Mila langsung meringis ketika melihat lirikan sinis dari Ravindra. Wanita itu mengibaskan tangan di depan wajah. "Bercanda, gue udah ada suami." Bianca melengos, kemudian menatap tajam pada Ravindra. "Lo jangan keseringan ke sini. Tetangga gue banyak bacot soalnya, entar yang ada gue digosipin yang aneh-aneh." Lelaki dengan setelan rapi itu memilih mendudukkan dirinya di sofa. Menatap lembut pada Bianca yang masih berdiri. Meski Ravindra tahu kalau Bianca belum mandi, tapi dia masih berpikir wanita itu cantik. "Kamu bisa tidur semalam?" Mengabaikan pertanyaan Bianca, Ravindra justru menanyakan hal yang lain. Membuat Mila mengerutkan dahi tidak suka. Lupakan wajah tampan Ravindra, Mila sudah tahu kalau lelaki muda ini begitu selfish dan keras kepala. Mila bisa melihat dari attitude-nya yang sama sekali nggak ada ramah-ramahnya. "Jelas dia nggak bisa tidur, lah. Keluar dari kandang macan masuk kandang buaya," sinis Mila. Wanita cantik itu kemudian berdiri di sebelah Bianca. "Awas k
Dengan kedua tangan tenggelam dalam saku celana, Ravindra berjalan santai keluar dari lift. Kedua sekretaris wanita yang bekerja di depan ruangannya langsung berdiri memberikan hormat. Ravindra sedikit mengangguk kemudian masuk ke dalam ruangan tanpa sepatah kata. Ilham yang sejak tadi mengikuti atasannya itu juga ikut masuk. Berdiri dengan kedua tangan menyatu di depan tubuh. Sementara Ravindra langsung mengitari meja dan duduk di kursinya. Ia menyatukan kedua tangan dengan siku di atas armrest. Direktur muda itu tampak berpikir. "Ada yang perlu saya bantu?" tanya Ilham dengan tidak sabar. Pekerjaan yang harus dia lakukan masih banyak, tapi Ravindra malah meminta dia mengikutinya sampai ruangan. "Iya, dong. Kalau nggak ngapain juga saya suruh kamu masuk ke sini," balas Ravindra sebelum meneguk air putih dari atas mejanya. Ilham adalah tangan kanan Ravindra dari pada disebut sebagai sekretaris. Lelaki yang usianya dua tahun lebih tua darinya itu sudah bekerja dengannya sejak dia
Rasa lega langsung memenuhi rongga dada Bianca ketika ada suara yang mengintrupsi mereka. Perhatian Melodi jadi teralihkan. Wanita manis dengan rambut diikat pita yang cantik itu mendongak. Kemudian berdiri, menyambut pelukan dari wanita yang baru menyapa. "Diana? How are you?" tanya Melodi dengan suara senangnya. Wanita yang dipanggil Diana itu lantas mendudukkan diri di sebelah Melodi. "I'm good, always. Gimana kamu sama Ravindra?" Bianca menjilat bibir bawah, kembali merasa gugup luar biasa ketika mendengar nama Ravindra. Diana adalah teman Melodi, wajar kalau mereka akan membahas Ravindra. "Baik, kami dalam hubungan yang sangat baik." Melodi lalu menoleh pada Bianca, menunjuk wanita itu dengan tangan yang terentang. "Ini Kak Bianca, temannya Kak Ravi." Diana menubrukkan pandangannya pada Bianca. "Diana," katanya sembari mengulurkan tangan. Bianca menyambut uluran tangan itu dengan hangat. "Bianca." "Maaf kalau aku ganggu kalian," ucap Diana dengan suara menyesal. "Kalau git
Hingar bingar yang ada di dalam Club memang selalu berhasil membuat Bianca melupakan dunia luar sejenak. Meski tempat itu berisik dan penuh manusia berengsek, tapi Bianca menemukan rasa aman di dalam ketika berada di dalamnya. Dia memang manusia yang masa bodoh dengan etika atau bahkan dosa. Karena itu, Bianca tetap berani datang meski Ravindra sudah melarang. Sarah yang melihat kehadiran Bianca langsung menghampiri. Wanita berusia hampir empat puluh itu masih tetap cantik dengan tubuhnya yang sexy. "Kirain gue nggak bakalan liat lo lagi, Bi." Bianca tersenyum sinis. Tangan kanannya membawa rambutnya yang terurai tersampir sepenuhnya ke pundak kanan. Memperlihatkan punggung wanita itu yang backless. Kesan sexy dan liar memang sangat melekat pada image Bianca. "Gue belum mati jadi lo masih bisa liat gue," balas Bianca santai. Si cantik itu lantas melewati Sarah, menghampiri bartender yang sepertinya baru. Karena Bianca baru pertama kali melihatnya. "Lo nggak keliatan kemarin, dan
