Memiringkan kepala terlebih dahulu, barulah Rose menjawab, "Kenapa tidak menanyakan sosok manusia padaku?" Ia malah balik bertanya, membuat Bara semakin bingung.
"Mana ada manusia keluar dari cermin?" timpal Bara, sambil menyenderkan tubuh pada ranjang yang kebetulan tepat berada di belakangnya.
"Ada," balas si gadis berbulu mata lentik itu yang tengah diinterogasi oleh Bara.
"Siapa?"
"Aku," jawabnya cepat penuh keyakinan.
Mata Bara terbelalak sempurna diikuti tubuhnya yang kembali bangkit sampai duduk tegap, terkejut dengan jawaban yang sama sekali tidak ia pertanyakan bahkan tidak terlintas sedikitpun dalam benaknya.
"Lo--lo manusia?" Bara menunjuk Rose, dan dijawabnya dengan anggukan. "Really?" Lagi, Rose hanya mengangguk.
"Mana bisa manusia keluar dari cermin?" Bara menyangkal jawaban Rose. Ia masih tidak percaya jika Rose adalah manusia.
Rose menghembuskan napas. "Bisa, Pangeran." Sepertinya mulai saat ini 'Pangeran' akan menjadi nama panggilan yang ia sematkan untuk Bara. "Karena kutukan," lanjutnya membuat Bara bertambah terkejut.
"Kutukan?!" Bara berteriak, sebagai ekspresikan keterkejutannya yang lama terpendam.
Mimpi apa ia semalam, sehingga masuk kedalam situasi pengap seperti ini. Otaknya yang rata-rata, tidak cukup untuk dipaksa memahami makna dibalik semua yang baru saja terjadi.
"Lo--" Lagi, Bara menunjuk gadis di hadapannya. "Dikurung dalam cermin--" Lalu beralih menunjuk cermin yang anteng diam di ujung bibir kasur sebelah kiri, kemudian beralih lagi menunjuk Rose. "Sebagai kutukan?"
"Betul!" Rose bersorak senang mendapati Bara mengerti maksudnya.
"Yang bener aja, kutukan macam apa itu? Yang pernah gue tau, kutukan itu kayak dikutuk jadi batu, atau dikutuk jadi ikan teri, kayak legenda Malin Kundang, tuh," katanya asal. Rose menggeleng, lagi pula ia tidak tahu tentang legenda tersebut.
"Terus, gimana lo bisa keluar dari cermin?"
"Karena kamu," jawab Rose telak.
"Hah?" Tubuh Bara membeku. Lagi-lagi pikirannya dibuat tak berdaya. Setiap kata yang diucapkan gadis itu sungguh speechless, di luar nalar. "Gimana bisa karena gue?" geramnya menarik ujung rambutnya sendiri.
Apalagi ini Ya Allah, batin Bara berkata merasa amat tersiksa.
***
Bahu gadis itu terangkat. "Mungkin karena Pangeran bisa mengucapkan mantranya."
"Mantra?" ulang Bara.
Rose mengangguk. Bola mata Bara menatap dalam bola mata milik Rose, mencari keseriusan dari tatapan gadis itu, dan yang ditangkap hanyalah kepolosannya.
Kepalanya menunduk, memandang lantai dengan nanar. Sulit dipercaya, namun untuk tidak mempercayai semuanya pun mustahil, karena kejadiannya jelas nyata ia rasakan, bukan hanya sekedar cerita yang didengar.
"Ganteng!" Suara seseorang yang familiar terdengar bersahutan dengan ketukan pintu.
Belum sempat mengingat mantra apa yang ia ucapkan sehingga gadis itu dapat terbebas, dengan cepat Bara berdiri. Pandangannya fokus menatap pintu, memastikan pintunya terkunci dengan rapat, takut sang mama bisa membukanya.
Bukan apa-apa, ia hanya takut jika Bella tahu ada seorang gadis di kamar seorang pria yang masih bujang, apa yang akan dipikirkan mereka nanti.
Interogasi kali ini cukup sampai di sini, ia harus menundanya, meski banyak pertanyaan yang harusnya Bara lontarkan pada Rose, tapi ia memilih menghentikannya.
Sekarang yang harus ia lakukan adalah menyembunyikan Rose agar tidak diketahui mamanya.
