Di tempat yang berbeda, Steven hampir gila karena Jeni tidak membalas satupun pesannya atau menerima panggilannya. Hal yang ia bisa lakukan adalah mengusik Tania dan Tamara yang sedang di luar negeri, namun pada Tania, Steven memperoleh makian yang membuatnya bertambah bersalah pada Jeni.
Sedangkan Tamara, ia tidak bisa membantunya karena Jeni pun sama sekali tidak menghubunginya.
Steven sangat sress di apartemennya, rambutnya berantakan dengan wajah yang kuyu. Pasrah, ia mencoba mengirim satu pesan lagi pada Jeni.
[Jen, aku minta maaf. Tolong beritahu aku, apakah kamu baik-baik saja saat ini? aku hanya ingin tahu keadaanmu. Aku janji tidak akan mengganggumu untuk sementara waktu. Aku tahu aku telah membuat kesalahan besar padamu]
Kirim
Di kota yang berbeda, Jeni yang baru saja ingin terlelap begitu terganggu dengan pesan yang dikirim Steven. Akhirnya ia mengalah dan membuka semua pesan yang dikirimkan padanya hari ini.
Meski ia masih sangat
Jeni hanya mengangguk dan kemudian sarapan, dua perempuan berbeda generasi itu salig diam dan asik menyelesaikan sarapannya. Pada saat mereka sudah selesai, Fani datang sambil menggendong Aluna.“Mama, tita nana?”Fani dan Nenek tertawa kecil mendengar celotehan Aluna.“Kita di rumah nenek buyut, Sayang. Kalau yang gendong kamu itu Tante Fani.”Aluna langsung memandang Fani dan tersenyum, ia berujar malu-malu, “Ante.”“Hy Aluna.”Aluna kembali tersenyum manis dan menggemaskan.“Sini sama nenek buyut.” Nenek Marina menawarkan menggendongnya dan Aluna tidak keberatan, ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan saat ini berpindah ke gendongan nenek buyutnya.“Anak pintar.”Hati Jeni sangat damai saat ini. Ia sangat senang neneknya bisa dekat dengan Aluna, namun di sisi lain pula ia merasa sedih mengingat ibunya hanya bertemu Aluna saat masih bayi, setelahny
Sementara Jeni, ia juga tidak menolak dipeluk oleh Louis seperti itu, Jeni membalas pelukan Louis dan menutup matanya, menangis tanpa suara dalam pelukan Louis, pelukan yang sangat ia rindukan. Mereka pun berpelukan cukup lama.“Jadi apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua itu Jen? Tolong beritahu aku, aku benar-benar ingin kamu memaafkanku.”Jeni tercengang dengan pernyataan Louis, ia melepas pelukannya dan menghapus air matanya.“Louis, kamu...”“Jen, tolong beritahu aku!” Louis menangkup wajah Jeni lembut dan menatapnya dengan ketulusan.“Aku hanya.... aku hanya ingin kamu selalu ada untuk Aluna. Kamu tahu hidupku semasa kecil tak ada bedanya dengan Aluna, jadi aku harap kamu....”“Aku tahu Jen, aku akan melakukan apa yang kamu mau, aku janji dan kali ini aku tidak akan sekedar janji. Aku akan benar-benar melakukannya, jika tidak. Biar Tuhan saja yang menghukumku dengan berat.&r
Fani membantunya mengambil minum dan menyerahkannya pada Jeni.“Laki-laki siapa maksudmu Fan?” tanya Jeni begitu ia selesai minum.“Aku tidak tahu, tubuhnya tinggi, tegap dan perawakannya seperti intel. Kamu tidak buronan kan Jen?”Jeni memelototi Fani tidak senang.“Apa maksudmu? Mungkin dia orang suruhan seperti Steven.”“Steven itu siapa?”“Tunanganku.”“Ha?” Fani sangat terkejut.“Aku dan Louis sudah bercerai, Louis pun sudah menikah dua hari yang lalu dengan selingkuhannya, bertepatan dengan hari pertunanganku dengan Steven.”Pupil Fani membesar.“Ya Tuhan, kenapa serumit itu Jen?”“Aku bilang juga apa, hidupku sangat rumit Fan dan kamu tidak percaya.”Jeni kali ini lebih tenang dan memilih melanjutkan sarapannya.“By the way masakan Nenek sangat enak.”“Hmm
