Jeni melangkah dengan gontai memasuki pintu lift yang baru saja terbuka, namun ia segera ingat sesuatu kalau tasnya ketinggalan di kamar apartemen Louis. Segera ia keluar kembali dan berjalan cepat menuju kamar Louis.
Entah kenapa hatinya mendadak deg-degan saat ia hendak membuka sendiri pintu smart lock kamar apartemen kekasihnya yang ia sangat hafal kode passwordnya.
Jeni ingin sekali mengetuk pintu itu agar Louis sendiri yang membukakannya, namun seakan hatinya mencegah. Jeni pun menghela nafas dan menuruti hatinya untuk membuka sendiri pintu itu.
Dan ternyata saat ia masuk, Jeni mendengar suara tawa manja seorang perempuan dari dalam kamar Louis. Hatinya pun semakin deg-degan dibarengi dengan badan yang gemetar.
Pelan-pelan kaki Jeni melangkah menuju kamar Louis dan tawa manja perempuan itu semakin terdengar jelas. Hal itu membuat sepasang mata indah milik Jeni pun begitu perih dan langsung berderai air mata. Dadanya seakan bergemuruh menahan emosi, sementara tubuhnya mendadak lemas mendengar kenyataan bahwa tuduhan sahabatnya kepada kekasih yang ia cintai adalah benar.
Ingin sekali tangan Jeni membuka pintu kamar itu namun rasanya ia tak kuasa kalau harus melihat kenyataan yang ada, Jeni mematung di depan kamar itu sambil menangis terisak, tapi suara itu semakin terdengar menjijikkan di telinga gadis cantik berusia dua puluh empat tahun itu. Jeni akhirnya memutuskan untuk kembali pulang dan mengambil tasnya yang ketinggalan di sofa ruang tamu Louis.
Namun ia justru tak sengaja menyenggol vas besar yang ada di dekatnya sehingga jatuh dan menimbulkan suara keras yang akhirnya membuat Louis dan Renata justru keluar dari kamar.
“Jeni!” seru Louis dengan ekspresi kaget bukan kepalang.
Plak
Melihat Louis keluar kamar dengan menggunakan piyama kimono pria bersama Renata dengan lingerie seksinya. Jeni pun tak kuasa menahan emosinya. Ia langsung menghampiri Louis dan langsung melayangkan tamparan begitu keras.
“Apa salahku Louis? Apa?” teriak Jeni kalap.
Ia pun kemudian menangis sejadi-jadinya di depan Louis dan Renata. Sementara Renata justru kembali ke kamar dan tidak mau ikut campur urusan Jeni dan Louis.
“Maafkan aku Jeni, aku bisa jelaskan.” Ujar Louis yang sambil ingin memeluk Jeni karena kasihan.
“Tidak, jangan sentuh aku Louis. Aku sudah mendengar semuanya. Kamu tega!” teriaknya lagi sambil mendorong tubuh Louis dengan sangat kasar.
Jeni sudah tidak kuat lagi berada di tempat itu, ia kemudian berlari keluar dari apartemen Louis dan berjalan dengan gontai masuk ke dalam pintu lift yang baru saja terbuka.
Kebetulan hanya Jeni sendiri yang berada di lift itu sehingga ia langsung duduk bersimpuh sambil menangis sejadi-jadinya. Hatinya begitu hancur.
Rasanya ia tak sanggup lagi untuk bangkit dan melangkah keluar dari pintu lift saat sudah sampai di lobby. Tubuh Jeni begitu lemas.
“Boleh aku bantu?” tanya laki-laki seusianya yang baru saja masuk ke pintu lift itu.
Suara khas bariton laki-laki yang tak ia kenal itu membuat Jeni seketika mendongak ke arahnya dan cepat-cepat menghapus air matanya.
“Tidak usah, terimakasih.” Jawab Jeni yang kemudian berusaha bediri sendiri.