Dengan satu tarikan di tangan Rose yang putih pucat bagaikan porselen. Rose berhasil berdiri, tapi nahas kakinya tersandung hingga membuat tubuh Rose terhuyung menubruk dada tak berisi milik Bara.
Tangan Rose tak sengaja menyentuh dadanya, tatapan mereka bertemu saat Rose mendongak. Adegan itu cukup membuat hati Rose berdebar, namun, tidak untuk Bara yang malah menampakkan wajah datar tak berekspresi yang sepertinya biasa saja.
Kejadian itu tak berlangsung lama, kala Bara menarik kedua bahu Rose untuk menjauh dari tubuhnya dan kemudian memutar tubuh itu untuk berbalik.
Rose langsung memegangi dadanya, ini kali pertama ia diperlakukan seperti itu oleh seorang lelaki walau hanya ketidaksengajaan, tapi tetap memiliki kesan berbeda baginya.
Selama sebelas tahun semenjak usianya tepat menginjak angka tujuh, hidup terkurung dalam cermin yang gelap dan sepi, tak pernah berteman bahkan mengenal seseorang, apalagi dekat dengan seorang lelaki. Membuat perasaan asing bersarang di hatinya.
Dulu pernah, saat di dunianya. Berteman dan malah sudah dijodohkan dengan kedua orang tuanya dengan seorang putra bangsawan. Tapi, semua itu telah lama sirna, saat penyihir itu datang dan merenggut semuanya.
Bara terus mendorong tubuh Rose mondar-mandir mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Matanya menangkap lemari sebagai tempat terdekat dari posisinya dan paling aman menurutnya.
Ia memutuskan untuk menyembunyikan Rose di dalam lemari yang cukup besar di samping ranjang, dengan langkah gusar Bara kembali mendorong Rose, tangannya membuka lemari yang ternyata dihuni banyak sarang laba-laba karena telah lama tidak digunakan. Setelah ini tugasnya akan bertambah.
"Masuk," titah Bara tanpa memikirkan nasib Rose jika disembunyikan di dalam lemari yang kemungkinan ada tikus.
"Untuk apa?" tanya Rose yang tidak mengerti.
"Sembunyi."
Terlihat lipatan halus di kening Rose, dari pancaran matanya ia seakan butuh penjelasan.
"Nanti gue jelasin. Sekarang lo sembunyi dulu." Bara menunjuk lemari yang sudah terbuka lebar.
Menurut, Rose masuk ke dalam lemari tanpa penerangan. Ia berjongkok sambil terus menatap Bara, anehnya sama sekali tidak ada rasa takut di mata itu.
"Jangan berisik, ya," pinta Bara disusul meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.
Rose hanya mengangguk polos, menurut lagi.
Setelah berhasil dengan mudah membujuk Rose, Bara gegas menutup lemari dan berjalan cepat ke arah pintu yang terus digedor. "Bentar, Ma!" lontarnya seraya berjalan mendekati pintu. Tangannya sengaja mengacak surai hitam miliknya untuk bahan beralibi pada sang mama. Ia membuka kuncinya terlebih dahulu sambil berusaha menetralkan perasaannya agar tak gugup, barulah setelah itu tangannya memutar knop dan menariknya hingga muncullah sosok yang selalu memanjakannya. "Iya, Ma?" Bara berpura-pura menggaruk kepalanya dengan mulut yang menguap sehingga terlihat khas orang yang baru bangun tidur. "Astaghfirullah, si Ganteng!" Bella meringis melihat anaknya baru bangun tidur, yang pada kenyataannya tidak benar. "Tadi, kan, Mama minta dibantuin angkat meja, kenapa malah tidur." "Hehehe. Maaf, Ma. Abisnya udara dari luar sejuk banget, tadi niatnya cuma rebahan bentar, eh malah tergoda sama buaian angin. Jadi tidur, deh," ucapnya berbohong dengan cengiran y
