Renata menggenggam ponselnya sangat erat dengan gigi yang bergemeretak keras. Ia sangat marah.
“Apa kalian yakin?” tanya Renata dengan suara gemetar.
“Kami akan mengirimkan buktinya.”
Foto dikirim tak lama kemudian dan memang benar itu mobil Louis, tak lama setelahnya ada pesan masuk lagi menunjukkan foto Louis yang menggendong Aluna dengan Jeni berdiri di sampingnya.
Renata seketika melempar ponselnya ke lantai dengan sangat keras, sedetik kemudian tubuhnya pun merosot jatuh ke lantai disertai tangisan yang meraung-raung. Ia tidak percaya karma akan datang secepat itu, bahkan di hari ketiga pernikahannya.
Tangisan Renata yang menjerit keras terdengar oleh Monica yang baru saja akan mengetuk pintunya. Monica semakin cemas hingga ia langsung menerobos masuk untuk mengecek keadaan menantu kesayangannya.
“Renata Sayang, ada apa?”
Renata tak mampu menjawab pertanyaan Monica, ia langsung memeluk ibu mert
“Jadi itu semua ulah Mami?” Louis terperangah kaget.Jeni mengangguk di sela isak tangisnya.Louis yang masih sangat lemah, berusaha setengah bangun dan mengambil ponselnya di atas meja sampingnya, Jeni buru-buru membantunya.Setelahnya ia menghubungi Aditya Saloka, untungnya panggilan terhubung lebih cepat dari biasanya.“Pi, tolong Aluna!” Louis tutup point.“Maksudnya?”“Mami membayar orang untuk menculik Aluna. Tolong Pi, dia hanyalah bayi 2 tahun yang tidak tahu apa-apa.”“Papi akan segera menanganinya,” balas Aditya Saloka dengan suara yang terdengar dipenuhi amarah.“Terimakasih Pi.”Panggilan terputus dan Louis menghela nafas berat.“Renata juga pasti ada di belakang semua ini, fuck!” batin Louis.Louis menghubungi Renata kemudian, tapi nomornya tidak aktif. Dia sangat marah hingga buku-buku jarinya memutih karena te
“Monica, sampai kapan kamu akan terus bersikap seperti ini dan membelanya?”“Aku minta maaf Pi, aku terlalu menyayanginya.” Isak Monica tak berdaya.Louis menghela nafas berat sebelum akhirnya ia berkata dengan tegas, “Tapi aku tidak bisa mengubah keputusanku Mi, katakan padanya.”Louis mengangkat kakinya dan melewati Monica begitu saja.“Dan aku juga tidak segan mengikuti langkah Louis, jika kamu tidak segera minta maaf pada Jeni.”Aditya Saloka juga meninggalkan Monica setelah mengatakan itu. Ruang tamu yang besar kini hanya menyisakan Monica yang meraung marah di sela tangisannya, dan ia justru ingin membunuh Jeni saat ini juga.***Renata baru saja tiba di apartemennya saat ia mendapat pesan mengejutkan dari Monica.[Renata, Louis dan Papinya sudah tahu semuanya, Mami dipojokkan oleh mereka. Louis sangat marah dan dia akan menceraikanmu]Renata menggenggam erat ponselny
Malam hari waktu bagian London. Di sebuah bangsal rumah sakit, Steven duduk di samping tempat tidur pasien dengan wajah muram, pikirannya campur aduk, memikirkan hubungannya dengan Jeni yang merenggang juga keadaan ibunya yang masih belum ada tanda-tanda sadar sejak kemarin.Steven mendesah pelan dan bergumam, “Ma, bangunlah! Aku membutuhkanmu.”Sunyi, hanya suara jarum jam saja yang terdengar. Steven semakin frustasi, ia menundukkan wajahnya di atas tangan ibunya dan tanpa sadar menitihkan air mata.Cukup lama ia menangisi dirinya sendiri juga kondisi ibunya yang sekarang, namun pada saat itu tangan Lucia tiba-tiba bergerak-gerak. Steven terkejut dan ia mendongakkan kepalanya untuk melihatnya lebih jelas.Benar saja, tangan Lucia memang bergerak dan tak lama kemudian matanya pun mengerjap-ngerjap dan pelan-pelan terbuka, Lucia sadar.Steven menutup mulutnya tak percaya dan matanya seketika berbinar bahagia.“Aku tahu Mama
Melihat kegelisahan Jeni, Steven memberanikan diri untuk bersuara, “Aku tidak akan memaksamu Jen, aku tahu pernikahan ini hanyalah ajang balas budimu dan sebuah status untukku. Aku bisa mengerti.”Jeni menyipitkan mata dan memandang Steven tajam, entah kenapa hatinya mendadak sakit tentang penilaian Steven terhadapnya.“Jangan memprovokasiku Stev.” Jeni berkata dengan marah.Ia berbalik dan masuk ke walk in closet, berganti piyama lengan panjang dan bergegas tidur.Steven menghela nafas dalam diam melihat sikap Jeni yang sekarang mudah marah. Dia berjalan gontai ke kamar mandi dan membersihkan diri.Begitu ia keluar, Steven terperangah dan mengira sedang berhalusinasi.Jeni sudah berganti pakaian ‘dinas malam’ dan ia terlihat sangat cantik juga menggairahkan.Steven menelan salivanya sebelum menarik sudut bibirnya membentuk senyuman yang menawan.“Kamu pikir aku tidak bisa menjadi istri
