Share

Part 2, Hilang

Penulis: Cathalea
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-22 11:00:42

Suara ambulan meraung-raung memasuki pelataran rumah sakit yang megah dan besar. Di dalamnya tergolek Roy dan Fani dengan luka di sekujur tubuhnya.

Satu dokter dan dua paramedis lainnya sibuk mengupayakan pertolongan pertama untuk Roy dan Fani.

“Suster Kim, segera siapkan ruang operasi. Suster Nam, hubungi dr. Lee. Beberapa pecahan kaca menembus dada mereka, dan harus dilakukan operasi secepatnya,” intruksi Ko Joo Ri kepada bawahannya.

“Baik, Dok,” jawab mereka serentak. Lalu melesat ke luar dari ambulan.

Suasana UGD gaduh luar biasa. Petugas berlarian ke sana ke mari memenuhi kebutuhan yang diminta oleh dokter yang menangani pasien.

“Sudah cek kartu identitas mereka ?” tanya Joo Ri lagi.

“Sudah, Dok. Ternyata mereka warga negara Indonesia. Dan kami juga menemukan tiga tiket penerbangan, dua tiket dewasa atas nama Mr. Roy, Mrs. Fani dan satu tiket anak-anak atas nama Ms. Windi. Sepertinya mereka sedang dalam perjalanan menuju bandara.”

“Tiga tiket? Kamu yakin? Tapi kenapa cuma ada dua korban?”

Mereka saling berpandangan penuh arti. Benar juga, tadi di lokasi kecelakaan mereka hanya menemukan dua korban, jadi mana korban yang ketiga ?

“Tadi kamu bilang kemungkinan mereka menuju bandara, kan? Tapi tempat kecelakaan terjadi itu, arah sebaliknya, bukan?”

“Benar juga, alamat mereka pun jauh dari tempat kecelakaan. Apakah mereka tersesat ?”

“Hmm, bisa jadi. Berkendara di tengah hujan salju memang tidak mudah. Kita yang hapal jalan saja bisa nyasar apa lagi jika tidak terbiasa.”

“Anda benar, Dokter. Sepertinya begitu. Jadi apa langkah selanjutnya, Dok ?”

“Lebih baik kamu hubungi pihak kedutaan, agar mereka bisa menangani warga negaranya dengan segera. Aku masih penasaran dengan keberadaan anak mereka, jangan sampai ada pihak yang memanfaatkan keadaan ini.”

“Maksud, Dokter ?”

“Anak itu, tadi tidak ditemukan di lokasi kecelakaan, kan ? Ada dua kemungkinan, pertama, mereka dalam perjalanan menjemput anak itu, kedua, anak itu diculik di lokasi kejadian. Ditambah lagi di lokasi kecelakaan juga tidak ada orang yang menghubungi kita, padahal tadi jelas-jelas informasinya mereka menemukan korban kecelakaan, tetapi kenapa mereka tidak ada ?”

“Wah, anda berbakat jadi detektif, Dokter,” puji Suster Kim. Joo Ri sumringah.

“Karena saya penasaran, makanya kamu hubungi kedutaan Indonesia secepatnya, agar mereka bisa mencari keberadaan anak itu.”

“Baik, Dok.”

***

Joo Ri baru saja hendak menyantap makan siangnya ketika Suster Kim dan Suster Nam masuk dengan suara gaduh.

“Dokter! Dokter Ko! Pasien tadi ... pasien kecelakaan tadi meninggal.”

“Apa? Yang mana?” tanggap Joo Ri kaget.

“Kedua-duanya, Dok. Yang suami meninggal di meja operasi, yang istri meninggal dalam perjalanan menuju ruang operasi.”

Ko Joo Ri langsung lemas. Meskipun hal ini bukan yang pertama kali dia hadapi, namun setiap kali mendengar berita pasien yang ditanganinya meninggal tetap saja dia merasa lemas. Seakan-akan satu urat sarafnya ikut terputus bersamaan dengan kematian mereka.

Tanpa sadar Joo Ri memandangi foto yang ada di layar ponselnya seraya membisikkan doa, semoga wajah mungil yang sedang tersenyum lebar di sana tidak akan mengalami nasib yang sama.

***

Kaki kecil itu melangkah beriringan bersama kaki-kaki besar lainnya. Jalannya masih tertatih karena usianya yang memang masih teramat belia.Tangannya terangkat tinggi dalam genggaman mereka.

“Papa, Mama?” disela-sela langkah mereka, mulut mungil itu tidak berhenti memanggil-manggil orangtuanya.

Tapi bagaikan angin lalu, tak ada satu pun diantara mereka yang menjawab panggilan itu.

“Yeobo, sepertinya anak ini berbeda. Bahasanya bukan bahasa kita.”

“Papa, Mama, anna ?” tanyanya lagi dengan tatapan polos yang menghujam tepat ke manik mata dua orang dewasa di hadapannya.

