Sejak hari itu—nonton konser BST—bisa dikatakan kalau Fadlan telah sukses PDKT untuk pertama kalinya. Lalu, setelahnya mereka menjadi lebih dekat.
“Gam, gimana menurut kamu? Udah ada tanda-tanda dia nangkep sinyalku, nggak?” Fadlan bertanya seraya memperlihatkan pesan w******p dari Vivi.
Kuambil ponselnya dan kuamati seksama. Bingung, sebab yang kulihat dari pesan ini hanya membahas tentang korea semua.
Aku menggeleng, “Belum, Lan. Ini malah terkesan kamu sendiri yang sukanya kebangetan.”
“Ah, mana mungkin!” sanggahnya seraya merebut ponselku lagi.
Kini, Fadlan takkan membiarkanku istirahat sebelum ceritanya selesai. Membicarakan bagaimana proses dia pendekatan. Memperlihatkan isi chat yang menurutku biasa saja. Bersorak ria saat mendapat balasan. Aduh, benar-benar.
“Besok hari kelulusan sekaligus perpisahan Vivi, aku bakalan ngasih kejutan sama dia,” celetuk Fadlan.
“Kejutan gimana?”
“Aku mau ajak dia dinner berdua. Jauh-jauh hari aku sudah menyiapkan semuanya. Mulai dari booking restoran dan menghiasnya dengan nuansa romantis. Ya, tentunya minta bantuan sekretaris Papa, sih.” Fadlan nyengir kuda.
Setelah kudengar cerita keseluruhannya, aku cukup terkejut dengan persiapan yang dia lakukan. Tak tanggung-tanggung, restoran bintang lima disewanya. Belum lagi hadiah berupa kalung dan bunga mawar merah sudah disiapkan. Wah, Fadlan sungguh luar biasa. Bocah itu benar-benar beruntung. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Vivi terhadap kejutan tersebut.
Niat sekali temanku ini. Salut. Bagi anak dari seorang yang kaya rayanya kebangetan, mengeluarkan uang sebegitu banyaknya tak jadi masalah. Kalau aku, sih, pasti mikir dua kali. Memangnya mau menikah? Sampai rela habiskan uang banyak demi membahagiakan perempuan. Walau begitu, aku tetap mendukungnya dan mendoakan semoga dia berhasil.
“Mantap. Semoga sukses nge-datenya,” ucapku seraya menepuk bahu Fadlan.
“Bagiku, sih, iya nge-date. Tapi bagi Vivi mungkin hanya pesta kecil-kecilan sebagai perayaan kelulusannya. Aku harap, semoga aja setelah itu dia bakal sedikit merasakan getaran yang kurasa.”
“Enggak apa-apa. Semua berproses. Lihat, kan, Rama aja ditolak sama Vivi karena tiba-tiba nembak tanpa ancang-ancang. Yakin aja, Vivi akan merasakan ketulusanmu suatu saat nanti.”
Fadlan mengangguk bagai jamaah yang sedang mendengar tausiah. Lalu, dia kembali menatap layar ponsel dan senyum-senyum sendiri, lalu tiduran, guling-guling, bangun lagi, tiduran lagi. Lebay abis. Malah tambah geli waktu Fadlan menyanyikan lagu korea. Idih.
“Woy, tidur!” Aku menegur Fadlan yang sedari tadi masih menatap layar ponsel.
“Duluan aja, aku masih mau mandang chat dari Vivi,” sahutnya tanpa menoleh padaku.
“Bah! Stres beneran kamu, Lan!” Kulempar guling tepat pada wajahnya, tak tahan dengan ke-bucinannya.
Dia berdecak kesal dan berniat membalasku. Namun, dering ponsel membuat niatnya terpaksa batal.
“Hallo, Pa?” Fadlan menyapa. Ternyata papanya yang menelepon.
Tak terdengar apa yang dikatakan dari seberang telepon, tapi Fadlan menampakkan raut wajah syok berat.
“Iya, Fadlan ngerti.” Dia mengakhiri telepon dan langsung berdiri, membuka lemari dan mengambil koper.
Tak butuh waktu lama sampai tangannya menyabet pakaian yang menggantung rapi miliknya. Aku berdiri dan menghampiri.