Dan baru beberapa langkah saja, tubuh Jeni terhuyung karena kepalanya yang mendadak pusing. Jeni hampir saja jatuh namun dengan cekatan laki-laki yang baru ia kenal itu langsung memback up tubuh Jeni sehingga ia saat ini berada pada tumpuan tangan laki-laki itu.
“Terimakasih sudah membantu, aku harus pergi dari sini,” ujar Jeni yang berusaha bediri dengan memegangi kepalanya yang masih pusing.
“Apa kamu bisa pulang dengan kondisi seperti itu?” tanya laki-laki itu yang nampak khawatir.
Jeni hanya tersenyum seraya mengangguk pada laki-laki itu, memastikan bahwa dirinya kuat untuk pulang sendiri.
“Baiklah, hati-hati di jalan!” Ujar laki-laki itu kemudian.
Lagi-lagi Jeni hanya mengangguk, lalu keluar dari lobby apartemen Elite City dengan perasaan dan kondisi yang sebenarnya sangat tidak baik-baik saja.
Jeni kembali terisak saat keluar dari gedung apartemen, bahkan dadanya terasa begitu sesak mengingat semua kejadian yang baru saja ia alami. Ingin sekali ia berteriak sekeras mungkin untuk melampiaskan semua perasaan emosi yang ada pada dirinya saat ini, namun hari sudah semakin malam. Sementara ia justru berjalan kaki sendirian pulang ke kosnya sambil tak berhenti menangisi dirinya sendiri.
“Jeni!” Seru Tamara yang tiba-tiba tak sengaja melihat Jeni yang berjalan sendirian.
“Tamara!” Seru balik Jeni yang mendadak senang sekali bertemu dengan sahabatnya itu.
“Ayo cepat masuk, aku antar pulang sekarang.” Titah Tamara.
Jeni hanya mengangguk lalu menyelinap masuk ke dalam mobil mewah milik Tamara.
“Mata kamu sangat sembab, kamu kenapa Jen? Kamu seperti habis menangis hebat.” Tanya Tamara saat mereka sedang dalam perjalanan menuju kos Jeni.
“Louis.”
“Kalian bertengkar?” tanya Tamara lagi.
Sebenarnya Tamara dan Tania sudah lama sekali memergoki hubungan Louis dan Renata, tapi berbeda dengan Tania yang selalu mencoba memperlihatkannya pada Jeni, Tamara justru memilih diam karena ia tahu Jeni tidak akan pernah percaya dengannya. Tamara lebih kepada memperingatkan Renata agar menjauhi Louis, bahkan ia sudah berkali-kali mengancam primadona kampus itu.
Jeni menggeleng cepat, ia kemudian menggigit bibirnya untuk menahan agar tidak kembali menangis di depan Tamara, namun hatinya begitu perih sekali. Kejadian tadi benar-benar tak bisa lenyap begitu saja dalam pikiran Jeni, bahkan terus menghantui dan membuatnya tidak bisa lagi membendung air matanya. Jeni menangis sejadi-jadinya di depan Tamara.
Seketika Tamara pun melajukan mobilnya ke tepi jalan dan berhenti. Tamara langsung memeluk Jeni, meskipun dalam hati ia belum tahu sebenarnya apa yang terjadi dengan Jeni.
“Maafkan aku Tam, aku tidak pernah percaya dengan kalian,” ujar Jeni menyesal di sela isak tangisnya.
Tamara hanya mengangguk sambil semakin erat memeluk Jeni, ia tahu sekarang kenapa Jeni sampai menangis hebat seperti itu. Tak terasa air mata Tamara pun ikut jatuh, ia bisa merasakan kesedihan yang dirasakan Jeni. Mereka bertiga, Tamara, Tania dan Jeni merupakan sahabat sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, persahabatan mereka begitu kuat hingga sudah seperti saudara kandung.
“Tinggalkan Louis, sudah saatnya kamu bahagia Jen!” tutur Tamara.
“Tapi...”
“Buka mata kamu Jen, Louis tidak pantas untukmu.” Ucap Tamara geram.
