Home / Romansa / Yuk, Nikah! / Tentang Semua

Share

Tentang Semua

Author: Renti Sucia
last update Last Updated: 2021-09-02 03:34:13

Pagi kembali menyapa seperti biasa. Saat membuka mata, ingatan semalam—tentang Gina menghubungiku—kembali terngiang di benak. 

“Mas, ini Gina ....”

Aku hanya terdiam saat mendengarnya. Suara itu masih sama seperti dulu, halus dan membuat jantungku berpacu. Seketika, potongan-potongan memori yang telah lama terkubur oleh waktu pun kembali menyembul ke permukaan. Hanya butuh waktu beberapa detik hingga potongan yang berserakan itu kembali menyatu, memperlihatkan bagaimana kami merajut kasih selama bertahun-tahun. 

Hatiku terasa sakit, kala semua momen mulai tergambar jelas, terutama saat hari pertunangan yang berakhir dengan pengkhianatan. Suaraku kelu, dadaku tiba-tiba terasa sesak, mual dan pusing menyerang. Aku dilanda kecemasan hebat. Walau begitu, ponsel masih menempel di telinga, seakan tak rela menekan tombol 'Mengakhiri percakapan'. 

“Gam?! Gam?!” Remang-remang suara Fadlan terdengar. Kurasakan tangannya menyentuh punggung, sehingga membuat kesadaran pikirku perlahan kembali.

Spontan panggilan pun kuakhiri. 

“Masih melek, Gam?” tanya Fadlan.

“Iya, mau tidur sekarang, ngantuk.” Hanya itu yang kukatakan. 

Untungnya Fadlan tak curiga. Dia pun kembali melanjutkan tidur. 

Sejenak aku berpikir bahwa mungkin aku sedang bermimpi, atau berhalusinasi. Namun, semua terasa nyata. Pikiranku kalut, membuat banyak pertanyaan. Kenapa dia menghubungiku? Untuk apa? Ada apa? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya dalam benak yang tak mungkin kutanyakan padanya. 

Aku tak ingat jam berapa bisa memejam mata. Hanya saja, beberapa kali aku terbangun karena mimpi buruk mendatangiku. Akibatnya aku sampai kesiangan. Fadlan membangunkanku setengah enam pagi, dan menyuruhku melaksanakan ibadah dua rakaat.

***

Seperti hari-hari sebelumnya, hawa pagi berpolusi menemani rutinitasku yang siklusnya itu-itu saja. Namun, tak membuatku bosan dan malah aku menikmatinya. Setelah menyeduh kopi moka instan, aku duduk di bangku teras depan kamar kost. Tak lama Fadlan keluar dengan penampilan berbeda. Seperti orang yang mau pergi jogging.

“Mau ke mana, Lan?” tanyaku heran. 

“Ya, mau larilah. Masa mau kuli di hari libur,” sahutnya sambil melakukan peregangan tangan.

“Tumben? Gak ada angin, gak ada ujan, tiba-tiba mau olahraga," celetukku. Dahiku mengerut.

Fadlan bukanlah tipe orang yang suka olahraga, aku tahu itu. Hidup bersama dengannya selama tujuh tahun membuatku mengenal dia cukup baik. 

“Vivi mau lari hari ini,” ucap Fadlan sambil memperlihatkan postingan status di aplikasi hijau di ponsel miliknya.

“Hmm, pantesan. Awas nanti cuaca langsung berubah,” godaku sambil nyengir. 

Fadlan berdecak, “Asem!”

Aku tergelak, tetapi tidak dengannya. Rautnya menampakkan kekesalan luar biasa.

“Usaha, kan, perlu. Aku mau mulai PDKT,” terangnya penuh percaya diri. Dia pun pergi dari hadapanku.

Aku hanya menggeleng sambil tertawa. Namun, selang beberapa detik kemudian aku kembali ingat akan sosok Gina. Parasnya yang cantik membuatku kembali terhasut untuk mengingat kenangan bersamanya. Heran, aku ini terkena pelet atau apa? Setahun lamanya berusaha melupakan, dalam satu hari saja keteguhanku runtuh. 