Mungkin malam itu hari terakhir Jeni bersembunyi dari Steven, saat ia sedang duduk di teras mengobrol dengan Ardan, ayah Fani. Jeni melihat mobil sedan hitam mewah yang tiba-tiba berhenti di depan rumah neneknya. Ia pikir itu adalah Louis, namun ia ternyata salah besar.“Steven!” seru Jeni terkejut.Tanpa basa-basi Steven langsung menghampiri dan memeluknya.“Aku sangat merindukanmu Jen.”Jeni menolak pelukan Steven dan berusaha melepaskannya, terlebih lagi di sampingnya masih ada Ardan.“Siapa kamu? Datang-datang langsung memeluk keponakan saya. Tidak sopan.”Steven tersadar bahwa ada orang lain selain ia dan Jeni, jadi ia melepas pelukannya dan menengok ke arah sumber suara. Ia begitu kaget saat melihat laki-laki berumur yang terlihat mirip dengan Jeni.“Saya Omnya Jeni, kamu siapa?” tanya Ardan dengan suaranya yang tegas dan dingin.“Saya... tunangan Jeni, Om.” Ujar
Pada saat mereka saling fokus dengan makanan masing-masing, terdengar suara pintu diketuk dari luar. Jeni yang sudah selesai makan, langsung bangkit dan berkata, “Mungkin Fani, aku akan membukakannya.”Steven hanya mengangguk dan membiarkannya.Begitu pintu terbuka, Jeni terbelalak tak percaya. Louis dengan wajah berbinar menenteng keranjang buah dan beberapa makanan sedang berdiri di depannya.Jeni hanya mematung dan memaksakan senyum tak berdaya.“Aluna dimana? Kok sepi?”Tak bisa menjawab, Jeni mendadak pucat saat Louis dengan percaya dirinya langsung masuk dan menerobos Jeni yang masih mematung di depan pintu.“Louis, tunggu! Di dalam ada....”Belum sempat Jeni menyelesaikan kalimatnya, Steven sudah hadir di tengah mereka dan membuat suasana peperangan langsung bergejolak saat itu juga.“Sudah kuduga kamu tahu Jeni ada dimana,” ujar Steven dengan senyumnya yang mencibir pada L
“Steven, seharusnya kamu tidak harus menanggung beban seperti ini. Kamu sudah sangat baik padaku selama ini dan Aluna, tapi aku belum bisa memberikan sepenuhnya apa yang kamu inginkan. Kenapa kamu memilih untuk bertahan denganku?”“Jeni sudahlah! Aku tidak ingin membahas ini lagi.”Jeni menghela nafas sebelum akhirnya ia bergumam dengan lirih, “Aku minta maaf Stev.”“Masalah ini sudah berakhir, apapun yang terjadi kamu tetap milikku. Aku akan pergi setelah ini.”Jeni mengerutkan kening dengan keras.“Pergi?”“Ya, aku akan kembali ke Jakarta, Felix sudah menungguku di depan, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Adapun kalau kamu masih ingin di sini, aku tidak akan keberatan.” Balas Steven dengan nada yang terdengar penuh kekecewaan.Jeni bisa merasakan kekesalan dan kekecewaan di wajah Steven, jadi dia membiarka