“Aku tidak akan pernah bisa meninggalkannya Tam, karena aku...” Jeni tak kuasa melanjutkan kalimatnya, hanya tangis penuh penyesalan yang bisa ia ungkapkan pada Tamara.
Halo readers, terimakasih sudah mampir. Mohon kritik sarannya ya. Oh ya kalian bisa sapa author di IG @ritahawa_
Thank you 😊
“Kenapa? Jangan bilang kamu sedang mengandung anak Louis.” Tebak Tamara.Jeni menggeleng cepat.“Lalu kenapa kamu tidak bisa meninggalkannya Jen? Dia sudah sangat menyakitimu. Aku bahkan tidak bisa terima itu.”“Aku sangat mencintainya Tam, entah aku begitu susah menjelaskannya tapi aku sangat mencintainya. Dulu aku juga selalu protes pada ibu kenapa beliau sangat mencintai ayah, padahal ayah sudah menyakiti kami berdua. Tapi ibu pun sama sepertiku saat ini, ibu tidak bisa menjelaskannya kenapa ibu sangat mencintai ayah bahkan sampai detik ini,” papar Jeni sambil terisak.Tamara hanya menghela nafas, ia jadi sangat kasihan terhadap sahabatnya itu. Tamara kemudian membantu menghapus air mata Jeni, lalu memeluknya kembali dengan sangat erat. Hal itu membuat Jeni semakin terisak di dalam pelukan Tamara.“Thank you Tamara. Aku sangat sayang sama kamu dan Tania. Kalian selalu ada untukku.” Isak Jeni yang s
Louis hanya memaksa tersenyum senang kepada dokter karena ia mengaku bahwa Jeni adalah istrinya, padahal kenyataannya mereka belum menikah.“Bu Jeni sudah siuman Pak, kami tinggal dulu sebentar. Kalau ada apa-apa bisa panggil kami kembali,” ujar Dokter Rena.Louis hanya mengangguk dan kembali tersenyum kepada dokter dan suster yang kemudian berlalu pergi meninggalkan Louis dan Jeni di ruang perawatan. Setelah memastikan dokter dan suster sudah benar-benar pergi, Louis langsung mengunci ruang perawatan VIP Jeni, dan kemudian menendang sofa yang tidak berdosa itu sambil berteriak marah pada dirinya sendiri.“Argh, kenapa semua ini bisa terjadi?” teriak Louis penuh penyesalan.“Ada apa? Apa yang terjadi denganku?” cecar Jeni bingung melihat tingkah Louis yang seperti itu.“Kata dokter kamu hamil,” jawab Louis kesal.Sama seperti Louis tadi, Jeni juga langsung syok tidak karuan, sepasang mata indah
***Hood Cafe“Jeni, kalau saya boleh tahu sebenarnya apa masalah kamu?” Tanya Steven penasaran.Jeni diam, ia masih ragu harus menceritakan kepada Steven apa tidak, mereka berdua baru saja berkenalan, Jeni masih tampak canggung untuk memberitahu semua masalahnya kepada Steven, tapi dalam hati kecil Jeni ia ingin sekali bercerita kepadanya, akan bercerita kepada siapa lagi selain Tuhan kalau bukan kepada manusia yang sangat peduli seperti Steven, kepada Mama, Tania atau Tamara itu sangat tidak mungkin untuk sementara waktu ini.“Baiklah, i'm sorry aku tidak akan memaksamu, kamu mau pesan apa? tanya Steven lagi.Jeni hanya menggeleng.“Aku tidak lapar, juga tidak haus Steven,” jawabnya kemudian.Steven tampak menghela nafas, bingung harus bersikap seperti apa lagi terhadap Jeni, namun dalam hatinya ia sangat iba terhadap gadis cantik blasteran Indonesia – Rusia tersebut,“Baiklah,” ujar Steven menyerah sambil kemudian menyeruput hot cap
***Apartemen Elite City“Aku sudah menemukannya Louis,” ujar Steven saat ia mendatangi Louis di kediamannya.“Thank you Stev, kamu memang selalu bisa diandalkan,” balas Louis senang.