“Bang?!” Suara nyaring terdengar di telinga.

Aku terperanjat, dan sadar dari lamunan. Kulihat Vivi sudah ada di hadapan wajahku dengan jarak dekat. Lagi-lagi aku hanyut dalam lamunan sendiri sampai tidak menyadari kedatangan Vivi.

“Vivi?! Ngagetin aja!” sentakku sambil mengelus dada.

“Idih, siapa yang ngagetin?! Abang aja yang budeg, ga denger panggilan Vivi. Malah ngelamun. Awas kesambet setan!” 

Aku menatap nyalang, “Sembarangan kalo ngomong, nih, bocah!” tegasku sambil mendorong kepalanya mundur. Dia pun ikut duduk di bangku.

“Yaelah, Vivi becanda doang. Mikirin apa, sih, sampe ga nyadar Vivi datang?” tanyanya. Kali ini dia tampak serius.

“Gak ada,” kilahku sambil tersenyum. Berusaha menyembunyikan kegundahan di hati yang muncul sejak mendengar suara Gina semalam.

“Bohong, ya? Abang pasti ada masalah. Sini bilang. Jangan dipendem. Nanti jerawatan,” tawarnya dengan mimik serius meski diiringi candaan.

Seperti biasa, Vivi bisa menebak kalau aku berbohong. Dia bagaikan dukun sakti yang bisa membaca pikiranku. Entah mungkin karena kami sudah lama saling kenal, sehingga dia bisa memahamiku, atau hanya asal menebak.

“Gak ada, Vi.”

“Mulut bisa bohong, mata Abang gak bisa bohong. Ada apa? Jujur aja kali bang.”

“Gak ada, beneran.” Aku berusaha meyakinkan. Vivi diam sambil memicingkan mata.

Saat melihat Vivi, aku menyadari satu hal. Bukannya dia mau lari pagi?

“Vi, bukannya mau lari pagi?” tanyaku memastikan.

“Tadinya mau, tapi gak jadi. Soalnya temenku gak jadi. Kalau sendirian, Vivi gak mau,” terangnya.

“Oh ....” Perasaanku jadi tak enak. Bagaimana dengan Fadlan?

“Kenapa emangnya? Eh, tapi Abang tau dari mana?” Dia malah bertanya balik.

Aku gelagapan, “Liat di story, tadi.”

Vivi mengangguk.

“By the way, lagi galau karena perempuan, ya, Bang?” tanyanya sambil menautkan kedua alis tipis tapi simetris miliknya. 

Aku menatap manik-manik beningnya lekat. Bulat, dan bulu matanya lentik. Irish coklatnya meneduhkan pandangan. Tak kusangka dia adalah bocah yang dulu sering mengadu padaku saat masih berseragam SD. Sekarang, setelah dia beranjak dewasa, aku yang malah sering mengadu tentang permasalahanku padanya, dan dia yang nanti akan membantuku menyelesaikan masalah tersebut.

Aku menghela napas dalam satu tarikan dan mengeluarkannya perlahan. 

'Baiklah, Vivi. Biarkan aku percaya kepadamu untuk kedua kalinya. Izinkan aku mengeluarkan semua yang mengganggu pikiranku. Biarkan aku melepas bebanku dalam bentuk cerita singkat padamu. Agar perasaanku lebih baik dan tak terbebani lagi.'

“Bang?” Vivi menyentuh bahuku. Menatap dengan sorot yang meyakinkan. 

Aku tersadar, dan mulai bercerita.

“Dia nelepon Abang, semalam, Vi.” Jantung yang berpacu saat mengucap 'Dia' pun semakin menghentak, seolah baru saja meledak.

Vivi diam. Ia tak bereaksi apa pun setelah ucapanku barusan. Mungkin dia belum sepenuhnya paham dengan apa yang kuucapkan.

“Dia ...? Siapa?” tanya Vivi penasaran.

“Gina,” jawabku singkat. 

Vivi diam dengan ekspresi yang tak bisa kujelaskan. Matanya tak berkedip, dan menatap lurus padaku. 

