Sepulang dari rumah sakit, atas persetujuan keluarga pula, aku dan Farhan kembali mengemas barang-barang paling penting dan membawanya ke rumah mama dan papa. Perabotan yang baru beli pun sengaja kami tinggalkan untuk menambah nilai jual rumah. Tak ada iklan yang dipasang, hanya pemasaran dari mulut ke mulut.
Sebelum sidang lanjutan digelar, rekanan papa dengan cepat membeli rumah itu. Syukurlah sesuai harga pasar serta langsung dilunasi, meskipun dijual cepat. Lokasinya memang strategis di tengah kota dan dekat dengan perkantoran, sehingga banyak peminatnya.
Sore menjelang petang ini aku sedang duduk-duduk di teras bersama mama. Sejak pindah ke rumah mertua beberapa hari lalu serta pengajuan resign disetujui, aku memang semakin banyak menghabiskan waktu bersama paruh baya itu. Kini status kami adalah sama, yaitu ibu rumah tangga yang menunggu suaminya pulang kerja. Sejauh ini tidak begitu buruk, tapi entah nanti setelah kesibukan bertambah pas
“Berarti sidangnya sudah bisa lebih lancar, dong?”“Doain aja ya, Ra! Tadi sih dia melalui pengacaranya menerima semua tuduhan dan setuju bercerai. Terpaksa sepakat juga sama tawaran gana-gini yang kuberikan,” papar Farhan seraya menangkup wajahku yang kini duduk di sampingnya. “Maaf ya, harusnya aku bisa buat Kamu nyaman, malah jadi kena imbasnya begini. Dia beralasan kalau saat dengannya dulu aku mulai dari nol, jadi sama Kamu juga harus sama, dari nol juga. Padahal dulu juga gak nol-nol banget.”Kuulas senyum sembari menggenggam sebelah tangannya yang berada di pipiku. “Aku gak masalah, bahkan kalau Kamu bersedia, aku bisa bantuin. Tabunganku masih ada, mobil yang di rumah ayah itu sebenarnya mobilku. Kalau Kamu butuh, bisa diambil, kok,” usulku yang serta merta mendapatkan gelengan Farhan.“Sudah benar mobil itu tetap di sana, biar dimanfaatkan ayah, ibu, sama Ezra, kita bisa beli lagi nanti, tapi sabar,
Untuk pertama kalinya dalam hidup ini aku merasa seperti berada di ambang kematian. Keringat sebesar biji jagung membasahi tubuh ini, terutama dahi. Padahal ruangan tempatku berada saat ini terpasang pendingin udara yang suhunya disetel sangat rendah. Sudah hampir dua jam aku berada di ruang bersalin, mengikuti arahan para petugas medis yang sedang membantu menyelamatkan dua nyawa.Subuh tadi secara tiba-tiba pinggangku terasa begitu nyeri sekaligus kram pada perut bagian bawah.“Ma, perutku kok sakit banget, ya? Melilit, terus pinggang juga rasanya kayak mau copot,” ceritaku pada mama tak lama setelah Farhan, papa, dan Dina berangkat bekerja.“Sering, gak?” tanya mama memastikan.Aku menggeleng, karena rasanya memang timbul tenggelam.“Mungkin kontraksi palsu, Za. Biasa itu kalau sudah masuk trimester ketiga,” jelas mama berusaha menenangkanku. “Kamu istirahat aja, abis ini Mama kompres air hangat bi
‘Bagaimana jika kalian salah memahami dan anak itu memang adalah anakku?’Kalimat Nayla tiba-tiba mengetuk memori dan seketika membuatku cemas. Aku juga baru teringat akan sengketa di mana Nayla menginginkan hak asuhnya. Tidak, aku tidak akan membiarkan siapa pun memiliki anak ini kecuali aku sendiri. Karena itulah, Farhan kuminta mendekatkan telinganya pada bibirku.“Jangan lupa mintakan izin tes DNA, aku gak mau anakku statusnya diragukan oleh siapa pun. Dia adalah anakku,” bisikku lugas.Kadar posesifku pada bayi ini melonjak tajam. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu bersama dengannya, akulah bundanya. Dia yang tidak tahu perjuanganku sejak sebelum hamil hingga detik ini tidak berhak mengaku sebagai ibunya.Farhan menyunggingkan senyum lalu mengusap peluh yang masih tersisa di pangkal rambut. “Dia anak kita, hanya Kamu bundanya,” ujar Farhan meyakinkan. “Tapi, demi ketenangan kita semua sekaligus alat bukti
