih menatap kartu nama di tangannya, lalu beralih pada balita yang sedang tidur nyenyak di sampingnya. Tangan Zahrana mengelus kepala Raka, menciumnya beberapa kali. Dia sangat menyayangi anak itu, tiba-tiba air matanya meleleh mengenai pipi gembul Raka Tapi kemudian di usapnya cepat agar anak kecil itu tidak terusik karena air matanya. Zahrana mendekap erat tubuh mungil Raka, masih dalam isak tangisnya dia merindukan kakaknya Rania."Kakak, apa kamu tahu? Aku hampir menemukan papanya Raka. Tidak, aku sudah menemukan papanya Raka. Kamu menyembunyikan semuanya bahkan tidak mau cerita karena papanya Raka orang kaya, bahkan sangat kaya. Aku sudah tahu kak, hik hik hik. Dia papanya Raka, tua
Sejenak Zahrana melupakan kegelisahannya tentang siapa papanya Raka dan dia belum sempat menceritakan siapa papanya Raka itu. Yang Bi Iyam tahu, Raka bukan anaknya Zahrana. Dan gadis itu memutuskan untuk tidak menceritakan semuanya, yang Bi Iyam tahu Raka adalah keponakan Zahrana dan dia meminta pada perempuan itu merahasiakannya."Kasihan sekali kamu Zahra, kamu di usir oleh warga kampung karena kakakmu." kata Bi Iyam menatap Zahrana yang sedang menyuapi Raka.Bi Iyam pergi ke dapur lagi, memasak makanan untuk Tuan Arta. Hari ini laki-laki tua itu mau di buatkan bubur ayam, dan Bi Iyam akan membuatkan bubur ayam untuk majikannya. Sekaligus nanti buat keponakan Raka juga, pikirnya.Sementara itu, Zahrana selesai menyuapi anak laki-laki itu. Dia langsung menuju dapur, mengambil makanan untuk Tuan Arta."Sudah selesai Bi, buburnya?" tanya Zahrana."Sudah nih, tapi masih panas." jawab Bi Iyam."Ya sudah biar Bi, nanti di dalam juga dingin. Tuan Besar pasti sudah lapar." kata Zahrana.Dia
Dokter Samuel datang ke rumah Ibra, hari Minggu ini Dokter tersebut akan memeriksa perkembangan Tuan Arta. Setelah satu bulan tidak ada kabar tentang kesehatan pasiennya itu, karena setiap kali Ibra di tanya tentang kakeknya. Laki-laki itu selalu menjawab kakeknya baik-baik saja, bahkan semakin lancar bicara dan juga jalannya.Sejak dia menyuruh tukang membuat trak jalan berkerikil di halaman belakang, kakeknya sering jalan-jalan di belakang di temani Zahrana. Dia senang akhirnya kakeknya sudah sehat seperti biasanya, meski belum bisa keluar rumah.Dokter Samuel sampai di rumah Ibra, dia langsung menuju ruang kerja sahabatnya itu. Mengetuk pintu ruangan tersebut dan langsung melangkah masuk ke dalam ruang kerja Ibra. Dia melihat Ibra sedang menelepon seseorang.Dokter Samuel duduk di hadapan Ibra, melirik jam di tangannya lalu menatap laki-laki yang masih menelepon."Oke, aku tunggu laporan kamu Joni." kata Ibra mengakhiri sambungan teleponnya.Klik!Ibra meletakkan ponselnya di meja,