“Dia? Perempuan itu?! Mau apa?” Vivi bertanya dengan raut wajah datar.

Aku menggeleng, “Aku langsung menutup teleponnya setelah tau itu dia. Kami tak saling bicara.”

Setelah mengatakannya, Vivi tak berusaha menelisik lebih dalam lagi, mengorek sedikit saja tidak. Mungkin karena bosan mendengar tentang Gina atau apa. Aku tak tahu. Jelasnya, Vivi memang tidak suka kepada Gina sejak tahu aku dikhianati setahun lalu.

“Kenapa diam, Vi?”

“Abang seneng dia nelepon?” Entah perasaanku saja atau bukan, Vivi tampak sinis.

“Seneng? Enggak, tuh. Malah mood-ku terasa buruk setelah denger suaranya,” sangkalku. Padahal, dalam sebagian perasaan yang bercampur aduk, ada secuil ego yang membuat aku sedikit rindu. Ya, hanya sedikit. 

“Bagus, deh.” Vivi memperlihatkan senyum terpaksanya. Dugaanku, dia mungkin memang tidak suka kalau aku membicarakan tentang Gina.

Setelah itu aku mengalihkan pembicaraan. Bertanya tentang sekolah Vivi. Suasana pun kembali mencair seperti biasa, dan raut wajah Vivi kembali sumringah. Kami tergelak bersama saat saling berbagi cerita konyol yang pernah dialami. Tak terasa pembicaraan kami ternyata sudah berlangsung kurang lebih lima belas menit lamanya. 

Tawaku terhenti seketika, saat melihat Fadlan menatap kami dari jarak sekitar sepuluh meter. Dia tampak lesu dengan rambut yang agak mengkilap, mungkin karena basah oleh keringat. Sorot matanya mengarah padaku. Entah mengapa tatapannya itu seolah mengeluarkan aliran listrik bertegangan tinggi. Vivi yang baru menyadari kedatangan Fadlan pun menghentikan tawanya.

“Eh, Bang Fadlan, habis lari pagi, ya?” sapa Vivi sambil tersenyum.

Fadlan mengalihkan pandangan pada Vivi, dia tersenyum getir.

Ingin rasanya aku tertawa mendengar pertanyaan Vivi itu. Dia tak tahu kalau Fadlan sengaja lari pagi untuk bisa 'Pendekatan' dengannya. Namun, di sisi lain aku jadi tegang, takut Fadlan salah paham.

“Kalian ....”

Dia cemburu pastinya.

Bersambung ....

Related chapters

  • Yuk, Nikah!   Cemburu!

    “Diem terus, kenapa, sih?” tanyaku pada Fadlan saat mulai menyadari sikapnya sedikit berubah. Rasa penasaran itu kian mencuat. Apa dia mendiamkanku karena kejadian di teras tadi pagi?“Ah, nggak apa-apa. Mungkin efek lapar.” Sanggahan yang tak masuk di akal. Namun, aku mengangguk saja, seolah percaya dengan ucapannya.“Oh, kalau gitu, aku beli makanan dulu ke depan, ya? Kebetulan kita belum makan siang.” Aku menawarkan diri untuk membeli makan. Fadlan menganggukkan kepala tanpa bicara sepatah kata pun.Akhirnya aku pergi ke warteg langganan yang tak jauh dari rumah Nyak Marni. Seperti biasa, Mpok Latifah—pemilik warteg—menyambut kedatanganku dengan ramah saat aku tiba.“Mpok, yang biasa,” pintaku saat memesan lauk dengan nasi. Mpok Latifah yang sudah hafal dengan pesananku pun segera membungkus nasi serta lauknya.“Ini, Gam.” Mpok latifah memberikan satu kantong p

