Beranda / Romansa / Yuk, Nikah! / Kembali Terkenang

Share

Yuk, Nikah!
Yuk, Nikah!
Penulis: Renti Sucia

Kembali Terkenang

Penulis: Renti Sucia
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-02 03:32:57

“Jodoh tak akan kemana.” 

Perkataan Bapak kembali terngiang di tengah kebisingan jalan raya sore ini yang sedang macet. Pesan tersebut dikatakan setahun lalu saat aku ditinggal menikah oleh tunanganku—Gina Ayuningtyas—yang perselingkuhannya ketahuan lima hari sebelum aku dan dia menikah. 

Aku masih ingat terakhir kali kami bicara. Saat itu pertengahan bulan Maret. Gina tiba-tiba menelpon dan memaksaku untuk keluar rumah secara diam-diam pada malam hari.

“Kenapa kamu begini, Gina? Bukannya hubungan kita sudah berakhir? Buat apa kamu ke sini?” tanyaku tanpa melihat ke arahnya.

“Aku cuma datang untuk meminta maaf, Mas.” Dia menangis dalam diam, sementara tangannya meraih ujung jaketku, memegangnya erat.

“Sudah kukatakan bahwa aku ikhlas. Pulanglah, besok kamu menikah, kan? Kamu akan resmi jadi istri orang, menemuiku seperti ini apakah pantas? Apa dia tahu kamu ke sini?” tanyaku lirih. Dia menggelengkan kepalanya pelan, lantas menunduk.

Aku menghela napas panjang, tidak percaya kalau dia datang tanpa sepengetahuan calon suaminya. Gina tetap bergeming. Dia malah mempererat pegangan pada jaketku, tangisannya perlahan terdengar.

“Maaf ...,” ucapnya lirih. 

Aku diam membisu, mencoba mencerna apa yang baru saja dia katakan. Memangnya apa yang harus dimaafkan? Bukankah semua sudah berakhir?

“Maaf ....” Sekali lagi Gina mengucapkan kata maaf.

Aku berusaha bersikap dingin, walau sebenarnya hatiku masih menyimpan perasaan untuknya. Aku menepis tangan Gina, dan segera masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata, tanpa ucapan perpisahan, atau ucapan selamat menikah dariku. 

Segala kenangan pahit itu terlalu menyakitkan dan membekas di ingatan. Aku sempat menggila waktu itu. Mogok makan, jarang mandi, tidak main sosial media, bahkan menangis. Namun, sekarang aku tertawa mengingat kebodohanku dulu, karena terus menerus memikirkan hal yang tak seharusnya kupikirkan. Benar-benar memalukan.

Tiid! Tiiiiid!

“E—kucing!” Suara klakson membuyarkan lamunanku, membuatku kaget setengah mati. Ternyata kemacetan mulai melonggar. 

“Woy! Yang pakai motor merah, maju!” teriak seseorang dari belakang. 

“Sorry, sorry, Bang!” sahutku ketika menoleh ke belakang. Kuanggukkan kepala sebagai tanda permintaan maaf padanya.

Perlahan kulajukan Honda CBR merah ini. Tak sampai satu jam macet berakhir, sehingga aku bisa meneruskan perjalanan pulang ke kosan. 

“Baaang!” Teriakan cempreng tapi halus terdengar tak asing. Aku menepikan motorku untuk memastikan dari arah mana suara itu berasal.

Kepalaku celingukan, sebelum akhirnya kulihat seorang gadis berseragam SMA di trotoar seberang jalan, melambaikan tangan ke arahku. Ia merentangkan tangannya untuk menghentikan kendaraan yang sedang melaju. 

“Heh, kamu dari mana?! Keluyuran aja, kerjaannya! Ini jam berapa? Anak gadis gak boleh ....”

“Mulai, mulai! Abang ini bisa nggak, sih, jangan suuzan dulu. Vivi baru pulang sekolah, kok, habis geladiresik perpisahan,” sangkalnya memotong ucapanku. Anak Ibu kos ini selalu saja membuatku jengkel. Seperti sekarang, memotong ucapan orang yang lebih tua darinya.

Tangannya bergerak meraih helm di jok belakang dan segera mengenakannya. Tanpa basa-basi lagi, ia segera naik ke motor, dengan posisi tangannya melingkar di pinggangku.