Jang Woo dan In Suk saling berpandangan, tenggorokan mereka tiba-tiba terasa kesat. Mereka sadar, baru saja melakukan kesalahan besar.

“Eotteohkeyo, yeobo ? Dia bukan orang sini, sekalipun orang tuanya tidak selamat, pihak kedutaan mereka pasti mencari anak ini. Dan lihat, dia juga punya tanda lahir yang cantik di lengannya. Kita tidak mungkin menyembunyikannya di sini kan?”

“Makanya tadi aku larang kamu mengambilnya. Tapi kamu ngotot. Kalau sudah begini aku juga yang repot.”

“Kamu menyalahkanku? Memangnya kamu tidak perhatikan wajah orang tuanya ? Wajah mereka kan beda dengan kita?”

“Kamu pikir dalam keadaan berlumuran darah wajah orang bisa dikenali?”

In Suk terdiam dia tak lagi mendebat suaminya. Dia mulai panik, beragam bayangan buruk mulai gentayangan di kepalanya.

“Begini saja, aku tidak mau berurusan dengan hukum. Besok kita antarkan saja dia ke kantor polisi,” usul Jang Woo tegas. Dia yakin itu adalah keputusan terbaik.

“Tapi ...,” sahut In Suk ragu.

“Kamu mau dibilang menculik? Kalau kita mengaku, dan bilang ingin menyelamatkannya, mereka ga akan hukum kita. Percayalah padaku.”

“Ttta-tapi, bagaimana jika kita tetap dihukum meskipun mengembalikan anak ini? Bagaimana jika mereka tidak percaya, lalu memenjarakan kita? Aku tidak mau dipenjara, yeobo, andwaeyo, cheongmal andwaeyo, yeobo.”

“Sudaahh, kamu jangan menakut-nakuti gitu. Besok biar aku saja yang kembalikan anak ini, kamu di rumah saja.”

***

Tanah masih basah setelah semalaman dihujani salju tiada henti. Di atasnya Jung Woo mempercepat laju sepeda motornya, ada kekhawatiran menggelayut di wajahnya yang tirus. Di depannya, Windi duduk berbalut jaket tebal. Wajahnya tampak tenang. Bahkan sesekali dia tertawa lepas ketika angin berhasil mencuri kesempatan menyelinap di bawah tutup kepalanya.

Dia sangat menyukai angin. Sesuai nama yang diberikan orangtuanya yang bermakna sama. Baginya angin bisa mendatangkan rasa bahagia. Oleh mamanya, setiap kali ia menangis pasti segera dibawa ke hadapan kipas angin. Kemudian mereka menciptakan macam-macam suara di depannya sehingga suara mereka terdengar bergelombang. Windi sangat menyukai itu.

Di sebuah perempatan jalan, Jang Woo menghentikan laju motornya. Tiba-tiba timbul keraguan di hatinya. Terngiang kembali kata-kata istrinya kemarin. Bagaimana jika mereka tetap menghukumnya karena dianggap telah melakukan penculikan. Bagaimana jika dia disalahkan atas kecelakaan itu? Keringat dingin membasahi telapak tangannya karena cemas. Tidak, dia tidak mau itu terjadi. Dia tidak siap jika harus berhadapan dengan berbagai macam interogasi berwajib. Yang terpenting, dia tidak mau di penjara.

Tapi bagaimana dengan anak ini ? Tidak mungkin baginya untuk membawa anak ini pulang kembali kerumah. Tetangga mereka bisa curiga, dan menuduhnya melakukan penculikan. Tapi dia juga tidak memiliki keberanian untuk mengantarkan anak ini ke kantor kedutaan.

Tidak ada cara lain, demi keselamatannya, dia pun memutuskan untuk mengantarkan Windi ke panti asuhan. Ya, itu adalah keputusan yang terbaik.

Jang Woo berbalik, lalu memacu sepeda motornya menuju panti asuhan terdekat yang ia tahu.

Dengan sedikit mengendap-endap Jang Woo memasuki ruang utama panti asuhan itu. Hatinya berdebar keras.

Dia mendudukkan Windi di salah satu kursi yang tersedia, sementara dia sendiri mencari cara untuk memberi tahu keberadaan mereka. Jang Woo punya rencana, begitu pengelola panti itu tampak, dia akan berlari secepatnya meninggalkan panti asuhan itu. Di kantong Windi dia sudah menyiapkan sepucuk surat, agar pihak panti tahu harus berbuat apa.

Jang Woo memencet bel yang terletak di atas meja. Tidak terdengar sahutan. Jang Woo kembali menekan bel itu.

“Yeee, jamkkanmanyo,” terdengar sahutan dari salah satu ruangan, bersamaan dengan derap sepatu yang bergesekan dengan lantai.

