"Dikurung dalam cermin sebagai kutukan?"
"Hmm."
"Kekuatan sihir jahat itu juga termasuk?"
"Hmm."
"Lalu bunga mawar hitam itu, sebagai apa?" Bara melirik bunga mawar berwarna hitam yang tidak pernah Rose lepas dari tangannya, seakan memiliki arti yang begitu besar.
Sejenak Rose ikut melirik bunga mawar itu, kemudian membawanya lebih dekat ke hadapan wajah untuk ditatapnya lebih lekat. Senyum getir terukir di bibir tipisnya, namun pancaran nertranya terlihat sendu. Helaan nafas pun terdengar amat berat.
Kini rupanya Bara memiliki kesempatan untuk lanjut menginterogasi gadis itu kembal. Sekuat tenaga ia hilangkan rasa takutnya, mengajak Rose bercengkrama setelah gadis itu usai menangis sebab terhimpit sesal yang begitu besar.
"Papa yang memberikan, sebagai hadiah ulang tahunku sebab diriku teramat menyukainya." Ingatan Rose menerawang pada titik saat detik di mana papanya memberikan satu tangkai bunga mawar berwarna hitam itu.
"Saat Papa memberikannya, bunga cantik ini tidak berwarna hitam, ia suci dengan warna putihnya." Matanya perlahan beralih menatap senja di hadapannya, yang terlihat jelas melalui jendela besar kamar baru milik Bara.
"Sebelum akhirnya penyihir itu datang dan merubah segalanya," pungkas Rose dengan nada suara melemah seakan menahan gejolak sesak di dada, setelah membuka luka lama yang selalu ia tekan untuk bertahan di detik ini.
Jujur, jika boleh Bara memilih, Bara ingin kembali sulit untuk mempercayai penjelasan Rose barusan, tapi nyatanya ia melihat dengan jelas melalui mata kepalanya sendiri, bukan sekedar mendengar isu semata.
Ia melihat bagaimana Rose keluar dari cermin, pun melihat bagaimana sihir itu bekerja lewat bagian tubuh gadis mungil itu.
Dari sisi kiri Rose, Bara berdiri dengan tangan bersedekap, memaku tatapannya pada wajah gadis yang begitu mirip dengan boneka, tak berkedip sedikitpun.
Pahatan di wajah itu sangat sempurna. Sempat terlintas di pikiran Bara, mungkinkah Tuhan tengah bahagia kala menciptakannya?
Tapi pemikiran itu harus ia singkirkan untuk saat ini, mengagumi bukan waktunya. Jangan sampai hatinya tertarik pada gadis polos namun aneh tersebut, hatinya harus tetap terjaga untuk Lily seorang, sang gadis pujaan yang tidak pernah sekalipun melirik apalagi membuka hati untuknya. Bara menggeleng kecil, mulai kembali pada kenyataan.
Sungguh bodoh memang, ia rela membuang waktu hanya untuk gadis yang sama sekali tidak terlintas niat menanam namanya dalam hati.
"Kenapa penyihir itu ngutuk lo?" tanya Bara kemudian, rasa keingintahuannya bertambah saat memaksakan diri untuk percaya.
"Karena dia mencintai Papa, tapi Papa mencampakkannya," jawab Rose tanpa menoleh.
"Oh, dia dendam sama Papa lo?"
Rose hanya mengangguk.
Bara mengernyit heran. "Lah terus kenapa lo yang jadi sasaran empuknya? Kenapa nggak langsung ngutuk bokap lo aja kalo gitu?" tanya Bara dengan sarkasnya. Lidahnya sangat licin, tidak berfikir lagi sebelum membicarakan siapa kepada siapa.
"Karena dengan begitu, dia lebih dapat menghancurkan perasaan Papa dan Mama sehancur-hancurnya. Sebab dia tahu, bahwa Papa sangat mencintaiku, begitupun dengan Mama."
Bara mengangguk paham. "Terus tempat tinggal lo di mana? Nggak mungkin, kan, di dalem cermin juga ada kota?"
Rose merasa bosan lama-lama menatap senja, ia bukan termasuk seorang penikmat senja, dengan gerakan lembut Rose berbalik lantas melangkah menuju ranjang. Seperti ekor, tanpa sadar Bara mengikuti langkah Rose.