“Ada apa? Kenapa ngemas baju?” tanyaku seraya menyentuh pundaknya.
Dia menoleh, matanya berembun. Fadlan yang beberapa detik lalu tengah cekikikan ceria, sekarang hampir menangis. Aku cemas tapi tak bereaksi apa-apa. Hanya bisa menatapnya dalam diam. Menunggu dia yang bicara.
“Aku harus pergi ke China. Mamaku meninggal di sana,” ungkap Fadlan pelan. Suaranya pelan sekali.
Fadlan kembali sibuk mengemas baju dan perlengkapan lain. Aku tak banyak bertanya dan berkata, tapi mataku mengatakan semuanya. Aku turut berduka cita, kawan. Tegarkan hatimu. Semoga amal ibadah mamamu diterima di sisi-Nya. Aneh, mulutku seolah terkunci, tak mampu mengucapkan semua itu.
Kalau dengar kata 'Mama' dari mulut Fadlan, aku jadi teringat masa lalu. Masa ketika aku dan Fadlan belum seakrab ini. Dulu, yang kutahu Fadlan hanyalah seorang anak pejabat negara bergelimang harta. Parasnya tampan dan populer di kalangan para mahasiswi. Pulang pergi naik mobil lamborgini. Kalau pintu mobil terbuka, wangi parfum mahalnya menyeruak. Dia sempurna, bahkan prestasi belajarnya bukan main-main. Hanya saja, dia penyendiri dan tidak banyak bergaul. Kukatakan bahwa aura kesombongannya sangat luar biasa.
Namun, suatu kejadian yang kusaksikan malam itu telah mengubah pandanganku terhadapnya. Malam tahun baru saat aku sedang duduk di depan mini mart tempat aku kerja paruh waktu. Saat itu, mobil mewah tiba-tiba mendadak berhenti tepat sebelum menabrak toko. Aku syok bukan main. Tak lama seseorang keluar dari mobil. Itu Fadlan yang kukenal di kampus. Lalu, setelahnya turun seseorang wanita berbaju long dress lengan pendek, berambut ikal sepunggung.
“Fadlan! Berhenti! Tolong dengarkan Mama!” teriaknya sambil menarik tangan Fadlan.
Ternyata itu ibunya.
Fadlan menggeleng, “Nggak ada lagi yang perlu kudengar. Mulai saat ini, jangan pernah temui aku dan Papa!”
Dia mengempaskan tangan ibunya secara kasar dan memaki. Meneriaki ibunya dan menendang mobil dengan harga selangit itu membabi buta. Fadlan menggila. Berteriak bagai orang kesetanan. Menjambak rambut sendiri sambil meraung. Ibunya tak berusaha menghentikan. Wanita itu hanya menangis sambil membekap mulutnya.
“Kita selesai di sini! Pergi saja sesukamu! Jangan cari kami lagi!” teriaknya dengan napas terengah-engah.
Fadlan sekilas menatapku, aku yang menyadarinya cepat-cepat mengalihkan pandang. Tak lama Fadlan pergi begitu saja dan meninggalkan ibunya yang masih meraung. Setelah punggung anaknya semakin jauh, dia masuk ke mobil dan melajukannya dengan kencang ke arah berlawanan. Pertengkaran itu membuat mereka berpisah.
Esoknya aku dikagetkan dengan kedatangan Fadlan ke tempat aku bekerja. Dia berdiri berhadapan denganku di depan meja kasir.
“Aku mau rokok,” katanya sambil menunjuk ke etalase di belakangku.
“Rokok merk apa?”
“Apa saja,” katanya.
Aku mengerutkan dahi. Jelas ketahuan kalau dia bukanlah seorang perokok. Kami saling diam. Tak lama terdengar bunyi nyaring berasal dari perutnya. Dia gelisah, malu mungkin.
“Tidak jadi beli rokok. Beli mie cup saja,” ucapnya kemudian.
Aku tak banyak berkata dan langsung berjalan menuju etalase yang penuh dengan beragam mie cup aneka rasa.
“Goreng apa kuah? Mau rasa apa?”