Zahrana mempersiapkan semua pakaian dan perlengkapan yang di butuhkan oleh Tuan Arta. Dia menyiapkan semuanya, tanpa terkecuali bukiu-buku yang biasa di bacanya. Juga obat-obatan herbal maupun kimia dari dokter."Apa kamu benar-benar tidak mau ikut ke Singapura, Zahrana?" tanya Tuan Arta."Tidak Tuan, saya ingin pulang saja ke kampung." kata Zahrana."Sayang sekali, padahal aku bisa mengajakmu jalan-jalan di sana." kata Tuan Arta lagi."Maaf Tuan Besar, saya ingin pulang. Sudah satu tahun lebih saya tidak pulang ke kampung." kata Zahrana."Ya, baiklah. Mungkin benar kata Ibra, kamu butuh liburan sendiri juga tanpa merawatku setiap hari. Nanti saya minta suster saja di sana." kata Tuan Arta lagi.Zahrana menyelesaikan persiapan bawaan Tuan Arta di kopernya. Besok majikannya itu berangkat ke Singapura selama satu minggu atau lebih bersama dengan Ibra."Apa anda membutuhkan sesuatu lagi Tuan?" tanya Zahrana merapikan kerudungnya yang miring."Tidak sepertinya, oh ya. Semua obatku sudah d
Zahrana bingung, dia dapat wanti-wanti oleh Tuan Arta agar kembali lagi setelah pulang kampung itu. Dia masih menimbang apakah akan kembali lagi atau tidak, masalahnya dia takut Ibra semakin dekat dengan Raka dan akan mengetahui tentang kartu nama itu.Maka dia akan mencari tahu siapa pemilik kartu nama tersebut.Di seruputnya teh manis hangat di meja makan. Matanya menatap kosong cangkir berisi teh manis hangat itu. Bi Iyam memperhatikan apa yang di lakukan Zahrana, kemudian ikut duduk di sampingnya. Zahrana menoleh pada Bi Iyam, bibirnya menipis kemudian menarik napas panjang."Apa yang kamu pikirkan?" tanya Bi Iyam."Aku ingin pulang Bi." jawab Zahrana."Kan kamu sudah bilang sama Tuan Besar, mau pulang. Lalu, kenapa bingung begitu?" tanya Bi Iyam."Ingin pulang selamanya." jawab Zahrana."Apa? Kenapa ingin pulang selamanya? Bukankah kamu betah tinggal di rumah ini? Dan paman serta bibimu? Apakah mereka akan mengusirmu lagi?" tanya Bi Iyam."Entah Bi, aku belum tahu. Aku akan tingg
"Ayah om unda, ayah om unda."Ucapan seperti mengigau Raka membuat Zahrana dan mbok Lastri kaget, keduanya saling pandang."Ayah om? Siapa dia Neng?" tanya mbok Lastri."Itu majikanku Mbok di kota, dia sudah dekat dengan majikanku. Jadinya panggil sesuka hati dia, aku kesal sih. Tapi dia masih saja panggil begitu." kata Zahrana memeluk Raka dan mengusap kepalanya."Mungkin dia rindu sosok ayah, Neng." kata mbok Lastri.Zahrana diam, dia menatap wajah tampan Raka. Sepertinya benar apa yang di katakan mbok Lastri itu, tapi dia tidak mau dekat dengan Ibra."Unda, ayah om." kata Raka lagi."Iya, ayah om lagi liburan. Raka juga liburan di sini ya." kata Zahrana.Anak itu bangkit dari duduk di pangkuan Zahrana, menatap sekeliling tangannya mengucek matanya. Dia berjalan berkeliling rumah Mbok Lastri itu, melihat keluar dan senyum lebarnya mengembang."Unda, itu ada mainan mobil jelek." kata Raka menunjuk mainan mobil-mobilan yang sudah rusak."Iya biar aja, Raka lapar ngga? Bunda bawa roti
Ibra membawa kartu nama yang dia temukan di atas ranjang Zahrana. Pikirannya di penuhi pertanyaan demi pertanyaan tentang kartu nama dan Zahrana. Kenapa bisa kartu nama itu ada di atas ranjang Zahrana dan di belakangnya tertulis nama seseorang.Kakinya menaiki tangga satu persatu dengan cepat. Langkahnya seperti berat tapi dia ingin cepat masuk ke dalam kamarnya."Aku tidak tahu siapa perempuan itu, kenapa dia bisa punya kartu namaku?" ucap Ibra setelah dia sudah berada di dalam kamarnya.Langkahnya mondar mandir di kamarnya, mengingat semua kejadian yang ada di rumahnya selama satu tahun ini. Mengingat apakah Zahrana pernah masuk ke dalam kamarnya dan mengambil kartu namanya, lalu menuliskan nama anaknya itu di kartu nama tersebut.Kembali kartu nama itu di pandangi, membolak balikkannya beberapa kali sambil mengingat apa pun yang berhubungan dengan kartu nama di tangannya. Mengingat wajah Raka, mengingat Zahrana dan seperti familiar dengan wajah gadis itu."Siapa Zahrana itu? Kenapa