"Memang tidak mungkin." Rose duduk di tepian kasur lalu menoleh ke arah lemari, seketika senyum tercetak manis di bibirnya. sedangkan Bara tetap berdiri, sedikit melirik pada pusat perhatian Rose.
"Aku tinggal di kota yang tidak akan tampak di belahan bumi manapun."
Kening Bara mengerut sedang berpikir kuat, sepertinya ia pernah dengar kalimat tersebut. "Dunia paralel?" cetusnya setelah mengingat.
Rose mengangguk membenarkan. Melihat respon Rose, terpancar binar takjub di matanya beriringan dengan senyum yang mengembang lebar. Ternyata salah satu video yang membahas tentang keberadaan dunia pararel dan membuat ia membuang waktu dengan berandai-andai jika benar dunia tersebut ada, kenyataannya memang benar ada dan kehadiran Rose yang menjawab semua itu.
Saking takjubnya, Bara tidak menyadari dan tidak mau peduli bahwa gadis yang diajaknya bicara enggan menoleh padanya sedari tadi, dan kini gadis itu malah memberi isyarat pada sesuatu di bawah lantai untuk mendekat.
Di samping Bara masih digeluti perasaan takjub, paman tikus melompat ke atas ranjang dan naik ke pangkuan Rose, membuat Rose tersenyum senang karenanya.
"Namanya Angelands," imbuh Rose memutus perhatian Bara dari rasa kagumnya. Tangannya dengan lembut mengelus kepala si paman tikus, menarik paman tikus untuk tersenyum dan memejamkan mata.
"Angelands?"
Lagi, Rose hanya mengangguk.
"Namanya aneh."
Tatapan Bara kemudian turun ke pangkuan Rose, ia baru menyadari ada sosok tikus di pangkuan Rose, tikus yang membuat ia hampir berhenti bernafas hanya karena melemparinya dengan bantal.
Ah, seharusnya Bara berterimakasih pada paman tikus. Walaupun Bara bersikap buruk padanya, paman tikus tetap berbaik hati dengan menghentikan kemarahan Rose pada Bara yang meletup.
Meski rasa takut dan jijik kembali tumbuh, namun Bara lebih memilih menahan demi kelangsungan hidupnya. Tidak lucu, kan, jika ia tewas terkena sihir akibat bertengkar dengan tikus!
"Lo tau jalan pulang ke sana?"
"Sepertinya," Rose sibuk bersalaman dengan paman tikus melalui jari telunjuknya saja.
"Yaudah mending balik aja."
Tatapan Rose yang semula sempat ceria, dengan pasti berubah kembali sendu. "Sayangnya kota itu telah hancur."
"Hancur?" ulang Bara bermimik tak percaya. "Kok, bisa?"
"Gunung meletus dan memusnahkan segala yang hidup. Termasuk ... keluargaku."
Satu tetes air mata yang sebelumnya menggenang di pelupuk mata, akhirinya jatuh membasahi pipi tirus Rose. Paman tikus yang melihatnya ikut bersedih. Makhluk kecil itu rupanya sudah sangat menyayangi Rose, kaki kecilnya melangkah pelan, semakin merapatkan tubuhnya pada tubuh Rose lantas memeluknya penuh kasih.