    Last Updated : 2021-09-02
  • Yuk, Nikah!   Mengubur Masa Lalu

    Kupikir, dalam kurun waktu satu tahun aku sudah berhasil melupakan Gina. Namun, terkadang rindu masih saja datang, dan aku tetap meyakinkan diri bahwa aku sudah melupakannya meskipun itu tidak benar.Sempat terlintas keinginan 'tuk pergi ke tempat yang lebih jauh agar semua sisa perasaan ini terlupakan. Salah satunya menjelajah negeri dan mendaki gunung. Namun, semua tak bisa terlaksana, mengingat pekerjaan di perusahaan tak boleh asal kutinggal.Sore ini, Gina kembali hadirkan ingatan yang sebenarnya ingin kulupa. Mengatakan banyak penyesalan dan menginginkan aku kembali merajut kisah asmara dengannya lagi sebab dia telah berpisah dengan suaminya. Permintaan yang tak masuk akal. Walau perasaan terhadapnya masih tersisa, aku takkan mungkin melakukan kesalahan sama untuk kedua kalinya.“Apa yang harus kulakukan pada kenangan yang telah lama aku kubur setahun silam? Tak mungkin bagiku untuk menggalinya lagi, 'kan? Perpisahan kala itu suda

    Last Updated : 2021-09-02
  • Yuk, Nikah!   Peringatan

    Malam ini bulan telah undur diri lebih cepat. Di langit hanya tampak separuh. Cahayanya bahkan takkan mampu menembus kaca jendela kamar kost yang aku dan Fadlan huni. Sepi. Padahal baru jam tujuh malam.Kalau akhir pekan, lingkungan kost sepi. Sebab, penghuni lain selalu mengjabiskan waktu di luar. Karena di sini penghuninya kebanyakan mahasiswa atau para pekerja sepertiku yang notabene jomlo, meskipun tidak semua, sih. Ya, seperti biasa, mereka menghabiskan waktu di luar untuk sekadar nongkrong atau ketemuan dengan perempuan.Berbeda denganku dan Fadlan, kami tak ada kemauan untuk nongkrong atau mencari gebetan. Kami lebih senang istirahat penuh selagi libur bekerja. Sebab, kalau waktu libur seminggu sekali kami habiskan untuk melakukan kegiatan unfaedah, rugi rasanya.Fadlan duduk di pojok kamar sambil memainkan game online kegemarannya seperti biasa. Dia heboh sendiri. Namun, kehebohannya terhenti ketika terdengar teriakan Vivi yang memanggil na

    Last Updated : 2021-09-02
  • Yuk, Nikah!   Berhasil PDKT

    Ketika kami hampir sampai ke rumah, tiba-tiba saja Vivi mendadak menyuruhku menghentikan laju motor. Tepat sebelum kami melewati pagar rumah Nyak Marni.“Stop! Stop, Bang!” Teriakan Vivi membuat aku ngerem mendadak. Alhasil, kepala Vivi menubruk kepalaku. Untung saja pakai helm, kalau tidak, lain urusannya.“Apa, sih?! Ngagetin aja! Barusan itu bahaya tahu!” omelku pada Vivi.Kulihat dia membetulkan helm.“Maaf, Bang. Habisnya ....” Vivi tak menyelesaikan ucapannya. Dia malah turun dari motor dan mengintip di balik pagar. Aku pun mematikan mesin.“Apaan?!”“Itu ....” Vivi menunjuk ke arah teras rumahnya. Membuat mataku mengikuti arah jari telunjuk miliknya.Kulihat Nyak Marni sedang ngobrol dengan seorang lelaki berjaket parka hitam sambil tertawa ria. Ketika kuamati, tak terlalu jelas. Namun, lelaki itu tampak lumayan dari kejauhan.

    Last Updated : 2021-10-01
  • Yuk, Nikah!   Titip Vivi Untuk Sementara

    Sejak hari itu—nonton konser BST—bisa dikatakan kalau Fadlan telah sukses PDKT untuk pertama kalinya. Lalu, setelahnya mereka menjadi lebih dekat.“Gam, gimana menurut kamu? Udah ada tanda-tanda dia nangkep sinyalku, nggak?” Fadlan bertanya seraya memperlihatkan pesan whatsapp dari Vivi.Kuambil ponselnya dan kuamati seksama. Bingung, sebab yang kulihat dari pesan ini hanya membahas tentang korea semua.Aku menggeleng, “Belum, Lan. Ini malah terkesan kamu sendiri yang sukanya kebangetan.”“Ah, mana mungkin!” sanggahnya seraya merebut ponselku lagi.Kini, Fadlan takkan membiarkanku istirahat sebelum ceritanya selesai. Membicarakan bagaimana proses dia pendekatan. Memperlihatkan isi chat yang menurutku biasa saja. Bersorak ria saat mendapat balasan. Aduh, benar-benar.“Besok hari kelulusan sekaligus perpisahan Vivi, aku bakalan ngasih kejutan sama dia,&