Di dalam kamar Rose merasa kecewa, karena pangerannya tidak mengijinkan ia bertemu mama, Rose pikir mama yang disebut Bara ada mamanya sehingga ia begitu antusias ingin bertemu. "Aku merindukan Mama, mengapa Pangeran tidak memperbolehkanku untuk bertemu? Jika aku memaksa, sama saja aku melanggar perintah dari Pangeran, aku tidak ingin melakukan itu," lirihnya, ada satu tetes air mata yang jatuh dari matanya. Rose masih saja menganggap Bara sebagai pangeran putra mahkota. "Baiklah, mungkin belum waktunya." Rose menghapus jejak air mata itu dan mencoba memahami serta menghibur diri. Ia melirik ke belakang melihat kunci yang tergelatak di sana. Bibirnya kembali tersenyum, penuh semangat tangannya meraih kunci itu, menatapnya sebentar dengan binar, setidaknya ada sesuatu yang membuat kesepiannya hilang. "Mari kita bebaskan Paman Tikus!" *** Berjalan sambil terus berpikir mengenai kejadian hari ini dan Rose, ingatannya ter
Belum lama ia merasa lega, namun rupanya sang mama kembali membuatnya tersiksa dengan ancamannya itu. "Si Bohay bohong, Ma," sergahnya seraya memelototi Rico agar diam. "Aku udah nggak ngedeketin Lily lagi, kok, sumpah," lanjutnya berbohong. Rico yang duduk di samping dengan leluasa menggigit kedua jari telunjuk dan tengah Bara yang membentuk V. Bara kembali memelototinya, sahabatnya ini memang tidak bisa diajak kompromi. "Jangan bohong kamu." Lily yang tengah melilit jempol Bara dengan kasa menginterupsi. "Beneran, Ma. Aku nggak bohong, si Bohay emang asal jeplak aja. Mana tau, sih, dia tentang hubungan aku sama Lily, yang dia tau, tuh, cuma ... makanan!" ucap Bara sengaja mengeraskan kata 'makanan' tepat di telinga Rico. Bella hanya menggelengkan kepalanya, melihat anak semata wayangnya itu masih bersikap kekanak-kanakan. Astaga, salahkan dia yang sering memanjakan Bara. "Sudah selesai." Bella kembali merapikan peralatan P3K ke dalam
Anehnya gadis itu tidak tampak di mana-mana, Bara terus mengabsen setiap sudut kamarnya, tapi tetap saja tidak terlihat sosoknya. Ah, benar ia harus berjalan lagi. Terpaksa Bara kembali memijakkan kakinya dan berjalan mendekati ranjang, barulah sosok yang dicarinya terlihat. Rupanya sosok itu tengah berjongkok di sebrang ranjang. Samar-samar Bara mendengar gumaman gadis aneh itu yang ucapannya tidak jelas. Tepaksa lagi Bara mendekatinya, kembali berjalan lagi untuk melihat apa yang tengah Rose lakukan. "Kasihan sekali kau Paman Tikus, aku turut berduka cita untuk itu," gumam Rose yang baru terdengar jelas saat Bara hampir sampai di dekatnya. Ternyata gadis ajaib itu tengah berinteraksi, sayangnya Bara tidak tahu dia berinteraksi dengan siapa. Karena rasa ingin tahu yang membuncah, perlahan Bara mengintip melihat sosok apa yang tengah diajaknya berinteraksi. "Rose?" Kini Bara harus membulatkan matanya jauh lebih lebar. I
Hey! Mengapa Rose hadir dan merecoki hidupnya? Menciptakan segala kejadian yang membuat Bara terasa amat tersiksa. Apakah mulai detik ini gadis itu akan menetap dan menciptakan hal-hal yang lebih mengejutkan dari ini? Mungkinkah? Mantra keparat! Mulut yang tidak bisa dijaga! Seenaknya mengucapkan sesuatu yang tidak berfaedah hingga merumitkan hidupnya sendiri. Sebenarnya mantra apa yang diucapkan Bara? Ayolah otak yang berkapasitas minimum, bekerjalah barang sedikit, sungguh Bara amat tersiksa. Setidaknya, jika ia menemukan mantra yang membuat gadis di hadapannya ini dapat keluar dari cermin, mungkin saja ada mantra lain yang bisa membuat gadis imut itu kembali ke sarangnya, agar dirinya terlepas dari neraka kehidupan bersamanya. Bara sepertinya akan gila bila bayangan tentang Rose hadir memenuhi hari-harinya. Sebab, jika tidak tahu cara mengembalikan gadis ini ke habitat aslinya, sudah pasti Rose akan menetap. Gi