Jang Woo mengambil kesempatan itu sebaik-baiknya. Dia berkelebat pergi, menuju sepeda motornya yang terparkir di pinggir jalan, memutar gasnya, lalu menghilang dalam kecepatan tinggi.

“Yee, jamkkanmanyo? Mueoseul dowadeurilkkayo ?” Cho Min Ah, pengurus panti sampai di lobi. Dia heran tidak menemukan siapapun disana.

“Lho, mana orangnya? Tadi jelas-jelas aku mendengar bel berbunyi, tapi kenapa tidak ada siapa-siapa?” Min Ah memutar tubuhnya dengan kecewa. Tapi lamat-lamat dia mendengar sesuatu.

“Papa, Mama, anna ?”

Min Ah terkesiap kaget. Didepannya berdiri seorang bocah kecil usia 1 tahunan. Dengan jaket tebal dan penutup kepala kebesaran. Jelas sekali anak itu tidak mengenakannya pakaian miliknya sendiri.

“Kkkamu, siapa? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Min Ah gugup.

Windi tidak menjawab. Dia hanya menatap lurus ke bola mata Min Ah. Tatapan itu penuh tanda tanya yang meminta jawaban.

“Papa, Mama, anna ?” tanyanya lagi.

“Somanim, kemarilah, lihat apa yang aku temukan!” sorak Min Ah dengan pandangan tidak lepas dari Windi.

“Yee, Min Ah. Ada apa ribut-ribut? Suaramu itu bisa membangunkan anak-anak yang sedang tidur,” seorang wanita paruh baya keluar dari ruangan paling pojok. Dia adalah Ny. Baek. Kepala panti asuhan itu.

“Chwisongeyo, somanim. Tapi lihatlah kesini.”

“Apa sih itu ? Kamu benar-benar membuatku penasaran,” gerutu Ny. Baek seraya mempercepat langkahnya.

Sesampai didekat Min Ah, dia pun berseru kaget. Suasana menjadi kaku untuk beberapa saat. Ny. Baek yang telah puluhan tahun mengelola panti itu tentu saja bisa segera menguasai keadaan. Dia telah berulang kali berhadapan dengan hal yang sama.

“Annieonghaseyo, siapa namamu, Sayang ?” tanyanya kemudian setelah berhasil mengatasi rasa kagetnya.

Windi tidak menjawab, dia hanya tersenyum kecil.

“Papa, Mama, anna ?” tanyanya kemudian.

“Booo yaaa ? Anak ini .. dia bukan orang sini. Siapa yang membawanya ke sini ?”

“Saya tidak tahu, Bu. Tadi saya mendengar suara bel, saya sedang di ruang belajar anak-anak, bergegas keluar. Tetapi sampai di luar aku tidak menemukan siapa-siapa, hanya anak ini.”

“Ya, sudah. Nanti kita cari tahu lebih banyak. Sekarang kamu urus anak ini. Ganti pakaiannya dengan yang lebih pantas.”

“Baik, Bu.”

*****

Han Tae Ho tampak gelisah diruangan kerjanya. Sejak kemarin dia tidak bisa menghubungi Roy sahabat dekatnya. Padahal jelas-jelas malam sebelumnya Roy menelepon memberitahu bahwa dia akan mampir sebelum pulang ke Indonesia. Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Firasatnya mengatakan sesuatu sedang terjadi. Dan dia penasaran itu apa.

“Nn. Lee, tolong hubungi kantor Tn. Roy. Cari tahu perihal keberangkatan mereka,” perintahnya pada sekretarisnya. Wanita berambut panjang itu mengangguk lalu mundur dari ruangan.

Lima belas menit berlalu dia kembali lagi keruangan itu. Wajahnya tegang, seperti sedang mencemaskan sesuatu.

“Nn. Lee, kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu pucat begitu? Apa kata mereka?”

“Sekretaris Tn. Roy bilang mereka sudah ke luar dari sana sejak pagi kemarin, Tuan,” jawabnya dengan suara bergetar.

“Lalu apa yang membuatmu tampak ketakutan seperti itu ?”

“Itu ... itu ... hhmm .. sebaiknya Tuan lihat sendiri beritanya,” jawab Nn. Lee sambil meraih remote dan mengarahkannya kelayar televisi.

Di salah satu channel sedang menayangkan berita tentang kecelakaan tragis yang menimpa warga negara Indonesia. Kecelakaan tunggal itu merenggut dua nyawa sekaligus.

Tae Ho terhenyak melihat tayangan berita di hadapannya. Tubuhnya lemas, hati dan pikirannya sulit menerima kenyataan sahabat baiknya tewas mengenaskan seperti itu.

Untuk beberapa saat dia terpaku tanpa suara dengan pandangan tidak lepas dari layar tivi. Reporter di sana sedang menyampaikan analisa perkiraan penyebab terjadinya kecelakaan itu. Te Ho masih sangat syok, dia sulit menerima kenyataan bahwa sahabat karibnya itu telah tiada.

Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Tunggu, mereka bilang korban tewas ada dua orang?” tanyanya kemudian.

“Benar, Tuan,” sahut Nn. Lee.

“Lalu bagaimana dengan anak mereka ?”

“Itu yang belum diketahui pasti, Tuan. Karena ketika ambulan sampai dilokasi kejadian mereka hanya menemukan dua orang korban.”

“Apa maksud kamu, Nn. Lee? Anak itu hilang?”

“Saya tidak tahu Tuan. Saat ini pihak kedutaan pun masih mencari keberadaan anak itu.”

“Hubungi Tn. Kim, suruh dia menemuiku.”

“Baik, Tuan.”

***

Sementara itu di panti asuhan, Min Ah sedang memakaikan selimut ke tubuh Windi yang tertidur.

“Bagaimana anak itu, Min Ah ?” tanya Ny. Baek yang ikut masuk ke kamar.

“Setelah mandi dan makan lahap dia tertidur, Bu. Sepertinya dia kelelahan.”

Ny. Baek menghela nafas panjang. Pikirannya tidak tenang. Meskipun kejadian ini bukan yang pertama kali ia alami, namun baru kali ini ia menerima warga negara asing. Firasatnya mengatakan sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi.

“Kenapa, Bu? Ada yang mengganggu pikiran, Ibu?” tanya Min Ah. Bertahun-tahun mengenal Ny. Baek dia paham betul hati atasannya itu sedang resah.

“Ada yang aneh, Min Ah. Anak itu bukan warga negara kita. Tapi mengapa dia bisa sampai di sini? Tadi aku juga melihat ada noda darah yang telah kering di pakaiannya. Apakah dia korban penculikan?”

Min Ah, wanita polos yang hanya mengenyam bangku sekolah dasar itu tentu saja tidak paham akan kata-kata atasannya. Yang dia tahu, dia harus meninggalkan wanita tua itu sendirian untuk berpikir, sementara dia harus kembali ke perkerjaannya. Sadar akan hal itu, dia jadi teringat cuciannya telah terendam cukup lama.

Min Ah mempercepat langkahnya menuju halaman belakang tempat dia merendam cuciannya. Sembari melangkah, dia menyempatkan menyambar pakaian yang dikenakan Windi tadi, lalu menyatukannya dengan cuciannya yang lain. Bersama tumpukan cucian, baginya inilah dunia ternyaman.

Sepeninggal Min Ah, Ny. Baek berpikir keras. Dia harus melakukan sesuatu. Demi keselamatan anak itu dan juga demi kenyamanan panti yang ia bina.

Ny. Baek mengangkat telepon, dan langsung menghubungi kedutaan. Itu adalah langkah terbaik yang bisa ia lakukan.

*** Bersambung *** 

Bab terkait

  • You're My Destiny   Part 3, Dua Sisi Kehidupan

    Dua puluh tahun kemudian.Jalanan tampak sepi, hanya satu-dua kendaraan yang lewat di depan rumah megah itu. Bunga-bunga di halaman rumah tumbuh dengan suburnya, angin pun bertiup sangat lembut, selaras dengan ketenangan dan kedamaian yang jelas terasa. Membuat semua mata yang memandang menjadi iri untuk turut menjadi bagian dari kedamaian itu.Namun tidak demikian halnya yang terjadi di dalam rumah. Ketegangan jelas terlihat membayangi wajah dua pria. Yang satu duduk di kursi besar, dengan wajah kaku, dan satu tangan yang jarinya selalu terkepal. Satunya lagi berdiri tidak jauh di samping kanannya. Mimik wajahnya cemas dan gelisah. Tampak jelas ia sedang berpikir keras tentang sesuatu.Beberapa menit telah berlalu, namun masing-masing mereka masih saja larut dengan deru nafas yang terdengar begitu berat untuk dihembuskan. Sepertinya masalah besar memang sedang terjadi di rumah itu.“K

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-23
  • You're My Destiny   Part 4, Kabar Gembira

    “Win! Coba tebak aku bawa berita apa ?” berlari-lari kecil, Fina mendekati Windi dengan wajah sumringah.Berita? Paling berita soal ngedate dia semalam dengan si Frans. Aku paling ga suka mendengar cerita semacam itu, batin Windi. Bukannya cemburu, well.. kalau boleh jujur sih Windi cemburu juga, karena usia udah segini masih juga berpredikat jomblo. Tapi dia fun aja dengan status itu, karena saat ini ada satu hal yang tidak boleh dia abaikan sama sekali yaitu kuliah yang telah diperjuangkannya setengah mampus.Windi melengos, kembali fokus pada bacaan di hadapannya. Baginya tidak ada yang lebih menarik dari pada gosip Lee Min Ho yang kabarnya sedang dekat dengan lawan mainnya di salah satu serial.“Hei.. kamu dengarin aku ga sih?”Fina merenggut tabloid itu dari tangan Windi dengan wajah masam. Tampak sekali dia keberatan dengan pengabaian Windi barusan. Windi menghela nafas, memandangnya dengan gusar.&