“Gladiresik sore-sore? Gak percaya, pacaran, ya?” tudingku sambil melepaskan pelukanya di pinggang secara perlahan. Tak enak di lihat orang.

“Fitnah! Enggak, lah! Mana ada aku pacaran,” sangkalnya lagi, “Jangan lepasin pegangan Vivi, dong, Bang.”

“Pengangan, ya, pegangan aja, Vi. Gak usah peluk-peluk. Taro di sini tangannya, baru bener!” Kutarik kembali tangan mungil itu, dan menempatkannya ke sisi pinggang.

“Ck! Kenapa? Takut dilihat gebetan?!” 

Mendengar nada bicaranya yang agak kesal, aku hanya bisa tersenyum di balik helm-ku tanpa menjawabnya. 

"Berangkaaat ...!" Vivi berteriak di balik helm-nya. Membuatku teringat pada jargon tukang ojek yang ada di film.

Kami yang tak sengaja bertemu di jalan pun akhirnya pulang bersama. Tak sampai dua puluh menit, kami pun tiba. Nyak Marni—ibu kost—sedang duduk manis di teras sambil membaca majalah. 

“Assalamualaikum, Nyak.” Aku dan Vivi mengucap salam bersamaan.

“Waalaikumsallam,” jawabnya datar. Matanya menyorot tajam ke arah Vivi. Dia bangkit saat kami sudah turun dari motor.

“Kalian, kok, bisa bareng?” telisik Nyak Marni sambil memicingkan mata.

“Iya, Nyak. Kebetulan tadi ketemu di jalan.” 

“Oh, begitu.” Nyak Marni mengangguk, tatapannya tak lepas dari Vivi.

Entah kenapa aku merasakan aura horor di sekitar Nyak Marni. Sepertinya dia akan memarahi Vivi lagi. Aku rasa, Nyak Marni akan marah karena anak gadisnya pulang terlalu sore.

“Elu, ya! Kebiasaan!” Nyak Marni langsung mendekati kami dan memukul lengan Vivi.

Benar saja dugaanku. Itulah akibatnya kalau dia pulang terlambat.

“Aaw! Apa, sih, Nyak?! Sakit tau!”

“Apaan, apaan! Kebiasaan lu, tuh, ya, baju kotor lu simpen sembarangan! Sama pakean dalem warna ping, lagi! Jorok banget, sih, lu jadi perempuan! Enyak lagi, Enyak lagi yang nyuci, kebangetan, lu!” teriak Nyak Marni.

Aku yang mendengarnya tiba-tiba serasa terkena sembelit. Kupikir, Nyak Marni akan memarahinya karena telat pulang ke rumah. Ternyata ... ah, sudahlah, aku tidak tahu harus bereaksi apa. Kulihat wajah Vivi memerah seperti kepiting rebus, sesekali kami bertemu pandang gelisah. Dia celingukan, mungkin takut terdengar penghuni kost lain. Begitu juga aku yang merasa malu karena mendengar hal sensitif seperti itu.

“Ish! Apaan, sih, Nyak! Malu-maluin aja!” katanya sedikit berbisik.

“Lu, tuh, ya ...!”

“Iya, iya, maafin Vivi. Udah, dong. Malu sama Bang Agam,” pungkasnya sambil melirik ke arahku.

“Gak denger kok, gak denger. Beneran.” Aku mengatakannya sambil garuk-garuk kepala, “Aku masuk dulu, Nyak. Permisi.”

Vivi hanya berdecak sambil menutup muka. Aku mengulum senyum ketika melihat tingkahnya barusan.

“Enyak! Kenapa, sih?! Malu tau!” Masih terdengar Vivi protes dari samping rumah. Suara Nyak Marni kembali terdengar. 

Aku juga terlupa, Vivi sekarang usianya sudah hampir dewasa. Dia bukan lagi anak SD yang sering mengadu padaku sepulang sekolah karena diganggu anak laki-laki. Dia sudah punya rasa malu sekarang. 

“Gam, udah pulang? Nyak Marni ngasih rendang telor, tuh. Dimakan sana, tadi udah kuambil satu setengah biji,” ujar Fadlan ketika aku masuk. Dia adalah teman satu-satunya yang baik padaku semasa kuliah hingga sekarang.

“Iya, makasih, Lan,” sahutku sambil menyimpan ransel kemudian mengambil handuk.