TV LED 32 inch menyala, menampilkan film kartun Malaysia dengan tokoh utama kembar yang tak berambut. Volume suaranya dibiarkan meninggi. Manusia berbobot kurang lebih 100 kg enggan mengecilkan suaranya, saking asiknya ia sesekali tertawa meski mulutnya tersumpal tahu bulat yang kata penjualnya digoreng dadakan. Seperti tidak bertulang, Rico malas bergeser sedikitpun dari tempatnya, masih bersender di penyangga sofa berwarna kuning. Mumpung di rumah sendiri, karena anggota keluarganya tengah sibuk melakukan aktivitas masing-masing, jadi ia bebas untuk saat ini, tidak ada yang merecoki ataupun mengomeli. Merasa haus, tangan Rico menyusuri meja yang sangat berantakan dengan berbagai sampah plastik snack hingga berceceran di atas lantai. Entah mengapa kepalanya juga merasa malas hanya sekedar menoleh untuk melihat di mana gelas minum itu terletak. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Rico langsung meneguk air tersebut hingga tanda
Si Bohay sempat tertawa mendengar cerita Bara pada poin Rose memiliki sihir yang menjadikan ia sebagai korban, bukan hanya pada poin tersebut, tapi juga ia dibuat terbahak setelah mendengar bahwa Bara loncat ke atas kasur dan mengabaikan luka di jempolnya hanya karena takut dengan seekor tikus. Perlu diketahui! Sebelumnya pun, Rico sulit percaya dengan semua penjelasan yang Bara susun, tapi setelah mendapati gadis pemakai kostum unik, pemilik rambut yang berwarna dark grey, pahatan wajah seperti boneka, dan naungan tatapan polos itu membuktikan segalanya dengan cara menjungkirbalikkan tubuh kelebihan lemak miliknya menggunakan perantara sihir yang sama, hingga menimbulkan gempa kecil di dalam rumah Bara, barulah Rico dapat mempercayai penjelasan Bara seratus persen. Di tambah cermin antik dan bunga mawar hitam yang memiliki umur kurang lebih sebelas tahun, namun masih tetap hidup walaupun tanpa air, yang sengaja Bara tunjukkan sebagai bukti tambahan. 
"Hanya berbicara melalui cermin." Bara memejam sejenak, mencari energi lebih banyak. Terlihat jelas melalui raut wajahnya yang berubah drastis, ia menjadi sangat ambisius setelah mendengar Rose mengenal kakeknya. "Apa aja yang udah lo bicarain sama Kakek?" "Banyak hal." "Salah satunya?" Bara mencondongkan tubuhnya dengan kening berkerut, menunggu bibir Rose bergerak untuk memberikan jawaban. "Suatu cara untuk membebaskan kutukan." Sontak Rico menoleh ke arah Bara dengan mata yang melebar, sedangkan Bara saking tidak mampu mengekspresikan rasa terkejutnya hanya dapat menampilkan raut datar sambil menganga lebar. "Se-seriusan?" "Sangat serius," balas Rose dengan yakin. "Bagaimana caranya?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Bara, seakan ia ingin membebaskan Rose dari kutukan. "Aku tidak bisa memberi tahu, cara itu rahasia. Hanya seseorang berhati tulus yan
"Hanya seseorang berhati tulus yang dapat menghancurkannya meski dia tidak mengetahui." "Arghh!" Bara menarik rambutnya tanpa ampun, tidak memedulikan lagi rasa panas dan sakit yang akan ia dapatkan setelahnya, tubuhnya meringkuk di atas kasur layaknya anak kucing yang tengah menahan dinginnya alam. Tak lama dari itu kakinya menendang selimut putih yang sebelumnya berjasa menghangatkan tubuh kurusnya dengan brutal, disusul geraman berat yang terdengar memilukan. Kalimat Rose tersebut terus terngiang di telinganya, seakan tertanam erat di dalam memori otaknya, lantas seperti ada yang sengaja mendorongnya untuk terus mengingat kata yang terangkai misteri tersebut. Su
Bara menggelengkan kepala, ia mencoba mendewasakan diri, menyingkirkan masalah perasaan terhadap wanita untuk saat ini dan mencoba fokus untuk menghadapi permasalahan yang tengah menimpanya kali ini. Kepalanya kembali terangkat, menuntun pandangan untuk kembali fokus melihat sosok mungil yang masih tertidur lelap. Tak lama, secara perlahan kaki yang sudah tidak terselimuti lagi turun satu-persatu lalu berdiri dan berjalan meninggalkan pembaringan. Bara memutuskan duduk lesehan tepat di samping window seat, jari-jarinya bertaut kuat dengan netra yang memancarkan kesenduan masih sama seperti detik yang lalu. Tidak puas memandang dari jarak yang lumayan jauh, Bara berinisiatif memangkas jarak di antara dirinya dengan Rose, ia melipat tangannya di bibir seat dan menaruh dagu tepat di atasnya sangat hati-hati. "Dari kenyataan bahwa gue terpaksa bantu lo, apa gue masih bisa jadi malaikat penolong lo?" tanya Bara walau ia tahu jelas Rose tidak akan