“Yang berkuah dan varian apa saja, asal jangan yang pedas. Kalau bisa, tolong buatkan yang jadi untukku. Nanti kubayar lebih, kutunggu di depan,” katanya lalu melenggang pergi.
Aku agak kesal sebenarnya dengan sikap dan kalimat terakhir itu, seolah harga diriku bisa dia beli saja. Namun, akhirnya kulakukan apa yang dia minta.
“Ini, selamat menikma ....”
Belum selesai ucapanku, Fadlan langsung melahap mie yang masih panas itu secepat kilat. Mataku tak berhenti melotot.
‘Wah, rakus juga ternyata.’
Setelah habis, dia memintaku membuatkan lagi, lagi, dan lagi. Kalau dipikir, aku ini macam babu yang sedang di-training saja olehnya. Tak tanggung-tanggung, Fadlan memintaku membuatkan mie lima kali. Benar-benar membuatku kesal.
“Terima kasih, aku kenyang sekali berkatmu,” katanya sembari menyerahkan tiga lembar uang warna merah.
“Ini kebanyakan. Lima cup harganya hanya ....”
“Kalau gitu buatmu aja kembaliannya,” selanya memotong ucapanku.
“Tidak, aku tidak bisa menerimanya,” tolakku tak enak. Kusodorkan uang sisa serta kembalian itu pada Fadlan.
Dia menggeleng, “Kalau tak mau menerimanya, simpan dulu. Besok aku ke sini lagi untuk makan mie.” Si super dingin itu pergi tanpa permisi.
“Dasar! Apa orang kaya sikapnya selalu begitu, ya?” gerutuku kesal dan memasukkan uang sisa plus kembaliannya ke dalam saku pribadi.
Sejak itu, rutin setiap hari dia akan datang tepat pukul sepuluh malam untuk makan mie buatanku. Namun, suatu malam saat dia memintaku membuatkan mie lagi, aku tak menurutinya. Kuberikan dia nasi bungkus dengan lauk seadanya yang kubeli dari warung nasi seberang toko. Bukannya dimakan, dia malah memandangi nasi itu tanpa berkata.
“Makanlah nasi sesekali. Keseringan makan mie tidak bagus buat tubuh,” kataku waktu itu. Ceritanya sok-sokan menasehati.
Fadlan tak merespon, dia fokus memandang nasi tanpa berkedip.
“Ya, aku tahu kamu kaya dan pasti belum pernah makan nasi bungkus seperti ini. Tapi ....”
Seperti biasa, Fadlan tak menggubris ucapanku dan langsung melahap nasi itu dengan suapan besar.
“Sejak malam itu, aku belum makan nasi lagi. Terima kasih, Agam.” Fadlan nyeletuk ketika mulutnya masih mengunyah. Dan, aku cukup kaget saat dia memanggil namaku.
Entah sejak kapan, tapi pada akhirnya kami menjadi akrab. Dia sering menemaniku begadang menjaga toko. Kami tak lagi bicara formal dan sering saling bertukar cerita, termasuk tentang kisah kerumitan keluarganya yang baru saja berpisah.
Fadlan, si dingin yang mengalami broken home pun perlahan bisa menyembuhkan diri. Mencoba akrab dengan mahasiswa lain dan dekat dengan perempuan. Begitulah awal dari kisah persahabatan kami terjalin tanpa sengaja.
Hari ini, setelah bertahun-tahun lamanya, Fadlan kembali mengungkit mamanya yang dulu sangat dia benci. Bahkan, dia akan terbang ke China agar bisa melihat jasadnya sebelum dikuburkan.
“Kamu baik-baik aja, Lan?” tanyaku khawatir.
Dia selesai berkemas dan menoleh padaku, “Nggak apa, aku baik-baik aja. Jaga diri di sini. Aku pergi sekarang.”
“Berapa lama kamu akan tinggal di sana? Vivi gimana?”
Fadlan terdiam sejenak. Sepertinya dia sedih juga.
“Soal berapa lama tinggal di sana, belum ada kepastian sampai kapan. Tapi soal Vivi, ku titip dia ke kamu, Gam. Aku percaya kamu bakal jaga dia buat aku.” Fadlan bangkit dan menggusur kopernya.