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-24
  • You're My Destiny   Part 5, Di Luar Ekspektasi

    Sumpah, pertama kali yang ada dalam pikiran Windi ketika menjejakkan kaki di bandara Incheon ini adalah dua kata. ‘Megah banget!’Meskipun beberapa kali melihat bandara ini di serial-serial K-Drama, namun tetap saja dia terperangah mengitari bandara dengan pandangan tak berkedip dan mulut menganga lebar.Windi betul-betul merasa sangat kerdil di bawah atap bangunan yang membumbung tinggi ini. Dia tidak peduli akan apa yang orang pikirkan melihat reaksinya, mau dibilang norak, kampungan, udiklah atau sejenisnya. Well itu terserah mereka sih, tapi sumpah, aku takjub, tandas Windi dalam hati.Windi dan Fina celingukan mencari papan nama atau tanda apapun yang bisa memberitahu keberadaan tim penjemput mereka di bandara. Ada perasaan was-was juga, kalau-kalau tim yang dijanjikan itu tidak ada. Well, bisa-bisa mereka berpetualang tanpa arah di negeri asing ini.Seorang pria berkacamata, sedikit culun dengan celana bahan dan kaos lengan panjang, nampak celinguka

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-25
  • You're My Destiny   Part 6, Pelarian

    Semua yang berada di kamar terperanjat begitu melihat penguasa rumah itu berdiri di hadapan mereka. Aura cemas langsung mengerubuti wajah Ko Joo Ri dan Han Yoo Na. Dengan memasang ekspresi angker begitu di wajahnya, mereka sangat paham bahwa lelaki tua itu sedang berada di puncak amarahnya. Tatapannya tajam tak berkedip kepada Yoo Ill. Bagaikan sinar-x, tatapan ayahnya itu mampu menembus sel-sel terdalam di relung hati Yoo Ill, membuatnya membeku untuk beberapa saat.Tidak ingin membuat suasana menjadi canggung lebih lama, Yoo Ill segera memutar tubuhnya, melangkah lebih dekat kemudian memberi hormat kepada pria yang dia panggil ayah itu.“Aboeji ... aku ... kembali,” ujar Yoo Ill dengan suara seperti tercekat di tenggorokan.Plaakk !Satu tamparan melayang ke pipi Yoo Ill.Yoo Ill meringis, mengusap pipinya, menahan rasa panas yang merayap di pipinya sambil menatap geram ke arah ayahnya. Bukan pelukan yang ia dapat,

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-26
  • You're My Destiny   Part 7, Hobi Membawa Hoki

    Agenda Fina dan Windi yang pertama adalah berkunjung ke tiga tempat populer yang pernah dijadikan lokasi syuting drama-drama Korea.Hmm ... untuk urusan begini mah, aku gak akan minder, batin Windi dalam hati. Dijamin sembilan puluh lima persen lokasi-lokasi syuting K-Drama itu akutahu. Ga lebaylah, kan K-Drama addicted. Hahaha. Windi masih cekikikan dalam hati karena girang.Imajinasi liarnya membawa pikirannya pada harapan bahwa agenda mereka hari ini akan menjadi momen yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup. Untuk itu Windi dan Fina mengabadikan semua kegiatan mereka lewat kamera. Semua spot foto tidak ada satu pun yang mereka lewatkan.Sayangnya agenda hari pertama ini ternyata tidak semenarik dugaan dan harapan mereka. Karena kentara banget, agenda hari ini adalah agenda titipan dari dinas pariwisatanya Korea. Kunjungan mereka ke tempat-tempat bersejarah itu benar-benar monoton, hanya jalan-jalan sambil mendengar tour-guide menjelaskan s

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-01
  • You're My Destiny   Part 8, Petaka yang Tidak Terelakkan

    Agenda mereka memasuki acara puncak, yaitu bersepeda keliling kota. Mengapa ini acara puncak? Karena dengan kegiatan ini para peserta diharapkan dapat bersentuhan langsung dengan kebudayaan Korea dalam setiap perhentian nantinya. Sembari menikmati pemandangan Korea, mereka bisa bercengkrama dengan keramahan warga lokal. Hhm ... sepertinya cukup menarik, batin Windi.“Fin, guide-nya bilang apa tadi ?” tanya Windi sambil merapikan kaus kaki yang menggulung. Sementara Fina sedang melakukan gerakan-gerakan peregangan otot ringan.“Dia bilang, kita akan bersepeda di distrik Songpa. Ntar di sana kita dibagi sepeda satu-satu sekalian sama rutenya juga. Eh, jangan lupa bawa badge, lho, Win,” ujar Fina mengingatkan.Kata-kata itu sontak membuat Windi langsung meraba saku, dan bersyukur mendapati badge itu ada di sana. Dia segera mengalungkannya di leher untuk antisipasi resiko ketinggalan atau kelupaan. Windi tidak bisa membayangkan ap