Kami kuliah sama-sama, berkarir sama-sama. Bedanya, dia orang berada, aku biasa saja. Entah kenapa dia tetap setia berteman denganku. Dia hanya berkilah 'Kita, kan, teman.' Sulit kumengerti. Orang tuanya juga baik, seorang pejabat negara. Aku bahkan disuruh tinggal dengan Fadlan di rumah megahnya. Namun, secara halus aku tolak. Alhamdulillah beliau mengerti.

“Gam ....”

“Hmm?”

“Si Vivi menurut kamu gimana?”

Aku yang sudah di ambang pintu kamar mandi pun berhenti dan menoleh pada Fadlan, “Maksudnya?”

“Sekarang cantik, ya?”

Aku mengeryitkan dahi mendengar omongan Fadlan, tak biasanya dia membicarakan Vivi, apalagi memuji anak itu.

“Bentar, ada apa, nih, tanya begitu?” Handuk pun kusampirkan di bahu, penasaran.

“Enggak, bukan gitu ....”

“Lah, terus?”

“A-aku ....”

“Aku apa, hayo? Suka dia?” pungkasku menggoda Fadlan. Raut mukanya langsung menampakkan kecemasan. Mungkin dugaanku benar. Aku tersenyum. Dia tak menjawab.

“Bukan, gini ....”

“Hahaha, muka kamu udah jelasin semuanya. Gak usah nyangkal, kali. Haduuh, dari sekian banyak wanita, hatimu berlabuh sama bocah,” ujarku sedikit mengejek.

“Bocah? Gak lihat dia sekarang udah besar?” Fadlan tampak jengkel.

“Jadi, beneran?” tanyaku setelah menghentikan tawa.

Dia mengangguk, “Enggak tahu, tapi ... ah, susah jelasinnya. Aku juga udah beberapa kali mastiin kalo bisa aja aku salah, tapi ternyata ini beneran terjadi.”

Aku mendengarkan dengan cukup serius kali ini. Dia tampak cemas dan berkeringat. Entah karena memang akibat ruangan yang panas, atau mungkin bawaan rasa cemasnya itu. Namun, biasanya dia memang bukan tipe-tipe yang mudah berkeringat.

“Kasih aku masukan, bagusnya gimana?”

“Salat istikharoh. Itu saranku.”

Dia mengangguk, “Hmm.”

“Gimana ceritanya, sih, kamu bisa suka sama anak yang punya kost? Gak takut didepak Nyak Marni, apa?” Aku nyeletuk saja. Untung Fadlan tidak marah.

“Perasaanku berubah sejak Vivi ngasih plester dan memasangkannya ke jariku yang terluka,” jelasnya tanpa menoleh padaku.

“Hanya karena sebuah plester?”

Fadlan mengangguk, “Iya. Karena plester itu, siang malam aku sampai kepikiran dia terus. Bikin malu dan salah tingkah kalo ketemu dia, bikin aku rajin mandi dan perhatiin penampilanku tiap saat, entahlah. Silakan kalo mau ketawa, tapi itu kenyataan,” ungkapnya dengan wajah serius. Aku diam.

Benar, cinta memang membuat seseorang berubah. Seperti aku yang dulu hampir gila karena memikirkan Gina. Rasa cinta padanya membutakanku, membuat aku jadi budak cinta. Masih teringat kala tiap malam hari aku susah tidur karena memikirkan Gina, tersenyum setiap kali membaca pesan emoticon love darinya. Namun, semua hanya manis di awal, pahit di akhir. Seperti diimingi manisnya buah jeruk, tetapi akhirnya malah diberi pahitnya buah pare.

“Jangan tertipu dengan cinta, jangan sampai kamu terluka seperti aku, temanku.” Aku menepuk pundaknya dan masuk ke kamar mandi.

***

Pukul satu malam, aku masih terjaga. Entah kenapa aku gelisah. Tak lama terdengar smartphone di nakas berbunyi. 

“Siapa malam-malam begini yang nelepon? Gak tahu sopan santun!” gerutuku sambil meraihnya, lalu menerima panggilan tersebut.

“Assalamualaikum, Mas ....” 

Degh! 

Tiba-tiba aku mendadak seperti jadi Patung Pancoran. Seluruh tubuhku seakan membeku saat mendengar suara yang dulu amat kupuja. Hingga sekarang, aku masih ingat betul bahwa itu suara ... Gina.