“Tunggu, aku ikut!” seruku. Namun, Fadlan melarang.
“Aku akan pergi sendiri. Istirahatlah, besok kamu akan nganter Vivi gantiin aku.”
“Gantiin?”
Fadlan mengangguk, “Iya, semua udah siap. Mana mungkin rencana dibatalkan. Jadi, tolong bantu aku buat bikin Vivi tertawa. Dia sangat berharga buatku. Sekali lagi, aku titip dia.”
Bersambung ....
8Tepat pukul sepuluh malam, Fadlan pergi tanpa pamit pada Nyak Marni atau Vivi. Aku tak mengantarnya ke bandara sebab dia melarang keras. Dia hanya terus memintaku untuk terus menjaga Vivi selama dia tak ada.Pagi ini, aku sudah bersiap serapih mungkin. Memakai celana hitam dan kemeja panjang merah maroon yang lengannya kulipat seperempat. Dirasa cukup, kuraih kunci mobil Fadlan yang tergeletak di atas nakas.“Bang Fadlaaan!” Teriakan Vivi terdengar nyaring seperti biasa, “Ayo buruan, katanya mau nganteriin!” sambungnya. Dia kini telah berada di ambang pintu.“Fadlan nggak ada. Abang aja yang nganterin kamu sama Enyak,” sahutku seraya mendorong tubuh dengan tinggi 165 cm itu. Lalu, lekas mengunci pintu kosan.“Loh, kemana?” tanyanya di balik punggungku.“Ke China. Mamanya meninggal di sana. Semalem perginya mendadak, jadi nggak sempet pamitan dulu sama kamu dan Enyak.” Aku me
“Fadlan, ini bukan kuasaku. Dia main sosor sendiri,” gumamku seraya mengelap pipi bekas ciuman Vivi menggunakan tisu toilet.Pikiranku berkecamuk tak tenang. Sebab, teringat akan Fadlan yang kini mungkin masih dalam perjalanan. Mungkin, aku merasa bersalah.“Dasar! Udah jadi anak gadis aja masih suka cium-cium sembarangan! Dulu iya, aku tak masalah. Toh, yang nyium itu anak SD. Sekarang, kan, beda lagi. Udah perawan, malah jadi gebetan temen sendiri, lagi. Kalau dia tahu, mati aku."Kucoba hilangkan pikiran negatif dan menenangkan diri. Meyakinkan bahwa tadi itu hanya kebiasaan masa kecil yang belum bisa Vivi hentikan. Walau begitu, kejadian tadi sangat membuatku terkejut.‘Sudah! Singkirkan pikiran itu! Ayo pergi! Vivi mungkin sekarang sudah naik panggung! Fadlan, kan, sudah menyuruhmu untuk mengabadikan momen penting itu!’ batin ini malah bermonolog pada diri sendiri, menyedihkan.Aku mencoba meny
Syukurlah, pada akhirnya aku bisa menjalankan amanah dari Nyak Marni dan Fadlan untuk menemani Vivi hingga acaranya selesai.Sebenarnya belum, sih. Masih ada acara meriah lainnya sebagai perayaan selepas magrib nanti. Berbagai hiburan pentas seni tradisional dan modern juga akan dilaksanakan nanti malam. Bahkan, kata si Vivi, nanti akan ada pertunjukkan debus.Buset, pengen banget liat. Em, tapi ingat sudah ada titipan acara penting lainnya, yaitu melaksanakan permintaan Fadlan untuk mengajak bocah ingusan ini dinner. Huh, payah.Dan, karena acara inti perpisahan kelas Vivi juga telah usai sekitar jam lima kurang, akhirnya kami memutuskan pulang lebih awal agar bisa mandi dan bersiap pergi ke tempat yang telah dipesan sahabatku itu.“Kenapa liat-liat di kaca spion?” tanya Vivi di jok belakang.Saat ini kami tengah di perjalanan pulang naik motor kesayanganku. Memang, aku curi-curi pandang di kaca spion. B
Sudah hampir satu jam kami habiskan waktu di restoran berbintang ini, sayangnya bukan membuat Vivi bahagia, dari yang kulihat dia justru merasa risih dan tak nyaman.“Bang, aku malah ngantuk, loh, denger musiknya,” bisik Vivi di telingaku.Aku tersenyum kecil kemudian mengangguk. “Sama. Abang lebih suka lagu-lagu pop tanah air ketimbang lagu beginian,” bisikku membalas.Ya, yang benar saja, grup musik sewaan Fadlan terbilang payah. Lebih tepatnya salah sasaran saja. Sebab yang kutahu Vivi tak suka lagu-lagu klasik luar negeri. Kesukaannya hampir sama, lah denganku. Kalau tidak pop, ya, k-pop.Hmm, mungkin niatnya si Fadlan mau sok-sokkan romantis gitu kali, ya? Dasar tidak tahu keadaan. Payah.“Bang, kapan kita bisa pulang?” Lagi-lagi Vivi berbisik.Kurasa si Vivi sudah bosan. Duh, padahal belum sampai ke waktu kejutan utamanya. Dan sepertinya masih agak lama sampai ke puncak kejutan itu.