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • You're My Destiny   Part 9, Lost in Somewhere

    "Ajumma, kau baik-baik saja ?"Windi mengerjap tiga kali, melihat samar ke asal suara itu. Nampak jari-jari kecilnya menggenggam ujung-ujung jari Windi yang mulai mati rasa karena beku. Mata beningnya menatap lurus, menyiratkan ke khawatiran. Windi mengangguk, bersusah payah berusaha untuk bangkit. Namun nyeri yang tak tertahankan di pergelangan kaki, bahu dan pinggang membuatnya susah untuk berdiri. Tangan-tangan mungil itu berusaha membantu Windi, namun tentu saja bobot 60kg Windi bukanlah tandingannya. Dia justru terbawa, ikut terjerembab bersama Windi diiringi teriakan kesakitan dari mulutnya, karena tubuhnya tertimpa tubuh Windi."Yoon Sung-ah, kau di mana ?"Sebuah sorakan dari belakang membuat Windi lega. Setidaknya anak itu bisa segera di selamatkan dari tindihan tubuhnya yang semakin sulit untuk digerakkan."Yaa.. dangsin-eun maeng-in ? dwie jasig eobs-eum .. bla..bla..bla,” Windi tidak begitu mengerti yang diucapkannya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-05
  • You're My Destiny   Part 10, Pertemuan tak Terduga

    “Aku merasa pernah melihat wajahmu di suatu tempat, tapi di mana tepatnya aku lupa,” lajut Windi dengan penuh penasaran.Keningnya mengernyit, sepertinya pertanyaan Windi barusan turut menggugah ingatannya. Yoo Ill memandangi Windi lekat-lekat.Itu berlangsung untuk beberapa saat. Sampai ujung syaraf mereka terhubung pada sesuatu.“Ooohh ... the airport!” seru mereka bersamaan. Ya, dia adalah laki-laki yang menabrak Windi di bandara beberapa hari yang lalu.“Oh, My God, betapa dunia ini sempit sekali !” seru Yoo Ill kemudian.Windi tersenyum, menyetujui kata-katanya. Dalam hati ada rasa haru di hatinya, karena setidaknya dia bukanlah orang yang sama sekali ‘asing’. Meski pun bukan pula akrab. Apapun bentuknya pertemuan ini Windi merasa lega. Setidaknya, hal itu berhasil mencairkan rasa canggung di antara mereka berdua.“Sepertinya kakimu mempertemukan kita kembali,

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-05

Bab terbaru

  • You're My Destiny   Bab 93, Takdir yang Menyatukan Mereka (TAMAT)

    Windi terpaku di tempatnya berdiri, sementara matanya tak berkedip menatap Yoo-ill. Untuk beberapa saat ia hanya berdiri mematung dengan ekspresi bingung, terlebih saat melihat tangan Yoo-ill yang terulur padanya. Ia pun tersadar tak lama kemudian. Dengan raut wajah gelisah dan bingung, Windi mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ia baru sadar kalau kursi-kursi di gereja itu telah banyak yang ditinggalkan penghuninya. Hampir separuh dari tamu undangan itu pergi setelah mengetahui pengantin prianya sosok yang berbeda.Di barisan paling depan Windi berharap menemukan keluarga Pandu, tetapi barisan itu pun terlihat lengang. Hanya rekan kerjanya yang setia menyaksikan acara pemberkatan itu sampai selesai."Ha-ni-yah. Apa yang terjadi. Mana Kak Pandu dan keluarganya?" tanya Windi dengan mata berkaca-kaca.Ha-ni yang bertugas sebagai bridesmaids tak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya kepada Windi. Ia menghampiri Windi lalu memeluknya dengan erat. "Maafkan aku, Win. Aku tidak bisa m

  • You're My Destiny   Bab 92, Hadiah untuk Pandu

    Satu jam sebelumnya. Di ruang tunggu pengantin pria, Pandu bercengkrama dengan sejumlah tamu yang merupakan teman kuliahnya dulu. Ternyata perihal pertunanganan Yoo-ill yang batal telah menyebar luas di kalangan mereka."Aku tidak mengerti dengan cara pikir si Yoo-ill itu. Padahal kalau aku tidak salah dengar, ini pertunangannya yang kedua kali. Yang pertama dulu, belum sempat dikenalin ke publik, masih di kalangan internal perusahaan aja. Tapi, hanya beberapa bulan, Yoo-ill memutuskan wanita itu secara sepihak," kata salah satu di antaranya."Tapi aku dengar wanita itu ada skandal dengan salah satu pamannya," kata yang lain pula.Namun, pria yang lain membantah dengan gerakan tangannya. "Itu tidak benar. Kamu lupa kalau aku juga bekerja di Han Enterprise? Skandal itu adalah hoaks yang diciptakan oleh Han Tae Soo, paman Yoo-ill yang lain, karena ingin menurunkan tunangan Yoo-ill dari kursi direktur.""Gila. Parah juga persaingan di perusahaan itu.""Paman Yoo-ill yang satu itu memang