"Dikurung dalam cermin sebagai kutukan?" "Hmm." "Kekuatan sihir jahat itu juga termasuk?" "Hmm." "Lalu bunga mawar hitam itu, sebagai apa?" Bara melirik bunga mawar berwarna hitam yang tidak pernah Rose lepas dari tangannya, seakan memiliki arti yang begitu besar. Sejenak Rose ikut melirik bunga mawar itu, kemudian membawanya lebih dekat ke hadapan wajah untuk ditatapnya lebih lekat. Senyum getir terukir di bibir tipisnya, namun pancaran nertranya terlihat sendu. Helaan nafas pun terdengar amat berat. Kini rupanya Bara memiliki kesempatan untuk lanjut menginterogasi gadis itu kembal. Sekuat tenaga ia hilangkan rasa takutnya, mengajak Rose bercengkrama setelah gadis itu usai menangis sebab terhimpit sesal yang begitu besar. "Papa yang memberikan, sebagai hadiah ulang tahunku sebab diriku teramat menyukainya." Ingatan Rose menerawang pada titik saat detik di mana papanya memberikan satu tangkai bunga mawar berwarna hi
TV LED 32 inch menyala, menampilkan film kartun Malaysia dengan tokoh utama kembar yang tak berambut. Volume suaranya dibiarkan meninggi. Manusia berbobot kurang lebih 100 kg enggan mengecilkan suaranya, saking asiknya ia sesekali tertawa meski mulutnya tersumpal tahu bulat yang kata penjualnya digoreng dadakan. Seperti tidak bertulang, Rico malas bergeser sedikitpun dari tempatnya, masih bersender di penyangga sofa berwarna kuning. Mumpung di rumah sendiri, karena anggota keluarganya tengah sibuk melakukan aktivitas masing-masing, jadi ia bebas untuk saat ini, tidak ada yang merecoki ataupun mengomeli. Merasa haus, tangan Rico menyusuri meja yang sangat berantakan dengan berbagai sampah plastik snack hingga berceceran di atas lantai. Entah mengapa kepalanya juga merasa malas hanya sekedar menoleh untuk melihat di mana gelas minum itu terletak. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Rico langsung meneguk air tersebut hingga tanda
Si Bohay sempat tertawa mendengar cerita Bara pada poin Rose memiliki sihir yang menjadikan ia sebagai korban, bukan hanya pada poin tersebut, tapi juga ia dibuat terbahak setelah mendengar bahwa Bara loncat ke atas kasur dan mengabaikan luka di jempolnya hanya karena takut dengan seekor tikus. Perlu diketahui! Sebelumnya pun, Rico sulit percaya dengan semua penjelasan yang Bara susun, tapi setelah mendapati gadis pemakai kostum unik, pemilik rambut yang berwarna dark grey, pahatan wajah seperti boneka, dan naungan tatapan polos itu membuktikan segalanya dengan cara menjungkirbalikkan tubuh kelebihan lemak miliknya menggunakan perantara sihir yang sama, hingga menimbulkan gempa kecil di dalam rumah Bara, barulah Rico dapat mempercayai penjelasan Bara seratus persen. Di tambah cermin antik dan bunga mawar hitam yang memiliki umur kurang lebih sebelas tahun, namun masih tetap hidup walaupun tanpa air, yang sengaja Bara tunjukkan sebagai bukti tambahan. 
Suara mesin mobil dihidupkan menghentikan Bara dari aktivitasnya menarik rambut. Rambut yang memang sudah acak-acakan, bertambah mengenaskan sekarang. Terlihat wajahnya memerah, lelaki itu benar-benar menangis, kesal dengan kusutnya jalan hidup seperti benang tak terurus.Tidak mungkin 'kan ia berdiam diri saja kala telah mengetahui dirinya terancam dirukiah?Menyebalkan! Sudah pasti ia harus bangkit untuk menghentikannya.Bara meninggalkan lantai dan beranjak menuju jendela yang tirainya baru sebelah di buka. Dengan sekali tarik ia menyibak tirai sebelahnya lalu membuka jendela cepat-cepat.Terlihat si Merah melaju meninggalkan bagasi dan keluar dari halaman rumahnya.Mulut Bara terbuka. "Ma!" panggilnya berharap terdengar."Mama!""Mama!""Ma!"Tidak ada tanda-tanda Bella menyadari panggilannya, mobil BMW itu terus melaju hingga wujudnya terputus dari jangkauan pandang.