Dia Vivi, gadis yang kuanggap adik sendiri itu mengukir senyum yang tak biasa. Dia benar-benar sudah berproses menuju kedewasaan. Fadlan, semoga saja rasamu dapat segera tersampaikan.Aku melangkahkan kaki, turun dari panggung kecil ini dan kembali ke meja makan.Vivi menyambut dengan senyum merekah. Ia menunjukkan bunga mawar serta liontin yang diberikan Fadlan kepadaku, mungkin niatnya mau pamer.“Bagus, ya, Bang.”Aku mengangguk saja. Tak hentinya ia tersenyum gembira.“Bang Fadlan bisa aja bikin Vivi seneng. BTW, ini asli emas enggak, ya?” Vivi berkata sembari memerhatikan kalung putih di tangannya dengan cermat. Kemudian dia menoleh padaku, seakan bertanya.Aku menaikkan bahu, tanda menjawab tak tahu. Ah, sudah jelas itu kalung emas putih asli. Hanya saja aku takkan beritahu. Jika diberitahu, dia pasti pingsan apalagi andai kusebut taksiran harganya.“Sayang banget, ya, bang
Masih kuingat betul sebelumnya Vivi terlihat hanyut dalam lagu yang kunyanyikan. Kepalanya bahkan bergerak slowly ke kanan dan kiri. Hmm, tapi ada yang kusadari. Vivi sama sekali tak bereaksi apa-apa setelah aku selesai bernyanyi. Iya, ya, dia keburu senang karena diberi bunga dan kalung oleh sahabatku, Fadlan. Ya, sudah biar saja. Kami juga sempat saling diam sepanjang jalan entah karena apa, aku juga lupa. Oh, iya, karena aku mengatakan dia punya perut karet sepertinya. Ya, rasanya itu. Untungnya semua itu tak berlanjut lama, aku dan Vivi akhirnya bisa kembali mencairkan suasana. Hanya saja, rencana untuk makan di warteg gagal karena mendadak Vivi ingat Nyak Marni katanya. Lantas, demi mengganjal perut, kubelikan onde-onde di pinggir jalan yang nongkrong di depan mini mart, sekalian kubelikan es krim juga. Dan, saat itu hal yang tak pernah kuinginkan terjadi malah terjadi. Sesuatu yang mengundang rasa canggung kemb
Waktu memang tak bisa diajak kompromi. Semakin panik aku karena takut kesiangan, semakin cepat pula rasanya dentingan jam di dinding berputar.Kesalku semakin bertambah kala tetangga sebelah nyetel musik keras-keras. Kan, jadinya aku tak bisa fokus dengan persiapanku pagi ini.“Duh, mana kaus kakiku satu lagi?!” Entah apa yang merasuki, kedua tanganku mengobrak-abrik isi lemari, mengeluarkan semua isinya ke lantai.Sehabis mandi pun rasanya kembali mendadak gerah kalau lagi panik begini. Semua karena masalah kesiangan.Biasanya ketika ayam jago berkokok di waktu subuh, si Fadlan pasti rutin membangunkanku untuk melaksanakan ibadah dua rakaat. Teh manis yang masih mengepulkan asap panasnya pasti sudah tersedia di meja.Dan sekarang benar-benar beda rasanya ketika sosok sahabatku itu tak ada. Aku kerepotan sendiri. Pagiku terasa kosong. Lantas, yang bisa kulakukan hanya panik dan kesal.“