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Anung DLizta
Yukkk halalkan...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Yuk, Nikah!   Tentang Semua

    Pagi kembali menyapa seperti biasa. Saat membuka mata, ingatan semalam—tentang Gina menghubungiku—kembali terngiang di benak.“Mas, ini Gina ....”Aku hanya terdiam saat mendengarnya. Suara itu masih sama seperti dulu, halus dan membuat jantungku berpacu. Seketika, potongan-potongan memori yang telah lama terkubur oleh waktu pun kembali menyembul ke permukaan. Hanya butuh waktu beberapa detik hingga potongan yang berserakan itu kembali menyatu, memperlihatkan bagaimana kami merajut kasih selama bertahun-tahun.Hatiku terasa sakit, kala semua momen mulai tergambar jelas, terutama saat hari pertunangan yang berakhir dengan pengkhianatan. Suaraku kelu, dadaku tiba-tiba terasa sesak, mual dan pusing menyerang. Aku dilanda kecemasan hebat. Walau begitu, ponsel masih menempel di telinga, seakan tak rela menekan tombol 'Mengakhiri percakapan'.“Gam?! Gam?!” Remang-remang suara Fadlan terdengar.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Yuk, Nikah!   Cemburu!

    “Diem terus, kenapa, sih?” tanyaku pada Fadlan saat mulai menyadari sikapnya sedikit berubah. Rasa penasaran itu kian mencuat. Apa dia mendiamkanku karena kejadian di teras tadi pagi?“Ah, nggak apa-apa. Mungkin efek lapar.” Sanggahan yang tak masuk di akal. Namun, aku mengangguk saja, seolah percaya dengan ucapannya.“Oh, kalau gitu, aku beli makanan dulu ke depan, ya? Kebetulan kita belum makan siang.” Aku menawarkan diri untuk membeli makan. Fadlan menganggukkan kepala tanpa bicara sepatah kata pun.Akhirnya aku pergi ke warteg langganan yang tak jauh dari rumah Nyak Marni. Seperti biasa, Mpok Latifah—pemilik warteg—menyambut kedatanganku dengan ramah saat aku tiba.“Mpok, yang biasa,” pintaku saat memesan lauk dengan nasi. Mpok Latifah yang sudah hafal dengan pesananku pun segera membungkus nasi serta lauknya.“Ini, Gam.” Mpok latifah memberikan satu kantong p

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Yuk, Nikah!   Mengubur Masa Lalu

    Kupikir, dalam kurun waktu satu tahun aku sudah berhasil melupakan Gina. Namun, terkadang rindu masih saja datang, dan aku tetap meyakinkan diri bahwa aku sudah melupakannya meskipun itu tidak benar.Sempat terlintas keinginan 'tuk pergi ke tempat yang lebih jauh agar semua sisa perasaan ini terlupakan. Salah satunya menjelajah negeri dan mendaki gunung. Namun, semua tak bisa terlaksana, mengingat pekerjaan di perusahaan tak boleh asal kutinggal.Sore ini, Gina kembali hadirkan ingatan yang sebenarnya ingin kulupa. Mengatakan banyak penyesalan dan menginginkan aku kembali merajut kisah asmara dengannya lagi sebab dia telah berpisah dengan suaminya. Permintaan yang tak masuk akal. Walau perasaan terhadapnya masih tersisa, aku takkan mungkin melakukan kesalahan sama untuk kedua kalinya.“Apa yang harus kulakukan pada kenangan yang telah lama aku kubur setahun silam? Tak mungkin bagiku untuk menggalinya lagi, 'kan? Perpisahan kala itu suda

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Yuk, Nikah!   Peringatan

    Malam ini bulan telah undur diri lebih cepat. Di langit hanya tampak separuh. Cahayanya bahkan takkan mampu menembus kaca jendela kamar kost yang aku dan Fadlan huni. Sepi. Padahal baru jam tujuh malam.Kalau akhir pekan, lingkungan kost sepi. Sebab, penghuni lain selalu mengjabiskan waktu di luar. Karena di sini penghuninya kebanyakan mahasiswa atau para pekerja sepertiku yang notabene jomlo, meskipun tidak semua, sih. Ya, seperti biasa, mereka menghabiskan waktu di luar untuk sekadar nongkrong atau ketemuan dengan perempuan.Berbeda denganku dan Fadlan, kami tak ada kemauan untuk nongkrong atau mencari gebetan. Kami lebih senang istirahat penuh selagi libur bekerja. Sebab, kalau waktu libur seminggu sekali kami habiskan untuk melakukan kegiatan unfaedah, rugi rasanya.Fadlan duduk di pojok kamar sambil memainkan game online kegemarannya seperti biasa. Dia heboh sendiri. Namun, kehebohannya terhenti ketika terdengar teriakan Vivi yang memanggil na