  • You're My Destiny   Bab 91, At The Wedding Day

    Untuk beberapa saat Windi terpaku di tempatnya berdiri karena tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Windi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Yoo-ill sedang bersandar di mobilnya dengan kedua tangan yang sibuk memainkan ponsel. Windi juga heran bagaimana Yoo-ill bisa tahu tempat kerjanya."Yoo-ill? Kamu kenapa bisa ada di sini? Kamu tahu dari mana aku kerja di sini?" Windi mencecar Yoo-ill tanpa jeda.Yoo-ill mendekat tanpa melepaskan tatapannya dari wajah Windi, wajah wanita yang selama beberapa tahun terakhir ini terus mengusik hati dan pikirannya bahkan di saat tidur."Aku sudah menerima undangan pernikahanmu. Jujur ... aku kaget sekali karena tidak menyangka kalian akan menikah secepat itu," ujar Yoo-ill mengabaikan pertanyaan Windi."Apanya yang aneh? Kami memang sudah merencanakan sejak lama, hanya sedikit dipercepat saja karena keluarga Pandu inginnya begitu," jawab Windi beralasan. Padahal ia sendiri yang meminta hal itu pada Pandu, karena tidak i

  • You're My Destiny   Bab 90, H-3

    Dua hari berlalu. Di kediaman keluarga Han sedang terjadi ketegangan. Pasalnya adalah kepulangan Yoo-ill setelah tiga hari menghilang pasca membatalkan pertunangannya dengan Ji-hyun.PLAK! PLAK!Tamparan keras dari tangan Tn. Han mendarat di wajah Yoo-ill. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Masih tak puas juga, tetua keluarga Han itu juga menendang Yoo-ill dengan kakinya yang memakai sepatu pantofel. Sakit? Jangan ditanya. Ringis kesakitan dari Yoo-ill sudah menjawab semua itu, betapa sakit tubuhnya yang didera pukulan bertubi-tubi dari sang ayah.Sementara Ny. Ko hanya bisa menangis tersedu sambil menahan kaki sang suami agar berhenti memukuli buah hatinya."Cukup, Yeobo. Jangan pukuli Yoo-ill lagi. Berhenti memukuli kepalanya, matanya masih sangat rentan dengan guncangan. Tolong berhentilah!" pinta Ny. Ko yang kalut melihat luka di kening Yoo-ill. Ia takut sekali penglihatan Yoo-ill kembali bermasalah akibat pukulan itu.Namun, Tn. Han mengabaikan rengekan istrinya. Matanya y

  • You're My Destiny   Bab 89, H-5

    Dengan penuh tanda tanya Windi menyeret langkah menuju pintu, lalu mengintip lewat peephole yang ada di sana. Windi mengernyit heran saat melihat wajah Ji-Hyun di sana. Tak ingin memendam rasa penasarannya lebih lama, ia pun membuka pintu itu."Ji-Hyun?! Ada keperluan apa kamu di sini?" "Aku mau bicara." Dengan lancangnya, Ji-Hyun menerobos masuk lalu berkeliling kamar, masuk ke kamar mandi, membuka pintu lemari seolah sedang mencari sesuatu. Setelah gagal menemukan apa yang dicari, dia pun duduk di sofa yang tersedia di sudut kamar."Kamu sendiri?" tanyanya dengan tatapan menyelidik."Bersama Pandu. Dia sedang membeli makanan ke luar."Ji-hyun tak percaya. "Kenapa tidak pesan di restoran hotel saja?""Dia lagi pengen makan masakan Indonesia. Di restoran hotel ini tidak ada," jawab Windi asal. Padahal ia tidak tahu pasti Pandu ke mana, karena lelaki itu pergi saat dirinya sedang mandi.Windi menghela napas panjang, menutup pintu, lalu duduk di pinggir ranjang, berhadapan dengan Ji-hy