“Dia sebenarnya cantik, apa dia kekasihmu selain Renata?” pancing Steven.Louis diam, dalam hati ia sangat cemburu Steven memuji kecantikan Jeni di depannya. Sementara Steven yang melihat ekspresi Louis yang seperti itu langsung tertawa sambil melempar bantal sofa ke arah sepupunya itu, ia tahu kalau Louis tidak rela kekasihnya dipuji oleh laki-laki lain.“Aku tidak mungkin menyukainya Louis, penampilannya sangat biasa. Mamaku pasti naik pitam jika aku memiliki kekasih yang tidak layak seperti dia,” goda Steven yang sebenarnya ingin menyadarkan Louis agar lebih memperhatikan kehidupan Jeni.“Tidak layak? Apa maksudmu?” tanya Louis kesal.“Kutemukan dia di jalan seperti gembel, wajah
“Jen, aku tidak pernah melihat kamu sebahagia ini meskipun bersama Louis, orang yang katamu sempurna dan begitu kamu cintai selama ini, ada apa?” Tanya Tania angkat bicara karena heran.Jeni hanya tersenyum dan ikut masuk ke mobil Tamara tanpa jawaban, membuat Tania dan Tamara semakin penasaran hingga saling berpandangan satu sama lain, heran dengan sikap Jeni yang tidak seperti biasanya.“Tolong jelaskan pada kami Jen,” desak Tamara.“Aku memiliki teman baru, dia sangat baik padaku. Aku sedang berusaha membuat janji padanya hari ini, akan kukenalkan dia pada kalian,”“Apa maksudmu memiliki teman baru? Apa kami berdua kurang bagimu?” protes Tania kesal.“Tidak Tania, dia seorang laki-laki yang telah menyelamatkanku saat aku berusaha bunuh diri kemarin,” jelas Jeni.Tamara dan Tania justru mengomel tidak karuan saat mendengar pengakuan Jeni bahwa ia sampai hendak bunuh diri hanya gar
Jeni melongo bingung melihat Tania dan Tamara yang bercipika-cipiki ria dengan Steven secara bergantian.“Kalian sudah saling kenal?”Steven mengangguk dengan senyumannya yang begitu mengoyakkan hati siapapun yang memandangannya.“Kita dulu satu geng saat SD, geng penyelamatan, dan kali ini kita kembali dipersatukan untuk misi yang sama,” sahut Tamara diiringi gelak tawanya yang disusul oleh Tania dan Steven.Jeni tersenyum dingin, kemudian duduk di kursi di samping Steven karena Steven dengan sigap menarik mundur kursi itu untuk Jeni.“Ehem,” goda Tania.Jeni hanya bisa mendelik marah pada salah satu sahabatnya itu, ia tidak suka, dalam hatinya ia masih menginginkan Louis kembali karena janin yang ada dalam perutnya. Jeni tidak ingin buru-buru mencari pengganti Louis, sifat keras kepalanya harus ia pertahankan untuk menarik Louis kembali dari tangan Renata, ia yakin bisa.Tania dan Tamara justru ce
Tania dan Tamara sampai melongo terkejut dan saling berpandangan satu sama lain, mereka tidak menyangka Steven akan sepeduli itu pada Jeni, sementara Jeni langsung menggeleng cepat.Steven justru meraih tangan Jeni dan memegangnya dengan lembut sambil berkata lirih, “aku tidak keberatan, tolong jangan menolakku.”Jeni memandang Steven dengan tatapan yang sangat dalam, ia justru membayangkan Steven adalah Louis.Melihat Jeni dan Steven seperti ingin berbicara empat mata, Tania dan Tamara pun tiba-tiba pamit dan beralasan ada suatu hal mendadak yang mengharuskan sepasang sepupu kompak itu harus segera pulang ke rumah.Ibu Tania dan Tamara seorang kembar identik, sementara ibunya Tania sudah meninggal dua tahun yang lalu dan ayahnya bekerja di luar negeri, sehingga Tania dipaksa keluarga Tamara untuk tinggal bersama mereka.“Kenapa kalian buru-buru?” tanya Jeni merasa tidak enak hati.“Aku ingat kalau Mama ha