Hari demi hari kedekatan Mischa dan dokter Samuel semakin baik. Mereka hidup satu rumah layaknya suami istri sesungguhnya, karena memang mereka pasangan suami istri. Tidak ada kekakuan dari sikap keduanya, Mischa sudah berani bermanja atau bercanda dengan suaminya.Dokter Samuel senang, kini Mischa terlihat manja padanya meski masih malu-malu. Dia juga senang setiap hari berangkat kerja di antar sampai depan rumah, dan pulang dari rumah sakit Mischa sudah ada di rumahnya. Kalau pun Mischa pulang terlambat karena sedang di luar, pasti dia menelepon lebih dulu.Kedua sejoli yang sedang mabuk cinta, tapi masih gengsi untuk mengungkapkan. Kini sedang santai menikmati liburan hari Minggu di rumah. Dokter Samuel mengisi libur Minggunya renang di rumahnya di bagian belakang. Mischa menemani di kursi panjang sambil memainkan ponsel, sesekali memotret suaminya diam-diam ketika sedang berenang.Dokter Samuel pun mendekat pada istrinya, dia duduk di samping dengan tubuh dan wajah yang basah."Ka
Mischa nyaman dalam pelukan dokter Samuel malam ini, makanya dia diam saja tanpa bergeming ketika pelukan suaminya semakin mengerat. Memang awalnya tertidur pulas, tapi gerakan tubuh Mischa membuat dokter Samuel semakin mengeratkan pelukannya."Apa kamu nyaman seperti ini?" tanya dokter Samuel.Tak ada jawaban, hanya gerakan pelan dan hati-hati dari tangan Mischa. Dokter tampan itu membuka matanya, melihat wajah Mischa matanya bergerak-gerak. Wajahnya mendekat, mencoba untuk mencium pipinya apakah ada penolakan atau tidak dari istrinya.Tapi tidak ada penolakan, justru tubuh Mischa menegang ketika ciuman dokter Samuel di pipinya tidak juga lepas. Wajah itu mengarah pada bibir Mischa dengan pelan, mengecupnya beberapa kali. Namun tetap tidak ada perlawanan dari istrinya, seperti memberikan sinyal kalau perlakuannya itu di izinkan untuk terus melakukan eksplor pada wajahnya.Posisi dokter Samuel berubah menjadi di atas, tangannya mengelus pipi Mischa yang halus. Wajahnya turun ke bawah,
Sikap dokter Samuel yang berubah manis dan sedikit romantis akhir-akhir ini membuat Mischa jadi berpikir lagi tentang hubungannya dengan suaminya itu. Ternyata, memang harus terbiasa untuk menumbuhkan rasa cinta di hatinya agar bisa memperbaiki hubungannya dengan suaminya.Duduk di depan cermin, menyisir rambutnya yang sebahu. Masih dengan mengenakan handuk kimono setelah mandi. Dia kini sudah jarang minum-minuman dan juga keluar malam hari, sejak dokter Samuel mecium bibirnya malam itu dan selalu mengecup keningnga ketika mau berangkat ke rumah sakit. Bagi Mischa itu sikap yang manis yang belum dia rasakan, terkadang dia merasa berdebar ketika sikap manis suaminya itu."Apa dia mencoba untuk mengambil hatiku?" gumam Mischa menatap wajahnya sendiri di pantulan cermin kaca.Tok tok tok.Pintu di ketuk dari luar, Mischa bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu. Membukanya dan tampak bi Sumi berdiri tersenyum tipis."Apa nyonya mau menyambut tuan dokter?" tanya bi Sumi."Oh, dia