    Last Updated : 2021-10-02
  • Yuk, Nikah!   Apakah Benar Dia Vivi?

    8Tepat pukul sepuluh malam, Fadlan pergi tanpa pamit pada Nyak Marni atau Vivi. Aku tak mengantarnya ke bandara sebab dia melarang keras. Dia hanya terus memintaku untuk terus menjaga Vivi selama dia tak ada.Pagi ini, aku sudah bersiap serapih mungkin. Memakai celana hitam dan kemeja panjang merah maroon yang lengannya kulipat seperempat. Dirasa cukup, kuraih kunci mobil Fadlan yang tergeletak di atas nakas.“Bang Fadlaaan!” Teriakan Vivi terdengar nyaring seperti biasa, “Ayo buruan, katanya mau nganteriin!” sambungnya. Dia kini telah berada di ambang pintu.“Fadlan nggak ada. Abang aja yang nganterin kamu sama Enyak,” sahutku seraya mendorong tubuh dengan tinggi 165 cm itu. Lalu, lekas mengunci pintu kosan.“Loh, kemana?” tanyanya di balik punggungku.“Ke China. Mamanya meninggal di sana. Semalem perginya mendadak, jadi nggak sempet pamitan dulu sama kamu dan Enyak.” Aku me

    Last Updated : 2021-10-03
  • Yuk, Nikah!   Mewakili Fadlan

    “Fadlan, ini bukan kuasaku. Dia main sosor sendiri,” gumamku seraya mengelap pipi bekas ciuman Vivi menggunakan tisu toilet.Pikiranku berkecamuk tak tenang. Sebab, teringat akan Fadlan yang kini mungkin masih dalam perjalanan. Mungkin, aku merasa bersalah.“Dasar! Udah jadi anak gadis aja masih suka cium-cium sembarangan! Dulu iya, aku tak masalah. Toh, yang nyium itu anak SD. Sekarang, kan, beda lagi. Udah perawan, malah jadi gebetan temen sendiri, lagi. Kalau dia tahu, mati aku."Kucoba hilangkan pikiran negatif dan menenangkan diri. Meyakinkan bahwa tadi itu hanya kebiasaan masa kecil yang belum bisa Vivi hentikan. Walau begitu, kejadian tadi sangat membuatku terkejut.‘Sudah! Singkirkan pikiran itu! Ayo pergi! Vivi mungkin sekarang sudah naik panggung! Fadlan, kan, sudah menyuruhmu untuk mengabadikan momen penting itu!’ batin ini malah bermonolog pada diri sendiri, menyedihkan.Aku mencoba meny

    Last Updated : 2021-10-04
  • Yuk, Nikah!   Sama-sama Norak

    Syukurlah, pada akhirnya aku bisa menjalankan amanah dari Nyak Marni dan Fadlan untuk menemani Vivi hingga acaranya selesai.Sebenarnya belum, sih. Masih ada acara meriah lainnya sebagai perayaan selepas magrib nanti. Berbagai hiburan pentas seni tradisional dan modern juga akan dilaksanakan nanti malam. Bahkan, kata si Vivi, nanti akan ada pertunjukkan debus.Buset, pengen banget liat. Em, tapi ingat sudah ada titipan acara penting lainnya, yaitu melaksanakan permintaan Fadlan untuk mengajak bocah ingusan ini dinner. Huh, payah.Dan, karena acara inti perpisahan kelas Vivi juga telah usai sekitar jam lima kurang, akhirnya kami memutuskan pulang lebih awal agar bisa mandi dan bersiap pergi ke tempat yang telah dipesan sahabatku itu.“Kenapa liat-liat di kaca spion?” tanya Vivi di jok belakang.Saat ini kami tengah di perjalanan pulang naik motor kesayanganku. Memang, aku curi-curi pandang di kaca spion. B