Jeni sampai mengucek kelopak matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa ia memang tidak salah melihat.Batinnya mulai berkecamuk, ia sebenarnya sangat merindukan Louis, tapi sisi lain hati Jeni sudah remuk tak bersisa lagi.Jeni menarik nafas dalam-dalam, lalu melempar handphonenya sesuka hati. Apa yang ingin dibicarakannya dengan Louis? Sudah tidak ada, yang ada justru ia akan bertengkar lagi dengan Louis.Jeni terlalu malas untuk berdebat kesekian kalinya dengan ayah biologis janin yang dikandungnya saat ini. Maka Jeni memutuskan untuk kembali merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya, ia sangat lelah. Terlebih ia baru saja muntah-muntah yang membuat hampir seluruh tenaganya habis terkuras. Mungkin lain waktu saja ia akan menghubungi Louis, pikirnya.Baru saja ia akan memejamkan matanya, deringan handphone bernada khusus kembali mengusiknya. Lagi-lagi itu Louis, Jeni baru saja memeriksanya karena handphonenya terlempar tak begitu jauh darinya. Jeni la
Jeni dan Louis tidak bisa menahan tawa dan mereka berdua mengangguk setuju demi menyenangkan putri kecilnya.“Berhentilah tertawa Ma, Pa. Ayo kita sarapan!” Louis mengerutkan keningnya dan dia menoleh ke arah Jeni. Maksudnya Jeni saja baru bangun tidur, siapa yang menyiapkan sarapannya? Tidak mungkin Aluna sendirian.Seolah mengerti pemikiran Louis, Jeni menjelaskannya, “Aku menyewa Bibi untuk memasak setiap pagi di sini.” “Kenapa tidak kamu sendiri yang memasak?” “Karena aku harus menulis setiap pagi, aku merasa itu waktu yang paling tepat untukku.” Louis tampak tidak setuju.“Lalu bagaimana kalau kita sudah menikah lagi? Apa kamu tidak akan memasak untukku?” tanyanya cemberut.Jeni tersenyum lembut dan ia mengelus wajah Louis dengan gemas, “Itu lain lagi.” Louis berubah senang sehingga ia ingin sekali menarik Jeni dalam pelukannya dan memagut bibirnya seperti semalam.Namun pemikiran itu segera diusir cepat oleh Aluna ya
Jeni dengan cepat menepis tangan Louis, lalu merubah posisinya lagi dan kali ini memunggunginya.Louis tak menyerah, ia justru semakin berulah. Aluna di gendongnya pelan-pelan dan dipindah ke tempatnya dengan guling besar di sisinya agar tidak terjatuh, sementara Louis saat ini menempati posisi Aluna hingga berada sangat dekat dengan Jeni. “L... Louis, tolong jangan macam-macam!” Cegah Jeni dengan suara pelan namun sebenarnya ia sangat ketakutan.Padahal Louis hanya memeluknya dari belakang dan membenamkan kepalanya ke punggung Jeni sambil mencuri aroma khas lily of the valley pada tubuh Jeni yang membuat Louis sangat nyaman.“Louis, lepas!” desis Jeni dengan suara setengah berbisik karena takut membangunkan putrinya.Namun, pelukan Louis semakin erat hingga bokong Jeni bisa merasakan sesuatu yang tegang di tengah Louis. Ia bergidik ketakutan dengan degup jantung tak karuan, ia sudah lama sekali tidak mengalami sentuhan seperti ini karena Steven