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Yuk, Nikah!   Berhasil PDKT

    Ketika kami hampir sampai ke rumah, tiba-tiba saja Vivi mendadak menyuruhku menghentikan laju motor. Tepat sebelum kami melewati pagar rumah Nyak Marni.“Stop! Stop, Bang!” Teriakan Vivi membuat aku ngerem mendadak. Alhasil, kepala Vivi menubruk kepalaku. Untung saja pakai helm, kalau tidak, lain urusannya.“Apa, sih?! Ngagetin aja! Barusan itu bahaya tahu!” omelku pada Vivi.Kulihat dia membetulkan helm.“Maaf, Bang. Habisnya ....” Vivi tak menyelesaikan ucapannya. Dia malah turun dari motor dan mengintip di balik pagar. Aku pun mematikan mesin.“Apaan?!”“Itu ....” Vivi menunjuk ke arah teras rumahnya. Membuat mataku mengikuti arah jari telunjuk miliknya.Kulihat Nyak Marni sedang ngobrol dengan seorang lelaki berjaket parka hitam sambil tertawa ria. Ketika kuamati, tak terlalu jelas. Namun, lelaki itu tampak lumayan dari kejauhan.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-01
  • Yuk, Nikah!   Titip Vivi Untuk Sementara

    Sejak hari itu—nonton konser BST—bisa dikatakan kalau Fadlan telah sukses PDKT untuk pertama kalinya. Lalu, setelahnya mereka menjadi lebih dekat.“Gam, gimana menurut kamu? Udah ada tanda-tanda dia nangkep sinyalku, nggak?” Fadlan bertanya seraya memperlihatkan pesan whatsapp dari Vivi.Kuambil ponselnya dan kuamati seksama. Bingung, sebab yang kulihat dari pesan ini hanya membahas tentang korea semua.Aku menggeleng, “Belum, Lan. Ini malah terkesan kamu sendiri yang sukanya kebangetan.”“Ah, mana mungkin!” sanggahnya seraya merebut ponselku lagi.Kini, Fadlan takkan membiarkanku istirahat sebelum ceritanya selesai. Membicarakan bagaimana proses dia pendekatan. Memperlihatkan isi chat yang menurutku biasa saja. Bersorak ria saat mendapat balasan. Aduh, benar-benar.“Besok hari kelulusan sekaligus perpisahan Vivi, aku bakalan ngasih kejutan sama dia,&

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-02
  • Yuk, Nikah!   Apakah Benar Dia Vivi?

    8Tepat pukul sepuluh malam, Fadlan pergi tanpa pamit pada Nyak Marni atau Vivi. Aku tak mengantarnya ke bandara sebab dia melarang keras. Dia hanya terus memintaku untuk terus menjaga Vivi selama dia tak ada.Pagi ini, aku sudah bersiap serapih mungkin. Memakai celana hitam dan kemeja panjang merah maroon yang lengannya kulipat seperempat. Dirasa cukup, kuraih kunci mobil Fadlan yang tergeletak di atas nakas.“Bang Fadlaaan!” Teriakan Vivi terdengar nyaring seperti biasa, “Ayo buruan, katanya mau nganteriin!” sambungnya. Dia kini telah berada di ambang pintu.“Fadlan nggak ada. Abang aja yang nganterin kamu sama Enyak,” sahutku seraya mendorong tubuh dengan tinggi 165 cm itu. Lalu, lekas mengunci pintu kosan.“Loh, kemana?” tanyanya di balik punggungku.“Ke China. Mamanya meninggal di sana. Semalem perginya mendadak, jadi nggak sempet pamitan dulu sama kamu dan Enyak.” Aku me

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-03
  • Yuk, Nikah!   Mewakili Fadlan