Steven tidak berani membantah apapun dan langsung menuruti keinginan Jeni untuk membawa ke rumah sakit tempat Aluna dirawat. Meski dalam hatinya ada sedikit kekecewaan mengingat hari ini adalah hari pertamanya dan Jeni sebagai pasangan suami istri.Tentu ia sama dengan laki-laki pada umumnya yang masih menginginkan kebahagiaan sebagai pengantin baru. Untuk itu dia diam-diam mendengus getir saat dalam perjalanan ke rumah sakit.“Stev, cepatlah! Apa kamu sengaja melakukannya?” Jeni berteriak kesal menyadari Steven mengosongkan pikirannya dan melajukan mobilnya dengan malas-malasan.“Aku minta maaf.” Lirih Steven.Setelah itu Lamborghini tiba-tiba melaju seperti mobil pembalap dunia, alhasil mereka tiba di rumah sakit dengan sangat cepat.Begitu Lamborghini baru saja terparkir, Jeni langsung berlari tanpa mempedulikan Steven, di pikirannya hanya ada Aluna dan Aluna.“Bagaimana keadaan Aluna, Ma?” Jeni bertany
Hari ini adalah hari ulang tahun Aluna, meski tanpa perayaan mewah dan resmi seperti ulang tahun sebelumnya, namun Jeni masih berusaha menyenangkan putri kecilnya yang saat ini masih terbaring lemah di rumah sakit.Ia beserta mamanya dan Louis datang dengan membawa kue ulang tahun berlapis dan beberapa kado kecil. Aluna sangat senang dan wajahnya berubah kembali ceria meski masih terlihat pucat.“Selamat ulang tahun Aluna kesayangan Mama, cepat sembuh ya.” Jeni mencium kening Aluna begitu lama dengan air mata yang tiba-tiba mengalir pelan di pipinya.“Una duga cayang Mama. Yup yu.”Jeni terkekeh pelan sambil menyeka air matanya, “Love u too.”“Selamat ulang tahun anak Papa yang cantik, cepat sembuh ya.”Louis yang berada di sebelah lainnya langsung menciumi pipi Aluna. Aluna sangat senang dan wajah anak itu benar-benar berbinar bahagia.“Una cayang Papa,” balasnya.Lou
Louis tersenyum tipis dan tidak mengatakan apapun lagi, ia mengikuti Jeni untuk menyandarkan punggungnya ke sofa lebih nyaman sambil menoleh ke samping memperhatikan Jeni yang saat ini tengah tertidur.“Kenapa dia sangat cantik sekarang? Apa karena dulu aku tidak pandai merawatnya?” batinnya.“Aku janji Jen, begitu Tuhan mengijinkanku untuk kembali padamu suatu saat nanti, aku akan menjadikanmu perempuanku selama sisa hidupku.” Lanjutnya.Jeni yang sebenarnya tidak berniat tidur, bisa merasakan tatapan Louis yang begitu intim padanya jadi dia sengaja membuka mata.“Kenapa kamu melihatku seperti itu? Aku sepupu iparmu sekarang.” Jeni mencoba mengingatkan Louis dengan kesal.Louis menarik sudut bibirnya membentuk senyuman jahat yang membuat Jeni bergidik, jadi ia langsung bangkit dan pindah duduk di samping tempat tidur Aluna. Ia membuka ponselnya dan mengecek pesan yang ia kirimkan pada Steven kemarin, masih tidak
Louis datang dengan sekantung belanjaan di kedua tanganny, Jeni yang sangat kelaparan langsung antusias begitu melihatnya. “Beli apa aja?” “Semua kesukaan kamu.” Bibir Jeni berkedut dan membentuk senyuman tipis. Entah kenapa hatinya berbunga-bunga padahal jelas dia istri Steven sekarang. Baru sadar kalau dia istri Steven, Jeni cepat-cepat menepis pemikiran tentang Louis, ia membuka kantung makanan itu dan lagi-lagi hatinya goyah, rasanya ingin melonjak seperti anak kecil yang diperbolehkan makan es krim favorit oleh ibunya. Jeni jadi berubah sangat plin-plan, hatinya terlalu lemah untuk Louis. Louis tersenyum senang mendapati kebahagiaan Jeni. “Lengkap kan? Itu bukti aku tidak sepenuhnya melupakanmu Jen, hanya saja kemarin... Mungkin Renata menyihirku.” Jeni hampir tersedak salivanya sendiri dan ia tidak tahu harus tertawa atau menangis sekarang.“Dan sekarang menurutmu sihir itu sudah hilang?” sahut Jeni menggoda. Louis men