Mischa diam saja, dia terpaku ketika dokter Samuel mengecup keningnya. Matanya menatap punggung suaminya yang berjalan menjauh meninggalkannya untuk pergi ke rumah sakit. Dia menarik napas panjang, lalu di lihatnya meja makan hanya ada roti panggang serta air putih dalam teko bening.Mischa mengambil gelas lalu mengisinya dengan air dalam teko. Di minumnya air tersebut, masih diam setelah meminum air."Nyonya mau sarapan sekarang?" tanya bi Sumi."Apa tuanmu itu sudah sarapan?" tanya Mischa."Sudah nyonya, bahkan minum kopi juga sudah." jawab bi Sumi."Jadi dia sudah minum kopi? Kok dia minta lagi sama aku?" tanya Mischa."Mungkin tuan dokter pengen di layani nyonya, sudah beberapa minggu tuan sebenarnya ingin di layani istrinya. Yaitu nyonya, tapi tuan dokter tidak sampai hati membangunkan nyonya kalau pagi hari." kata bi Sumi lagi."Kenapa tidak mau bangunkan? Tinggal bangunkan saja kenapa tidak enak hati?" ucap Mischa."Tuan dokter tidak mau merepotkan, lagi pula ..." ucapan bi Sum
Malam pertama di lewati begitu saja oleh dokter Samuel dan Mischa. Dokter tampan itu justru tidak mau melakukan hubungan suami istri jika Mischa sendiri tidak mau. Tapi mereka pun telah kembali ke rumah dokter Samuel, karena memang Mischa sudah jadi istri dokter Samuel.Bahkan dokter Samuel memberikan penawaran pada Mischa apakah dia akan tidur terpisah di kamar lain, bukan di kamarnya sendiri."Jadi kamu mau tidur di kamarku atau di kamar tamu?" tanya dokter Samuel ketika mereka sampai di rumah besar itu."Baguslah, kamu tidak memaksaku untuk tidur satu kamar. Aku pilih di kamar tamu saja, di mana kamarnya?" tanya Mischa."Oke, nanti bi Sumi yang akan merapikan kamar tamu itu. Tunggu saja, dia pasti datang kesini." kata dokter Samuel.Laki-laki itu meninggalkan Mischa menuju kamarnya. Dia ingin segera mengganti bajunya setelah semalam tidak berganti baju karena lupa tidak membawa baju, tahu begitu dia menyuruh pembantunya datang ke hotel membawakan baju-bajunya. Tapi waktu sudah mala
Ibra tersenyum ketika sepupunya meminta tolong padanya untuk membukakan kancing baju pengantinnya. Dokter Samuel menatapnya, kemudian menyeruput kopi yang dia pesan juga."Apa dia yang meneleponmu?" tanya dokter Samuel."Ya, dia meminta bantuanku untuk melepas kancing bajunya. Dia pikir aku ini laki-laki tidak normal?" ucap Ibra."Hei, apa kamu juga tertarik dengan sepupumu sendiri?" tanya dokter Samuel sedikit cemburu."Kenapa dia minta tolong padaku? Cepat sana pergi ke kamarmu! Dia butuh bantuanmu." ucap Ibra tersenyum sinis karena dokter Samuel seperti cemburu padanya."Dia terlalu angkuh dan gengsi tidak mau minta bantuan padaku, kenapa minta bantuan padamu.""Ya, karena dia gengsi. Makanya dia minta bantuan padaku, sebagai laki-laki jantan harusnya kamu segera pergi ke kamar dan menolong istrimu yang sedang kesusahan. Kupikir kamu bisa langsung mengajaknya bercinta malam pertama kalian." ucap Ibra."Dia terlalu angkuh, makanya aku pergi sendiri ke sini." ucap dokter Samuel."Lep