"Duh, Pangeran Ganteng rupanya sudah selesai berbulan madu dan kembali menuntut ilmu di kampus hits ini, bagaimana kesan bulan madunya? Menyenangkan?" Rupanya si Bohay pelakunya. Tidak terima, Bara langsung menghadiahinya cubitan keras tepat di pinggang berlemaknya itu. "Aduuuuh! Ampuni hamba, Pangeran." Ringisan dramatis yang terlontar dari bibir si Bohay, menjadikan pendengaran Bara bermasalah. Ia bergidik jijik, lantas dengan kasar Bara melepaskan tangannya dari pinggang Rico dan berganti menunjukkan tatapan tajam bersama raut wajah tak bersahabatnya. "Pangeran ini terlalu sensitif, baru begitu saja langsung merujak, eh salah maksudnya merajuk. Apa karena tidak puas dengan malam bulan madunya?" Sepertinya lelaki gempal itu sengaja meledek Bara, mengingat bagaimana kemarin dengan suara lembutnya Rose memanggil Bara dengan sebutan 'pangeran', sangat lucu menggelikan dan kurang pantas menurutnya. "Sekali lagi lo ngomo
Keduanya kompak melepaskan diri lantas melirik seorang gadis berpenampilan modis berambut pirang yang baru saja lewat dan melontarkan beberapa makian kasar yang tidak pantas untuk didengar. Seperti ... "Cewek ganjen!" "Murahan!" "Nenek lampir!" "Lonte kampus!" Dan sebagainya, makian itu terus berlanjut dan terdengar jelas sampai gadis itu benar-benar menjauh dari posisi mereka. Merasa penasaran dengan ekspresi orang-orang yang ada di sana, Bara memperhatikan sekitarnya. Ternyata mereka juga sama terkejutnya, bahkan ada beberapa di antara mereka membisikkan kelakuan gadis tersebut. Bara tidak asing dengan gadis yang baru saja meneriaki makian itu. Dia adalah Calia, kekasih dari lelaki yang disebut most wanted di kampusnya. Sebenarnya Bara tidak menyukai gadis itu, sebab menurutnya gadis itu terlalu tebar pesona ke seluruh lelaki di kampusnya, seperti tidak cukup memiliki satu kekasih. 
Ekhem, maklumi saja sikap Rose, gadis manis itu baru saja mendapatkan makanan yang kemarin sempat membuatnya meneteskan air liur, dan jika ingin menyalahkan mari datang ramai-ramai ke kediaman Rico, kita bisa sama-sama mendemo si Bohay agar tidak terlalu serakah terhadap makanan. Untung saja Pangeran Adhinatha pengertian, jika tidak bisa-bisa Rose masih mengalami rasa penasaran dalam hari-harinya sebab tidak dapat mencicipi makanan dengan lubang di tengah itu. "Baiklah." Rose terlihat melepaskan pelukannya dari piring putih setelah sebelumnya memberikan ciuman kasih sayang pada donat-donatnya. "Mari kita lahap habis makanan ini!" serunya mengangkat tangan kanannya yang mengepal, mengeluarkan seluruh semangatnya seakan hendak mengikuti perang. *** Cinta pertama adalah rasa terindah yang pernah ada di dunia ini. Hum, begitulah menurut orang yang diperbudak oleh cinta pertamanya sendiri. Katanya, si dia yang telah berhasil
Suara mesin mobil dihidupkan menghentikan Bara dari aktivitasnya menarik rambut. Rambut yang memang sudah acak-acakan, bertambah mengenaskan sekarang. Terlihat wajahnya memerah, lelaki itu benar-benar menangis, kesal dengan kusutnya jalan hidup seperti benang tak terurus.Tidak mungkin 'kan ia berdiam diri saja kala telah mengetahui dirinya terancam dirukiah?Menyebalkan! Sudah pasti ia harus bangkit untuk menghentikannya.Bara meninggalkan lantai dan beranjak menuju jendela yang tirainya baru sebelah di buka. Dengan sekali tarik ia menyibak tirai sebelahnya lalu membuka jendela cepat-cepat.Terlihat si Merah melaju meninggalkan bagasi dan keluar dari halaman rumahnya.Mulut Bara terbuka. "Ma!" panggilnya berharap terdengar."Mama!""Mama!""Ma!"Tidak ada tanda-tanda Bella menyadari panggilannya, mobil BMW itu terus melaju hingga wujudnya terputus dari jangkauan pandang.