    Last Updated : 2021-10-04

Latest chapter

  • Yuk, Nikah!   End Episode

    “Agam! Agam!”Mata ini terbuka lebar kala bapak memanggil dengan hebohnya. Aduh, padahal aku sedang enak-enaknya tidur siang di kursi teras yang memanjang, sambil merasakan desiran angin sepoi-sepoi. Malah terganggu.“Apa, sih, Pak? Teriak-teriak gitu.” Aku terpaksa bangun meski mata masih terasa lengket.Bapak muncul di ambang pintu. Dan kami akhirnya bertemu mata.“Owalah, di sini toh kamu. Dicariin juga!” ucap bapak menggerutu. Lantas mendekatiku. Di tangannya tersampir baju batik berwarna dasar abu-abu.Bapak mendorongku agar bisa sedikit bergeser. Lalu, ia duduk tepat di sampingku. Sementara diri ini masih saja mengucek mata, mengusir kantuk yang mendera.“Ada apa, Pak? Lagi enak-enaknya tidur malah gangguin. Enggak seru,” ujarku protes.“Sera seru, sera seru! Ini, batiknya udah jadi. Coba dulu, siapa tahu kurang pas, jadi bisa cepet-cepet diperbaiki lagi. Ini malah enak-enakan tidur. Udah tahu kita lagi sibuk buat acara lamaran besok. Mepet ini, Gam.”Bapak kalau sudah menghadap

  • Yuk, Nikah!   POV Fadlan (Keputusan Akhir)

    Langit sudah mulai menguning, menampakkan warna-warna cantiknya di atas sana. Aku terdiam berdiri menghadap jendela.Dalam diamku, telintas gambaran Agam. Kenangan bersamanya saat dulu tinggal bersama di kosan nyak Marni kembali terkorek.Mata ini terpejam kala canda tawanya terngiang-ngiang di telinga.Ada suatu rasa bahagia sekaligus sedih merayapi dinding hati tanpa alasan. Dia pergi begitu harusnya aku senang, kan? Lantas, mengapa malah rasanya semakin menyiksa.“Apa salahku, Gam? Sampai kamu sudah tak ada pun, kamu tetap memberi luka lagi dan lagi,” teriakku menggila.Sial!Kepergiannya malah membuat sebagian dari diriku saling menyalahkan. Seperti akulah orang yang telah membuatnya angkat kaki dari tempat itu. Aku orangnya!“Aaargh! Kenapa, sih nggak ngilang aja sekalian! Mat—” Ucapanku menggantung di udara kala menyadari jika hampir saja diri ini mengucap doa buruk.Astagfirullah. Kulemparkan diri pada kasur besar ini, menutup wajah, merasakan sesal karena bisa-bisanya aku meny

  • Yuk, Nikah!   POV Fadlan (Oh Ternyata)

    Hari demi hari berlalu begitu saja, tetapi segunduk nyeri di hati ini tak kunjung mereda. Mengingat kembali pengkhianatan sahabatku Agam, ingin sekali aku menyayat diri dengan pisau tajam.Sayangnya aku tak cukup berani untuk melakukan itu.Jika disuruh untuk jujur, aku tak sepenuhnya menyalahkan Agam. Aku juga salah karena telah jatuh cinta dengan mudahnya pada anak nyak Marni tanpa pernah berpikir sekalipun kalau akan ada saat-saat di mana rasa sayang bak saudara itu akan berubah menjadi rasa sayang antara laki-laki dan perempuan.Ya, aku yang terlalu bodoh.Aku tahu Agam tak pernah menginginkan semua terjadi. Aku yakin dia mencoba menolak rasa yang perlahan hadir di hatinya. Akan tetapi, sepertinya aku terlalu lama pergi, sehingga dia tak lagi sanggup menahan rasa yang telah berakar kuat tanpa ia sadari sendiri.“Sial, memang!” umpatku sengaja. Kini, aku sedang menatap tembok bercat putih bersih di kamar. Kacau.Sekelebat bayangan Vivi yang menolakku mentah-mentah beberapa waktu la