Belum ada sepuluh menit sebagian besar orang di ruangan ini keluar. Namun, rasanya seperti sudah berbulan-bulan saat kecemasan mendominasi isi kepala.“Dia gak akan mengambil Faza ‘kan, Ma?”“Bagaimana kalau dia berhasil merebut anakku, Bu?”“Ma, belum ada kabar juga dari luar?”“Apa yang terjadi di sana, Bu?”Berkali-kali aku bertanya dengan cemas pada mama atau ibu, tapi mana mungkin mereka mengetahuinya, karena sejak awal memilih menemaniku. Para pria ataupun Dina yang tadi mengejar Nayla belum ada yang kembali untuk bisa ditanyai.Sungguh, aku sangat takut hal buruk akan terjadi. Coba saja dia berani mengambil Faza dari kami, aku tak akan pernah diam lagi. Dia anakku, anak yang baru beberapa menit menghirup oksigen di bumi ini dan masih sangat butuh perawatan. Aku benar tak akan segan membunuh Nayla atau siapa pun jika sampai mengusik anakku.“Istighfar, Za, serahka
“Bagaimana?” tanyaku tak sabar.“Jangan khawatir lagi, kami bisa mengatasinya,” bisik Farhan seketika membuatku lega.“Papa gak tahu kalau ternyata mereka bisa sepicik itu. Mendidih darah rasanya waktu dengerin mereka selalu mengklaim sebagai pihak yang benar,” curah hati papa memberikan laporan.“Mereka masih gak mau nyerah, Mas?” tanya mama penasaran dan papa menggeleng.“Untung saja polisi bersedia menjadi penengah dan sampai hasil tes DNA keluar, mereka akan menjaga Faza di NICU. Tidak boleh ada yang menemui Faza kecuali petugas yang berwenang, itu pun harus izin polisi dulu,” jelas papa.“Tapi aku boleh ketemu ‘kan, Pa? Faza masih butuh ASIku,” tanyaku.“Boleh, tapi Kamu yang harus ke NICU, gak boleh keluar dari ruangan itu.” Farhan yang menjawab.“Alhamdulillah.”Tak apa belum bisa ke mana-mana, asal kami tidak dipisahkan
Rasa ingin membalas setiap orang yang pernah menyakiti adalah perasaan yang manusiawi. Hanya saja, setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk menyikapi sebuah luka. Begitupula dengan kami. Di satu titik kami ingin membalas segala tuduhan, fitnah, serta ancaman Nayla, tapi di sisi lain kami tidak ingin mengotori tangan dan menjadi satu level dengannya.Lagi pula, kami percaya jika balas dendam terbaik adalah menjadi lebih bahagia daripada orang yang sudah menyakiti. Itulah yang selama satu bulan ini kami lakukan. Menjalani hidup dengan sebaik-baiknya bersama Faza, putra kami yang secara hukum dan medis telah benar-benar sah dinyatakan sebagai anak biologisku dan Farhan.“DNA bayi atas nama Faza Lathief Maheswara 99,99% sesuai dengan sampel ibu A yang merupakan ibu biologis bayi dan tidak ada kecocokan dengan sampel B. Sampel A sebagai ibu biologis Bayi merupakan milik ibu yang bernama Zahira Aiziah.”Begitulah kalimat yang diucapkan ol