Bella keluar kamar tergesa-gesa, gamis cokelat susu melekat pas di tubuhnya, lengkap bersama kerudung yang berwarna serasi. Wajah ibu kandung Bara itu terlihat gelisah, nafasnya memburu seraya mengunci pintu kamarnya dengan tangan yang gemetar."Ma." Bara datang menghampiri Bella untuk melihat kondisi sang mama yang sebelumnya ia duga tidak sedang baik-baik saja, dan dugaannya itu dibenarkan saat tangan dingin Bella menarik Bara untuk mendekat padanya."Ganteng!" sambut Bella sedikit berteriak namun tertahan, kini tangan memucatnya itu menggenggam erat telapak tangan milik Bara."Ada apa, Ma? Mama tadi kenapa teriak? Terus ini Mama kenapa jadi dingin dan pucat? Mama sakit?" tanya Bara beruntut, berlagak tidak tahu dan tidak mengerti padahal hatinya tengah berdetak kencang mencemaskan posisi Rose yang terancam.Bella menggeleng. "Mama baru aja dapet musibah.""M
Bara bersingut mundur dengan cepat, matanya membola saat Rose tiba-tiba melempar sihirnya dan sengaja dipantulkan ke lantai tak jauh dari posisinya. Mata gadis itu menajam, berubah gelap dan menampilkan wajah yang tidak menyenangkan melainkan menyeramkan. Matanya berkaca-kaca, memancarkan ketidaksukaan atas apa yang baru saja terjadi. Bara menelan salivanya kuat-kuat, untuk kedua kalinya ia merasakan seluruh persendiannya mati rasa setelah bertemu Rose. Begitupun ketakutannya akan kematian selayaknya tempo hari. "Ro-Rose ... ma-maafin gue," pintanya memohon masih dengan posisi terlentang ditahan siku sama seperti saat pertama kali dirinya melihat keajaiban dunia di mana Rose keluar dari cermin. "Ja-jangan Rose." Tangan kanan Rose kembali bergerak memutar, dari gerakan tersebut dengan mudahnya asap hitam yang bercahaya penuh glitter muncul di atas
"Ngung! Ngung!" Bibir kecil dan tipis Rose maju mengikuti ucapannya. Tampak lucu seperti anak kecil yang senang melihat sesuatu yang baru dan langsung ia sukai, sehingga menarik imajinasinya ke tingkat yang lebih tinggi. Menggemaskan. Tapi tidak untuk Bara, ia memutar bola matanya kesal, menarik bahunya untuk bangkit dan terduduk. Ia mengharapkan ketenangan seperti sebelum gadis itu datang, serta harapannya yang utuh terhadap Lily untuk menjadi kekasihnya. Tatapan sendunya penuh menatap Rose, bibirnya tertekuk ke bawah, sedih. "Bisakah?" tanyanya mengalihkan pandangan pada langit-langit kelambu, mungkin saja Tuhan mau mengasihaninya. "Hiks!" Bara membanting tubuhnya ke belakang kembali berbaring, menutup telinganya dengan bantal tak memberi kesempatan suara untuk masuk sedikitpun. Paman Tikus di sampingnya, sudah lebih dulu tenggelam di alam bawah sadarnya. Sedangkan Rose, gadis itu masih asik menikmati imajinas
Wah apa lagi ini? Karakter tersembunyi yang baru saja Rose tunjukkan membuat Bara takjub dalam hitungan detik. Gadis unik itu bukan hanya berotak cerdas dan peka, tapi juga suka melucu rupanya.Bara menahan senyumnya agar tidak mengembang, meski terbilang gurauan Rose garing, melihat tingkah lucunya cukup menjadi pengganti dorongan untuk membuat orang yang menyaksikannya tersenyum.Terlepas dari itu, terserah sajalah Bara tidak ingin terbawa perasaan. Jika ia tersenyum, takutnya sama saja membuka peluang tabir harapan Rose.Esok harinya Minggu datang, hari di mana Bara bebas dari mata kuliah dan dapat bersantai dengan ketenangan pikiran.Ah, berbicara tentang ketenangan pikiran sepertinya Bara sudah kehilangan hal tersebut semenjak Rose hadir dalam hidupnya dan Lily yang tidak pernah mau menjadi kekasihnya hingga meninggalkan ia memilih lelaki lain.Bara keluar dari kamar mandi dalam keadaan menggosok rambutnya yang basah me