Renata menggenggam ponselnya sangat erat dengan gigi yang bergemeretak keras. Ia sangat marah.“Apa kalian yakin?” tanya Renata dengan suara gemetar.“Kami akan mengirimkan buktinya.”Foto dikirim tak lama kemudian dan memang benar itu mobil Louis, tak lama setelahnya ada pesan masuk lagi menunjukkan foto Louis yang menggendong Aluna dengan Jeni berdiri di sampingnya.Renata seketika melempar ponselnya ke lantai dengan sangat keras, sedetik kemudian tubuhnya pun merosot jatuh ke lantai disertai tangisan yang meraung-raung. Ia tidak percaya karma akan datang secepat itu, bahkan di hari ketiga pernikahannya.Tangisan Renata yang menjerit keras terdengar oleh Monica yang baru saja akan mengetuk pintunya. Monica semakin cemas hingga ia langsung menerobos masuk untuk mengecek keadaan menantu kesayangannya.“Renata Sayang, ada apa?”Renata tak mampu menjawab pertanyaan Monica, ia langsung memeluk ibu mert
“Jadi itu semua ulah Mami?” Louis terperangah kaget.Jeni mengangguk di sela isak tangisnya.Louis yang masih sangat lemah, berusaha setengah bangun dan mengambil ponselnya di atas meja sampingnya, Jeni buru-buru membantunya.Setelahnya ia menghubungi Aditya Saloka, untungnya panggilan terhubung lebih cepat dari biasanya.“Pi, tolong Aluna!” Louis tutup point.“Maksudnya?”“Mami membayar orang untuk menculik Aluna. Tolong Pi, dia hanyalah bayi 2 tahun yang tidak tahu apa-apa.”“Papi akan segera menanganinya,” balas Aditya Saloka dengan suara yang terdengar dipenuhi amarah.“Terimakasih Pi.”Panggilan terputus dan Louis menghela nafas berat.“Renata juga pasti ada di belakang semua ini, fuck!” batin Louis.Louis menghubungi Renata kemudian, tapi nomornya tidak aktif. Dia sangat marah hingga buku-buku jarinya memutih karena te
Jeni dan Louis tidak bisa menahan tawa dan mereka berdua mengangguk setuju demi menyenangkan putri kecilnya.“Berhentilah tertawa Ma, Pa. Ayo kita sarapan!” Louis mengerutkan keningnya dan dia menoleh ke arah Jeni. Maksudnya Jeni saja baru bangun tidur, siapa yang menyiapkan sarapannya? Tidak mungkin Aluna sendirian.Seolah mengerti pemikiran Louis, Jeni menjelaskannya, “Aku menyewa Bibi untuk memasak setiap pagi di sini.” “Kenapa tidak kamu sendiri yang memasak?” “Karena aku harus menulis setiap pagi, aku merasa itu waktu yang paling tepat untukku.” Louis tampak tidak setuju.“Lalu bagaimana kalau kita sudah menikah lagi? Apa kamu tidak akan memasak untukku?” tanyanya cemberut.Jeni tersenyum lembut dan ia mengelus wajah Louis dengan gemas, “Itu lain lagi.” Louis berubah senang sehingga ia ingin sekali menarik Jeni dalam pelukannya dan memagut bibirnya seperti semalam.Namun pemikiran itu segera diusir cepat oleh Aluna ya
Jeni dengan cepat menepis tangan Louis, lalu merubah posisinya lagi dan kali ini memunggunginya.Louis tak menyerah, ia justru semakin berulah. Aluna di gendongnya pelan-pelan dan dipindah ke tempatnya dengan guling besar di sisinya agar tidak terjatuh, sementara Louis saat ini menempati posisi Aluna hingga berada sangat dekat dengan Jeni. “L... Louis, tolong jangan macam-macam!” Cegah Jeni dengan suara pelan namun sebenarnya ia sangat ketakutan.Padahal Louis hanya memeluknya dari belakang dan membenamkan kepalanya ke punggung Jeni sambil mencuri aroma khas lily of the valley pada tubuh Jeni yang membuat Louis sangat nyaman.“Louis, lepas!” desis Jeni dengan suara setengah berbisik karena takut membangunkan putrinya.Namun, pelukan Louis semakin erat hingga bokong Jeni bisa merasakan sesuatu yang tegang di tengah Louis. Ia bergidik ketakutan dengan degup jantung tak karuan, ia sudah lama sekali tidak mengalami sentuhan seperti ini karena Steven