  • Yuk, Nikah!   Rencana Bapak

    Pagi menyapa dengan dinginnya. Ketika mentari masih bersembunyi di balik awan, keluargaku sudah mengintrogasi diri ini. Menanyakan alasan kepulanganku yang super mendadak ini. Untungnya mereka percaya saat mulutku berkata pulang demi ingin memulihan diri. Mereka malah mendukung seratus persen.Yah, meski bukan pemulihan diri asli, tapi pmulihan hati lebih tepatnya.***Aku masih berjibaku di halaman belakang. Sedang mencabut singkong yang ditanam bapak. Ceritanya mau makan sup singkong buatan ibu.Hampir sepuluh tahun tinggal di kota, aku sampai lupa bagaimana caranya mencabut singkong yang baik dan benar. Dua kali terjungkal rasanya telah menjadi hal wajar ketika gagal mencabutnya, kan?Setelah banyak menghabiskan tenaga, akhirnya singkong yang kumau didapat juga. Lihatlah, tubuh ini basah oleh keringat. Ibu sampai geleng-geleng sambil tertawa melihat diri ini yang merosot ke lantai usai menyerahkan singkong-singkong itu ke tangannya.Ah, yang benar saja. Cabut satu pohon singkong be

  • Yuk, Nikah!   Tangisan Penyesalan

    Baru saja kulihat langit gelap gulita mengelilingi diriku, mengapa dalam sekejap mata mentari naik membakar kepala?Anehnya ini bukan di bus atau jalanan kota.Gunung! Aku berada di puncak gunung.Apakah ini mimpi? Tapi, terpaan angin menggelisir di atas kulit terasa nyata. Dingin.“Abang jahat.”Deg!Aku terperanjat mendengar suara Vivi yang terdengar begitu serak. Ketika mata ini memindai seluruh tempat yang terjangkau, tampak sosoknya di kejauhan sana, menatap dengan mata yang banjir air mata.“Vivi?” Aku berlari ke arahnya.“Abang jahat.” Lagi-lagi rutukkan itu yang terdengar.“Vivi! Tunggu!” Dia berbalik, pergi meninggalkanku di sini. Di tengah rimbunan pohon yang meninggi dengan sendirinya.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Kaget dengan situasi aneh ini. Apa-apaan semua?! Aku mundur terlampau takut.“Mas, Mas,” seru suara laki-laki mengalihkan perhatian.Seketika pemandangan menyeramkan itu lenyap, berganti dengan pemandangan dalam bus yang penumpangnya sudah turun. Tak jauh dariku

  • Yuk, Nikah!   Pulang Kampung

    Malam semakin larut, jalanan sudah mulai macet. Lampu-lampu menguning sebagai penerangan jalan di dekatku mencetak dua buah bayangan di bawah kaki.Aku dan Vivi.Di antara kebisingan kota kini. Kami berdua hanyut dalam kesedihan yang teramat dalam.Kubenarkan anak-anak rambutnya yang telah basah menempel di pipi. Dengan mati-matian diri ini menahan air mata yang sudah menumpuk di ujung mata. Merasakan kembali betapa pedihnya perpisahan.Dan baru aku tahu jika perpisahan karena terhalang restu ini lebih menyakitkan daripada berpisah karena dikhianati seperti yang dilakukan Gina dulu.“Bang, jangan tinggalin Vivi. Abang udah janji, plis,” rengeknya begitu erat merangkul tanganku.Berkali-kali kucoba lepas, ia kembali merangkulnya tak peduli nyak Marni sudah begitu murka. Vivi seakan tak melihat keberadaannya. Dia hanya fokus padaku. Mencegah agar diri ini tak pergi.Sementara aku hanya diam mematung. Tak kurespon ucapan juga rengekan itu. “Ayo pergi aja. Kita nikah. Abang janji, kan ma