Dua hari kemudian, meski sibuk dengan pekerjaan, tetapi Farhan tetap menyempatkan waktu untuk menemaniku mengantar Faza check up sekaligus imunisasi. Sebenarnya aku sudah mendaftar, tapi tetap harus antre bersama dengan orang tua bayi lainnya. Kami menunggu di bangku dekat counter para perawat. Meski tak berniat menguping, ternyata kami masih mampu mendengar pembicaraan para tenaga medis tersebut. “Tahu gak kalau dokter Dion sudah bebas?” “Dokter Dion obgyn?” “Iya, yang mana lagi?” “Yang bener? Kapan?” “Bukannya dia dituntut malpraktik?” “Gue juga cuma denger selentingan dari para dokter sih, katanya kurang cukup bukti, jadi bebas dari tuduhan.” “Kok bisa? Padahal kasusnya sampai viral ‘kan, meskipun gak secara langsung nyebut nama dokter Dion?” “Iya, loh! Baru kali ini kayaknya ada kasus yang bingung siapa ibunya, bukan bapaknya si anak. Istimewa.” Ketengokkan kepala, menatap Farhan yang sedang terdiam. Tanpa menyuarakan tanya, sepertinya ia sudah tahu maksud dari tatapanku,
Hari ini waktu rasanya lambat sekali berjalan. Mungkin sudah ratusan kali kutengok jam dinding di ruangan ini, tapi dari tadi masih saja menunjukkan pukul tiga sore. Masih ada dua jam lagi sebelum waktunya pulang kantor. Meski jarak tempat ini dengan rumah tak terlalu jauh, tetap saja kemacetan membuat perjalanan bisa sangat memakan waktu.Jika sedang sangat ingin cepat seperti ini, aku selalu ingat pada gerutuan istriku. Dia tidak suka menggunakan mobil pribadi di jam sibuk, katanya lebih nyaman menggunakan transportasi umum meskipun berjubel. Begitulah Zahira, perempuan yang sudah melahirkan putraku dua bulan lalu. Hari ini aku rindu sekali pada keduanya.Kuraih intercom di atas meja yang baru saja berdering. Terdengar suara Ardhan, asisten yang membantu pekerjaanku mengingatkan jadwalmeetingsore ini. Posisiku saat ini adalah direktur pemasaran yang langsung diawasi oleh papa sebagai direktur utama.“Dhan, tol
“Nay,” panggil mbak Zahira bernada prihatin. Ia juga mengusap bahuku yang bergetar menahan perih yang sedang kualami. “Ini adalah hukuman untukku setelah begitu jahat pada kalian, Mas, Mbak. Aku minta maaf, aku menyesal,” timpalku yang semakin tidak tahu malu mengucapkan maaf bertubi pada keduanya. “Semua pasti ada hikmahnya,” balas mbak Zahira menenangkanku. “Kenapa kalian baik sekali dan tidak membalasku? Aku malu,” ungkapku kemudian. “Kami tidak membalas bukan berarti tidak pernah marah atau sakit hati padamu, Nay, tapi kami juga bukan Tuhan yang bisa mengadili kesalahan orang lain. Memang berat, tapi kami belajar untuk ikhlas. Dendam hanya membuat hati terbebani,” jelas Mas Farhan dengan tatapan teduhnya. Aku mengangguk setuju, karena memang itulah yang kurasakan saat dulu bertubi-tubi menyakiti mereka dengan dalih sakit hati. Tak ada keuntungan yang kudapat selain gana-gini, itu pun sekarang sudah hilang dicuri orang. “Mas, aku mau membuat pengakuan,” ujarku kemudian sambi
“Ayo masuk! Barusan Nayla dicek sama perawat, Alhamdulillah katanya sudah semakin baik,” ujar papa menyambut dua tamu yang kian mendekat pada brankar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Masih belum siap rasanya bertemu dengan mereka. Rasa bersalah dan malu beruntun menghantam bahkan sejak sebelum melihat pasangan itu. “Nay, ini ada Farhan sama Zahira,” ujar papa sambil menepuk bahuku. “Papa tahu Kamu gak tidur, ayo disapa! Bukannya Kamu mau minta maaf sama mereka?” bisiknya tepat di telinga hingga mau tidak mau aku pun membuka kelopak mata. Mereka, dua orang yang sudah sangat kusakiti demi bisa bersatu dengan kak Dion. Tak sanggup rasanya menunjukkan wajah ini. Namun, aku sangat yakin jika mereka datang bukan untuk menambah penderitaanku. Mas Farhan, mbak Zahira, jika aku tidak salah menilai, mereka bukanlah sosok pendendam. Bahkan saat aku bertubi menyakiti, mereka tak pernah membalas. Bisa-bisanya aku menyakiti orang sebaik mereka. “Kami baru tahu semalam kalau Kamu mengalami