Bukan main sialnya pagi ini. Sepertinya ini adalah karma karena tak sembahyang subuh tadi. Hmm.Bukan cuma mendadak jadi orang pikun yang lupa nama hari dan jadi orang linglung, tapi aku juga mendadak jadi kagetan sebab Vivi baru saja mengatakan akan menjodohkanku dengan seseorang.Eh, siapa tadi katanya? Teman Vivi? Atau ....“Bang!” Panggilan cemprengnya kembali membuatku dilanda kejut.“Astag ... Vivi! Kamu itu ngagetin terus kerjaannya!” Jelas kumarahi, hampir kena spot jantung, sih.Ia tergelak, lalu cepat-cepat meminta maaf. Duh, enak saja. Gampang amatan dia minta maaf, habis itu diulangi lagi kesalahannya.“Abang kenapa, sih?” tanyanya kemudian.Aku melirik tajam.“Kamu yang kenapa?! Ngapain main jodoh-jodohkan sembarangan?! Ogah, ya. Abang males!” selaku dengan tegas menolak.Ia berdecak kesal, melipat tangan di dada, memicingkan mata ke arahku.
“Agam! Agam!”Mata ini terbuka lebar kala bapak memanggil dengan hebohnya. Aduh, padahal aku sedang enak-enaknya tidur siang di kursi teras yang memanjang, sambil merasakan desiran angin sepoi-sepoi. Malah terganggu.“Apa, sih, Pak? Teriak-teriak gitu.” Aku terpaksa bangun meski mata masih terasa lengket.Bapak muncul di ambang pintu. Dan kami akhirnya bertemu mata.“Owalah, di sini toh kamu. Dicariin juga!” ucap bapak menggerutu. Lantas mendekatiku. Di tangannya tersampir baju batik berwarna dasar abu-abu.Bapak mendorongku agar bisa sedikit bergeser. Lalu, ia duduk tepat di sampingku. Sementara diri ini masih saja mengucek mata, mengusir kantuk yang mendera.“Ada apa, Pak? Lagi enak-enaknya tidur malah gangguin. Enggak seru,” ujarku protes.“Sera seru, sera seru! Ini, batiknya udah jadi. Coba dulu, siapa tahu kurang pas, jadi bisa cepet-cepet diperbaiki lagi. Ini malah enak-enakan tidur. Udah tahu kita lagi sibuk buat acara lamaran besok. Mepet ini, Gam.”Bapak kalau sudah menghadap
Langit sudah mulai menguning, menampakkan warna-warna cantiknya di atas sana. Aku terdiam berdiri menghadap jendela.Dalam diamku, telintas gambaran Agam. Kenangan bersamanya saat dulu tinggal bersama di kosan nyak Marni kembali terkorek.Mata ini terpejam kala canda tawanya terngiang-ngiang di telinga.Ada suatu rasa bahagia sekaligus sedih merayapi dinding hati tanpa alasan. Dia pergi begitu harusnya aku senang, kan? Lantas, mengapa malah rasanya semakin menyiksa.“Apa salahku, Gam? Sampai kamu sudah tak ada pun, kamu tetap memberi luka lagi dan lagi,” teriakku menggila.Sial!Kepergiannya malah membuat sebagian dari diriku saling menyalahkan. Seperti akulah orang yang telah membuatnya angkat kaki dari tempat itu. Aku orangnya!“Aaargh! Kenapa, sih nggak ngilang aja sekalian! Mat—” Ucapanku menggantung di udara kala menyadari jika hampir saja diri ini mengucap doa buruk.Astagfirullah. Kulemparkan diri pada kasur besar ini, menutup wajah, merasakan sesal karena bisa-bisanya aku meny
Hari demi hari berlalu begitu saja, tetapi segunduk nyeri di hati ini tak kunjung mereda. Mengingat kembali pengkhianatan sahabatku Agam, ingin sekali aku menyayat diri dengan pisau tajam.Sayangnya aku tak cukup berani untuk melakukan itu.Jika disuruh untuk jujur, aku tak sepenuhnya menyalahkan Agam. Aku juga salah karena telah jatuh cinta dengan mudahnya pada anak nyak Marni tanpa pernah berpikir sekalipun kalau akan ada saat-saat di mana rasa sayang bak saudara itu akan berubah menjadi rasa sayang antara laki-laki dan perempuan.Ya, aku yang terlalu bodoh.Aku tahu Agam tak pernah menginginkan semua terjadi. Aku yakin dia mencoba menolak rasa yang perlahan hadir di hatinya. Akan tetapi, sepertinya aku terlalu lama pergi, sehingga dia tak lagi sanggup menahan rasa yang telah berakar kuat tanpa ia sadari sendiri.“Sial, memang!” umpatku sengaja. Kini, aku sedang menatap tembok bercat putih bersih di kamar. Kacau.Sekelebat bayangan Vivi yang menolakku mentah-mentah beberapa waktu la