    “Fadlan, ini bukan kuasaku. Dia main sosor sendiri,” gumamku seraya mengelap pipi bekas ciuman Vivi menggunakan tisu toilet.Pikiranku berkecamuk tak tenang. Sebab, teringat akan Fadlan yang kini mungkin masih dalam perjalanan. Mungkin, aku merasa bersalah.“Dasar! Udah jadi anak gadis aja masih suka cium-cium sembarangan! Dulu iya, aku tak masalah. Toh, yang nyium itu anak SD. Sekarang, kan, beda lagi. Udah perawan, malah jadi gebetan temen sendiri, lagi. Kalau dia tahu, mati aku."Kucoba hilangkan pikiran negatif dan menenangkan diri. Meyakinkan bahwa tadi itu hanya kebiasaan masa kecil yang belum bisa Vivi hentikan. Walau begitu, kejadian tadi sangat membuatku terkejut.‘Sudah! Singkirkan pikiran itu! Ayo pergi! Vivi mungkin sekarang sudah naik panggung! Fadlan, kan, sudah menyuruhmu untuk mengabadikan momen penting itu!’ batin ini malah bermonolog pada diri sendiri, menyedihkan.Aku mencoba meny

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-04

Bab terbaru

  • Yuk, Nikah!   End Episode

    “Agam! Agam!”Mata ini terbuka lebar kala bapak memanggil dengan hebohnya. Aduh, padahal aku sedang enak-enaknya tidur siang di kursi teras yang memanjang, sambil merasakan desiran angin sepoi-sepoi. Malah terganggu.“Apa, sih, Pak? Teriak-teriak gitu.” Aku terpaksa bangun meski mata masih terasa lengket.Bapak muncul di ambang pintu. Dan kami akhirnya bertemu mata.“Owalah, di sini toh kamu. Dicariin juga!” ucap bapak menggerutu. Lantas mendekatiku. Di tangannya tersampir baju batik berwarna dasar abu-abu.Bapak mendorongku agar bisa sedikit bergeser. Lalu, ia duduk tepat di sampingku. Sementara diri ini masih saja mengucek mata, mengusir kantuk yang mendera.“Ada apa, Pak? Lagi enak-enaknya tidur malah gangguin. Enggak seru,” ujarku protes.“Sera seru, sera seru! Ini, batiknya udah jadi. Coba dulu, siapa tahu kurang pas, jadi bisa cepet-cepet diperbaiki lagi. Ini malah enak-enakan tidur. Udah tahu kita lagi sibuk buat acara lamaran besok. Mepet ini, Gam.”Bapak kalau sudah menghadap

  • Yuk, Nikah!   POV Fadlan (Keputusan Akhir)

    Langit sudah mulai menguning, menampakkan warna-warna cantiknya di atas sana. Aku terdiam berdiri menghadap jendela.Dalam diamku, telintas gambaran Agam. Kenangan bersamanya saat dulu tinggal bersama di kosan nyak Marni kembali terkorek.Mata ini terpejam kala canda tawanya terngiang-ngiang di telinga.Ada suatu rasa bahagia sekaligus sedih merayapi dinding hati tanpa alasan. Dia pergi begitu harusnya aku senang, kan? Lantas, mengapa malah rasanya semakin menyiksa.“Apa salahku, Gam? Sampai kamu sudah tak ada pun, kamu tetap memberi luka lagi dan lagi,” teriakku menggila.Sial!Kepergiannya malah membuat sebagian dari diriku saling menyalahkan. Seperti akulah orang yang telah membuatnya angkat kaki dari tempat itu. Aku orangnya!“Aaargh! Kenapa, sih nggak ngilang aja sekalian! Mat—” Ucapanku menggantung di udara kala menyadari jika hampir saja diri ini mengucap doa buruk.Astagfirullah. Kulemparkan diri pada kasur besar ini, menutup wajah, merasakan sesal karena bisa-bisanya aku meny

  • Yuk, Nikah!   POV Fadlan (Oh Ternyata)