“Ayo, sesuap lagi terus obatnya diminum biar cepat pulih!”Papa mengulurkan sendok berisi bubur khas rumah sakit dengan tangan tuanya. Kerutan di kulit itu baru kusadari telah bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Betapa abainya aku selama ini pada satu-satunya pria yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa syarat. Salah paham bahkan membuatku sempat membenci dan menjauhinya.Selama hampir satu bulan dirawat di rumah sakit pasca kecelakaan di Puncak yang kupikir akan merenggut nyawa ini, papa tak sehari pun absen menjagaku. Bahkan Ibun yang kupikir selalu ada untukku belum tentu setiap hari menjenguk. Datang pun paling hanya satu dua jam, lalu pergi lagi.“Sudah kenyang, Pa, langsung minum obat saja,” tolakku menutup mulut.“Sekali lagi!” desak pria berusia kepala enam dengan sebagian rambut memutih tersebut.Kuhela napas panjang sambil mengerucutkan bibir tanda protes. Namun, papa tidak luluh hingga akhirny
Tak terasa sehari sudah aku berkutat dengan desain pakaian untuk koleksi terbaru. Pukul delapan malam aku baru sampai rumah yang kak Dion beli sebelum kami menikah. Beberapa lampu sudah tampak menyala memberikan penerangan. Mobil kak Dion juga sudah berada dicarport.Tumben, biasanya aku yang lebih dulu sampai di rumah, karena ia praktik sampai jam sembilan malam.“Kak!” sapaku setelah membuka pintu ruang tamu.Pemandangan tak biasa segera memenuhi mata. Tas, snelli, hingga stetoskop kak Dion berceceran di lantai. Pria itu juga kutemukan tengah mencengkram rambutnya di atas sofa dengan penampilan yang berantakan. Kaleng-kaleng bir bergelimpangan di atas meja, membuat aroma alkohol menguar tajam.“Kakak kenapa?” tanyaku beringsut mendekat padanya dan meraih bahu kak Dion.Saat kepalanya terangkat, kekacauan di wajah tampan itu semakin jelas terlihat. Matanya pun merah, tetapi menatap kosong.“Nay,&rd
Kuhela napas panjang dengan dengan hati yang diselimuti oleh kekecewaan. Untuk kesekian kalinya gumpalan berwarna merah menunjukkan jejak di celana. Lagi-lagi usaha kami untuk mendapatkan keturunan ternyata harus tertunda. Celana pun segera kuganti dan tak lupa tampon ikut terpasang untuk menampung darah bulanan yang keluar.“Kak, gagal, aku bulanan lagi,” aduku tepat setelah menutup pintu kamar mandi.Di depan cermin rias sana suamiku menghentikan kegiatannya merapikan rambut. Kepalanya menengok dan seperti yang kuduga, wajah tampan itu menunjukkan rasa tidak suka setelah mendengar laporanku.“Kok bisa?” tanyanya tidak masuk akal.“Ya mana aku tahu? Memangnya aku bisa mengontrol kapan haid dan kapan harus hamil?” dengkusku seraya menjatuhkan tubuh di atas peraduan kami.Ia berdecak seraya berkacak pinggang lalu menyuarakan kegundahannya. “Mama pasti bakalan ngomel lagi kalau tahu.”“Teru