Bella keluar kamar tergesa-gesa, gamis cokelat susu melekat pas di tubuhnya, lengkap bersama kerudung yang berwarna serasi. Wajah ibu kandung Bara itu terlihat gelisah, nafasnya memburu seraya mengunci pintu kamarnya dengan tangan yang gemetar."Ma." Bara datang menghampiri Bella untuk melihat kondisi sang mama yang sebelumnya ia duga tidak sedang baik-baik saja, dan dugaannya itu dibenarkan saat tangan dingin Bella menarik Bara untuk mendekat padanya."Ganteng!" sambut Bella sedikit berteriak namun tertahan, kini tangan memucatnya itu menggenggam erat telapak tangan milik Bara."Ada apa, Ma? Mama tadi kenapa teriak? Terus ini Mama kenapa jadi dingin dan pucat? Mama sakit?" tanya Bara beruntut, berlagak tidak tahu dan tidak mengerti padahal hatinya tengah berdetak kencang mencemaskan posisi Rose yang terancam.Bella menggeleng. "Mama baru aja dapet musibah.""M
Bara bersingut mundur dengan cepat, matanya membola saat Rose tiba-tiba melempar sihirnya dan sengaja dipantulkan ke lantai tak jauh dari posisinya. Mata gadis itu menajam, berubah gelap dan menampilkan wajah yang tidak menyenangkan melainkan menyeramkan. Matanya berkaca-kaca, memancarkan ketidaksukaan atas apa yang baru saja terjadi. Bara menelan salivanya kuat-kuat, untuk kedua kalinya ia merasakan seluruh persendiannya mati rasa setelah bertemu Rose. Begitupun ketakutannya akan kematian selayaknya tempo hari. "Ro-Rose ... ma-maafin gue," pintanya memohon masih dengan posisi terlentang ditahan siku sama seperti saat pertama kali dirinya melihat keajaiban dunia di mana Rose keluar dari cermin. "Ja-jangan Rose." Tangan kanan Rose kembali bergerak memutar, dari gerakan tersebut dengan mudahnya asap hitam yang bercahaya penuh glitter muncul di atas
"Ngung! Ngung!" Bibir kecil dan tipis Rose maju mengikuti ucapannya. Tampak lucu seperti anak kecil yang senang melihat sesuatu yang baru dan langsung ia sukai, sehingga menarik imajinasinya ke tingkat yang lebih tinggi. Menggemaskan. Tapi tidak untuk Bara, ia memutar bola matanya kesal, menarik bahunya untuk bangkit dan terduduk. Ia mengharapkan ketenangan seperti sebelum gadis itu datang, serta harapannya yang utuh terhadap Lily untuk menjadi kekasihnya. Tatapan sendunya penuh menatap Rose, bibirnya tertekuk ke bawah, sedih. "Bisakah?" tanyanya mengalihkan pandangan pada langit-langit kelambu, mungkin saja Tuhan mau mengasihaninya. "Hiks!" Bara membanting tubuhnya ke belakang kembali berbaring, menutup telinganya dengan bantal tak memberi kesempatan suara untuk masuk sedikitpun. Paman Tikus di sampingnya, sudah lebih dulu tenggelam di alam bawah sadarnya. Sedangkan Rose, gadis itu masih asik menikmati imajinas
Wah apa lagi ini? Karakter tersembunyi yang baru saja Rose tunjukkan membuat Bara takjub dalam hitungan detik. Gadis unik itu bukan hanya berotak cerdas dan peka, tapi juga suka melucu rupanya.Bara menahan senyumnya agar tidak mengembang, meski terbilang gurauan Rose garing, melihat tingkah lucunya cukup menjadi pengganti dorongan untuk membuat orang yang menyaksikannya tersenyum.Terlepas dari itu, terserah sajalah Bara tidak ingin terbawa perasaan. Jika ia tersenyum, takutnya sama saja membuka peluang tabir harapan Rose.Esok harinya Minggu datang, hari di mana Bara bebas dari mata kuliah dan dapat bersantai dengan ketenangan pikiran.Ah, berbicara tentang ketenangan pikiran sepertinya Bara sudah kehilangan hal tersebut semenjak Rose hadir dalam hidupnya dan Lily yang tidak pernah mau menjadi kekasihnya hingga meninggalkan ia memilih lelaki lain.Bara keluar dari kamar mandi dalam keadaan menggosok rambutnya yang basah me