    Hari demi hari berlalu begitu saja, tetapi segunduk nyeri di hati ini tak kunjung mereda. Mengingat kembali pengkhianatan sahabatku Agam, ingin sekali aku menyayat diri dengan pisau tajam.Sayangnya aku tak cukup berani untuk melakukan itu.Jika disuruh untuk jujur, aku tak sepenuhnya menyalahkan Agam. Aku juga salah karena telah jatuh cinta dengan mudahnya pada anak nyak Marni tanpa pernah berpikir sekalipun kalau akan ada saat-saat di mana rasa sayang bak saudara itu akan berubah menjadi rasa sayang antara laki-laki dan perempuan.Ya, aku yang terlalu bodoh.Aku tahu Agam tak pernah menginginkan semua terjadi. Aku yakin dia mencoba menolak rasa yang perlahan hadir di hatinya. Akan tetapi, sepertinya aku terlalu lama pergi, sehingga dia tak lagi sanggup menahan rasa yang telah berakar kuat tanpa ia sadari sendiri.“Sial, memang!” umpatku sengaja. Kini, aku sedang menatap tembok bercat putih bersih di kamar. Kacau.Sekelebat bayangan Vivi yang menolakku mentah-mentah beberapa waktu la

  • Yuk, Nikah!   Rencana Bapak

    Pagi menyapa dengan dinginnya. Ketika mentari masih bersembunyi di balik awan, keluargaku sudah mengintrogasi diri ini. Menanyakan alasan kepulanganku yang super mendadak ini. Untungnya mereka percaya saat mulutku berkata pulang demi ingin memulihan diri. Mereka malah mendukung seratus persen.Yah, meski bukan pemulihan diri asli, tapi pmulihan hati lebih tepatnya.***Aku masih berjibaku di halaman belakang. Sedang mencabut singkong yang ditanam bapak. Ceritanya mau makan sup singkong buatan ibu.Hampir sepuluh tahun tinggal di kota, aku sampai lupa bagaimana caranya mencabut singkong yang baik dan benar. Dua kali terjungkal rasanya telah menjadi hal wajar ketika gagal mencabutnya, kan?Setelah banyak menghabiskan tenaga, akhirnya singkong yang kumau didapat juga. Lihatlah, tubuh ini basah oleh keringat. Ibu sampai geleng-geleng sambil tertawa melihat diri ini yang merosot ke lantai usai menyerahkan singkong-singkong itu ke tangannya.Ah, yang benar saja. Cabut satu pohon singkong be

  • Yuk, Nikah!   Tangisan Penyesalan

    Baru saja kulihat langit gelap gulita mengelilingi diriku, mengapa dalam sekejap mata mentari naik membakar kepala?Anehnya ini bukan di bus atau jalanan kota.Gunung! Aku berada di puncak gunung.Apakah ini mimpi? Tapi, terpaan angin menggelisir di atas kulit terasa nyata. Dingin.“Abang jahat.”Deg!Aku terperanjat mendengar suara Vivi yang terdengar begitu serak. Ketika mata ini memindai seluruh tempat yang terjangkau, tampak sosoknya di kejauhan sana, menatap dengan mata yang banjir air mata.“Vivi?” Aku berlari ke arahnya.“Abang jahat.” Lagi-lagi rutukkan itu yang terdengar.“Vivi! Tunggu!” Dia berbalik, pergi meninggalkanku di sini. Di tengah rimbunan pohon yang meninggi dengan sendirinya.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Kaget dengan situasi aneh ini. Apa-apaan semua?! Aku mundur terlampau takut.“Mas, Mas,” seru suara laki-laki mengalihkan perhatian.Seketika pemandangan menyeramkan itu lenyap, berganti dengan pemandangan dalam bus yang penumpangnya sudah turun. Tak jauh dariku

  • Yuk, Nikah!   Pulang Kampung

    Malam semakin larut, jalanan sudah mulai macet. Lampu-lampu menguning sebagai penerangan jalan di dekatku mencetak dua buah bayangan di bawah kaki.Aku dan Vivi.Di antara kebisingan kota kini. Kami berdua hanyut dalam kesedihan yang teramat dalam.Kubenarkan anak-anak rambutnya yang telah basah menempel di pipi. Dengan mati-matian diri ini menahan air mata yang sudah menumpuk di ujung mata. Merasakan kembali betapa pedihnya perpisahan.Dan baru aku tahu jika perpisahan karena terhalang restu ini lebih menyakitkan daripada berpisah karena dikhianati seperti yang dilakukan Gina dulu.“Bang, jangan tinggalin Vivi. Abang udah janji, plis,” rengeknya begitu erat merangkul tanganku.Berkali-kali kucoba lepas, ia kembali merangkulnya tak peduli nyak Marni sudah begitu murka. Vivi seakan tak melihat keberadaannya. Dia hanya fokus padaku. Mencegah agar diri ini tak pergi.Sementara aku hanya diam mematung. Tak kurespon ucapan juga rengekan itu. “Ayo pergi aja. Kita nikah. Abang janji, kan ma