“Kamu mau aku gituin juga?” tanyanya menawari, membuatku mengernyit. Perempuan ini malu-malu, tapi liar juga ternyata. Mengejutkan. “Memangnya bisa?” tanyaku sangsi. “Ajari, Kamu sukanya yang gimana?” balasnya sambil menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresinya yang semakin membuatku membuncah. Senyumku tak diberi kesempatan untuk luntur. Mumpung sudah ditawari, tak mungkin kutolak. Jadi, kuurungkan niat membuka sendiri celana dan mendekat pada istriku. “Bukain, setelah itu manjain dia,” ujarku meminta. Walau awalnya ragu, sampai juga tangannya pada celanaku. Diturunkannya perlahan, membuatku menahan napas berkat rasa yang membuncah. Ia sempat terkesiap saat tubuhku pun sama polosnya. Kepalanya mendongak, menatapku seperti kucing yang sedang meminta bantuan. Kuraih tangannya lalu menukar posisi hingga kini akulah yang berada di bawah, tetapi setengah duduk. Setelah itu kuajari Ira cara untuk menyenangkanku. Sentuhannya yang amatir anehnya mampu menerbangkanku ke atas awan. Tak
Sebelah tangan menahan tengkuk Ira, sebelah lagi menekan tomboloff remote TV. Bukan hanya aku yang modus menyentuh dengan dalih pijatan, istriku pun sengaja memilihfilmyang ternyata memang sesuai dengan judulnya. Misteri thriller yang dibumbui adegan panas tokoh utama pada beberapascene.Tak ada lagi suara lain di kamar ini selain decapan ciuman kami yang saling bersambut. Sepertinya inilah hasil dari latihan kami selama ini. Istriku sudah lebih luwes membalas pagutanku, bahkan tanpa aba-aba pun ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.Perlahan kurebahkan tubuhnya hingga telentang dan mengungkungnya di bawahku. Suhu udara semakin naik, AC telah kehilangan wibawanya. Deru napas meningkat, begitupula dengan degup jantung yang berangsur semakin cepat.Lengan Ira mengalung di leher dan seperti biasa ia mulai mengacak rambutku saat sudah terbawa suasana. Jika biasanya saat tanganku menjelajah Ira akan memekik terke
Setelah makan malam serta membersihkan alat makan bekas pakai bersama-sama, kami kembali ke kamar. Bukan langsung melakukan kegiatan yang sudah diberi lampu hijau oleh istriku, tetapi untuk menjalankan salat Isya serta dua rakaat sunnah.“Net*flix, yuk!” ajakku sembari melipat sajadah, mengalihkan kegugupan yang sekali lagi tampak dari gelagat istriku.Sudah seperti anak perawan yang mau malam pertama saja, padahal sudah punya anak. Eh, tapi bisa dikatakan Ira memang masih gadis, sih. Aku terkekeh dalam hati.“Yuk!” sahutnya antusias. “Sambil ngemilcakeyang Kamu beli tadi. Tunggu sebentar, aku ambil dulu,” lanjutnya seraya menyimpan mukena.“Yes, sugar rush!” selorohku.“Apaan, sih?” Istriku berdecak sambil menggelengkan kepala kemudian berlalu ke arah pintu.“Sekalian isi kadoku tadi dipakai,” pekikku mengantar kepergiannya.&l
“Boleh ‘kan? Aku menginginkanmu, Sayang,” jujurku dengan degup jantung bergemuruh, menunggu jawaban Ira yang tak kunjung terucap.Apa ia masih ragu padaku? Apa ia masih belum bisa menerimaku setelah tubuh ini pernah dinikmati oleh wanita lain? Mungkinkah Ira seidealis itu, padahal kini aku hanyalah miliknya?Bergemingnya wanita itu membuatku semakin bertanya-tanya. Namun, hati ini sangat yakin jika Ira tak akan seperti itu. Kenapa? Karena jika ia keberatan, pasti akan memilih berpisah dariku walau ada Faza di antara kami.Meskipun Ira juga kerap kali tidak peka pada orang lain, tapi ia adalah tipe perempuan yang tahu apa yang dirinya inginkan. Apa pun risikonya, akan ia hadapi. Ya, aku yakin ini hanya masalah waktu dan kesiapan Ira saja.“Aku lapar, makan malam dulu,” ujarnya melepas kaitan jemarinya di balik leherku. “Sebentar lagi Isya terus kita salat, baru setelah itu kita bicarakan lagi keinginanm