“Aluna, apa kamu tidak menyayangi uncle?” Tanya Jeni waktu itu sebelum akhirnya ia benar-benar menyetujui permintaan Steven untuk bercerai.Jeni masih ingin mempertahankannya, meski godaan dari Louis luar biasa. Jeni yang masih sangat mencintai Louis selalu saja hampir goyah dengan perhatian yang Louis berikan selama di Singapura. Tapi ia benar-benar masih meneguhkan hatinya untuk Steven, ia pantang menjanda kedua kalinya, juga karena Steven sudah berbaik hati padanya selama ini saat ia berada di posisi terburuk. Tapi jawaban Aluna membuat seolah dirinya tertampar keras oleh sebuah kenyataan.“Sayang Ma, tapi Aluna lebih sayang sama Papa.”“Kenapa? Uncle juga sangat baik sama Mama dan Aluna.” Aluna mengangguk-angguk membenarkannya, tapi gadis cilik itu memutar otaknya untuk menemukan jawaban yang tepat.“Tapi Aluna ingin Mama dan Papa,” lirihnya.Meski hanya pernyataan singkat dengan menekankan kata ‘ingin’ itu sudah sangat jelas di mata Je
“Ehem...” Deheman Steven sukses membuat keduanya melepas dengan gugup. Terutama Jeni, ia menoleh ke arah Steven dengan pandangan horor, sangat takut sehingga ia mengigit bibir bawahnya, tidak berani mengatakan apapun meski hanya sedikit penjelasan.“Itu tidak seburuk yang kamu lihat Stev.” Perkataan Louis setidaknya sedikit membantunya untuk menjelaskan pada Steven yang saat ini menahan ribuan emosi dengan tatapan tajamnya. Steven mengangkat sudut bibirnya membentuk seringai sinis. Setelahnya ia mengangkat satu tangannya di udara dan berbalik, ia terlihat sangat kecewa.“Jaga Aluna sebentar.” Seru Jeni sambil buru-buru mengejar Steven.Louis hanya diam dan merasa iba dengan Jeni. Jika saja ia tidak meninggalkan Jeni waktu itu, Jeni pasti masih menjadi miliknya sampai sekarang dan tidak perlu mengalami posisi yang sangat sulit seperti ini. Louis menghela nafas sebelum akhirnya menjatuhkan dirinya di sofa dan memijat pelipisnya.Di koridor r
Jeni dan Louis kembali saat Aluna sedang menangis keras. Melihat hal itu Jeni Louis sangat panik dan ia setengah berlari untuk menghampiri Aluna. “Steven, Aluna kenapa?” Jeni bertanya heran sambil memeluk Aluna yang terisak. Steven hanya diam dan menatap Aluna dengan rasa bersalah. “Apakah kamu mencoba bertengkar dengan putri kecilku Stev?” Tuduhan Louis sontak membuat Steven berubah emosi dengan cepat, ia menatap Louis geram. “Una, mau Papa.” Teriak Aluna sebelum Steven bisa menjelaskannya. Louis tersenyum ke arah Steven penuh kemenangan dan langsung menghampiri putrinya. “Ya Sayang, apa uncle menyakitimu?”Steven memelototi Louis tajam dan nafasnya terengah-engah karena terlalu banyak emosi yang ia tahan hanya demi janjinya terhadap Jeni. Menyadari tatapan tajam di balik punggungnya, bibir Louis berkedut membentuk senyum samar, ia sangat senang dengan posisinya saat ini karena Aluna lebih menginginkannya. “Papa, una mau de