"Sini biar gue aja." Tanpa permisi lelaki yang tengah mengalami patah hati itu merebut tissue dari tangan Paman Tikus membuat sang empu menyipit tak terima. "Lambat!" ejek Bara kepada Paman tikus, dan tanpa meminta izin kepada Rose, Bara langsung mengelap pipi Rose dengan tissue tersebut menggantikan Paman Tikus. Rose mengerjapkan mata bulatnya, memperhatikan wajah Bara dari dekat ada sensasi tersendiri. Sedangkan Bara tak mempedulikan itu, ia lebih memilih fokus mengelap wajah Rose yang masih tersisa bercak cokelat separuh. "Ngapain liat-liat?" tegur Bara tiba-tiba. Rose yang tertangkap basah anehnya tidak gugup sama sekali, ia menggeleng calm dengan tatapan polos yang tidak hilang. "Nggak usah heran, gue emang udah ganteng dari lahir, makanya dapet julukan si Ganteng," cetus Bara percaya diri menarik sudut bibir membentuk senyum miring. Mendengar kalimat itu Rose tak bereaksi, masih betah menyapu tatapannya di s
"Rose.""Hum?""Hari ini lagi-lagi lo hampir ngebuat otak gue mau meledak," ucapnya memulai aksi"Hah?" Tentu saja kalimat Bara barusan terdengar ambigu di telinga Rose.Lelaki itu masih betah menatap piring kosong belum mau berpindah pandang dari sana. Dengan mimik wajah sok serius, ia memindahkan tangan yang jarinya saling bertaut ke atas meja mini berwarna cokelat itu tepat di hadapan Paman Tikus, sedikit kasar! Tujuannya adalah sekalian mencoba menggertak tikus tersebut tanpa disadari Rose.Bara mencoba mengambil peran sebagai hakim yang tengah bertugas, menciptakan atmosfer menegangkan di tengah persidangan."Lo--." Bara menoleh sengaja menggunakan gerakan slow motion hanya untuk menatap Rose.Bertepatan dengan itu Rose menurunkan tangannya membuat seluruh wajahnya dapat dilihat utuh.
"Ha-hantu?" Bella mengangguk mantap, jelas sekali terdapat keseriusan di matanya. Bukannya terbawa serius pula, Bara malah membentuk ekspresi menjengkelkan. "Pffttt." "Hahahaha!" Tawa meledak seketika. Bara memegangi perutnya akibat terlalu kuatnya tertawa. "Kok malah ketawa?" dengus Bella merasa kesal. Ayolah, sudah pasti Bara bahagia, sebab pikiran buruknya tidak terjadi. Ia merasa lega seketika, apalagi setelah menyemburkan tawa, seperti separuh beban yang bermuatan ton hengkang begitu saja. "Ekhem." Bara menyudahi kelakuan menyebalkannya, tidak enak juga rasanya melihat mamanya menatap kesal pada dirinya. "Maaf, Ma. Habisnya Mama lucu, mana ada hantu di siang bolong gini, mungkin Mama salah denger." "Haishh ... kamu ini nggak percayaan. Tadi 'kan Mama mau ngecek kamar kamu, pas mau dibuka ternyata pintunya dikunc
Nalarnya bekerja mencari kemungkinan baik-buruk yang akan terjadi, bagaimana jika mamanya mengetahui keberadaan Rose?Memang sih, sudah dikunci pintu kamarnya, tapi tetap saja ia mengkhawatirkan Rose akan bersuara dan dapat memancing rasa penasaran Bella, asal tahu saja mamanya itu tentu memiliki kunci duplikat yang akan memudahkannya masuk kapan saja ke kamar Bara.Kaki panjang milik Bara yang biasanya menggunakan kelembutan saat menaiki tangga dengan melewatinya satu persatu, telah mengesampingkan kelembutan itu dan kini melompatinya tanpa perhitungan.Untungnya ada secercah nasib baik saat ia mengambil keputusan itu, tubuh Bara selamat dari mencium lantai kayu, meskipun sempat oleng ke depan dan hampir nyusruk memeluk pintu tapi ia bisa menahan keseimbangan."Huft!" Ia mengelus dadanya dan bersyukur dalam hati.Knop pintu su