"Sini biar gue aja." Tanpa permisi lelaki yang tengah mengalami patah hati itu merebut tissue dari tangan Paman Tikus membuat sang empu menyipit tak terima. "Lambat!" ejek Bara kepada Paman tikus, dan tanpa meminta izin kepada Rose, Bara langsung mengelap pipi Rose dengan tissue tersebut menggantikan Paman Tikus. Rose mengerjapkan mata bulatnya, memperhatikan wajah Bara dari dekat ada sensasi tersendiri. Sedangkan Bara tak mempedulikan itu, ia lebih memilih fokus mengelap wajah Rose yang masih tersisa bercak cokelat separuh. "Ngapain liat-liat?" tegur Bara tiba-tiba. Rose yang tertangkap basah anehnya tidak gugup sama sekali, ia menggeleng calm dengan tatapan polos yang tidak hilang. "Nggak usah heran, gue emang udah ganteng dari lahir, makanya dapet julukan si Ganteng," cetus Bara percaya diri menarik sudut bibir membentuk senyum miring. Mendengar kalimat itu Rose tak bereaksi, masih betah menyapu tatapannya di s
"Rose.""Hum?""Hari ini lagi-lagi lo hampir ngebuat otak gue mau meledak," ucapnya memulai aksi"Hah?" Tentu saja kalimat Bara barusan terdengar ambigu di telinga Rose.Lelaki itu masih betah menatap piring kosong belum mau berpindah pandang dari sana. Dengan mimik wajah sok serius, ia memindahkan tangan yang jarinya saling bertaut ke atas meja mini berwarna cokelat itu tepat di hadapan Paman Tikus, sedikit kasar! Tujuannya adalah sekalian mencoba menggertak tikus tersebut tanpa disadari Rose.Bara mencoba mengambil peran sebagai hakim yang tengah bertugas, menciptakan atmosfer menegangkan di tengah persidangan."Lo--." Bara menoleh sengaja menggunakan gerakan slow motion hanya untuk menatap Rose.Bertepatan dengan itu Rose menurunkan tangannya membuat seluruh wajahnya dapat dilihat utuh.
"Ha-hantu?" Bella mengangguk mantap, jelas sekali terdapat keseriusan di matanya. Bukannya terbawa serius pula, Bara malah membentuk ekspresi menjengkelkan. "Pffttt." "Hahahaha!" Tawa meledak seketika. Bara memegangi perutnya akibat terlalu kuatnya tertawa. "Kok malah ketawa?" dengus Bella merasa kesal. Ayolah, sudah pasti Bara bahagia, sebab pikiran buruknya tidak terjadi. Ia merasa lega seketika, apalagi setelah menyemburkan tawa, seperti separuh beban yang bermuatan ton hengkang begitu saja. "Ekhem." Bara menyudahi kelakuan menyebalkannya, tidak enak juga rasanya melihat mamanya menatap kesal pada dirinya. "Maaf, Ma. Habisnya Mama lucu, mana ada hantu di siang bolong gini, mungkin Mama salah denger." "Haishh ... kamu ini nggak percayaan. Tadi 'kan Mama mau ngecek kamar kamu, pas mau dibuka ternyata pintunya dikunc
Nalarnya bekerja mencari kemungkinan baik-buruk yang akan terjadi, bagaimana jika mamanya mengetahui keberadaan Rose?Memang sih, sudah dikunci pintu kamarnya, tapi tetap saja ia mengkhawatirkan Rose akan bersuara dan dapat memancing rasa penasaran Bella, asal tahu saja mamanya itu tentu memiliki kunci duplikat yang akan memudahkannya masuk kapan saja ke kamar Bara.Kaki panjang milik Bara yang biasanya menggunakan kelembutan saat menaiki tangga dengan melewatinya satu persatu, telah mengesampingkan kelembutan itu dan kini melompatinya tanpa perhitungan.Untungnya ada secercah nasib baik saat ia mengambil keputusan itu, tubuh Bara selamat dari mencium lantai kayu, meskipun sempat oleng ke depan dan hampir nyusruk memeluk pintu tapi ia bisa menahan keseimbangan."Huft!" Ia mengelus dadanya dan bersyukur dalam hati.Knop pintu su