Louis datang dengan sekantung belanjaan di kedua tanganny, Jeni yang sangat kelaparan langsung antusias begitu melihatnya. “Beli apa aja?” “Semua kesukaan kamu.” Bibir Jeni berkedut dan membentuk senyuman tipis. Entah kenapa hatinya berbunga-bunga padahal jelas dia istri Steven sekarang. Baru sadar kalau dia istri Steven, Jeni cepat-cepat menepis pemikiran tentang Louis, ia membuka kantung makanan itu dan lagi-lagi hatinya goyah, rasanya ingin melonjak seperti anak kecil yang diperbolehkan makan es krim favorit oleh ibunya. Jeni jadi berubah sangat plin-plan, hatinya terlalu lemah untuk Louis. Louis tersenyum senang mendapati kebahagiaan Jeni. “Lengkap kan? Itu bukti aku tidak sepenuhnya melupakanmu Jen, hanya saja kemarin... Mungkin Renata menyihirku.” Jeni hampir tersedak salivanya sendiri dan ia tidak tahu harus tertawa atau menangis sekarang.“Dan sekarang menurutmu sihir itu sudah hilang?” sahut Jeni menggoda. Louis men
Louis tersenyum tipis dan tidak mengatakan apapun lagi, ia mengikuti Jeni untuk menyandarkan punggungnya ke sofa lebih nyaman sambil menoleh ke samping memperhatikan Jeni yang saat ini tengah tertidur.“Kenapa dia sangat cantik sekarang? Apa karena dulu aku tidak pandai merawatnya?” batinnya.“Aku janji Jen, begitu Tuhan mengijinkanku untuk kembali padamu suatu saat nanti, aku akan menjadikanmu perempuanku selama sisa hidupku.” Lanjutnya.Jeni yang sebenarnya tidak berniat tidur, bisa merasakan tatapan Louis yang begitu intim padanya jadi dia sengaja membuka mata.“Kenapa kamu melihatku seperti itu? Aku sepupu iparmu sekarang.” Jeni mencoba mengingatkan Louis dengan kesal.Louis menarik sudut bibirnya membentuk senyuman jahat yang membuat Jeni bergidik, jadi ia langsung bangkit dan pindah duduk di samping tempat tidur Aluna. Ia membuka ponselnya dan mengecek pesan yang ia kirimkan pada Steven kemarin, masih tidak
Hari ini adalah hari ulang tahun Aluna, meski tanpa perayaan mewah dan resmi seperti ulang tahun sebelumnya, namun Jeni masih berusaha menyenangkan putri kecilnya yang saat ini masih terbaring lemah di rumah sakit.Ia beserta mamanya dan Louis datang dengan membawa kue ulang tahun berlapis dan beberapa kado kecil. Aluna sangat senang dan wajahnya berubah kembali ceria meski masih terlihat pucat.“Selamat ulang tahun Aluna kesayangan Mama, cepat sembuh ya.” Jeni mencium kening Aluna begitu lama dengan air mata yang tiba-tiba mengalir pelan di pipinya.“Una duga cayang Mama. Yup yu.”Jeni terkekeh pelan sambil menyeka air matanya, “Love u too.”“Selamat ulang tahun anak Papa yang cantik, cepat sembuh ya.”Louis yang berada di sebelah lainnya langsung menciumi pipi Aluna. Aluna sangat senang dan wajah anak itu benar-benar berbinar bahagia.“Una cayang Papa,” balasnya.Lou
Steven tidak berani membantah apapun dan langsung menuruti keinginan Jeni untuk membawa ke rumah sakit tempat Aluna dirawat. Meski dalam hatinya ada sedikit kekecewaan mengingat hari ini adalah hari pertamanya dan Jeni sebagai pasangan suami istri.Tentu ia sama dengan laki-laki pada umumnya yang masih menginginkan kebahagiaan sebagai pengantin baru. Untuk itu dia diam-diam mendengus getir saat dalam perjalanan ke rumah sakit.“Stev, cepatlah! Apa kamu sengaja melakukannya?” Jeni berteriak kesal menyadari Steven mengosongkan pikirannya dan melajukan mobilnya dengan malas-malasan.“Aku minta maaf.” Lirih Steven.Setelah itu Lamborghini tiba-tiba melaju seperti mobil pembalap dunia, alhasil mereka tiba di rumah sakit dengan sangat cepat.Begitu Lamborghini baru saja terparkir, Jeni langsung berlari tanpa mempedulikan Steven, di pikirannya hanya ada Aluna dan Aluna.“Bagaimana keadaan Aluna, Ma?” Jeni bertany