Pagi menyapa dengan dinginnya. Ketika mentari masih bersembunyi di balik awan, keluargaku sudah mengintrogasi diri ini. Menanyakan alasan kepulanganku yang super mendadak ini. Untungnya mereka percaya saat mulutku berkata pulang demi ingin memulihan diri. Mereka malah mendukung seratus persen.Yah, meski bukan pemulihan diri asli, tapi pmulihan hati lebih tepatnya.***Aku masih berjibaku di halaman belakang. Sedang mencabut singkong yang ditanam bapak. Ceritanya mau makan sup singkong buatan ibu.Hampir sepuluh tahun tinggal di kota, aku sampai lupa bagaimana caranya mencabut singkong yang baik dan benar. Dua kali terjungkal rasanya telah menjadi hal wajar ketika gagal mencabutnya, kan?Setelah banyak menghabiskan tenaga, akhirnya singkong yang kumau didapat juga. Lihatlah, tubuh ini basah oleh keringat. Ibu sampai geleng-geleng sambil tertawa melihat diri ini yang merosot ke lantai usai menyerahkan singkong-singkong itu ke tangannya.Ah, yang benar saja. Cabut satu pohon singkong be
Baru saja kulihat langit gelap gulita mengelilingi diriku, mengapa dalam sekejap mata mentari naik membakar kepala?Anehnya ini bukan di bus atau jalanan kota.Gunung! Aku berada di puncak gunung.Apakah ini mimpi? Tapi, terpaan angin menggelisir di atas kulit terasa nyata. Dingin.“Abang jahat.”Deg!Aku terperanjat mendengar suara Vivi yang terdengar begitu serak. Ketika mata ini memindai seluruh tempat yang terjangkau, tampak sosoknya di kejauhan sana, menatap dengan mata yang banjir air mata.“Vivi?” Aku berlari ke arahnya.“Abang jahat.” Lagi-lagi rutukkan itu yang terdengar.“Vivi! Tunggu!” Dia berbalik, pergi meninggalkanku di sini. Di tengah rimbunan pohon yang meninggi dengan sendirinya.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Kaget dengan situasi aneh ini. Apa-apaan semua?! Aku mundur terlampau takut.“Mas, Mas,” seru suara laki-laki mengalihkan perhatian.Seketika pemandangan menyeramkan itu lenyap, berganti dengan pemandangan dalam bus yang penumpangnya sudah turun. Tak jauh dariku
Malam semakin larut, jalanan sudah mulai macet. Lampu-lampu menguning sebagai penerangan jalan di dekatku mencetak dua buah bayangan di bawah kaki.Aku dan Vivi.Di antara kebisingan kota kini. Kami berdua hanyut dalam kesedihan yang teramat dalam.Kubenarkan anak-anak rambutnya yang telah basah menempel di pipi. Dengan mati-matian diri ini menahan air mata yang sudah menumpuk di ujung mata. Merasakan kembali betapa pedihnya perpisahan.Dan baru aku tahu jika perpisahan karena terhalang restu ini lebih menyakitkan daripada berpisah karena dikhianati seperti yang dilakukan Gina dulu.“Bang, jangan tinggalin Vivi. Abang udah janji, plis,” rengeknya begitu erat merangkul tanganku.Berkali-kali kucoba lepas, ia kembali merangkulnya tak peduli nyak Marni sudah begitu murka. Vivi seakan tak melihat keberadaannya. Dia hanya fokus padaku. Mencegah agar diri ini tak pergi.Sementara aku hanya diam mematung. Tak kurespon ucapan juga rengekan itu. “Ayo pergi aja. Kita nikah. Abang janji, kan ma