“Aluna, apa kamu tidak menyayangi uncle?” Tanya Jeni waktu itu sebelum akhirnya ia benar-benar menyetujui permintaan Steven untuk bercerai.Jeni masih ingin mempertahankannya, meski godaan dari Louis luar biasa. Jeni yang masih sangat mencintai Louis selalu saja hampir goyah dengan perhatian yang Louis berikan selama di Singapura. Tapi ia benar-benar masih meneguhkan hatinya untuk Steven, ia pantang menjanda kedua kalinya, juga karena Steven sudah berbaik hati padanya selama ini saat ia berada di posisi terburuk. Tapi jawaban Aluna membuat seolah dirinya tertampar keras oleh sebuah kenyataan.“Sayang Ma, tapi Aluna lebih sayang sama Papa.”“Kenapa? Uncle juga sangat baik sama Mama dan Aluna.” Aluna mengangguk-angguk membenarkannya, tapi gadis cilik itu memutar otaknya untuk menemukan jawaban yang tepat.“Tapi Aluna ingin Mama dan Papa,” lirihnya.Meski hanya pernyataan singkat dengan menekankan kata ‘ingin’ itu sudah sangat jelas di mata Je
“Ehem...” Deheman Steven sukses membuat keduanya melepas dengan gugup. Terutama Jeni, ia menoleh ke arah Steven dengan pandangan horor, sangat takut sehingga ia mengigit bibir bawahnya, tidak berani mengatakan apapun meski hanya sedikit penjelasan.“Itu tidak seburuk yang kamu lihat Stev.” Perkataan Louis setidaknya sedikit membantunya untuk menjelaskan pada Steven yang saat ini menahan ribuan emosi dengan tatapan tajamnya. Steven mengangkat sudut bibirnya membentuk seringai sinis. Setelahnya ia mengangkat satu tangannya di udara dan berbalik, ia terlihat sangat kecewa.“Jaga Aluna sebentar.” Seru Jeni sambil buru-buru mengejar Steven.Louis hanya diam dan merasa iba dengan Jeni. Jika saja ia tidak meninggalkan Jeni waktu itu, Jeni pasti masih menjadi miliknya sampai sekarang dan tidak perlu mengalami posisi yang sangat sulit seperti ini. Louis menghela nafas sebelum akhirnya menjatuhkan dirinya di sofa dan memijat pelipisnya.Di koridor r
Jeni dan Louis kembali saat Aluna sedang menangis keras. Melihat hal itu Jeni Louis sangat panik dan ia setengah berlari untuk menghampiri Aluna. “Steven, Aluna kenapa?” Jeni bertanya heran sambil memeluk Aluna yang terisak. Steven hanya diam dan menatap Aluna dengan rasa bersalah. “Apakah kamu mencoba bertengkar dengan putri kecilku Stev?” Tuduhan Louis sontak membuat Steven berubah emosi dengan cepat, ia menatap Louis geram. “Una, mau Papa.” Teriak Aluna sebelum Steven bisa menjelaskannya. Louis tersenyum ke arah Steven penuh kemenangan dan langsung menghampiri putrinya. “Ya Sayang, apa uncle menyakitimu?”Steven memelototi Louis tajam dan nafasnya terengah-engah karena terlalu banyak emosi yang ia tahan hanya demi janjinya terhadap Jeni. Menyadari tatapan tajam di balik punggungnya, bibir Louis berkedut membentuk senyum samar, ia sangat senang dengan posisinya saat ini karena Aluna lebih menginginkannya. “Papa, una mau de