Dalam kamar pengantin, dokter Samuel atau pun Mischa keduanya sibuk masing-masing dengan ponselnya. Sesekali dokter Samuek melirik ke arah istrinya, moodnya tiba-tiba rusak ketika tahu Mischa masih saja mengkonsumsi minuman beralkohol.Mischa melirik suaminya yang begitu tenang tanpa mengganggunya. Biasanya jika pengantin baru yang normal, maka mereka akan melakukan apa saja yang membuat mereka dekat dan saling membutuhkan. Meski ada kecanggungan, tapi Mischa melihat suaminya tenang-tenang saja."Apa dia seorang suami yang baik? Kenapa diam saja." gumam Mischa melirik dokter Samuel yang sedang menelepon sekarang."Halo?""....""Oh, ya. Ya dokter Boyke, saya cuti beberapa hari. Mungkin hanya lima hari saja, hahah.""....""Waah, tidak tahu. Saya belum berencana kesana, hahah!""...."Mischa masih memperhatikan suaminya menelepon dengan santai dan senang. Dia berdecak kesal, kenapa sejak di bawa masuk paksa bahkan di tarik tangannya justru di dalam malah di diamkan. Tangannya bersedeka
Mischa dan dokter Samuel menyambut tamu yang hadir, tidak menyangka tamu undangan yang datang sebagian adalah dokter dan para perawat serta petugas di rumah sakit dokter Samuel bertugas. Ada juga doktet-dokter lain dari rumah sakit lain yang di kenalnya dan sering bertemu ketika seminar.Begitu juga rekan bisnis tuan Arta juga kedua orang tua Mischa. Gadis itu sendiri tidak banyak mengundang temannya, tapi juga ada yang memaksa datang karena ingin bertemu dengan Mischa."Jadi kamu jodohnya dengan dokter, Mischa?" tanya teman kuliahnya dulu ketika mereka berkumpul dengan teman satu angkatan kuliahnya, hanya beberapa."Ya, jodoh tidak tahu yang kita dapatkan sih." jawab Mischa menenggak minumannya.Dia ingin minuman beralkohol meski, tapi tidak di sediakan oleh pihak hotel. Itu mungkin orang tuanya yang melarang menyediakan minuman beralkohol."Tapi kamu dulu bercita-cita ingin dapat jodoh seorang arsitektur. Edward, teman kita dulu dia sekarang seorang arsitek terkenal. Karyanya banyak
Keputusan tuan Arta tidak bisa di ganggu gugat oleh siapa pun. Baik Mischa atau pun dokter Samuel, dan laki-laki itu pusing bukan main. Dan kali ini, dia masih berada di rumah Ibra setelah lamaran terpaksanya pada tuan Arta untuk meminta Mischa jadi istrinya.Belum lagi Sintya justru tidak datang ketika lamaran dadakan dan terpaksa itu di lakukan. Alasannya dia tidak bisa pulang ke Indonesia karena pekerjaannya belum selesai. Dan kini, dokter tampan itu duduk lesu di ruang kerja sahabatnya.Ibra menatap sinis, tapi sekaligus kasihan karena terlihat lesu sekali. Belum lagi tekanan dari kakeknya agar segera menikah secepatnya."Bagaimana bisa kakekmu menyuruhku menyiapkan semuanya dalam satu minggu ini menikah. Semuanya serba mendadak, apa ini acara bedah rumah atau uang kaget yang semuanya serba mendadak dan cepat." ucap dokter Samuel."Kamu pikir dulu aku juga mendadak menikah, dua pernikahanku semuanya mendadak. Itu bisa di lakukan, kamu cuma izin rumah sakit untuk mendadak menikah.