Kawin lari? Oh, tidak. Ini sama saja dengan kami memukul genderang perang, menantang. Dan aku sungguh tak menginginkan perang itu terjadi.“Apa?! Apa lu bilang? Ka-kawin?!”Sayangnya kemarahan nyak Marni telah meledak bahkan ketika aku belum menolak ajakan Vivi itu.Bugh! Bugh!“Aw, Nyak! Nyak sakit!” pekikku setelah gagang sapu yang dipegang nyak Marni mendarat beberapa kali di kepala.Karena gagangnya panjang, jadi dengan mudah memukulku. Akan tetapi, aku berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Berlari, mondar-mandir, bahkan berjongkok dan melompat demi melindungi kepala ini. Kepala yang sudah mau meledak karena mumet.“Aduh, Enyaak!” Vivi mencoba menghalangi, merentangkan kedua tangannya.Nyak Marni sempat berhenti sekejap. Namun aku tahu itu tak membuat kemarahannya reda. Malah yang ada lebih membara lagi.“Lu mau dipukul juga?! Hah!” Nyak Marni segera mengangkat sapu itu ke udara. Gegas aku mengangkat tangan, niatnya ingin menangkap gagang itu.Akh! Tak tahan rasanya! Aku ingin s
Semesta telah menentang, apakah aku punya hak untuk menyalahkan semua kepada-Nya?Astagfirullah ....Dari sekian banyaknya hal yang membuatku marah, kecewa, sedih, juga menyesal, mengapa aku sampai berfikir untuk menyalahkan Sang Pencipta?Kuhela napas berat, menyesali hal yang baru saja kulakukan.“Bodoh, kamu bodoh, Gam,” gumamku seraya menggusur koper berisi pakaian juga dokumen penting lainnya.“Pergi aja, enggak usah lirik kiri, lirik kanan. Vivi dikurung sama enyak, jangan harap bisa melihatnya,” lanjutku murung.Saat ini diriku masih berdiri tegap di ujung jalan, memerhatikan pagar yang menutup sedih. Aku sedang menunggu angkot di sini.Namun, tak lama pagar terbuka. Aku tak menyangka Vivi keluar dengan membawa ... tas besar? Untuk apa itu semua?Dia berlari ke arahku.“Vivi?!” Refleks diri ini juga menyambut kedatangannya.“Abaang.” Ia merangkul lenganku dengan tangis kecil yang memenuhi telinga.Kutarik kedua bahunya dengan perasaan kaget luar biasa.“Kenapa kamu keluar? Nant
Aku telah mengecewakan orang-orang yang menyayangiku, dan mereka akhirnya satu-persatu memilih membenci diri ini, lalu pergi meninggalkan tanpa ragu.“Putusin anak gue, dan jangan harap elu bisa masuk ke kehidupan kami lagi. Pergi lu dari sini.”Deg!Aku terpaku ketika akhirnya kata yang amat paling kutakuti keluar juga dari mulut nyak Marni.Pagi ini aku sudah dibuat gila dengan kepergiannya orang-orang yang aku sayang.Apa ini? Mengapa jadi begini?Mengapa mencintai satu perempuan muda saja sampai menghancurkan setengah dari hidupku, juga hidup orang lain?Apakah ini hukuman dari Yang Maha Kuasa karena aku melanggar janji kepada Fadlan? Ataukah ini karma karena aku melanggar janji kepada nyak Marni untuk tidak memacari putrinya?Astagfirullah ... jika ini terjadi sebagai bentuk ujian dari-Mu, hamba ikhlas. Namun, hamba mohon, jangan sampai Fadlan atau nyak Marni terus menutup hatinya dan terus marah sepanjang waktu. Jika berpisah dengan Vivi adalah jalan satu-satunya agar hamba mend