  • You're My Destiny   Bab 88, Tamu Tak Diundang

    "Aku senang sekali, Win. Memang itu yang aku mau. Tetapi, kalau aku boleh tau, apa alasan kamu tiba-tiba ingin mempercepat pernikahan kita?" Pandu bertanya tak sabar setelah mereka berada di hotel. Tadi ia terpaksa beralasan ada pekerjaan mendadak sehingga bisa pamit lebih awal dari pesta pertunangan Yoo-ill dan Ji-hyun. Meskipun ia sendiri heran dengan sikap Windi yang bersikeras untuk pulang, tetapi demi kenyamanan sang kekasih hati ia pun menuruti permintaan Windi."Tidak ada alasan khusus. Melihat Kak Pandu dikelilingi wanita-wanita cantik saat di pesta tadi membuatku berpikir sepertinya aku harus segera mengikatmu dengan cincin pernikahan," jawab Windi beralasan. Padahal ia melakukan itu karena takut hatinya kembali goyah oleh Yoo-ill. Windi takut, nama Yoo-ill yang telah terkubur di hatinya hidup kembali karena terbayang tatapan laki-laki itu yang dipenuhi rasa bersalah saat menatapnya tadi. Sementara ia sudah berkomitmen dengan Pandu. Pandu dan keluarganya adalah orang-orang

  • You're My Destiny   Bab 87, Aku Tidak Mau Menunda Lagi

    Pandu heran melihat Yoo-ill dan Windi terdiam dengan tatapan saling bertaut, sementara wajah mereka menggambarkan ekspresi yang sulit untuk digambarkan. Terkejut, kecewa, luka, dan juga rindu yang tersirat dalam. Berada di antara mereka membuat Pandu mendadak merasa berada di dunia yang berbeda. Keadaan itu berlangsung cukup lama sampai suara tunangan Yoo-ill membuyarkannya. "Wah, dunia ini sempit sekali, ya. Ternyata wanita yang ingin kamu kenalkan itu Windi, Pan?" tanya Ji-hyun pada Pandu. Pandu dan Ji-hyun merupakan teman saat duduk di bangku SMA dulu, sementara Yoo-ill adalah temannya di saat kuliah. Itu sebabnya Pandu sangat antusias menghadiri pesta pertunangan ini karena kedua calon pengantin adalah temannya. "Kamu kenal Windi?" Pandu balik bertanya dengan heran. Ji-hyun melirik Yoo-ill yang masih menatap Windi tanpa jeda, lalu bergelayut manja di lengan lelaki itu. Lewat sikapnya itu ia ingin memberi tahu Windi bahwa Yoo-ill adalah miliknya. "Bukan aku yang kenal Windi sec

  • You're My Destiny   Bab 86, Pertemuan Tak Terduga

    Windi mematut pantulan dirinya yang ada di cermin. Sungguh ia merasa takjub sendiri melihat penampilannya dalam balutan gaun malam berwarna maroon itu. Gaun pesta ala mermaid membungkus tubuh Windi yang sintal dengan indah, menonjolkan bagian-bagian tertentu dalam porsinya yang pas. Setelah merasa cukup puas dengan gaun pilihannya, Windi pun keluar dari kamar ganti itu.Pandu yang menunggu di luar kamar ganti spontan berdiri dengan bola mata membesar saat melihat Windi keluar. Mulutnya ternganga, terpesona akan kecantikan Windi yang tak biasa."Bagaimana, Kak? Cocok, tidak?" tanya Windi malu-malu. Pandu tidak menjawab, hanya tepuk tangannya yang menggema ke seantero toko. "Kamu cantik sekali, Win. Super-duper-cantik!" puji Pandu sambil berdecak panjang."Kak Pandu ini bisa saja. Jangan berlebihan, Kak. Jangan buat aku malu," ucap Windi dengan bibir mengerucut, sedikit protes, tetapi tetap saja pipinya merona."Aku tidak berlebihan. Coba saja tanya pada pramuniaga itu," sahut Pandu. "

  • You're My Destiny   Bab 85. Ramyeon Mokgo Gallae?

    Windi terkesiap, ia terduduk, spontan menjauh dari Pandu. Napasnya masih tersengal dan wajahnya masih memerah karena lonjakan libido. "Maaf, Kak. Aku tidak bisa melakukannya. Maafkan aku kalau mengecewakanmu," ujar Windi sambil menenangkan debaran jantungnya."It's okay, Win. Aku juga minta maaf karena telah lepas kendali tadi," ujar Pandu dengan kepala menunduk."Tidak apa, Kak. Ini salah kita berdua, jadi mari jadikan pelajaran saja," kata Windi berusaha untuk bijak.Pandu mengangguk."Silakan mandi dan ganti pakaianmu, aku akan menunggu di luar," kata Pandu.Ia keluar dari kamar, lanjut menuju dapur lalu meminum segelas air dingin. Ia butuh meredakan gelora hasratnya yang masih membara.Sementara itu, di Seoul. Sebuah acara yang mempertemukan dua keluarga baru saja berakhir. Tn. Han tampak antusias melepas kepergian tamu mereka. Tangannya tak henti melambai, dan senyumnya juga tak henti mengembang. Di sampingnya Yoo-ill berdiri dengan ekspresi datar.Mereka yang baru saja pergi ada

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status