  • Yuk, Nikah!   Ayo Putus

    Kawin lari? Oh, tidak. Ini sama saja dengan kami memukul genderang perang, menantang. Dan aku sungguh tak menginginkan perang itu terjadi.“Apa?! Apa lu bilang? Ka-kawin?!”Sayangnya kemarahan nyak Marni telah meledak bahkan ketika aku belum menolak ajakan Vivi itu.Bugh! Bugh!“Aw, Nyak! Nyak sakit!” pekikku setelah gagang sapu yang dipegang nyak Marni mendarat beberapa kali di kepala.Karena gagangnya panjang, jadi dengan mudah memukulku. Akan tetapi, aku berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Berlari, mondar-mandir, bahkan berjongkok dan melompat demi melindungi kepala ini. Kepala yang sudah mau meledak karena mumet.“Aduh, Enyaak!” Vivi mencoba menghalangi, merentangkan kedua tangannya.Nyak Marni sempat berhenti sekejap. Namun aku tahu itu tak membuat kemarahannya reda. Malah yang ada lebih membara lagi.“Lu mau dipukul juga?! Hah!” Nyak Marni segera mengangkat sapu itu ke udara. Gegas aku mengangkat tangan, niatnya ingin menangkap gagang itu.Akh! Tak tahan rasanya! Aku ingin s

  • Yuk, Nikah!   Diajak Kawin Lari

    Semesta telah menentang, apakah aku punya hak untuk menyalahkan semua kepada-Nya?Astagfirullah ....Dari sekian banyaknya hal yang membuatku marah, kecewa, sedih, juga menyesal, mengapa aku sampai berfikir untuk menyalahkan Sang Pencipta?Kuhela napas berat, menyesali hal yang baru saja kulakukan.“Bodoh, kamu bodoh, Gam,” gumamku seraya menggusur koper berisi pakaian juga dokumen penting lainnya.“Pergi aja, enggak usah lirik kiri, lirik kanan. Vivi dikurung sama enyak, jangan harap bisa melihatnya,” lanjutku murung.Saat ini diriku masih berdiri tegap di ujung jalan, memerhatikan pagar yang menutup sedih. Aku sedang menunggu angkot di sini.Namun, tak lama pagar terbuka. Aku tak menyangka Vivi keluar dengan membawa ... tas besar? Untuk apa itu semua?Dia berlari ke arahku.“Vivi?!” Refleks diri ini juga menyambut kedatangannya.“Abaang.” Ia merangkul lenganku dengan tangis kecil yang memenuhi telinga.Kutarik kedua bahunya dengan perasaan kaget luar biasa.“Kenapa kamu keluar? Nant

  • Yuk, Nikah!   Kerasnya Hati Nyak Marni

    Aku telah mengecewakan orang-orang yang menyayangiku, dan mereka akhirnya satu-persatu memilih membenci diri ini, lalu pergi meninggalkan tanpa ragu.“Putusin anak gue, dan jangan harap elu bisa masuk ke kehidupan kami lagi. Pergi lu dari sini.”Deg!Aku terpaku ketika akhirnya kata yang amat paling kutakuti keluar juga dari mulut nyak Marni.Pagi ini aku sudah dibuat gila dengan kepergiannya orang-orang yang aku sayang.Apa ini? Mengapa jadi begini?Mengapa mencintai satu perempuan muda saja sampai menghancurkan setengah dari hidupku, juga hidup orang lain?Apakah ini hukuman dari Yang Maha Kuasa karena aku melanggar janji kepada Fadlan? Ataukah ini karma karena aku melanggar janji kepada nyak Marni untuk tidak memacari putrinya?Astagfirullah ... jika ini terjadi sebagai bentuk ujian dari-Mu, hamba ikhlas. Namun, hamba mohon, jangan sampai Fadlan atau nyak Marni terus menutup hatinya dan terus marah sepanjang waktu. Jika berpisah dengan Vivi adalah jalan satu-satunya agar hamba mend

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status