Louis datang dengan sekantung belanjaan di kedua tanganny, Jeni yang sangat kelaparan langsung antusias begitu melihatnya. “Beli apa aja?” “Semua kesukaan kamu.” Bibir Jeni berkedut dan membentuk senyuman tipis. Entah kenapa hatinya berbunga-bunga padahal jelas dia istri Steven sekarang. Baru sadar kalau dia istri Steven, Jeni cepat-cepat menepis pemikiran tentang Louis, ia membuka kantung makanan itu dan lagi-lagi hatinya goyah, rasanya ingin melonjak seperti anak kecil yang diperbolehkan makan es krim favorit oleh ibunya. Jeni jadi berubah sangat plin-plan, hatinya terlalu lemah untuk Louis. Louis tersenyum senang mendapati kebahagiaan Jeni. “Lengkap kan? Itu bukti aku tidak sepenuhnya melupakanmu Jen, hanya saja kemarin... Mungkin Renata menyihirku.” Jeni hampir tersedak salivanya sendiri dan ia tidak tahu harus tertawa atau menangis sekarang.“Dan sekarang menurutmu sihir itu sudah hilang?” sahut Jeni menggoda. Louis men
Louis tersenyum tipis dan tidak mengatakan apapun lagi, ia mengikuti Jeni untuk menyandarkan punggungnya ke sofa lebih nyaman sambil menoleh ke samping memperhatikan Jeni yang saat ini tengah tertidur.“Kenapa dia sangat cantik sekarang? Apa karena dulu aku tidak pandai merawatnya?” batinnya.“Aku janji Jen, begitu Tuhan mengijinkanku untuk kembali padamu suatu saat nanti, aku akan menjadikanmu perempuanku selama sisa hidupku.” Lanjutnya.Jeni yang sebenarnya tidak berniat tidur, bisa merasakan tatapan Louis yang begitu intim padanya jadi dia sengaja membuka mata.“Kenapa kamu melihatku seperti itu? Aku sepupu iparmu sekarang.” Jeni mencoba mengingatkan Louis dengan kesal.Louis menarik sudut bibirnya membentuk senyuman jahat yang membuat Jeni bergidik, jadi ia langsung bangkit dan pindah duduk di samping tempat tidur Aluna. Ia membuka ponselnya dan mengecek pesan yang ia kirimkan pada Steven kemarin, masih tidak
Hari ini adalah hari ulang tahun Aluna, meski tanpa perayaan mewah dan resmi seperti ulang tahun sebelumnya, namun Jeni masih berusaha menyenangkan putri kecilnya yang saat ini masih terbaring lemah di rumah sakit.Ia beserta mamanya dan Louis datang dengan membawa kue ulang tahun berlapis dan beberapa kado kecil. Aluna sangat senang dan wajahnya berubah kembali ceria meski masih terlihat pucat.“Selamat ulang tahun Aluna kesayangan Mama, cepat sembuh ya.” Jeni mencium kening Aluna begitu lama dengan air mata yang tiba-tiba mengalir pelan di pipinya.“Una duga cayang Mama. Yup yu.”Jeni terkekeh pelan sambil menyeka air matanya, “Love u too.”“Selamat ulang tahun anak Papa yang cantik, cepat sembuh ya.”Louis yang berada di sebelah lainnya langsung menciumi pipi Aluna. Aluna sangat senang dan wajah anak itu benar-benar berbinar bahagia.“Una cayang Papa,” balasnya.Lou
Steven tidak berani membantah apapun dan langsung menuruti keinginan Jeni untuk membawa ke rumah sakit tempat Aluna dirawat. Meski dalam hatinya ada sedikit kekecewaan mengingat hari ini adalah hari pertamanya dan Jeni sebagai pasangan suami istri.Tentu ia sama dengan laki-laki pada umumnya yang masih menginginkan kebahagiaan sebagai pengantin baru. Untuk itu dia diam-diam mendengus getir saat dalam perjalanan ke rumah sakit.“Stev, cepatlah! Apa kamu sengaja melakukannya?” Jeni berteriak kesal menyadari Steven mengosongkan pikirannya dan melajukan mobilnya dengan malas-malasan.“Aku minta maaf.” Lirih Steven.Setelah itu Lamborghini tiba-tiba melaju seperti mobil pembalap dunia, alhasil mereka tiba di rumah sakit dengan sangat cepat.Begitu Lamborghini baru saja terparkir, Jeni langsung berlari tanpa mempedulikan Steven, di pikirannya hanya ada Aluna dan Aluna.“Bagaimana keadaan Aluna, Ma?” Jeni bertany