  • Yuk, Nikah!   Ayo Putus

    Kawin lari? Oh, tidak. Ini sama saja dengan kami memukul genderang perang, menantang. Dan aku sungguh tak menginginkan perang itu terjadi.“Apa?! Apa lu bilang? Ka-kawin?!”Sayangnya kemarahan nyak Marni telah meledak bahkan ketika aku belum menolak ajakan Vivi itu.Bugh! Bugh!“Aw, Nyak! Nyak sakit!” pekikku setelah gagang sapu yang dipegang nyak Marni mendarat beberapa kali di kepala.Karena gagangnya panjang, jadi dengan mudah memukulku. Akan tetapi, aku berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Berlari, mondar-mandir, bahkan berjongkok dan melompat demi melindungi kepala ini. Kepala yang sudah mau meledak karena mumet.“Aduh, Enyaak!” Vivi mencoba menghalangi, merentangkan kedua tangannya.Nyak Marni sempat berhenti sekejap. Namun aku tahu itu tak membuat kemarahannya reda. Malah yang ada lebih membara lagi.“Lu mau dipukul juga?! Hah!” Nyak Marni segera mengangkat sapu itu ke udara. Gegas aku mengangkat tangan, niatnya ingin menangkap gagang itu.Akh! Tak tahan rasanya! Aku ingin s

  • Yuk, Nikah!   Diajak Kawin Lari

    Semesta telah menentang, apakah aku punya hak untuk menyalahkan semua kepada-Nya?Astagfirullah ....Dari sekian banyaknya hal yang membuatku marah, kecewa, sedih, juga menyesal, mengapa aku sampai berfikir untuk menyalahkan Sang Pencipta?Kuhela napas berat, menyesali hal yang baru saja kulakukan.“Bodoh, kamu bodoh, Gam,” gumamku seraya menggusur koper berisi pakaian juga dokumen penting lainnya.“Pergi aja, enggak usah lirik kiri, lirik kanan. Vivi dikurung sama enyak, jangan harap bisa melihatnya,” lanjutku murung.Saat ini diriku masih berdiri tegap di ujung jalan, memerhatikan pagar yang menutup sedih. Aku sedang menunggu angkot di sini.Namun, tak lama pagar terbuka. Aku tak menyangka Vivi keluar dengan membawa ... tas besar? Untuk apa itu semua?Dia berlari ke arahku.“Vivi?!” Refleks diri ini juga menyambut kedatangannya.“Abaang.” Ia merangkul lenganku dengan tangis kecil yang memenuhi telinga.Kutarik kedua bahunya dengan perasaan kaget luar biasa.“Kenapa kamu keluar? Nant

  • Yuk, Nikah!   Kerasnya Hati Nyak Marni

    Aku telah mengecewakan orang-orang yang menyayangiku, dan mereka akhirnya satu-persatu memilih membenci diri ini, lalu pergi meninggalkan tanpa ragu.“Putusin anak gue, dan jangan harap elu bisa masuk ke kehidupan kami lagi. Pergi lu dari sini.”Deg!Aku terpaku ketika akhirnya kata yang amat paling kutakuti keluar juga dari mulut nyak Marni.Pagi ini aku sudah dibuat gila dengan kepergiannya orang-orang yang aku sayang.Apa ini? Mengapa jadi begini?Mengapa mencintai satu perempuan muda saja sampai menghancurkan setengah dari hidupku, juga hidup orang lain?Apakah ini hukuman dari Yang Maha Kuasa karena aku melanggar janji kepada Fadlan? Ataukah ini karma karena aku melanggar janji kepada nyak Marni untuk tidak memacari putrinya?Astagfirullah ... jika ini terjadi sebagai bentuk ujian dari-Mu, hamba ikhlas. Namun, hamba mohon, jangan sampai Fadlan atau nyak Marni terus menutup hatinya dan terus marah sepanjang waktu. Jika berpisah dengan Vivi adalah jalan satu-satunya agar hamba mend

DMCA.com Protection Status