Adiwijaya adalah salah satu keluarga konglomerat yang terpandang. Bisnis hotel yang sudah memiliki nama di kalangan masyarakat membuat nama mereka juga sering kali menjadi sorotan. Apapun yang dilakukan oleh keluarga Adiwijaya tidak pernah lepas dari perhatian publik. Termasuk pertunangan antara Ravindra dan Melodi yang berasal dari keluarga Rahadi. Salah satu keluarga yang memiliki pengaruh dalam dunia penerbangan. Karena itu, meski Ravindra tidak suka dengan Melodi, dia masih harus menjaga nama baik mereka. Ravindra tidak bisa sembarangan berjalan dengan wanita lain dan mengabaikan sang tunangan. Orang tuanya bisa-bisa menguburnya hidup-hidup kalau sampai ada berita tak mengenakkan yang bisa mempengaruhi citra keluarga mereka. Melodi memperhatikan Ravindra yang bolak-balik melihat ponsel, terlihat sangat sibuk. Padahal sekarang sedang makan malam kelurga, dan lelaki cerdas itu tidak pernah memegang ponsel biasanya. "Ada masalah, Kak?" bisik Melodi. Ia juga melirik pada para oran
"Ravindra?" Lelaki itu menenggelamkan tangannya pada saku celana. Memberi kode pada Sarah untuk pergi dengan gerakan kepala. Wanita yang merupakan 'Mami' di tempat itu menurut tanpa membantah. Langsung pergi tanpa pamit, meninggalkan Bianca dengan raut bingung yang kentara. Ravindra duduk di tempat kosong yang tadinya milik Sarah. Lelaki itu memesan vodka pada bartender. "Harusnya bilang dulu kalau mau ke sini," ucap Ravindra dengan nada dingin. Berbeda dengan intonasi bicara seperti biasanya. Kali ini pria itu terlihat tak suka. "Pasti nggak bakal boleh kalau gue bilang dulu," jawab Bianca. Wanita itu menunduk, menatap jemari kukunya yang tertaut satu sama lain. Ada getaran aneh yang menjalar ke seluruh tubuh ketika Ravindra sudah berada di sisinya. Terlebih ketika pria itu diam seperti ini, seakan memberikan hukuman pada Bianca. Ravindra menenggak satu gelas kecil vodka, dan Bianca memperhatikan itu. Sexy dan panas. Dua kata yang mampu menggambarkan penampilan Ravindra malam i
Tidak ada lagi suara dalam mobil yang Ravindra kendarai. Bianca sibuk men-scroll akun sosmed, sedangkan Ravindra sendiri fokus menyetir mobil. Lelaki itu sangat berhati-hati karena jalanan yang licin, hujan yang semula gerimis sekarang cukup deras. Membuat jarak pandang Ravindra semakin kecil. Tiba-tiba ada dering masuk di ponsel Ravindra. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu melihat ke kursi belakang. "Tolong ambilin hape di belakang, Bi," katanya. Bianca mendengus, tapi tetap melakukannya. Ia meraih ponsel di kursi belakang dengan susah payah. Bahkan Bianca harus mengangkat sedikit tubuhnya dari kursi dan berputar menghadap ke belakang. "Ngapain naruh hape di belakang gini, sih. Jadi susah, kan, ngambilnya," gerutu Bianca dengan sebal. Wanita itu mengangkat sebelah alisnya. Ada nama Melodi dan fotonya yang manis. Sangat imut dan polos, sangat disayangkan Ravindra mengabaikan perasaan wanita ini. "Dari Melodi, nih." Bianca menyerahkan ponsel pada Bianca. Ravindra berdecak seba
Decakan kembali terdengar ketika ponsel putih itu berdering nyaring. Seingatnya Bianca tidak memasang alarm semalam. Karena dirinya memang sudah berniat untuk tidur seharian. Jadi, ini pasti adalah dering ponsel. Bianca bersumpah akan mengutuk kalau sampai ini bukan hal yang penting. Dia baru saja tidur pukul empat pagi tadi. Ia masih sangat mengantuk untuk dipaksa bangun. "Hallo?" ujarnya malas. "Baru bangun?" Terdengar suara Ravindra yang renyah dari seberang telepon. Bianca mendengus, ini benar-benar nggak penting. "Gue matiin karena pertanyaan lo nggak penting." Bianca dengan kesal berniat mematikan sambungan, tetapi perkataan Ravindra langsung mengurungkan niatnya. Bahkan matanya yang masih memejam langsung terbuka lebar. "Cepat kemasi barang, hari ini kamu pindah ke penthouse." Bianca mengerjapkan mata, ia melihat kembali layar ponsel sekilas kemudian kembali menempelkan pada telinga. "Penthouse? Lo beneran beli penthouse buat gue?" "Hm." "Gue nggak mau pindah," balas Bi